Almira, istri Basri
Pagi itu, Ustadz Basri memberikan dukungan dan doa untuk Almira, yang akan memulai pekerjaan barunya sebagai konsultan syari’ah di lembaga keuangan yang baru dibuka di kota seberang. Ia tahu bahwa lembaga ini mayoritas diisi oleh karyawan non-Muslim berjenis kelamin laki-laki. Oleh sebab itu, sebetulnya Ustadz Basri kurang setuju dengan hal ini.
Ustadz Basri: (sambil tersenyum lembut) “Almira, kamu yakin ini keputusan yang baik?.”
Almira: (tersenyum) “Tenang, Bang. Aku yakin ini akan baik-baik saja. Ini adalah pekerjaan yang aku sukai dan, yang lebih penting, ini akan membantu kita secara finansial. Kita butuh uang tambahan, kan?”
Ustadz Basri: (mengangguk) “Iya, tentu. Tapi kamu tahu, aku hanya khawatir tentang lingkungan kerja yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai kita.”
Almira: (menatapnya dengan lembut) “Aku mengerti, Bang. Tapi kamu tahu aku akan selalu menjaga nilai-nilai kita, tidak peduli di mana aku bekerja. Aku kan bukan tipe yang mudah terpengaruh.”
Ustadz Basri: (tersenyum) “Iya, kamu memang keras kepala seperti itu. Tapi serius, Almira, jangan sampai nilai-nilai agama kita terkikis ya. Ini adalah dunia yang penuh godaan.”
Almira: (menyentuh tangan Ustadz Basri) “Aku janji, Bang. Aku akan selalu ingat siapa diriku dan apa yang kita percayai bersama. Ini semua untuk kita berdua dan masa depan keluarga kita.”
Ustadz Basri: (menggenggam tangannya) “Aku percaya padamu, Almira. Semoga Allah memberkahi usahamu. Hanya berdoa agar kita tetap kuat di jalan yang benar.”
Ketika mobil berhenti di depan gedung lembaga keuangan, Almira dan Ustadz Basri saling pandang dengan senyum. Mereka berdua keluar dari mobil, dan Almira merapikan hijabnya sebelum berbalik untuk berbicara dengan suaminya.
Almira: (tersenyum) “Terima kasih, Bang, sudah mengantarkan. Aku akan berusaha yang terbaik di sini.”
Ustadz Basri: (mengusap kepala Almira) “Pasti, Almira. Ingatlah selalu nilai-nilai kita. Aku akan menjemputmu nanti sore.”
Almira: (mengangguk) “Aku tahu. Sampai nanti sore, ya?”
Ustadz Basri: (menyematkan cium lembut di kening Almira) “Sampai nanti, sayang. Jangan lupa meneleponku jika ada sesuatu.”
Almira tersenyum, dan keduanya berpelukan sejenak sebelum berpisah. Ustadz Basri kembali masuk ke dalam mobil, meninggalkan Almira yang melangkah menuju pintu masuk lembaga keuangan tersebut.
Saat Ustadz Basri mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu, ia merenung sejenak. Hati Ustadz Basri masih berdebar, tetapi ia yakin bahwa Almira adalah wanita yang kuat dan mampu mengatasi segala tantangan. Ia pun berdoa semoga Allah memberikan perlindungan dan keberkahan bagi langkah-langkah Almira di tempat kerja barunya.
Sore harinya Ustadz Basri merasa kekhawatiran yang mendalam ketika menerima pesan dari Almira. Sementara ia tengah bersiap-siap untuk menjemput istrinya, pesan WhatsApp dari Almira membuatnya berhenti sejenak.
Almira: “Maaf, Bang. Malam ini ada penataran karyawan baru, aku harus ikut. Aku tidak bisa pulang malam ini. Maaf ya, Bang.”
Ustadz Basri meresapi pesan tersebut dengan hati yang agak berat. Ia menyadari bahwa keputusan ini mungkin diambil demi kemajuan karier dan kestabilan finansial mereka. Meskipun hatinya khawatir mengingat seluruh karyawan selain Almira adalah pria non-Muslim, ia mencoba memahami situasi tersebut.
Ustadz Basri: “Baik, Almira. Aku mengerti. Tetap berhati-hati di sana. Aku akan mendoakan agar semuanya berjalan lancar. Kalau butuh apa-apa, beri tahu aku.”
Almira: “Terima kasih, Bang. Aku pasti akan baik-baik saja. Maaf ya, Bang, kalau membuatmu khawatir.”
