At the Hospital
Jam sembilan pagi. Aku naik motor sambil menahan rasa haus yang menyerang tenggorokanku. Aku orang yang cepat merasa haus, jadi aku harus benyak minum. Tapi karena aku tadi lupa minum sebelum masuk kelas dosen yang kelasnya dikenal lama. Aku berhenti dan turun dari motorku begitu aku menemukan sebuah toko kelontong yang tidak asing untukku. Langsung saja, aku berjalan ke toko itu. “Mau beli apa?” Aku yang berniat membeli malah justru bertanya pada gadis yang sedang menjaga toko ini. “Mau beli air minum mas. Hehe.” Haha. Orang ini… “Ah mas Deni…” Aku mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari pendingin sambil tersenyum menahan tawa, dan kemudian aku menunjukkan apa yang ingin aku beli pada gadis itu. “Ini mbak.” “Udahlah mas, kayak orang baru kenalan aja. Kan aku udah bilang berkali-kali, panggil aku Mitha, lagian mas Deni lebih tua daripada aku.” Ya, namanya Mitha. Dia kukenal sejak aku masih semester pertama. Waktu itu aku yang sedang haus mencari air minum, dan aku yang waktu itu belum mengenal wilayah sekitar kampusku membeli air minum di toko ini karena aku tidak tahu harus beli dimana lagi. Mulai saat itu, aku selalu membeli air minum disini dan mengenal beberapa penjaga toko disini, tapi Mitha yang notabene berumur satu tahun lebih muda dariku adalah orang yang paling menarik perhatianku. Kulitnya kuning langsat dan terlihat bersih, rambutnya yang sebahu terlihat cocok dengan mukanya yang cantik, dan bodinya bisa dibilang bagus (menurutku). Kalau aku kira-kira, ukuran dadanya 89 cm, pinggang 56 cm, dan pinggul 85 cm. Tingginya mungkin sekitar 150 cm, berat sekitar 30 kilo. Jujur saja aku sendiri tidak yakin perkiraanku tepat. Aku membuat perkiraan itu karena dadanya terlihat besar, pinggangnya ramping, dan pinggulnya berisi. Yang jelas, aku tidak keberatan kalau dia mau jadian denganku, walaupun dia sudah tidak bersekolah lagi. “Ya udah deh, tapi aku kasih diskon ya?” “Huuh…” “Enggak, enggak. Bercanda kok mit.” “Nah, gitu dong…” Aku langsung mengambil selembar uang dua ribu rupiah dari dompetku dan menyerahkannya padanya. “Makasih.” Dia berterimakasih padaku sambil tersenyum manis. Aku tidak tahu apakah itu senyum bahagia atau senyum bisnis, tapi aku senang hanya dengan melihatnya tersenyum. “Oh ya, malem ini ada acara gak?” “Eh, kenapa mas?” “Makan bareng yuk.” “Ada apa nih? Kok tumben ngajak makan bareng?” Dia benar, aku memang belum pernah mengajaknya makan bareng. Bukannya bermaksud sombong, tapi aku sedang punya uang berlebih dan aku tidak tahu uangku harus kupakai untuk apa. “Udahlah gak usah tanya. Mau gak?” “Makan dimana?” “Suka makan stik gak?” Aku pernah dengar dari teman-temanku kalau ada restoran stik yang punya banyak menu, apalagi harganya murah dan rasanya enak. Walaupun aku belum pernah makan disana, tapi tidak ada salahnya dicoba, karena kebanyakan saran dari teman-temanku benar. Alasan tadi cukup untuk membuatku menjadikan restoran itu sebagai tempat untuk . “Iya mas, aku suka.” Dia terlihat senang begitu aku menyebut makanan itu. “Nanti jam 6 aku jemput kamu di kosmu ya.” “Oke. Aku tunggu ya mas. Hehe.” Aku meninggalkan toko itu dan langsung meminum air mineral yang tadi aku beli. Tanpa kusadari, airnya langsung habis. Mungkin tenggorokanku sudah