Bale Bambu Saksi Bisu Persetubuhanku
Semenjak pengalamanku menyetubuhi Ifa tetanggaku yang berstatus istri orang, yang aku kisahkan di sini https://www.semprot.com/threads/966714?, aku semakin terobsesi untuk mencari sasaran lain untuk memuaskan libidoku yang tinggi. Kali ini sasaranku juga istri tetanggaku yaitu Hesti. Hesti seorang ibu satu anak berusia 3 tahun. Usianya kutaksir baru sekitar 25 tahunan. Berbeda dengan Nanik yang tergolong type STNK (Setengah Tua Namun Kenyal), Hesti jauh lebih muda. Hal ini terlihat dari tubuhnya yang ramping dengan kulit yang masih kencang. Perawakan Hesti cukup mungil dengan tinggi hanya 150 an cm dengan rambut ikal sepunggung. Namun ada aset milik Hesti yang sering membuatku menelan ludah jika melihatnya. Dengan tubuh semampai, Hesti memiliki ukuran payudara yang cukup besar dengan bentuk bulat sempurna. Hal ini terlihat jelas karena ia sering mengenakan kaus ketat di lingkungan rumahnya. Dan ia pun memiliki bentuk bokong yang sama bulatnya. Intinya, Hesti memiliki body yang cukup aduhai. Tampaknya ia cukup pandai merawat diri. Sungguh beruntung lelaki yang mampu meyetubuhinya. Di lingkungan tempat tinggal kami, Hesti dan suaminya masih menumpang di rumah kedua orang tuanya. Hesti dan suaminya sama-sama bekerja. Menurut informasi yang aku dapatkan dari istriku, Hesti bekerja sebagai staf administrasi di suatu perusahaan di Kelapa Gading. Sedangkan pekerjaan suaminya, aku tidak tahu. Lagi pula ngapain aku cari informasi tentang suaminya? Hehehe. Hesti memiliki dua orang adik perempuan yang tidak kalah cantiknya. Kiki yang berusia 22 tahun dan baru saja lulus kuliah dan Maya yang baru berusia 17 tahun, masih duduk di kelas 3 SMU. Dengan kedua adiknya ini aku pun nantinya memiliki kisah tersendiri yang akan aku ceritakan di bagian yang terpisah. Hubunganku dengan Hesti memang tidak terlalu dekat, namun kami sering saling menyapa apabila berpapasan di jalan. Dan anaknya pun sering bermain dengan anakku. Ia type wanita yang ramah dan supel. Untuk berangkat bekerja Hesti menggunakan sepeda motor matic nya. Ia berangkat sendirian. Tampaknya tempat kerjanya dan suaminya, berbeda arah, sehingga mereka menggunakan sepeda motor masing-masing. Dan ini menyulitkan ku untuk melakukan pendekatan padanya. Tak bisa kulakukan lagi cara pendekatan yang sama dengan Nanik yaitu beralasan berangkat bareng-bareng. Aku harus putar otak untuk bisa medekatinya. Namun yang namanya rejeki kadang datang tiba-tiba. Pagi itu aku sedang memanaskan mesin motorku dan bersiap untuk berangkat kerja. Ketika itu kulihat Hesti berjalan kaki ke ujung gang untuk berangkat kerja. Koq, tumben gak bawa motor? Gumanku dalam hati. Karena hari itu hari Jumat, kulihat penampilan Hesti cukup kasual. Dengan setelan celana jeans warna hitam dan blouse batik sebagai atasan, tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang aduhai. Bentuk dadanya yang membusung kedepan dan bokongnya yang melenggak-lenggok kekanan ke kiri dengan indahnya. Bergegas ku ambil helm serta jaket dan buru-buru pamit pada istriku untuk berangkat kerja. Kuikuti Hesti dari kejauhan. Dan begitu sampai di ujung gang segera kuhampiri dia. “Lho koq ga bawa motor mbak Hesti? Mau kerja ya?” “Iya mas, kebetulan motorku lagi di pinjem adik untuk interview. ” ” Oh begitu…..” ” Mbak Hesti kerja di Kelapa Gading khan, Kebetulan