Ustadz Basri: “Tidak apa-apa, sayang. Kesehatan dan keselamatanmu yang terpenting. Aku bangga padamu.”
Almira: “Aku juga bangga memiliki suami sepertimu. Sampai jumpa besok pagi, ya?”
Ustadz Basri: “Sampai jumpa, sayang. Jangan pulang terlalu malam. Aku akan menjemputmu besok.”
Keesokkan harinya Ustadz Basri mendapatkan pesan dari istrinya.
Pagi hari Sabtu, Ustadz Basri membuka ponselnya dan melihat pesan WhatsApp dari Almira. Tatapannya serius saat membaca isi pesan tersebut.
Almira: “Maaf, Bang. Acara di sini diperpanjang. Aku baru bisa pulang Ahad pagi. Mohon doanya ya. Aku merindukanmu.”
Ustadz Basri menghela nafas panjang. Meskipun merasa rindu, ia juga merasa lega karena Almira memberitahunya tentang perpanjangan acara tersebut. Namun, kekhawatiran dalam dirinya tetap ada.
Ustadz Basri: “Baik, sayang. Aku mengerti. Jangan capek-capek ya.
Almira: “Terima kasih, Bang. Aku akan usahakan pulang sesegera mungkin ya. Sampai jumpa Minggu pagi. Love you.”
Ustadz Basri: “Sampai jumpa, sayang. Tetap berhati-hati ya di sana.”
Setelah berkomunikasi dengan Almira, Ustadz Basri merenung sejenak. Meskipun merasa kecewa karena harus menunggu hingga Minggu pagi untuk bertemu dengan Almira, ia memahami bahwa terkadang keadaan memaksa. Ia pun kembali berdoa agar Almira selalu dalam perlindungan Allah.
Di Minggu pagi, Ustadz Basri bersiap-siap untuk menjemput Almira setelah mendapatkan kabar bahwa istri tercintanya akan pulang. Namun, ketika pintu rumah terbuka, Ustadz Basri dihadapkan pada pemandangan yang tidak ia duga.
Almira keluar dari mobil yang diantar oleh seorang pria yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Simon, ia mengaku sebagai atasan Almira. Almira terlihat sempoyongan dan tampak tidak seperti biasanya, seolah-olah habis mabuk.
Ustadz Basri mendekati Almira dengan cepat, mencoba menahan kekhawatiran dan berusaha untuk tidak berprasangka buruk.
Ustadz Basri: “Almira, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?”
Almira mengangguk dengan lemah, matanya terlihat berkabut, dan wajahnya pucat.
Almira: “Bang, maafkan aku. Pak Simon mengantarku pulang karena acara selesai larut malam, dan aku kayak gak enak badan.”
Ustadz Basri: “Tidak apa-apa, sayang. Mari masuk ke dalam. Aku khawatir. Apa yang terjadi?”
Simon memberi salam singkat kepada Ustadz Basri dan pergi dengan mobilnya. Ustadz Basri membimbing Almira masuk ke dalam rumah.
Keesokan harinya, di Senin pagi. Ustadz Basri bersiap-siap untuk mengantar Almira bekerja, seperti yang biasa dilakukannya. Namun, ketika ia mencapai pintu keluar rumah, keheranan melintas di wajahnya ketika melihat mobil Simon sudah terparkir di depan rumah mereka.
Almira keluar dari rumah, mengenakan seragam baru yang menarik perhatian Basri. Ia berjilbab, namun rok panjangnya terlihat cukup ketat, dan atasan yang dipakainya adalah kaos ketat yang memperlihatkan bagian atas tubuhnya, bahkan memperlihatkan bagian pusar.
Simon keluar dari mobilnya, memberikan senyuman sopan kepada Ustadz Basri. Almira mendekati suaminya dengan ekspresi malu-malu.
Almira: “Bang, maafkan aku. Simon tadi datang lebih awal dan menawarkan untuk mengantarku. Bos baru membelikan seragam ini, dan ia meminta agar aku memakainya.”
Ustadz Basri menahan rasa kaget dan keheranannya. Ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun dalam hatinya muncul pertanyaan-pertanyaan.
Ustadz Basri: “Seragam baru? Kenapa begitu ketat dan terbuka seperti ini? Apa bosmu tahu kamu adalah seorang Muslimah yang taat?”
