Bab 2 Masih Sulit Menerima

TESTPACK DI TAS SEKOLAH ANAK LELAKIKU

 

POV MAYRA

 

Mendekap erat tubuh Nathan mencoba menenangkannya meskipun aku tahu semua itu percuma.

 

“Maafin, Nathan, Bu,” lirihnya. Bisa kurasakan penyesalan yang sangat dalam dari Nathan, tangisnya sangat pilu, pundaknya bergetar hebat.

 

“Argh!”

 

Prank!

 

Suara kaca pecah itu membuatku langsung melepaskan pelukan Nathan dan berlari ke sumber suara. Mata ini membelalak melihat cermin di kamar Nathan pecah berhamburan. Mas Ardi membuka lemari dengan kasar dan memasukan baju Nathan ke dalam tas di tangannya.

 

“Mas, tolong jangan lakuin ini,” mohon ku mencoba menahan tangan Mas Ardi, tidak sengaja jemari ini menyentuh cairan kental berbau amis yang menetes dari jari tangan suamiku.

 

“Mas, tangan kamu luka,” tegurku. Mas Ardi pasti melukai dirinya sendiri.

 

“Luka ini gak ada apa-apanya dibandingkan luka yang ada di sini,” tutur Mas Ardi sambil menepuk kuat dadanya.

 

Aku juga sama terlukanya dengan Mas Ardi. Orangtua mana yang tidak terluka melihat anak yang sangat disayangi membuat kesalahan besar yang sulit untuk dimaafkan.

 

“Angkat kaki dari rumahku sekarang juga!” seru Mas Ardi sambil melempar tas ke hadapan Nathan yang baru saja menyusul ke kamar.

 

“Yah–”

 

“Jangan panggil aku Ayah. Aku tidak memiliki anak sepertimu!” bentak Mas Ardi.

 

Aku mencoba menahan Mas Ardi yang menyeret Nathan ke luar rumah. Tanpa berkata apapun lagi ia mendorong Nathan sampai terjatuh di lantai. Mas Ardi mengunci pintu dan membawa kuncinya membuatku tidak bisa apa-apa. Mustahil jika aku lewat jendela karena jendela itu menggunakan terali besi. Dari celah jendela aku mencoba berbicara pada Nathan.

 

“Sayang, kamu pergi ke rumah Tante Syifa sementara waktu, ya. Ibu akan coba bicara sama Ayah kamu,” ujarku.

 

Uang seratus ribu yang ada di saku gamisku menjadi bekal Nathan untuk sampai di rumah Mbak Syifa–Kakakku–setidaknya disana Nathan bisa tinggal sementara waktu.

 

“Tapi, Bu–”

 

Aku menyelipkan tangan lewat celah jendela, menggenggam tangan putra tersayang. Mencoba meyakinkannya untuk pergi.

 

“Nak, dengarkan Ibu! pergilah, kamu akan baik-baik di sana,” titahku.

 

Nathan berjalan gontai dengan tas besar di tangannya. Ia harus berjalan setengah jam untuk sampai di jalan raya dan mendapatkan kendaraan umum. Jika bisa, aku ingin menemaninya. Ini adalah cobaan berat bagi Nathan. Aku tahu semua ini memang berawal dari kesalahan yang diperbuatnya. Bukankah manusia tidak pernah luput dari kesalahan? Termasuk diriku.

 

Dengan cepat kuraih benda pipih itu di meja. Memberi tahu Mbak Syifa jika Nathan akan datang ke sana dan menginap untuk beberapa hari. Aku tidak berani menelepon takut jika Mas Ardi mendengar akan semakin marah dan tidak bisa menahan amarahnya.

Aku baru mengingat jika tangan Mas Ardi tadi terluka, sebelum ke kamar aku mengambil kotak p3k untuk mengobati tangan suamiku. Tak lupa aku membasuh wajah yang sudah sembab dan banyak jejak air mata.

 

Mas Ardi terlihat duduk termenung di ranjang. Darah itu masih menetes dan sebagian sudah mengering. Aku berjalan mendekat dan membersihkan luka itu. Mas Ardi tidak bereaksi apa-apa, aku dengannya sama kecewanya dengan apa yang telah diperbuat oleh Nathan. Mungkin saat ini Mas Ardi belum bisa menerima kenyataan, tapi cepat atau lambat ia bisa menerima meskipun tidak bisa menghilangkan rasa kecewa yang ada.

