CERBUNG – RANJANG SIANG RANJANG MALAM

BAGIAN 1
RAMBYANG “Anut runtut tansah reruntungan,
munggah mudhun gunung anjlog samudro.” Rima Nur Agustin membasuh keringat di dahinya. Wanita jelita yang mungil itu mendongak menatap langit, bertanya-tanya kenapa pagi ini panasnya jauh lebih menyengat dari hari-hari biasa. Kok bisa ajaib begini ya? Jam masih belum beranjak masuk ke siang tapi panas sudah seperti membakar. Rima sungguh tidak habis pikir, padahal ini masih sangat pagi lho, kok sudah panas seperti ini? Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan orang-orang mengenai pemanasan global, efek rumah kaca di bumi mulai membuat hawa dan cuaca menjadi tidak menentu dan tidak bisa diperkirakan. Si cantik itu pun menggoyangkan sedikit ujung atas kerudung hijab yang ia kenakan – seakan-akan itu akan memberikan efek sepoi sesaat yang sanggup menjadi pengobat sejuk di hari yang gerah. Berhasilkah? Hahaha, ya jelas tidak. Rima tertawa kecil, wajah jelitanya memamerkan deretan gigi rapi nan apik menghias senyum yang selalu merekah seakan-akan si pemilik wajah nan ayu itu selalu memancarkan keceriaan. Si cantik yang seakan-akan tidak pernah sedih itu lantas melanjutkan pekerjaannya pagi itu. Tidak pernah sedih? Hmm, justru yang selalu tersenyum biasanya menyimpan banyak hal yang tak terungkapkan. Meski cuaca panas dan matahari bersinar kelewat cerah, tapi itu tidak menghapus senyum merekah di bibir sang wanita mungil yang senyumnya membiaskan pesona nan mampu meruntuhkan kekukuhan pria yang mana saja. Si cantik itu dengan bahagia merapikan tanaman-tanaman yang sangat ia sayangi di halaman depan rumah mungilnya. Ia juga tidak merasa risih dengan pakaian tertutup dan sopan yang menangkup tubuh indahnya. Pakaian itu ia kenakan dengan bahagia meski panas terik mentari pagi menyapa. Memangnya apa yang dikenakan Rima? Rima mengenakan baju ganda – pakaian olahraga santai didobel dengan kaus gedombrangan yang adem yang dikenakan salah satunya untuk melindungi bagian membusung di depan dan belakang tubuh indahnya dengan nyaman dan memberikan kesan sopan, sementara celana olahraga warna hitam yang tidak terlalu ketat dan masih terlihat sopan melindungi kakinya yang jenjang dari pandangan orang-orang yang akhlaknya dipertanyakan. Apa sih yang sedang dilakukan Rima di halaman depan rumahnya dengan kostum semacam itu? Si cantik itu sedang memindahkan tanaman sayur kebanggaannya dengan menggunakan pot. Setelah sebelumnya melakukan proses pembibitan, Rima memilih hasil dari pembibitannya untuk dipindahkan ke dalam pot yang berbeda supaya bisa tumbuh lebih baik lagi. Ia memilih bibit-bibit yang paling sehat dan segar untuk dipindahkan ke dalam media tanam yang sudah disiapkan. Pemindahan dilakukan secara hati-hati supaya tidak ada bibit yang rusak. Upaya pembibitan dilakukan di wadah yang berbeda sebelum dipindahkan ke dalam pot, biasanya Rima akan menggunakan wadah plastik dan menuang media tanam ke dalamnya. Tentu saja tidak semua tanaman diperlakukan sama. hanya benih-benih tertentu saja yang melalui proses pembibitan. Benih-benih yang melalui proses pembibitan adalah benih berukuran mini, seperti misalnya tomat dan cabe. Kenapa harus dilakukan proses pembibitan? Untuk mengurangi kemungkinan benih gagal berkembang. Setelah