aku lagi ada urusan ke Sunter dan lewat kelapa gading. Bareng aja yuk.” Ajakku Sebenarnya alasanku ke Sunter hanya akal-akalan ku saja agar aku bisa ada alasan mendekatinya, kalo aku bilang mau ke Kelapa Gading, nanti terbaca donk niatku sesungguhnya. Hehehe Hesti tampak ragu dengan ajakanku “Gak usah deh mas, aku naik angkot saja, lagi pula saya gak bawa helm.” “Udah gak apa apa Mbak, kalo pagi gini khan polisi belum ada. Masih pada tidur'” candaku. Akhirnya ia luluh dengan ajakanku dan segera naik ke atas motorku. Motor ku berjenis motor sport sehingga posisi duduk pembonceng agak menunduk dan tentu saja ini memberikan manfaat tambahan bagiku. Untuk mengantisipasi hal tersebut Hesti menempatkan tasnya diantara posisi dudukku dengan duduknya. Namun tetap saja sesekali, tonjolan payudara nya menyentuh punggungku. Kulajukan sepeda motorku dengan santai agar aku punya waktu yang cukup lama untuk ngobrol dengannya. Obrolan kami ringan-ringan saja seputar pekerjaan dan kantornya. Tak lama kami pun tiba di kantornya yang berupa komplek ruko yang terletak tidak jauh dari Mall Kelapa Gading. Setelah Hesti turun dari motorku, ia pun mengucapkan terima kasih “Terima kasih Mas Ardi atas tumpangannya.” “Iya sama-sama Hes.” Karena sudah mulai akrab, aku pun tidak lagi memanggilnya Mbak. Itupun karena Hesti yang memintanya. “Oya nanti pulang bareng yuk. Aku pulang dari Sunter sore hari, kamu pulang jam berapa?” “Aku pulang jam 5 sore sih mas, tapi gak usah repot – repot, aku naik angkot aja, nanti merepotkan mas Ardi lagi.” Elaknya. ” Enggak merepotkan koq Hes, daripada kamu naik angkot kemaleman sampe rumah.” ” Nanti jam 5 aku tunggu di sini ya,” Desakku. “Ya udah deh mas, tapi bener gak ngerepotin khan?” Tanyanya lagi. “Enggak koq tenang aja.” ” Oya aku minta pin BB donk biar nanti gampang ngabarin kalo sudah sampai.” Dia lalu menyebutkan serangkain huruf dan angka Pin BB nya “Ya udah aku masuk dulu ya mas.” “Ok Hes. Selamat bekerja ya.” Hesti pun tersenyum manis padaku Aku segera melajukan motorku dengan cepat ke arah kantor ku di Sudirman, Sudah pasti terlambat ini. Tapi ya sudahlah, tinggal nanti cari alasan kenapa terlambat sama si boss. *** Pukul 4 sore, aku buru-buru menuju mesin absen finger scan dan keluar dari kantor secepatnya. Segera ku menuju ke parkiran motor dan melaju ke Kelapa Gading untuk menjemput Hesti, sang wanita idaman lain.hehehe Pukul 4. 40 aku pun tiba di Kelapa Gading. Aku sengaja menunggunya agak jauh dari kantornya agar tidak menimbulkan gossip dari rekan-rekan kerjanya. Segera ku kirim pesan via BBM yang mengabarkan keberadaanku. Tak lama BBM itu pun berbalas kalo ia sedang membereskan pekerjaannya dan bersiap pulang. Tak lama masuk lagi BBM darinya. Kali ini Hesti mengabarkan kalo ia harus mengikuti meeting mendadak dengan pimpinan karena ada kekacauan sytem administrasi yang terjadi di bagiannya. Dia mempersilahkan aku untuk pulang saja dan tidak usah menunggunya karena dia tidak tahu jam berapa meeting akan selesai. Tapi aku meyakinkan dia kalo aku akan tetap menunggu saja. Kasian juga kalo dia harus pulang malam naik angkot. Padahal sih dalam hati karena ada maunya.hehe Aku pun kembali menunggu di dekat sebuah kios rokok di pojokan tempat parkir komplek ruko tersebut. Untuk membunuh waktu, aku pun ngobrol dengan tukang parkir dan penjaga kios rokok tersebut. Pukul 