benar-benar tidak bisa menahan rasa haus yang dari tadi menyerangnya. Setelah aku membuang botol air yang kuminum tadi, aku langsung tancap gas dan pulang ke rumah. Waktu yang dijanjikan sudah hampir tiba. Aku bersiap-siap untuk menjemput Mitha. Dompet dan HP kumasukkan ke saku celana, jaketku yang tebal kupakai, dan kunci motor kuambil. Langsung saja, aku menaiki motorku menuju kosnya. Setibanya di tempat tujuan, aku langsung memberitahu dia kalau aku sudah sampai lewat sms. Satu menit telah berlalu, aku masih sabar menunggu. Sepuluh menit berlalu, aku mulai merasa curiga dan memutuskan untuk menelponnya. Hasilnya membuatku makin curiga: tidak ada jawaban, tapi aku harus sabar. Sudah setengah jam berlalu, tapi aku masih berdiri, menunggu dia datang. Tiba-tiba, pintu kos yang ada di dekatku terbuka. Seorang perempuan berambut panjang yang tidak kukenal keluar membawa sekeranjang buah-buahan. Penampilannya rapi sekali. Baju merah muda berlangan panjang dipadu dengan celana jeans. Cocok dengan badannya yang ideal. Tidak terlalu kurus, tidak terlalu gemuk. Begitu dia keluar, pandangannya menuju ke arahku. “Permisi mas. Ada apa ya kok berdiri di situ?” “Anu, mbaknya tinggal di kos ini?” “Iya. Ada apa ya mas?” “Kenal Mitha gak mbak?” “Kenal mas. Masnya ada urusan apa ya?” “Saya mau ketemu dia. Orangnya ada di dalam gak mbak?” “Wah. Gak ada mas.” “Lho, memangnya dia kemana? Tadi udah janji mau ketemu sekarang.” “Dia baru dikirim ke rumah sakit. Tadi dia sms aku.” Aku sempat kaget mendengarnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia tidak memberitahuku? “Rumah sakit mana?” Sontak aku memegang pundak perempuan itu, merasa panik. “Tolong lepasin dulu mas.” Dia mengeluh sambil melihat ke arah samping. Mengalihkan pandangannya dariku. “Oh, iya. Maaf.” “Dia di rumah sakit –” Begitu dia menyebut nama rumah sakitnya, otakku menyuruhku untuk segera pergi kesana. “Oke, makasih mbak.” “Tunggu, mau kemana mas?” “Mau ke rumah sakit, nengok Mitha.” “Aku boleh numpang mas? Motorku masih di bengkel. Tadinya mau ngambil motor dulu, tapi mumpung ada yang bawa motor, aku mau bonceng. Boleh gak mas?” “Oke.” Aku membonceng perempuan itu sekarang, dan aku langung tancap gas menuju rumah sakit tempat Mitha dirawat. Tunggu aku Mitha. Di rumah sakit, aku langsung menanyakat kamar Mitha pada resepsionis. Aku dan perempuan itu bergegas menuju kamar Mitha begitu tahu di kamar mana dia dirawat. Sesampainya di sana, aku hanya bisa melihat Mitha berbaring. Perban membungkus lengan dan kaki kanannya. Kasihan. “Kamu gak apa-apa, mit?” Kata-kata itu seketika meluncur dari mulutku. “Aduh mit. Maaf aku baru datang sekarang.” Perempuan yang dari tadi bersamaku juga bertanya pada Mitha dan mendekati ranjangnya. Dia kelihatannya khawatir. “Gak apa-apa mas, mbak. Oh ya, maaf tadi gak ngasih tau.” “Tenang aja mit.” Aku tidak punya pilihan lain selain memaafkannya begitu aku tahu apa yang menimpanya. “Udah kenalan sama mas Deni belum mbak?” Oh ya, aku belum kenalan dengan perempuan ini. Aku terlalu sibuk memperhatikan jalan tadi. Aku mendekati perempuan yang belum kukenal itu dan menjabat tangannya sambil tersenyum. “Deni” “Ayu.” Aku melepas tanganku darinya begitu selesai berjabat tangan. “Nih, ada buah Mit.” Ayu menaruh buah yang dari tadi