menyiapkan wadah pembibitan, Rima membuat lubang-lubang kecil dengan kedalaman sekitar satu sentimeter sebagai lokasi penempatan benih. Benih yang sudah dimasukkan ke dalam lubang lantas ditutup dengan pupuk kompos dengan ketebalan yang sesuai. Setelah itu tentu saja benih harus disiram secara berkala dengan merata. Sudah ditanam masa tidak disirami? Rima seringkali harus melakukan perawatan ekstra agar tidak ada serangan semut atau serangga lain yang akan merusak benih pada media tanam. Setelah penanaman benih, bibit-bibit itu baru akan dipindahkan ke dalam pot setelah muncul daun yang menyeruak mungil menandakan si benih sudah mulai tumbuh dan berkembang. Itulah yang ibu muda jelita itu lakukan hari ini. Bagi Rima, munculnya daun ibarat munculnya harapan, akan ada yang baru dan terlahir di setiap harinya. Akan ada positif di setiap negatif yang hadir, di setiap harinya. Akan selalu muncul matahari terbit setelah malam bertandang, di setiap harinya. Rima tersenyum. Mudah-mudahan seperti itu. Di setiap harinya. “Senyum-senyum sendiri, Ma? Istriku belum gila kan?” “Haish, apaan sih.” Rima tertawa, ia kembali menghapus keringat di dahinya yang menetes segede-gede jagung. Suami Rima berdiri di teras rumah, tak jauh dari posisi sang istri mengerjakan hobi tanam menanam. Ia sedang bersiap-siap untuk jalan ke kantor pagi ini. “Duh Mama sampai keringetan begini.” Ryan Setyawan jongkok untuk mendekatkan dirinya pada sang istri. Posisi teras memang setingkat lebih tinggi dari halaman tempat Rima sedang duduk. Suami Rima yang berwajah tampan itu mengambil handuk kecil berwarna putih yang diletakkan di tempat duduk di teras dan menggunakannya untuk menghapus keringat di wajah sang istri. Ryan melakukannya dengan perasaan sayang dan hati-hati sekali, seakan-akan Rima adalah porselin mahal yang mudah pecah. “Rima Nur Agustin… tahukah kamu kalau aku sayang banget sama kamu? Jangan terlalu lelah bekerja, terutama kalau aku sedang hendak bepergian keluar kota.” Rima tersenyum cerah sembari mengangguk. “Mas Ryan, suamiku, Papa-nya buah hati tercintaku. Aku juga sayang banget sama kamu. Tapi kenapa pagi-pagi begini sudah ngegombal? Apa pengen minta dimasakin sesuatu jadi segombal ini? Apa Papa diam-diam mau beli action figure yang mahal lagi tanpa persetujuan Mama? Pasti ada udang di balik batu.” Ryan bangkit dari jongkoknya dan tertawa, “Hahaha, Mama ah. Masa mau mesra sedikit tidak boleh? Bukannya bersayang-sayangan malah dicurigai – kan Papa sudah bilang nanti malam bakal berangkat ke luar pulau untuk dinas kantor. Itu sebabnya di hari Jum’at yang cerah ini Papa mau berterima kasih kepada Mama tercinta karena semalam telah diberikan secercah surga di dunia sehingga rasanya rindu kalau sedetik saja tak berjumpa.” Wajah Rima langsung memerah saat mendengar kata semalam. Ibu muda nan cantik itu segera melepaskan sarung tangan plastik yang ia kenakan saat memperhatikan cara berpakaian suaminya yang menurut Ryan sudah rapi jali. “Haish. Papa gombalnya aneh. Malu tahu kalau sampai kedengeran sama tetangga.” Ryan menengok ke kanan dan kiri. “Tetangga yang mana? Kan jauh.” Rima berdiri dan menghampiri suaminya, lalu membenahi posisi dasi yang dikenakan Ryan. “Kalau mau berangkat kerja, pastikan rapi dan wangi. Wanginya sih sudah, tapi rapi-nya