19.30, masuk BBM yang mengabarkan kalo Hesti sudah menyelesaikan meeting dengan pimpinannya dan sebentar lagi akan keluar kantor. Aku pun memberi tahu dimana posisiku. Tak lama sosok Hesti terlihat keluar di sertai dua orang temannya. Setelah berpisah dengan teman-temannya, Hesti lalu berjalan menghampiriku di kios rokok. “ih mas Ardi sudah dibilangin pulang saja, masih aja nungguin aku,” gerutunya tapi sambil tersenyum. “Biarin, abis nya kasian ngeliat kamu cantik-cantik malam-malam naik angkot.” Ujarku sambil memujinya. Hesti sedikit tersepu mendengar pujianku “Ih mas Ardi bisa aja, cantikan juga mbak Santi,” ia menyebut nama istriku. Aku hanya tertawa saja menanggapinya. “Ya sudah pulang yuk,” ajakku padanya. Segera kupakai jaket serta helmku dan menyalakan mesin motor, Hesti pun segera menaiki jok motor. Akupun mulai melajukan motorku ke arah tempat tinggal kami. Kursakan hawa malam itu begitu dingin dan udara terasa lembab, tanda-tanda akan turun hujan. Dan benar saja, ketika aku melaju di jalan Pegangsaan Dua, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, hujan turun dengan derasnya, secara tiba-tiba. Aku pun segera berusaha mencari tempat berteduh. Tak lama aku pun menemukan sebuah warung yang sudah tutup dengan teras yang cukup untuk kami berteduh. Warung itu letaknya cukup tersembunyi dan tidak ada penerangan di terasnya. Penerangan hanya dari kendaraan yang lewat dan sedikit cahaya dari lampu merkuri penerang jalan. Aku dan Hesti setengah berlari menghindari hujan menuju teras warung tersebut, sedang motorku kubiarkan di bawah guyuran hujan. Karena terlambat mencari tempat berteduh, kulihat pakaian Hesti sudah cukup basah terkena guyuran Hujan. Sedang aku, karena mengenakan Jaket kulit, hanya celana ku saja yang basah. Segera kulepaskan jaket yang kukenakan, dan kukibaskan agar air yang menempel di bagian luarnya mengering. Kusampirkan jaketku di pundak Hesti yang kulihat mulai menggigil kedinginan. Tangannya menyilang di depan dadanya. Kurapatkan jaketku agar ia bisa merasa lebih hangat. Ia melihat ke arahku dan megucapkan terima kasih dengan bibir yang sedikit gemetar menahan dinginnya suhu udara malam itu. Ku perhatikan keadaan warung tersebut. Warung semi permanen itu dibangun dengan setengah tembok, setengahnya lagi kayu. Lantainya terbuat dari adonan semen dan pasir saja yang tidak di beri ubin . Kulihat kondisinya mulai sedikit berdebu, tampaknya warung ini sudah cukup lama tutup, mungkin karena bangkrut. Memang kulihat di sekitar warung tersebut suasananya cukup sepi, di sebelah kirinya terdapat lahan yang cukup luas yang tampaknya adalah garasi truk-truk ekspedisi yang malam itu terlihat kosong. Di sebelah kanannya adalah lahan kosong yang ditumbuhi ilalang cukup tinggi. Cukup lama kami berteduh di teras warung tersebut, hujan turun semakin deras disertai kilat dan petir. Hesti sering terpekik kala kilat menampakkan cahayanya di langit disertai suara petir yang menggelegar. Posisi berdirinya didekatkannya padaku. Aku pun berinisiatif setengah memeluknya dari belakang. Awalnya aku hanya memegang pinggangnya tetapi lama kelamaan aku pun melingkarkan tanganku di depan perutnya. Entah karena terbawa suasana atau kedinginan, Hesti mendiamkan saja perbuatanku itu. Kepala dan punggungnya malah di sandarkan ke dadaku. Aku terus memeluknya dari belakang sambil melihat