Aku Memiliki Orang Lain di Hatiku

Semua pelayan keluar untuk menyambut kepulangan Levon, tetapi Scarlet tetap di lantai atas dan diam-diam mengawasi kedatangannya dari jendela kamar tidur.

 

Dia harus mengakui bahwa Levon begitu menawan dan seksi. Tubuhnya tinggi dan memiliki kaki yang panjang, dan keseluruhan bentuk tubuhnya proporsional. Tidak ada bagian yang bergelambir di tubuhnya, dan otot-ototnya ramping serta kuat.

 

Ya, Scarlet tahu sebanyak itu tentang fisik Levon karena dia telah merasakan tubuh itu sepenuhnya di malam yang mengubah segalanya itu.

 

Apa yang terjadi di antara mereka malam itu terasa sangat tidak nyata sampai Scarlet masih mengira itu semua hanya mimpi. Dia tidak tahu bagaimana harus memberi tahu Levon setelah dia kembali ke rumah keesokan paginya.

 

Wajah Levon tanpa cela, seolah-olah Tuhan sengaja menggunakan waktu yang lebih lama untuk memahat wajahnya dengan hati-hati. Dia terlihat sangat tampan, tangguh, dan tegas.

 

Tuhan sangat tidak adil. Levon tidak hanya dianugerahi dengan tubuh sempurna dan wajah tampan, tetapi juga kecerdasan tinggi dengan latar belakang pendidikan yang mengesankan.

 

Levon mendapat gelar sarjana hukum dan keuangan di usia remaja. Setelah lulus, dia mengambil alih bisnis keluarga. Bisnis tersebut berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir, dan menjadi perusahaan raksasa komersial nomor satu di ibu kota. Beberapa tahun yang lalu, perusahaan itu merambah pasar luar negeri dan mampu berkembang dengan baik.

 

Setelah mereka menikah, Levon pergi ke luar negeri keesokan harinya. Alasan keberangkatannya karena perusahaan sedang memulai cabang baru dan dia harus fokus pada hal itu. Namun, sejak itu, dia tidak pernah pulang.

 

Scarlet tenggelam dalam pikirannya ketika dia tiba-tiba merasakan tatapan dingin Levon ke arahnya. Tertegun, dia segera menutup tirai dan menjauh dari jendela.

 

Dia tidak tahu apa yang membuatnya bereaksi seperti itu. Mungkin karena dia merasa tidak percaya diri di depan Levon.

 

Scarlet tidak disukai oleh keluarganya sendiri, yang merupakan akibat hasutan ibu tirinya. Jika dia tidak menikah dengan Levon, dia mungkin masih harus berperan sebagai pelayan pribadi ibu tirinya saat ini.

 

Pernikahan mereka terjadi berkat ibu kandung Scarlet yang pernah menyelamatkan nyawa nenek Levon.

 

Dia tahu bahwa meskipun Levon tidak menyukainya, pria itu tidak membencinya. Bagaimana pun juga, dia sadar akan posisinya dan selalu berperilaku baik.

 

Tiba-tiba, seorang pelayan mengetuk pintu kamarnya.

 

“Nyonya, Tuan Fabianto telah kembali, dia ingin Anda makan malam bersamanya di lantai bawah.”

 

Scarlet bergegas turun. Di ruang makan, meja telah ditata dan hidangan sudah disajikan.

 

Levon duduk di salah satu ujung meja makan yang panjang. Scarlet menuju ujung lain meja di mana sebuah tempat telah disiapkan untuknya.

 

Mereka berdua menyukai hidangan yang berbeda. Mengingat ini adalah perayaan kepulangannya, semua hidangan yang disajikan sesuai dengan kesukaannya.

 

Melihat steik setengah matang yang masih berwarna kemerahan di piringnya, Scarlet refleks mengerutkan hidung.

 

“Kenapa?” tanya Levon yang menatapnya sambil sedikit mengernyit.

 

“Steikku masih ada darahnya,” jawab Scarlet. Dia tidak terbiasa dengan steik yang tidak dimasak sampai matang. Belum lagi, nafsu makannya agak menurun akhir-akhir ini, mungkin dikarenakan cuaca yang panas.

 

“Beri dia steik yang matang.”

 

“Terima kasih.” Scarlet mengucapkan terima kasih dengan suara rendah.

 

Selama makan, tak satu pun dari mereka berbicara. Mereka begitu acuh terhadap satu sama lain, seolah-olah mereka bukan pasangan suami-istri. Mereka tampak seperti dua orang asing yang kebetulan makan di meja yang sama.

 

Selesai menyantap makanannya, Levon mengambil serbet dan menyeka bibirnya. Melihat itu, Scarlet menarik napas dalam-dalam setelah sempat ragu-ragu sejenak, lalu dia membulatkan tekad untuk memberitahunya apa yang telah terjadi malam itu.

 

“Levon.”

 

“Scarlet.”

 

Keduanya berbicara pada saat yang bersamaan.

 

Sambil menatapnya, Scarlet berkata dengan gugup, “Kamu bicaralah lebih dulu.”

 

Levon tidak menolak dan langsung berbicara. “Scarlet, aku ingin bercerai.”

 

Kalimat pendek itu bergema di kepala Scarlet selama beberapa saat.

 

Saat itu, seorang pelayan masuk dan menyerahkan sebuah dokumen perceraian padanya. Levon sudah menandatanganinya. Tulisan tangannya indah, seperti seorang penulis kaligrafi berpengalaman.

 

Namun, Scarlet sudah tidak berminat untuk mengaguminya lagi.

 

Distribusi properti adalah hal terpenting yang perlu diselesaikan selama proses perceraian.

 

Scarlet langsung membahas kesepakatan itu. Dia akan mendapatkan dua properti setelah bercerai, yaitu sebuah toko dan sebuah apartemen. Keduanya berada di lokasi strategis dengan kisaran harga pasar yang mencapai puluhan miliar rupiah.

 

Selain itu, dia akan menerima uang 100 miliar sebagai bentuk kompensasi serta sebuah perusahaan kecil yang menghasilkan laba bersih tahunan di angka miliaran rupiah.

 

Tampaknya tidur sekali dengan Levon mampu menghasilkan kesepakatan yang adil.

 

Namun, Scarlet lebih penasaran dengan alasan Levon yang ingin menceraikannya. Jadi, dia menutup folder yang berisi dokumen perceraian dan menatapnya dengan berani untuk pertama kalinya.

 

Levon membalas tatapannya dengan intensitas yang sama.

 

Ini pertama kalinya Levon melihat wajah Scarlet dengan cermat. Wajahnya kecil dan halus. Matanya besar dan indah, berbinar cerah seperti sepasang permata. Tatapan murni dan polos di matanya mengingatkannya pada genangan air yang jernih.

 

Dia sangat kurus, seolah-olah keluarganya memperlakukannya dengan buruk.

 

Entah mengapa … sosoknya terlihat mirip dengan wanita yang ditemuinya malam itu.

 

Jika Levon bertemu dengan wanita itu lagi, dia pasti akan membuatnya menjadi lebih gemuk. Wanita itu terlalu kurus, yang membuatnya bersimpati padanya.

 

“Bolehkah aku bertanya apa alasannya?” tanya Scarlet.

 

“Karena aku memiliki orang lain di hatiku,” ungkap Levon dengan jujur.