belum. Baju sudah bagus, celana, dan gesper semua lengkap… eh lha tapi dasi yang Papa pakai ini kok selalu kemana-mana posisinya. Kalau ga miring ke kiri, ke kanan, atau malah kependekan. Ga boleh ya. Harus yang rapi ya jadi suami Mama Rima. Hihihi.” “Masa sih belum rapi? Padahal tadi sudah bolak-balik ngaca.” Ryan mencibirkan bibirnya tanda kesal. “Untungnya ada Mama. Makasih ya, Ma.” Rima menepuk dada sang suami usai membenahi dasi yang miring kemana-mana tadinya. “Tuh udah.” Ryan tersenyum dan memeluk sang istri, matanya terpejam dan bibirnya monyong ke depan hendak mencium bibir ranum milik wanita jelita yang bertubuh indah di hadapannya. Rima pun langsung melotot! “Eh! Papa apaan sih!” Rima segera mendorong suaminya, “keliatan sama tetangga, tau!” “Hihhihi, becanda, Ma,” Ryan tetap melanjutkan niatnya, tapi hanya untuk mengecup dahi sang istri. Ryan memang tidak serius barusan. Demi apa dia akan mempertaruhkan kehormatan istrinya yang mengenakan kerudung di depan publik seperti ini, meski jalan di depan rumah mereka masih sepi sekalipun dia tidak akan melakukannya dengan ataupun tidak disengaja. Dia sangat menghargai sang istri. Lebih dari apapun. Rima mencibir dan memukul pundak sang suami dengan main-main. “Sudah sana, berangkat. Sudah jam berapa ini? Sekalian mengantar kakak kan?” “He’em.” Ryan melongok ke dalam rumah dan berteriak sedikit kencang, “Kakaaak? Maemnya udah belum? Ayo berangkat sekolah. Papa sudah mau berangkat.” Tidak terdengar suara membalas dari dalam rumah, bahkan tidak terdengar suara apapun. “Kakaaaak?” “Bentar Paaaa.” Akhirnya terdengar suara juga. Tak lama kemudian sesosok tubuh mungil tergopoh-gopoh keluar dari pintu. Wajah tampan Rasya – putra pertama Ryan dan Rima muncul dengan senyum yang ceria. Ia mengenakan seragam sekolah yang imut dengan rompi berwarna biru, warna yang sama dengan tali yang mengikat sepatunya. Tak lupa Rasya juga membawa tas ransel Doraemon di punggung, tumbler tempat minum menggantung, dan tas bekal dijinjing – semua bernuansa biru. “Ayo, Pa. Kakak sudah siap. Mamaaaa, Kakak pergi dulu yaaa.” Putri tertua Ryan dan Rima itu buru-buru menghampiri sang mama dan mengecup punggung tangannya untuk berpamitan, ia juga mengucapkan salam yang langsung dibalas oleh Rima. “Hati-hati ya Kakak, belajar yang pintar. Mama selalu menunggu di rumah.” “Ashyiap, Kakak ayo masuk ke mobil. Berangkat dulu ya, Ma.” Ryan segera mengecup dahi sang istri sebelum masuk ke dalam mobil sembari mengucap salam yang sama. Rima mengangguk sembari tersenyum dan membalas salam sang suami. “Nanti pulang dulu sebelum berangkat kan?” “Mudah-mudahan sih gitu, tapi tidak tahu nanti kalau ada perubahan acara dari kantor. Bisa-bisa langsung cus ke bandara, biasa kan Pak Bos kadang suka mendadak, udah kek tahu bulet. Kalau bisa repot kenapa harus mudah?” ujar Ryan cengengesan sembari masuk ke dalam mobilnya. Mobil yang dikemudikan pria tampan itu mulai bergetar lembut saat mesin dinyalakan, wajah imut Rasya muncul dari balik jendela kursi depan yang turun perlahan. Bocah itu melambaikan tangan dengan senyum lebar. “Dah, Mama.” “Dah, Kakak. Hati-hati di jalan ya.” Baik Ryan maupun Rasya melambaikan tangan yang dibalas oleh Rima. Mobil itu pun melaju lembut menyusur jalan komplek untuk menuju ke sekolah