 

Sebesar apapun kesalahan anak, orang tua pasti akan menerima dan memaafkannya. Aku juga tidak akan tega melihat Nathan menanggung masalah sebesar ini sendiri, dia yang pernah menjadi bagian dalam tubuhku selama sembilan bulan. Menjaga dan merawatnya mengabaikan kondisi tubuhku yang bahkan jauh dari kata baik, aku selalu menginginkan yang terbaik untuk putraku. Saat anaknya merasa sakit, orangtua akan merasa lebih sakit lagi. Saat anaknya bahagia orangtua akan lebih bahagia.

 

“Biarkan aku sendiri!” seru Mas Ardi lalu keluar dari kamar. Aku tahu dia tidak ingin diganggu untuk saat ini.

 

Aku juga ingin merenung, mungkin Nathan seperti ini karena didikkanku yang kurang. Aku merasa benar-benar menjadi ibu yang gagal. Ponselku bergetar, nama Mbak Syifa terpampang di sana. Dengan cepat jemari ini membuka pesan masuk di aplikasi hijau milikku.

 

[Besok kamu harus kesini, ceritain semuanya sama Mbak.] Isi pesan yang dikirim Mbak Syifa.

 

Aku menghela nafas panjang, entah apa yang akan dipikirkan kakakku itu saat mengetahui apa yang telah diperbuat keponakan tersayangnya. Suara adzan magrib berkumandang. Langsung beranjak untuk mengambil air wudhu. Waktu yang tepat untukku mengadu pada Sang Pencipta, sesungguhnya tidak ada masalah yang diberikan melebihi kesanggupan hamba-Nya. Hanya bisa berdoa, agar Allah menghadirkan rasa kuat dan ikhlas dalam hati ini.

 

Disaat tidak ada seorangpun yang mengerti dengan perasaanku, hanya Allah tempatku mengadu dan mengeluh. Ya Allah … maafkan hamba-Mu yang belum bisa mendidik Nathan dengan baik. Bahkan air mata ini rasanya sudah kering, tapi tidak mengubah hancurnya hatiku. Tak hentinya aku melafalkan asma Allah untuk membuat hati ini tenang. Gemercik air terdengar, sepertinya Mas Ardi baru akan shalat.

 

Ponselku kini berdering menandakan panggilan masuk. Perlahan bangkit dan meraihnya yang tergeletak di atas nakas. Tertera deret nomor yang tidak kukenal. Mengabaikannya karena tidak penting, jikapun orang itu ada kepentingan pasti akan kembali menghubungiku. Berselang beberapa detik setelah ponselku berhenti berbunyi, kini kembali menampakan panggilan masuk dari nomor yang tadi. Tanpa pikir panjang langsung mengangkatnya.

 

“Halo … apa benar ini orangtuanya Nathan?” tanya seorang wanita dari seberang telepon.

 

“Iya, saya ibunya. Maaf ini siapa, ya?” Aku bertanya balik.

 

“Saya ibunya Kayra. Saya ingin menyelesaikan masalah anak-anak kita secepat mungkin,” tuturnya.

 

Jantung ini berdegup kencang saat mengetahui ternyata yang menghubungiku adalah ibunya Kayra. Perkiraanku mereka pasti ingin meminta pertanggungjawaban Nathan.

 

“Bu … apa ibu dengar saya bicara?” tegurnya.

 

“I–iya,” balasku.

 

“Datanglah ke rumah kami besok jam dua siang,” ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon. Kepala ini berdenyut hebat, masa depan anakku yang terbayangkan akan cemerlang kini musnah seketika saat masalah ini hadir.

 

***

 

Rasa malas menggelayuti diri ini, selesai shalat subuh dan tadarus al-quran aku duduk termenung di atas sajadah, tak hentinya melangitkan doa meminta yang terbaik. Bukan hanya untukku tapi untuk keluargaku, orang-orang yang kusayangi. Pintu berderit, menampakkan Mas Ardi yang kini berjalan masuk. Rambutnya sudah basah, sepertinya dia baru selesai mandi. Tapi ini masih terlalu pagi jika dia mau berangkat kerja.

 

Tanpa diminta, aku langsung bangkit dan menyiapkan bajunya. setelah itu meninggalkannya untuk membuat sarapan meskipun aku tahu itu akan sia-sia. Mas Ardi tidak akan menyentuh makanan yang aku buat. Ragu rasanya mengatakan pada Mas Ardi mengenai permintaan ibunya Kayra yang mengundang untuk datang ke rumahnya siang ini.

 

Aku memberanikan diri untuk mengatakannya, menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan.

 

“Mas–”

 

“Aku tidak akan peduli kalau kamu mau membicarakan mengenai anak itu!” tutur Mas Ardi. Dia pergi tanpa pamit, amarahnya masih belum reda. Rasa sesak kembali menelusup ke dalam dada saat Mas Ardi menyatakan ketidak peduliannya pada Nathan.

 

Bersambung ….