Adinda dan Kakanda
Ijinkan newbie berbagi cerita ini yang dibuat seiring inspirasi yang datang tiba-tiba. Mohon kritik dan saran kiranya diberikan kepada newbie yang baru kali ini menulis sebuah cerita panas. Cerita ini ditulis dalam bentuk surat dari sang kekasih pria kepada kekasih wanita yang ada di kampungnya dan mengenang kembali saat mereka bergumul.
Adinda dan Kakanda
Tabik adinda, dari kakanda yang mengasihimu.
Terima kasih kakanda sampaikan atas surat dari adinda berselang pekan yang lalu.
Inginkan kakanda sampaikan, jikalau ada waktu bersua, tentulah akan kurenggut adinda ke dalam pelukan kakanda, erat seperti hangatnya mentari di pagi hari.
Tentulah tak mudah, adinda, untuk menyimpan dalam-dalam isi hatimu. Janganlah adinda lewatkan, rengkuh erat apa yang adinda rasakan terhadap kakanda. Tanamkan dalam-dalam, sehingga jika saat kelak kita bersua, adinda dapatkan balasan yang sama.
Tetaplah mantap, adinda, hadapi rintangan di depan, jangan lepaskan barang setitik jua. Karena semua akan indah pada waktunya.
Adinda, ingin sekali kakanda renggut batas-batas yang memisahkan kita, melewati lorong-lorong waktu dan jauhnya jarak yang memisahkan. Kuingin adinda selalu berada dalam dekapanku. Ingin engkau kupeluk erat, dalam sepi yang kurasa. Janganlah bersedih, adinda, waktu tak akan terbuang percuma. Kakanda yakin adinda tahu betapa kumenginginkanmu. Janganlah ragu, karena kau tahu hari esok akan tiba, dan fajar baru akan menyingsing seiring dekatnya waktu kita ditakdirkan berdua.
Jangan kau gundah akan hari esok adinda, karena pada hari esok kau akan mendapati kesukarannya sendiri.
Ingatkah adinda sewaktu engkau membelaiku dan kurasakan hangatnya sentuhanmu di milikku? Kukecup bibirmu dan kuresapi kenikmatan yang engkau berikan, adinda, dan kurasakan gelora yang membara pada batinku. Kuberikan diriku seutuhnya hanya untukmu, adinda, dan reguklah kenikmatan yang diberikan kepada kita selagi masih ada waktu, dan terbanglah ke surga bersamaku. Kaubiarkan jemariku menjelajahi relung-relung terdalam tubuhmu, merabai hangatnya buah dadamu. Ingatkah engkau, adinda, sewaktu diriku menyibak kain yang engkau kenakan, betapa malunya dan merah padamnya wajahmu? Kuulangi kembali saat-saat itu dalam benak terdalam pikiranku. Di kebun di dekat langgar, kuingat kembali nikmatnya belaian bibirmu di bibirku. Kecupan pertama yang kurasakan, kunikmati dan kuresapi hangatnya bibirmu, merahnya gincu yang kau oleskan di bibirmu, dan wangi segar tubuhmu sewaktu kita bergumul di atas tanah yang basah oleh hujan semalam.
Kuingin engkau mereguk kenikmatan yang diberikan dunia kepada kita, menuju ke surga di dunia ini, seperti yang kita lakukan di siang itu. Kuingat kembali ketika itu, kubiarkan engkau berbaring di atas kain yang kubawa, kulucuti baju yang kau kenakan, kuraba dan kuresapi indahnya buah dadamu yang tertutup kutang. Kubuka perlahan kutang yang kau kenakan, kulihat putingmu yang merah muda tanpa pernah terjamah lelaki. Ingatkah engkau adinda, bagaimana engkau menggelinjang sewaktu putingmu kupilin perlahan, kuusap dengan belaian, dan kuhisap dengan kecupan mesra? Ingatkah engkau adinda akan desah tertahan yang keluar dari bibirmu, ketika kemudian kubelai lembut perut indahmu dengan lidahku? Ingatkah betapa merah padamnya wajahmu, ketika kukecup pusarmu yang indah itu?