Rasya yang sejalur dengan kantor Ryan di tengah kota. Ryan dan Rima memang sengaja memilihkan sekolah terbaik yang sejalur dengan kantor Ryan dan tak jauh dari rumah supaya mereka bisa antar jemput Rasya dengan mudah. Rasya akan berangkat dengan sang Papa sementara pulangnya ikut dengan mobil antar jemput sekolah yang akan mengantarkan sampai depan rumah. Rima tersenyum melihat kepergian sang suami dan putra mereka. Setelah apa yang terjadi pada Rama, akhirnya mereka bisa melanjutkan kehidupan mereka dengan lebih normal, terlebih setelah kelahiran Radja. Mereka bisa jadi lebih… lebih… Rama… Hati Rima sedikit tercekat ketika teringat Rama… Ibu muda jelita itu tiba-tiba saja berubah sedikit murung. Untuk pertama kalinya hari ini, wajah penuh senyum Rima berubah menjadi wajah yang murung dan gelap. Tangan sang ibu muda jelita itu pun mendesak dan memukul pelan dadanya, berharap jantungnya akan berdetak dengan lebih tenang saat ia teringat Rama. Tapi tidak bisa. Ia tidak bisa lupa, tidak bisa tidak ingat, tidak bisa tidak sedih, tidakk bisa. Selamanya ia dan Ryan akan merasa bersalah jika ingat Rama. Betapa mereka dulu menangis-nangis di rumah sakit, memohon-mohon pada dokter untuk… Ah sudah… sudah… Kalau hidup terus berjalan dan tidak menunggu, kenapa malah berhenti dan kembali ke masa yang tak akan terulang lagi? Radja sudah hadir, bukan sebagai pengganti tapi sebagai pengisi hati. Rima mendongak dan kembali menatap langit yang hangat. Doakan kami ya, Rama. Doakan kami bisa melalui semua ini dengan baik-baik saja. Rima menunduk. Ternyata bahkan seorang bidadari yang tersenyum ceria pun punya suatu hal yang akan selalu membuatnya murung dan terpekur dalam ketidakberdayaan. Semilir angin sepoi menyapa dan mengelus pipi halus mulusnya. Lembut menyentuh dan menyadarkannya dari lamunan gelap dan tak berbatas. Bibir merah tanpa lipstick berlebihan itu pun kembali terurai ceria dan mempesona. Ah, kembali ke urusan tanaman. Rima menekuk jari jemari tangannya dan mengambil sarung tangan plastiknya. Yosh, kembali bekerja! Mumpung adek belum bangun, dia bisa mengerjakan tanam menanam ini dengan bebas. Masih ada beberapa benih yang belum ia pindahkan ke dalam pot. Ayo mengejar waktu. Sebentar lagi adek bangun, lalu ia masih harus memasak untuk makan siang dan malam nanti. Rima tersenyum saat menuruni tangga teras untuk sampai di halaman depan rumah. Eh iya, hampir lupa. Rima buru-buru meletakkan kembali sarung tangan plastik dan mengambil ponsel yang ia letakkan tak jauh dari pot-pot di pinggiran teras. Ia mengambil smartphone berharga jutaan itu lalu mengangkatnya dan mengambil foto selfie dengan latar belakang kebun dan tanaman-tanaman yang sedang ia rawat. Rima kemudian merapikan sedikit gambar dengan aplikasi editing yang sudah di-set supaya tidak terlalu merepotkan saat mengatur pencahayaan dan tone gambarnya. Perempuan berparas jelita yang mengenakan kerudung itu kemudian mem-posting gambar yang baru saja ia rapikan ke Instagram sembari memberi caption singkat. Halo, selamat pagi! Ini pagi yang cerah, ayo berkebun! Usai mengirimkan post di Instagram, Rima lantas meletakkan ponselnya di atas teras kembali. Saatnya kembali ke pot dan tanaman sayur yang sudah menunggu. Si cantik itu menatap ke langit dan menutup mata supaya