ke arah jalan raya di mana lalu lintasnya semakin sepi. Sudah satu jam kami berteduh di tempat tersebut. Tidak ada satupun dari kami yang besuara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sambil memeluknya dari belakang, aku mencium wangi harum rambutnya yag tergerai basah. Karena posisi kami yang berhimpitan, mau tidak mau batang kemaluanku menempel di bongkahan pantatnya yang cukup kenyal. Dan sesekali bergesekan. Lama kelamaan hasrat kelelakian ku pun bangkit. Kejantananku sedikit demi sedikit mengeras di balik celana jeansku. Hesti tampaknya menyadari perubahan biologis di tubuhku itu tetapi ia hanya melirikku sekilas sambil tersenyum. Merasa mendapat lampu hijau aku mulai berani untuk berbuat lebih. Segera kususupkan tanganku ke balik blus batiknya dan mengusap usap dengan halus dinding perutnya. Kurasakan otot-oto perut yang cukup liat dengan kulit yang halus. Bener-benar aduhai bodi si hesti batinku.Hesti sedikit mengelinjang ketika telapak tanganku menyentuh kulit perutnya. Karena malam makin dingin dan hasrat kelelakianku terus bergejolak, ku beranikan diri tanganku main lebih ke atas. Dengan cepat kususupkan ke balik bra yang dikenakannya. Hesti cukup kaget dengan apa yang kulakukan dan berusaha berontak dan menepis kedua tanganku, tetapi dengan tidak kalah cekatan, aku memeluknya lebih keras dari belakang dan kedua telapak tanganku mencengkram dengan cukup kuat payudaranya. Kurasakan payudara itu memiliki daging yang begitu kenyal dan terasa tonjolan puting susu yang makin mengeras. Segera saja aku mengusap usap puting dan payudara Hesti dengan telapak tanganku. Akhirnya pertahanan Hesti pun melemah, nafasnya mulai tersengal-sengal. Kuciumi leher jenjangnya dan ia pun menggelinjang sambil merintih tertahan “aaahhhh….” Karena tubuh Hesti yang menggelinjang, tubuhku pun sedikit terdorong ke belakang dan tersandar pada pintu warung. Tiba-tiba kunci pada pintu warung itu terlepas di karenakan dudukan kayu tempat kait gembok pengunci warung tersebut sudah lapuk termakan rayap. Pintu warung itu pun terdorong sedikit terbuka. Aku segera menghentikan kegiatanku dan segera menarik kedua tanganku dari balik bajunya. Segera kuambil senter kecil yang selalu kubawa dari kantong jaketku. Kudorong pintu warung itu agar terbuka lebih lebar, dan segera kusinari seisi ruangan itu dengan cahaya senterku. Ruangan di dalam warung itu berukuran 3 x 3 meter. Di dalamnya sudah kosong hanya ada sebuah lemari kaca yang sudah usang, mungkin bekas tempat meletakan barang dagangan. Sebuah bangku kayu seperti bangku yang biasa kita temui di sekolah dasar dan di pojokan ada sebuah bale/dipan yang terbuat dari potongan-potongan bilah bambu berukuran 1,5 x 2 m. Ruangan itu sedikit berdebu dan di langit-langit kutemukan fiting lampu yang berisi bohlam kecil berdaya 5 watt dan saklar model tarik. Ku tarik saklar tersebut dan ternyata lampu itu masih menyala, entah mendapat pasokan listrik dari mana, mungkin ada sambungan dari garasi truk di sebelahnya. Ruangan itu menjadi lebih terang walau cahayanya masih temaram. Suhu dalam ruangan tersebut lebih hangat di banding di luar. Segera saja Hesti kuajak masuk ke bagian dalam warung. Hesti agak ragu, tetapi kutarik lengannya agar ia segera masuk. Jauh lebih baik dan hangat di dalam di banding di luar. Hesti meniup sedikit debu yang menempel pada bale-bale