Almira: “Simon bilang ini aturan dari perusahaannya. Aku sudah memberi tahu bosku tentang keyakinanku, tapi katanya ini adalah bagian dari dress code yang harus diikuti.”
Simon: “Almira, kita harus berangkat agar tidak terlambat. Pak Basri, maaf ya, saya hanya mengikuti peraturan perusahaan.”
Ketidaknyamanan dan keheranan Ustadz Basri semakin bertambah selama dua minggu terakhir ini. Setiap hari, Almira diantar jemput oleh Simon, dan seragam yang dikenakannya semakin sexy. Basri terus mencoba untuk tetap tenang dan tidak menyimpulkan hal yang buruk, namun perubahan dalam penampilan dan perilaku Almira membuatnya semakin bingung.
Pada suatu pagi, ketika Almira bersiap-siap untuk pergi, Basri tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Ustadz Basri: “Almira, aku tidak bisa memahami mengapa busanamu semakin seksi. Apa yang terjadi, sayang?”
Almira: “Maafkan aku, Bang. Ini memang bagian dari dress code di perusahaan. Mereka ingin para konsultan tampil modern dan menarik.”
Ustadz Basri: “Tapi ini tidak pantas, Almira. Ini melanggar nilai-nilai agama kita. Dan kenapa belakangan ini aku sering melihatmu belajar menari tarian yang agak jorok kayak tari perut?”
Almira tampak canggung sejenak sebelum menjawab.
Almira: “Bos baru berpendapat bahwa penampilan yang menarik akan menarik pelanggan. Aku tidak suka, tapi aku tidak punya pilihan.”
Ustadz Basri merasa kecewa dan bingung. Ia mencoba untuk tidak menyalahkan Almira
Ustadz Basri: “Sayang, apakah pekerjaan ini benar-benar sepadan dengan perubahan ini? Aku khawatir ini akan membahayakan iman dan martabatmu.”
Almira: “Aku tahu, Bang. Tapi kita kan butuh uang. Lagian ini cuman sementara koq. Tapi nanti aku sampaikan ke atasan ku kalau kamu gak suka ya sayang. Ini nomornya untuk kamu hubungi. Namanya pak simon”
Siang harinya, Ustadz Basri memutuskan untuk menelpon Simon, atasan Almira, untuk menyampaikan keluhannya terkait perubahan seragam dan permintaan-permintaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip keagamaan mereka. Namun, jawaban yang diterima oleh Ustadz Basri membuatnya semakin khawatir.
Ustadz Basri: “Selamat siang, Simon. Ini Ustadz Basri, suami dari Almira. Aku ingin berbicara denganmu terkait perubahan seragam dan permintaan-permintaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kami.”
Simon: “Ah, Ustadz Basri. Tentu, saya tahu bahwa Anda mungkin agak kesulitan memahami perubahan ini. Ini semua adalah keputusan dari pimpinan perusahaan, yang ingin memberikan kesan yang lebih modern dan menghibur dalam acara-acara mereka.”
Ustadz Basri: “Saya faham, tapi bagaimana dengan nilai-nilai dan keyakinan Almira? Apakah tidak ada cara lain yang dapat diakomodasi tanpa melanggar prinsip-prinsip agama kami?”
Simon: “Saya paham bahwa ini sulit. Tapi, Anda tahu, Ustadz Basri, ini adalah aturan dari pihak atasan. Mereka hanya akan mendengarkan rekomendasi Almira sebagai konsultan syariah jika dia tampil sesuai dengan keinginan mereka.”
Ustadz Basri: “Maaf, Pak Simon, bisakah bapak menghubungkan saya dengan Almira? Saya Mau bicara langsung dengannya.”
Simon: “Sayangnya, Ustadz Basri, Almira sedang di ruangan direksi saat ini. Mereka meminta dia menari perut di hadapan direksi. Tapi jangan khawatir, aku bisa mengubah mode telepon ini menjadi live agar kamu bisa melihatnya langsung.”
Ustadz Basri merasa shock dan bingung. Ia tidak menyangka bahwa Almira akan diminta untuk melakukan tarian perut di lingkungan kerja yang seharusnya profesional. Merasa terpojok, Ustadz Basri memberikan izin untuk mengubah mode telepon menjadi live, meskipun dengan perasaan tidak nyaman.
Hal yang tidak disangka, justru Simon memberi tahu direksi atas ketidaksukaan Ustadz Basri terhadap seragam Almira
Simon: “Direksi, saya harus menyampaikan bahwa Ustadz Basri, suami Almira, mengeluhkan perubahan seragam dan menilai bahwa ini tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga mereka.”