tidak terlalu silau. Dalam hati ia berucap… Selamat pagi, matahari. Boleh bersinar cerah tapi jangan terlalu terik ya. Hihihi. Rima mengenakan kembail sarung tangan plastiknya dan fokus pada tanaman-tanaman. Untung saja ibu muda jelita itu mematikan mode suara ponselnya. Karena saat itu muncul ratusan notifikasi like yang masuk ke akun instagram-nya hanya dalam waktu singkat saja. Dia memang cukup populer di Instagram dan lumayan sering mendapatkan pesanan endorse baju, barang ataupun makanan – meski tidak secara serius menekuni bidang tersebut. Lumayanlah hasilnya buat bantu-bantu Ryan mengisi cadangan beras di rumah. Sembari memindahkan benih ke dalam pot Rima bersenandung kecil. Ia menyanyikan sebuah lagu riang. .::..::..::..::. Tak seberapa jauh dari rumah Ryan dan Rima yang berada di dalam kompleks perumahan asri di pinggiran kota, tepatnya di ujung gang dan paling dekat dengan portal dan pos satpam – seorang wanita yang tak kalah cantik dari Rima sedang menyapu teras rumahnya sembari mengamati satu persatu postingan yang masuk ke dalam feed instagram-nya. Satu tangan pegang sapu, tangan lain pegang smartphone. Multifungsi. Ciri khas ibu muda jaman now. Rizka Aulia yang sedang menyapu sembari menikmati posting instagram tersenyum saat melihat gambar yang baru saja di-post oleh Rima. Ia pun langsung memencet like dengan menekan lambang bertanda hati. Ia memang kenal dekat dengan Rima dan mereka berdua dikenal sebagai sepasang sahabat terutama di kalangan penghuni kompleks. Kalau di kalangan bapak-bapak, keduanya paling populer karena meski mengenakan kerudung dan selalu berpakaian sopan, tapi kedua wanita ini sama-sama jelita dan bertubuh indah. Tidak akan ada pria normal yang tidak naksir melihat mereka berdua. Rizka langsung menuliskan komentar di bawah caption Rima yang kini juga perlahan-lahan dibanjiri komen yang masuk. Cantik melulu ih, kapan ga cantiknya? Berkebun aja kayak bidadari. Komen Rizka itu pun dikirimkan. Rizka geleng-geleng kepala melihat post dari Rima barusan, “Mahmud yang satu ini emang bener-bener, cakepnya bikin ga kuat. Aku aja yang cewek kesengsem setiap lihat postingan dia, gimana cowok-cowok yang lain ya? Hihihi. Mbak Rima… Mbak Rima… udah manis, baik, cantiknya selangit. Beruntung banget Mas Ryan bisa dapetin kamu.” “Apa sih, sayang? Kok ngomong sendiri? Jangan bikin aku takut” Raka Satria, suami Rizka duduk di kursi di dekat sang istri sembari mengenakan kaus kakinya. Ia sedang bersiap berangkat kerja. “Ini lho, Kang. Mbak Rima posting gambar di instagram. Posting gambar berkebun biasa sebenarnya, selfie pakai ponsel pula. Tapi entah kenapa hasilnya bisa bagus banget. Dasar orangnya memang cantik ya? Putih, bersih, anggun. Bikin iri aja. Kalau sudah cantik seperti Mbak Rima mau pose bagaimanapun atau mau pakai pakaian kayak apapun sepertinya bakal tetap kelihatan cantik.” Raka tersenyum dan memeluk sang istri yang tubuhnya teramat indah dari belakang. “Kamu juga cantik dan seksi. Kenapa harus iri? Nikah sama kamu itu hari patah nasional buat penggemar-penggemar kamu, tahu?” “Heleh.” Rizka mencibir. “Jangan asal, Kang. Penggemar yang mana? Yang hobinya nongkrong di pengkolan? Itu mah bukan penggemar. Itu tukang ojek.” “Eh jangan salah. Tukang ojek juga penggemar kamu lho. Buktinya