dan ia pun duduk di sisi bale tersebut. Aku segera menutup pintu warung dari dalam agar ruangan menjadi lebih hangat, dan aku pun duduk disamping Hesti, lama kami terdiam sambil menelisik dengan seksama keadaan ruangan tersebut. Akhirnya aku teringat akan permainan kami yang terputus di luar tadi. Hesti lalu membuka jaket yang di sampirkan di bahunya dan meletakkan di sandaran kursi kayu. Aku segera menggeser tubuhku dan memposisikan tubuhku berhadapan dengan Hesti. Hesti terlihat cantik di bawah cahaya temaram lampu 5 watt, rambutnya sedikit acak-acakan dan basah. Segera saja kuraih tengkuk Hesti dengan tangan kananku dan mendekatkan wajahnya ke padaku. Segera kulumat bibir Hesti yang telah merekah. Sementara tangan kiriku melingkar di pinggangnya. Cukup lama kami berpagutan dengan posisi duduk saling berhadapan. Aku pun mulai merebahkan tubuh Hesti ke bale-bale sambil mulut kami tetap berpagutan. Kugeser tubuhnya agak ketengah dan ia pun mengangkat kakinya naik ke atas bale-bale. Sudah tak kupedulikan lagi debu tipis yang menempel di bale tersebut. Hasrat kami jauh lebih menggebu di banding debu. Sambil terus mengulum bibirnya, lidahku dengan liar mengeksplore rongga mulut Hesti. Ku susupkan kembali tanganku ke balik blouse nya dan berusaha meraih payudaranya. Kumainkan lagi puting susu itu dengan telapak tanganku walapun blouse dan bra masih menempel di tubuhnya. Namun lama kelamaan posisi itu tidak membuatku nyaman. Kuhentikan pagutan bibirku dan segera kutarik ke atas blouse batiknya. Hesti mengangkat tangannya ke atas dan mengangkat sedikit kepalanya. Blouse itu pun lolos dari tubuhnya. Setelah blouse nya terlepas, segera kuraih kait bara di punggung Hesti. Ia sedikit melengkungkan punggungnya agar tanganku mudah meraih dan melepas kait bra yang dikenakannya. Bra itu pun akhirnya terlepas. Kini tampak di hadapanku tubuh Hesti yang setengah telanjang dengan bentuk payudara yang bulat sempurna dan puting susu yang tidak terlalu besar berwarna coklat muda mendekati merah muda. Sesaat aku terpana dengan keindahan tubuh Hesti. Hesti sadar aku memperhatikan tubuhnya lekat-lekat, ia pun mendekapkan tangannya menutupi payudaranya. Aku segera manarik tangan Hesti ke atas dan menahannya dengan tanganku. Payudara itu kembali mencuat dengan puting susu yang sepertinya menantang untuk di hisap. Segera saja ku dekatkan wajahku ke payudaranya dan ku hisap puting susu payudara sebelah kirinya. Hesti melenguh dan punggungnya melengkung merasakan nikmat dari rangsangan yang kuberikan. Tanganku tetap menahan tangan Hesti di atas. Mulutku terus menghisap puting susu dan memainkan nya dengan lidahku bergantian di kedua payudaranya. Hesti menggelinjang makin hebat, kepalanya tergolek ke kanan ke kiri dengan mulut yang terus meracau menahan nikmat. “Aahhh…..ouuhhh….issshhhh….” Cukup lama aku memainkan kedua payudaranya. Setelah puas aku pun mulai membuka kancing dan retsleting celana jeans Hesti lalu meloloskannya melewati kedua tungkai kakinya. Celana dalam hitam berenda yang dikenakannya kulepas juga. Di hadapanku kini tampak gundukan daging yang ditumbuhi bulu halus yang tersusun rapi. Terlihat garis yang membentuk belahan memeknya berwarna kemerahan. Liang vagina itu terlihat sempit, hampir tidak percaya kalau Hesti sudah pernah melahirkan. Dengan setengah berlutut di hadapannya, Kurenggangkan kedua