dia bawa di meja yang ada di sebelah ranjang Mitha. “Waduh mbak. Nggak usah repot-repot gini…” “Gak apa-apa kok mit.” “Ya udahlah. Makasih lho mbak.” “Iya. Santai aja.” Kali ini aku melihat ke arah Mitha. Melihat dia diperban membuatku ingin tahu siapa orang kurang ajar yang membuat dia jadi seperti ini. “Ngomong-ngomong mit, kok kamu bisa masuk rumah sakit?” Pertanyaan itu meluncur seketika dari mulutku. “Tadi aku ketabrak mas. Waktu aku lagi jalan di belokan, tiba-tiba ada motor yang belok kenceng, terus dia nabrak aku sampe aku jatuh. Sakit banget mas rasanya…” “Terus kemana orang yang nabrak kamu?” Kalimat tanya itu keluar secara spontan, dan Ayu tiba-tiba tersenyum ke arahku. “Dia udah minta maaf waktu tadi waktu mas belum kesini.” “Wah. Masnya perhatian banget sama Mitha.” Celetukan Ayu tadi membuatku dan Mitha terdiam. Malu rasanya. “Mit, kok kamu gak bilang-bilang kalau kamu udah punya-” “Bukan mbak.” Aku yang tadi hanya bisa diam merasa lega sekarang. Ternyata walaupun Mitha kecelakaan, dia tetap menjadi Mitha yang biasanya. Aku baru tahu kalau kuat walaupun dia kesakitan. Kurasa itu bisa jadi nilai tambah untuk dia. Sudah lima hari berlalu sejak Mitha masuk rumah sakit. Dokter Mitha bilang kalau dia perlu waktu sekitar dua minggu satu atau dua minggu untuk sembuh, tapi ternyata dia sudah boleh keluar besok. Aku sudah sering menjenguknya kalau ada waktu luang. Mungkin ada beberapa orang yang merasa bosan atau kesal kalau dijenguk beberapa kali oleh orang yang sama, tapi untungnya Mitha bukan orang seperti itu. Senang rasanya bisa mengenal Mitha. Di hari keenam Mitha dirawat… Hari ini jam 9 kelasku kosong. Aku sendiri tidak tahu kenapa kelasku kosong, tapi peduli amat. Malah bagus. Dengan ini, aku bisa bertemu Mitha lebih cepat dari rencana. “Bling.” Hpku berbunyi, dan aku langsung mengambilnya dari kantong celanaku. Ada satu sms masuk. “Mohon maaf hari ini saya tidak bisa ngajar, saya harus ke rapat prodi. Sebagai gantinya, tolong kerjakan tugas di buku halaman 138. Dikumpulkan hari ini jam 11.00 di meja saya. Terima kasih.” Aku melihat jam tanganku, dan ternyata sekarang sudah jam setengah sepuluh. Anjing. Kenapa harus ada tugas sekarang? Aku pun langsung mencari tempat yang nyaman untuk mengerjakan tugas. Begitu aku membuka bukunya dan membaca soalnya, aku langsung mengela nafas. “Haaah…” Soalnya ternyata susah. Melihatnya sekilas saja sudah membuatku ingin menutup buku itu. Apa boleh buat. Aku terpaksa menyalin jawaban teman yang sudah selesai nanti. Beginilah aku. Kalau sedang tidak mood untuk mengerjakan soal, aku lebih memilih untuk menyalin jawaban. Tugasnya selesai dan. Sesuai rencana, aku menyalin jawaban temanku. Untungnya aku punya teman yang bisa diandalkan. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung ke rumah sakit untuk menjenguk Mitha, lagi. Aku di depan kamar Mitha. Seperti biasa, aku mengetok pintu dulu sebelum masuk. “Tok…tok…” Setelah kutunggu, pintunya tidak terbuka. Apa mungkin pintunya tidak dikunci? Lebih baik kudorong saja pintunya. “Ngeeek.” Terbuka. Ternyata memang benar, pintunya tidak dikunci. Aku pun masuk begitu saja ke kamar Mitha, seolah-olah kamar itu kamarku sendiri. Di dalam, aku tidak melihat siapapun kecuali Mitha, yang sedang tidur. Biasanya dia