mereka selalu berebut boncengin kalau kamu mau berangkat ke pasar.” “Ish. Ya emang itu cara mereka cari duit kan? Bukan faktor aku-nya. Tapi faktor uang-nya.” “Hahaha, ya udah deh.” Raka pun mengambil kunci motor dan helm dari meja. “Uang belanja aku tinggal di atas kulkas ya, terserah kamu mau beli apa, sayang.” “Gucci boleh? Balenciaga? Prada? Hihihi.” “Yeee.” Raka mencibir, “boleh sih boleh. Tapi ga bakal cukup duitnya. Hahaha. Berangkat dulu ya, sayang. Doain pulang-pulang bawa duit segepok jadi bisa beliin kamu tas Gucci atau Balenciaga.” “Hahaha, oke. Hati-hati ya, Kang.” Raka mengangguk. Motornya melesat meninggalkan halaman rumah. Rizka tersenyum sembari terus mengamati motor sang suami sampai benar-benar hilang dari pandangan. Untuk beberapa lamanya ia menunduk dan mengelus perutnya. Ada raut wajah kesepian dan sedih di wajah cantik Rizka. Berapa lama lagi? Untuk berapa lama lagi mereka berdua harus terus mencoba mendapatkan momongan? Semua berita dan desakan dari orang tua, saudara, dan tetangga membuat beban bertambah berat bagi Rizka. Ia tidak mandul. Itu sudah dibuktikan saat mereka periksa ke dokter. Raka juga baik-baik saja. Mereka memang belum beruntung – dan belum beruntungnya itu bertahun-tahun. Setiap tahunnya di acara pertemuan keluarga, pertemuan kampung, atau bahkan pertemuan kantor – selalu ada pertanyaan. Kapan nih ada momongan? Apakah mereka tahu kalau Rizka dan Raka juga sudah berusaha keras? Bahwa mereka sudah mencoba segala cara yang mungkin mereka jalani? Berbagai macam obat dan herbal, yang katanya ini dan katanya itu, semua sudah dicoba. Pandangan menghakimi dari masyarakat membuat Rizka kian terkurung dalam sangkarnya. Ia tidak ingin keluar jika pertanyaan itu yang pertama kali akan diajukan kepadanya. Kalau seandainya memang sampai akhir nanti mereka tidak akan mendapatkan momongan, mau bilang apa? Apa ya marah-marah? Kan bukan mereka yang menginginkan hal ini terjadi. Mereka mau saja punya anak dan memberikan cucu bagi orangtua dan mertua. Tapi tidak semudah itu ternyata kenyataan yang mereka jalani. Tahun demi tahun dilalui tanpa ada secercah harapan meski harapan tetap selalu ada dan mereka pun tak putus asa untuk terus mencoba. Rizka menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. Semua orang punya masalahnya sendiri-sendiri, yang bisa ia lakukan dengan masalahnya dan suami tercintanya lakukan adalah terus berdoa dan berusaha. Itu saja. Huff. Eh tapi omong-omong, kenapa pagi ini panas banget ya? Jadi haus melulu seharian ini. Kayaknya asyik juga kalau bikin es kelapa muda. Abang sayurnya lewat ga ya hari ini? Rizka pun buru-buru menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Mbak Rima sedang apa ya? .::..::..::..::. “Gimana? Sudah siap pergi nanti malam? Siap ga?” Robin mengeluarkan laptop dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja yang terdapat di dalam cubicle-nya. Kotak kerja Robin itu terletak di samping cubicle kerja Ryan yang sedang sibuk melakukan verifikasi beberapa data di layar monitor komputer. Satu persatu peralatan mulai meninggalkan tas Robin dan diletakkan olehnya secara acak di atas meja. Setelah mengeluarkan laptop maka segera menyusul mouse, adaptor, headset, harddisk external, dan sejumlah barang lain. Meja kerja Robin sendiri