Ketika kusibakkan kainmu, kurasakan betapa hangatnya betismu. Ingatkah geli yang kaurasakan, ketika tangan ini menjamah lututmu, yang kemudian merambati tungkaimu dan menuju pahamu? Ingatkah nikmat yang kaurasakan?
Tentulah kau ingat, saat pertama kali kumenemukan tempat tersembunyi milikmu. Kujelajahi relung-relung terdalam tubuhmu, dan saat kutemukan milikmu yang berharga, rasa yang kaurasakan itu membuatmu tersenyum. Ya, kuingat saat engkau menatapku dan berbisik, ,,Di situlah tempatnya, kakanda! Ya, jamahlah kedelaiku, buatlah adindamu ini bahagia, merengkuh indahnya rembulan di atas sana!”
Kurasakan hawa panas yang sebelumnya belum pernah kurasakan, menjalar menyelimuti tubuhku dan memusat pada sesuatu di bawah pusarku. Betapa naga yang selama ini terlelap, kini terbangun dari tidur panjangnya, menunjukkan kuasanya atas diriku. Dengan terburu-buru kulucuti celana yang kukenakan ini, adinda, karena sang naga telah menemukan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan yang selama ini terlelap, dan menggeliat terjaga ketika menemukan rohnya. Tanpa basa-basi, kutanyakan kepadamu, adinda, ,,Apakah engkau siap, adinda?”
Kurasakan hangatnya milikmu saat milikku menemukan sarangnya, dan kurasakan nikmat sekaligus nyeri yang kaurasakan. Kuingat tetes air matamu, menahan nyeri yang kaurasa, tetapi dengan gagah berani engkau berkata, ,,Masukkan saja, kakanda! Kurelakan diriku seutuhnya menjadi milikmu!” Seiring waktu, dengan perlahan, kutepis selaput tipis penghalang kesucianmu, dan menjadikanmu milikku seutuhnya. Kuresapi waktu yang diberikan kepada kita berdua, saat kita berdua menggeliat demi mencapai puncak yang kita berdua idam-idamkan. Tentulah kita akan merengkuh puncak tertinggi tersebut berdua, tanpa ada yang mengganggu kita.
Kuingat ketika engkau berada di atasku, sehingga aku dapat melihat betapa eloknya seri wajahmu engkau dari bawah, tempatku berada. Kuingat engkau berada di atasku, menguasaiku, memberiku kenikmatan yang ingin kubagikan denganmu. Tidaklah pada maksud hatiku untuk meletakkanmu di bawahku, adinda, karena kuingin engkau selalu di atasku, menjadi permaisuriku. Kuingat ketika engkau menggoyang dengan lembut pinggulmu, memenuhi seluruh relung kewanitaanmu yang sempit itu dengan milikku. Betapa kuingat engkau memberiku kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Kuingat adinda, sewaktu engkau menggerakkan pinggulmu, dan jemariku memilin putingmu dan kedelaimu, sehingga engkau melenguh sekuat tenaga, melepaskan kenikmatan yang kaurasakan? Ingatkah engkau, sewaktu engkau meraih puncakmu yang kaurasakan begitu indah, lebih indah daripada yang dapat kaubayangkan sebelumnya? Kuingat kembali saat itu adinda, sewaktu kakanda ingin menggapai puncaknya, bersama dengan adinda pula, kita mereguk kenikmatan yang dunia berikan. Ingatkah sewaktu kakanda menanamkan benih-benih kehidupan ke dalam relung-relung jiwa adinda dan kehangatan yang memancar darinya? Ingatkah adinda, bagaimana kita berdua terengah-engah melepas penat sesaat setelah kita berdua menggapai puncak kenikmatan yang dunia berikan secara bersama-sama? Tentulah itu saat yang sangat membahagian pula untuk adinda.
Tentulah adinda ingat sewaktu petang, sewaktu kita bersepeda pulang ke rumah orang tuamu, betapa nikmat yang kaurasakan, dan hangatnya pelukanmu di pinggangku. Kuingin mengulang kembali saat-saat yang indah itu, adinda, sehingga kuharapkan kita bersua kembali di akhir tahun ini. Nantikan kedatangan kakanda, wahai adinda yang kukasihi.
Salam hangat,
Kakanda