pahanya dan kudekatkan wajahku ke liang vaginanya. Segera saja ku sapukan dengan lembut lidahku ke liang vaginanya. Hesti kembali menjerit dan punggungya kembali melengkung. Ku mainkan lidahku terus menembus liang vagina. Vagina itu benar-benar rapat dan wangi. Terus saja kusapukan lidakhku menerobos lobang kenikmatannya dan sesekali menyentuh klitorisnya. Hesti terus merintih dan menggelinjang. Liang itu benar-benar basah oleh cairan kewanitaannya. Kurasakan kedutan halus otot-otot vaginanya di lidahku. Setelah cukup lama aku pun bangkit. Sambil tetap berlutut di atas bale aku melepaskan seluruh pakaian dan celana yang ku kenakan termasuk celana dalam ku. Kontolku langsung melejit keluar, tegak mengacung dengan urat-urat yang terlihat menonjol. Hesti sedikit kaget melihat ukuran kontolku. Ia pun bangkit. Sambil duduk bersimpuh di hadapanku, ia mulai memegang dan membelai kantung zakar dan batang penisku. Perlahan di kulumnya batang kontolku. Batang kontol yang cukup besar dan panjang terlihat tidak sanggup dikulum seluruhnya oleh bibir mungil Hesti. Tetapi aku cukup puas karena hisapan dan sapuan lidahnya yang lembut di batang dan kepala kontolku membuat aliran darah semakin deras mengalir ke urat-urat kejantananku. Kontolku pun semakin keras. Cukup lama Hesti menghisap kontolku, akhinya ku cabut perlahan batang kontolku dari mulutnya dan kurebahkan tubuh Hesti ke bale-bale. Kudekatkan kepala kontolku yang sudah basah oleh air liurnya ke arah liang vagina Hesti. Kedua paha nya di renggangkan dan lututnya di tekuk. Liang vagina itu sedikit merekah. Terlihat berwarna merah muda dan berkilat basah oleh cairan yang membanjirinya. Perlahan ku tempelkan kepala kontolku tepat di pintu masuk liang vaginanya. Ku majukan perlahan pinggulku dan kepala kontolku pun meyeruak masuk mencoba menembus pertahanan Hesti. Terasa sempit. Hesti pun seperti nya menahan rasa sakit. Ketika batang kontolku terbenam setengahnya di liang vaginanya. Kucoba memaju mundurkan batang kontolku perlahan. Akhirnya dengan sedikit paksaan, batang kontoku terbenam seluruhnya dalam liang vagina Hesti. Hesti menjerit tertahan merasakan tubuhnya di masuki batang kontol yang cukup besar. “aaacchhhhh…..iiissshhhhttt…..ooouuuuchhhh.” Saking sempitnya, vaginanya terlihat menggembung, sesak menampung batang kontolku. Kudiamkan sesaat batang kontolku di dalam vagina Hesti. Merasakan sensasi kedutan-kedutan halus otot vaginanya yang mencengkram erat seluruh batang kontolku. Sunggung sensasi yang tidak terkira. Perlahan ku maju mundurkan pinggulku lagi dan penisku terlihat bergerak maju mundur di liang vaginanya. Batang itu terlihat basah berkilat dilumuri cairan kewanitaan Hesti. Semakin lama kupercepat gerakan pinggulku dan Hesti pun makin meracau dan merintih merasakan kenikmatan persetubuhan kami. “Aaacchhhhh……ooouuchhhh…..acchhhhh……sssttt……mmmaaaasss….” Terus saja kuhujamkan batang kontolku ke vagina Hesti. Posisiku setengah berlutut di topang kedua tanganku yang diposisikan mengapit kedua payudara Hesti. Daging kenyal itu bergesekan dengan kulit lenganku mencipatan sensasi tersendiri. Payudara itu terus berguncang mengikuti irama sodokan pinggulku. Serunya aktifitas kami di atas bale-bale menciptakan suara berderit yang cukup riuh di ruangan tersebut. Belum lagi suara nafas kami yang memburu dan rintihan serta suara Hesti yang