ditemani Ayu atau temannya yang lain, tapi sekarang hanya ada aku dan dia disini. Aku melihat muka Mitha. Ini pertama kalinya aku melihat dia tidur. Mukanya kelihatan seperti anak kecil kalau tidur, polos dan manis. Membuatku ingin pemilik wajah itu menjadi milikku. Tiba-tiba, keinginan untuk mencium bibirnya yang mengkilap melintas di pikiranku. Apa ini harus kulakukan? Haruskah aku menciumnya? Kurasa aku harus, karena kesempatan seperti ini sangat mungkin tidak akan ada lagi. Terlebih lagi, siapa tahu ini ciuman pertamanya. Daripada dia dicium laki-laki lain, lebih baik aku yang menciumnya. Perlahan-lahan, aku mendekatkan bibirku ke bibirnya. Sebenarnya, aku masih merasa takut kalau sampai dia bangun dan berpikir kalau aku mau mencabulinya. Tapi aku harus berani. Ingat: kesempatan seperti ini sangat mungkin tidak akan ada lagi. Jarakku dengan bibir Mitha makin dekat. Hanya tinggal beberapa milimeter lagi, bibirku akan menyentuh bibirnya. Tapi aku berhenti, menjauh dari mukanya. Memang iya kesempatan seperti ini sangat mungkin tidak akan ada lagi, tapi lebih baik kalau dia rela kucium. Mungkin iya aku senang kalau aku berhasil menciumnya, tapi dia belum tentu senang kalau kucium dengan cara seperti ini. Aku ingin aku dan dia sama-sama senang. Tidak lama setelah percobaan mencium tadi, Mitha bangun, melihat aku duduk di sampingnya. “Eh, mas Deni…maaf mas tadi tidur. Udah lama disini?” Dia sepertinya kaget begitu dia tahu aku ada di sampingnya. “Ah, gak juga. Baru lima menitan.” Aku menyanggah, sambil menggelengkan kepala untuk membuat dia yakin. “Gimana mit, lukanya? Masih sakit?” “Udah nggak kok. Ngomong-ngomong, mas Deni udah sering kesini ya.” “Masa?” Ake menyanggah lagi, kali ini supaya dia tidak curiga. “Beneran kok, mas udah sering kesini.” Begitu Mitha menyelesaikan kalimatnya, alam memanggilku. Untunglah. Aku jadi punya alasan untuk pergi sebentar. “Mit, aku ke kamar mandi dulu ya.” “O, iya mas.” Sekitar satu menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Mit-” “Emm, mas.” Mitha melirik ke arah resleting celanaku yang masih terbuka. Spontan, tanganku langsung memegang resleting itu. Tapi tanpa sepengetahuanku, tangan mitha tiba-tiba memegang tanganku. “Gak usah ditutup mas.” Tunggu. Apa mungkin dia…? “Aku-” Kali ini badanku bergerak secara spotan, dan membuat kalimatnya terpotong, seolah tidak mengingat prinsipku tadi. Badannya kurebahkan di ranjang. Bibirnya kusambar. Lembut rasanya, kurang lebih seperti lapis legit. “Mmmmmh!?” Badannya terasa sedikit kaku. Mungkin dia tidak menyangka aku akan melakukan ini. “Nnnnh…ah…cup…haaah…” Mitha mulai mendesah. Seksi sekali suaranya. Aku harus lebih agresif. Sekarang tidak hanya bibirku saja yang bermain. Lidahku kumasukkan ke dalam mulut Mitha yang kecil. “Mmmh…haaa…aaah…” Lidahku kumasukkan lebih dalam lagi ke mulutnya, sambil menari di atas lidah Mitha untuk membuatnya menikmati ini. “Mmmmph…nnngh….aaah…” Berhasil. Lidahnya bermain dengan lidahku sekarang, seperti ular yang mencoba melilit satu sama lain. Di sisi lain, air liur kami bercampur. Menambah kadar sensasi kenikmatan yang menyerangku. “Nnnnh…haaa…tunggu…berhenti sebentar…mas…” Aku berhenti menciumnya. “Kenapa?” “Aku lepas baju dulu mas. Biar mainnya lebih enak. Mas juga lepas baju