Direksi 1: “Apa masalahnya? Apakah ada yang salah dengan seragam yang baru?”
Direksi 2: “Saya kira seragam Almira selama ini justru kita ringankan agar tidak parah parrah banget. Apa keluhan Ustadz Basri?”
Simon: “Dia merasa bahwa busana Almira saat ini tidak pantas dan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaannya.”
Direksi 1: “Tentu, tentu. Namun, kita juga tidak bisa terlalu kaku. Ini tentang citra dan kesan yang ingin kita tampilkan. Apa yang dia tidak suka?”
Simon: “Dia menyebut bahwa aturan ini melanggar nilai-nilai agamanya.”
Direksi 2: “Hm, itu sudah pasti. Tapi saya jadi kayak ditantang nih. Kalau begitu kita putuskan saja seragam Almira yang baru ini sebagai seragam resmi mulai besok. Dasar tidak tahu diuntung”
Direksi 1: “Baiklah, mulai besok, seragam Almira yang baru akan menjadi seragam resmi. Jilbab, kaos underboob tipis, dan rok super mini ketat yang hanya 2 cm panjangnya akan menjadi bagian dari seragam resmi Almira.”
Tarian pun dimulai
Almira: “Assalamualaikum, para direksi. Saya Almira, konsultan syariah di perusahaan ini. Saya senang sekali dengan seragam baru saya ini. Akan lebih seru lagi nanti saat saya menari. Oh ya, saya tidak pakai pakaian dalam. Saya berdoa agar puting saya bisa tersingkap saat saya menari nanti. Hihihi. Mungkin dari bapak-bapak bersedia membiayai saya untuk memperbesar payudara saya biar makin semok? Hihihi”
Direksi 1: “Hahaha, ide unik juga, Almira. Tapi, tidak masalah, kita akan membiayai operasi itu. Bagaimana kalau tiga kali lebih besar dari sekarang dan dengan tambahan payudara jadi bersusu? Biar puas!”
Direksi 2: “Iya, iya! Tarianmu harus bisa membuat kami sange! Kalau perlu, kita bisa mengadakan pertunjukan pribadi setiap minggu.”
Almira: “Terima kasih banyak, para direksi! Saya senang mendengarnya. Saya pasti akan memberikan yang terbaik dalam tarian saya.”
Almira tampak senang dan bersemangat mendengar reaksi positif dari para direksi. Ustadz Basri, di sisi lain, merasa semakin terpukul oleh perkataan dan sikap mereka yang sangat tidak etis dan bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Almira, dalam seragam yang super seksi itu mulai menari di hadapan para direksi. Musik yang diputar melengking di ruangan pertemuan, menciptakan suasana yang semakin panas.
Seiring tarian berlanjut, Almira menunjukkan gerakan-gerakan yang semakin menantang. Rok span super mini yang ketat hanya menutupi sebagian kecil daerah sekitar vagina, dan kaos underboob tipis ketat semakin mengekspose bagian bawah payudaranya. Almira bahkan terkadang menunjukkan senyum yang menggoda sambil meremas lembut bagian atas payudaranya.
Ustadz Basri menyaksikan melalui live ponsel dengan wajah yang kecewa, kebingungan, dan prihatin. Ia mencoba untuk memahami semua ini, namun, melihat istrinya tampil seperti itu di depan umum membuatnya shock dan tidak percaya.
Para direksi, sambil tertawa dan memberikan komentar yang tidak senonoh terus menikmati pertunjukan tersebut.
Sampai akhirnya karena tarian yang semakin liar, puting payudara Almira mulai tersingkap. Dan Almira tidak mencoba untuk menutupi hal itu. Ia teruskan tariannya. Di satu sisi, Ustadz Basri makin panas dingin karena berkali kali vagina Almira yang seharusnya ekslusif untuk dirinya Kini malah ikut berkali kali terekspos.
Ketika tarian selesai, Para direksi itu berdiri sambil bertepuk tangan memberikan standing applaus untuk Almira . Dan mereka akan mengangkat Almira sebagai karyawan Tetap, menaikkan jabatan Almira dan memberikan bantuan dana untuk memperbesar payudara Almira dan membuatnya memiliki Air Susu.
Live pun berakhir tiba tiba. Sepertinya Simon mematikan sambungannya. Ustadz Basri mencoba menghubungi balik tapi tidak diangkat. Ia semakin panik