terus meracau, menciptakan suara-suara di malam sunyi itu. Tiba-tiba Blackberry Hesti berdering, Hesti agak kaget. Segera di raihnya Blackberry yang diletakan di dalam tas tak jauh dari tubuhnya. Terlihat nama suaminya di layar BB. Hesti member kode dengan telunjuknya, memintaku agar berhenti sesaat menggenjot tubuhnya. “iya mas…..” jawab Hesti. “Aku masih di jalan, ini lagi berteduh. Aku numpang sama temen naik motor,” Hesti pun berbohong pada suaminya “Iya sebentar lagi aku jalan,” tutupnya. Begitu bunyi percakapan Hesti dengan suaminya di telepon. Ketika menerima telpon, aku tidak menghentikan genjotanku, aku hanya mengurangi temponya, sehingga ia pun berbicara sedikit tertajah agar tidak sampai merintih. Di cubitnya perutku, sambil merajuk. “Hampir aja ketahuan,’ ujarnya lagi. Tidak tampak perasaan bersalah di wajahnya walau vagina yang seharusnya menjadi hak suaminya tengah di masuki oleh kontol tetangganya. Tampak birahinya yang menggebu mengalahkan logika dan akal sehatnya. Segera aku menggenjot kembali pinggulku denga tempo yang lebih cepat. Hesti kembali merintah dan tak lama ia pun menjerit panjang sambil meremas lenganku dengan kerasnya. Di bawah sana terasa kedutan dan otot vaginanyamencengkram makin keras di barengi dengan punggungnya yang sedikit melengkung menahan ledakan kenikmatan yang dirasakannya. Hesti mencapai klimaksnya. Melihatnya mengalami orgasme aku pun makin mempercepat tempo permainanku. Sudah 40 menit aku menggempurnya dengan posisi misionaris. Tak lama, pertahananku pun mulai jebol. Tempo sodokanku makin cepat lagi. Tubuhku mengejang dan pinggulku kudorong kuat kuat sehingga kantong zakarku membentur bibir vaginanya. Ujung penisku pun terasa menyentuh mulut rahimnya. Spermaku menyemprot dengan deras ke dalam liang vaginanya. Batang kontolku berdenyut dengan kerasnya. Hesti merasakan sensasi kenikmatan yang tiada tara. Matanya terpejam, mulutnya setengah terbuka. Suara rintihan tertahan keluar dari mulutnya seiring sensasi aliran lava hangat yang mengalir ke dalam tubuhnya. Tangannya tiba-tiba mencengkram tengkukku dan menarik wajahku mendekat padanya. Dilumatnya bibirku dengan liarnya. Digigit-gigit juga bibir bawahku dan lidahnya menyapu liar setiap sisi rongga mulutku. Terlihatlah sisi liar Hesti. Tubuh kami berhimpitan, tubuhku masih menindih tubuhnya. Payudaranya yang cukup keras tertindih dadaku. Keringat kami bercampur jadi satu. Cairan kelamin kami pun berpadu di liang vagina Hesti. Batang kontolku masih tertanam seluruhnya. Otot vagina Hesti mencengkram dengan erat sepertinya enggan melepaskan batang kontolku. Hujan di luar makin reda seiring berakhirnya pertempuran kami. Suhu ruangan tidak lagi dingin namun panas diiringi suara nafas yang terengah-engah. Perlahan aku melepaskan bibir Hesti dan mengeluarkan batang kontolku dari vaginanya. Terlihat batang kontolku sangat basah. Dan kulihat lubang memeknya yang tadi sempit kini merekah seperti bunga dan terlihat lelehan cairan putih spermaku. Aku pun bangkit berdiri dan mulai berpakaian. Hampir satu jam kami bersetubuh di warung itu. Hesti tampaknya benar-benar kepayahan. Aku pun membantunya untuk bangkit dan mengenakan pakaiannya. Kepalanya di sandarkan di bahuku dan kupapah tubuhnya menuju motor yang terpakir di luar. Dengan lembut Hesti mencium pipiku sambil berbisik “Besok lagi ya mas………” Tamat