dong.” “Eh, yakin? Nanti kalau ada orang masuk gimana?” “Nggak akan ada kalau sekarang mah. Kalau tetep ngerasa gak nyaman, kunci pintu sama tutup gorden aja.” Untuk jaga-jaga, aku mengunci pintu dan menutup gorden. Setelah itu, aku dan Mitha melepas semua kain yang menutupi badan kami. Saat aku melihat Mitha telanjang, aku hanya bisa kagum, speechless. Dan tentu saja, tititku berdiri. Dadanya besar, perutnya tidak menimbun banyak lemak, dan pantatnya berisi. Sempurna. Benar-benar sempurna. “Mas, jangan bengong aja.” “O, iya iya.” Kami berdua naik ke atas ranjang. Sekarang Mitha duduk tepat di depanku. Tanpa komando, aku kembali menyambar bibirnya dan meremas dadanya dengan pelan. Benar-benar kenyal rasanya. Luar biasa. “Nnnnh…haaa…cup…mmmh…” “Mit…ukuran lingkar dadamu berapa sih? Kok besar banget?” “Mmmh…mau tau aja…” “Iya…aku emang pingin tahu…” “89 cm.” Wah. Di luar dugaan. Perkiraanku tidak meleset. “Pantesan gede…kenceng lagi. Tapi enak kok.” Aku berhenti menciumnya. Bibir dan lidah kami berpisah. “Aaah…mas Deni.” “Aku kenyot ya. Aku pengen tahu rasanya ngenyot dada.” “He eh mas. Kenyot aja sampe puas.” Mataku langsung melirik ke putingnya yang secil berwarna pink. Lucu sekali. Membuatku makin ingin memainkannya. Puas melihatnya, mulutku langsung melahapnya. Lidahku pun juga kujulurkan untuk menyerang bagian puting. “Ah…yaaa…terus mas…” “Gimana rasanya?” “Geli, tapi gelinya enak banget mas.” Aku terus menjilat putingnya. Kadang badan Mitha pun menggelinjang, seolah-olah dia disetrum. Benar-benar menggairahkan melihat dia seperti itu. “Haah…aaah…ya…” Desahan seksi terus keluar dari mulutnya. Aku jadi makin tidak karuan mendengarnya. “Mas, enak banget…aaah…” “Oh ya. Kamu udah pernah main kayak gini belum?” “Belum mas…aaah…pacar-pacarku…yang dulu…pada gak suka main kayak gini.” Bodoh. Benar-benar bodoh. Dia sudah di sia-siakan. “Kalau gitu ini pertama kali?” “Aaaah…ya. Mas Deni yang pertama…” Wah. Dapat durian runtuh aku. Asik. “Aaaah…ah…ah…mas…aku mau…aaaaaah!” “Ada apa?” “Aku…sampe mas…” “Kita ganti posisi ya. Kamu rebahan sekarang.” “Jangan buru-buru dong mas. Aku jaga mau dapet jatah.” “Okelah. Nih kalau mau.” Kami berdua turun dari ranjang. Aku berdiri, sambil menunjukkan tititku yang menegang persis di depan matanya. “Wah, jadi kayak gini yang namanya titit.” Tanpa perintah, dia melahap titiku, dan menggerakkannya maju mundur. “Mmmmh…ssssp…cup…” Sebuah sensasi luar biasa mulai menjalar di tititku. “Nnnnh…cup…nnnh…gimana…rasanya…mas?” “Mantap…” “Kalau…mmmh…mau keluar…keluarin…sppph…aja…di mulutku…” “Waduh…beneran nih?” “Iya…sssph…aku…mau tahu…cup…rasanya sperma…nnnh…” “Kalo gitu, terusin dong. Enak banget nih…” Kali ini, mulutnya lebih cepat. “Sppph…nnnh…cup…sppph…nnnh…” “Ya…terus…” “Nnnnh…cup…nnnnh…nnnnnh…sssph…” “Haah…mit…aku mau…” Belum sempat menyelesaikan kalimatku, spermaku keluar di mulutnya. “Haaah…enak banget mit…gimana rasanya spermaku?” “Agak lengket di tenggorokan. Tapi enak!” Memang tadi rasanya benar-benar enak, tapi aku tidak mau berhenti sampai disini. “Lagi yuk. Sekarang yang beneran.” “Nah, itu yang aku tunggu dari tadi mas.” Mitha rebahan di kasur, dan membuka pahanya lebar-lebar. Sekarang aku melihat ke vaginanya. Bersih, tidak ada bulu sama sekali. Hmmm, kira-kira kenikmatan seperti apa yang akan diberikan lubang ini padaku? “Ayo mas…” “Siiiap.” Aku mengarahkan tititku ke vaginanya, dan menggerakkan pinggulku. Sekarang kepala penisku sudah masuk ke dalam. Benar-benar basah dan lembek rasanya. Tapi di dalam sana ada yang menghalangi laju penisku. Oh iya, benar juga. Dia belum pernah main sebelumnya. “Kamu kan masih perawan. Gak apa-apa nih?” “Aku rela kok keperawananku diambil mas Deni.” “Haaah.” Aku menghela nafas, untuk menenangkan diriku. “Oke. Kalau sakit bilang ya. Siap…satu…dua…” “Bles!” Aku mendorong tititku sekuat tenaga, dan selaput dara yang tadi menghalangiku sudah kusobek. Darah perawan pun mulai merembes keluar dari vaginanya. “Maaas…sakiiiiit…” Mitha menangis sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Kelihatannya dia benar-benar kesakitan. “Tahan ya mit.” Aku mengecup bibirnya sambil mengelus rambutnya yang halus. Semoga dia bisa cepat terbiasa. “Jangan digerakin dulu ya mas. Masih sakit…” Aku hanya mengangguk untuk menjawabnya. Di saat yang bersamaan, sebuah sensasi nikmat yang belum pernah aku rasakan terasa di tititku. Vagina Mitha yang basah meremas-remas tititku, seolah-olah hendak memerah spermaku. Tapi sensasi itu harus bisa kutahan selama mungkin. Aku tidak boleh mengecewakan Mitha. “Mas, gerakin aja sekarang…” “Kamu yakin?” “Gak apa-apa mas…” “Ya udah…” Aku mulai menggerakkan tititku maju mundur. Seiring aku bergerak, vagina Mitha yang tadi masih perawan meremas-remas tititku. Geli dan enak rasanya. “Ah…ah…ah…” Luar biasa. Vaginanya yang basah dan lembek terus memijat-mijat penisku. “Rasanya gimana mit?” “Ah…ah…ah…ah…enak…lebih cepet lagi mas…” Penisku kugerakkan lebih cepat. Dan sensasi nikmat yang kudapat dari vagina Mitha makin menyelimuti seluruh permukaan penisku. “Iya…ah…ah…bagus mas…ah…ah…ah…aaaaaaaah!” Vaginanya menjadi lebih basah begitu dia berteriak. Aku senang aku bisa membuatnya orgasme. “Ah…ah…ah…ayo mas…bawa aku ke surga lagi…” Sensasi yang sedang kurasakan membuat nafasku makin tidak karuan. “Aaaah…ah…ah…ah…ah…ah…ah…ah!” “Mitha…” Tiba-tiba, aku merasa spermaku mendesakku untuk mengeluarkannya. “Haah…haah…mit…aku mau…keluar…” Gerakan penisku jadi makin tak terkendali. Aku sudah mencapai batasku. “Ah…ah…ah…Mitha…aaaah!” “Crot…crot…crot!” Kusemburkan spermaku di dalam vagina Mitha. Semburannya kuat. Rasanya benar-benar nikmat, jauh lebih nikmat daripada saat onani. Mungkin jangan kucabut tititku dulu. Aku masih mau merasakan sensasi tiada dua ini. “Maaas…enak banget…” “Mitha, kamu mau gak jadi pacarku?” “Kenapa enggak mas? Mitha juga mau jadi pacar mas Deni.” Kami kembali berciuman, dan kali ini aku juga memeluknya. Badan kami pun masih bersatu. Haaah, apa mungkin in bisa disebut surga dunia? Karena kenikmatan yang kudapat benar-benar luar biasa. Sudah dua bulan berlalu sejak aku main dengan Mitha di rumah sakit. Dan sudah dua bulan juga aku menjadi pacar Mitha. Untung waktu itu di rumah sakit tidak ada yang tahu kalau aku ngentot Mitha, dan sampai sekarang hanya kami yang tahu tentang hal itu. Ini rahasiaku dan Mitha. Ngomong-ngomong, aku tahu kalau mahasiswa laki-laki biasanya menjadikan mahasiswi atau murid perempuan sebagai pacar, tapi aku tidak berkecil hati. Karena menurutku, selama ada perempuan yang setia denganku, itu tidak masalah.