sebenarnya sudah penuh oleh banyak barang seperti lampu duduk, monitor plus keyboard, tanaman kaktus plastik, serta foto anak dan istrinya di dalam sebuah pigura. Menanggapi pertanyaan Robin, Ryan pun tersenyum dan mengangguk sembari memamerkan deretan gigi rapinya. Suami Rima itu menjawab dengan santai dan mengeluarkan satu candaan yang garing. “Siap ga? Siap ga? Ya siaplah, masa enggak.” “Heheheh, asem.” “Aku sudah bawa semua perlengkapan sih, Rob. Jadi kalaupun nanti ada instruksi mendadak dari Pak Bos kalau kita harus segera berangkat ke bandara – maka aku sudah siap. Baju ganti juga sudah bawa. Tapi aku tetap penasaran pengen tau apakah nanti dikasih kesempatan untuk pulang dulu ke rumah atau tidak. Tahu sendiri kan Rima maunya aku harus pulang dulu sebelum berangkat kemanapun.” Robin mengangguk dan tersenyum sembari memasang semua perangkatnya. “Istriku juga sama, Bro. Maunya aku pulang dulu ke rumah. Tapi ya semua tergantung Pak Bos nanti. Kalau beliau bilang langsung berangkat, ya kita bisa bagaimana lagi? Harus pergi tanpa bisa ketemu anak istri dalam beberapa hari ke depan.” “Itulah, Rob.” Ryan pun mengangkat bahunya. Robin berdiri untuk bisa melihat wajah Ryan yang sedang sumringah. “Jujur, Bro. Senang rasanya melihat kamu sama Rima bisa kembali tersenyum dan menjalani hidup dengan semangat lagi. Kalau ingat kejadian yang menimpa Rama… duh… ga kebayang gimana hancurnya perasaan kalian. Jujur aku sedih sekali melihat kamu dan Rima seperti kehilangan kehendak hidup setelah melalui kejadian yang tak sepan…” Robin tiba-tiba saja tersadar kalau dia sudah mulai masuk ke teritori yang tidak sepantasnya ia jelajahi. Bisa-bisanya ia nyerocos ngomongin tragedi yang menimpa hidup Rima dan Ryan seenteng itu? “Eh maaf… kok aku malah jadi mengungkit-ngungkit masalah itu sih? Duh, maaf banget ya, Bro.” Ryan terdiam tanpa ekspresi sembari kaku menatap monitor. Wajah Robin berubah menjadi tegang, bukan takut pada Ryan – tapi takut telah menyinggung sang sahabat dengan suatu hal yang teramat personal dan seharusnya tidak ia ungkapkan dengan santainya. Ia telah menekan tombol merah di dashboard peluncur nuklir yang bahkan seharusnya tidak disentuh. Robin pun berdehem, ia mencoba memperbaiki kalimat yang ia tanyakan, “Maaf, aku terlampau gegabah barusan. Aku hanya ikut senang kalian baik-baik saja sekarang.” Ryan tersenyum dan menggeleng, “Tidak apa-apa, Rob. Kalau memang faktanya seperti itu lalu apa yang akan kami bantah? Kami tidak akan pernah menyangkal apapun yang terjadi seberapapun hal itu menyakitkan. Mudah-mudahan ke depannya tidak akan terulang hal yang sama bagi siapapun.” Robin tersenyum. “Jadilah kuat. Kamu panutan kami semua.” “Halah,” Ryan tertawa. “Panutan apa, dah. Hahaha.” “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan kalau aku jadi kamu, Bro. Kamu dan Rima benar-benar hebat. Kalian bisa melaluinya dengan semangat dan penuh harapan. Aku acungi jempol. Tetaplah seperti itu.” Robin tertawa sambil kembali tenggelam di kursi duduknya. Ia sedikit menyesal karena perbincangan mereka menyerempet ke masalah Rama. Tiba-tiba saja Reno supervisor mereka masuk ke ruangan. Ia langsung berjalan dengan terburu-buru ke arah Ryan dan Robin. Reno meletakkan beberapa berkas ke atas meja kedua orang itu. “Robin dan Ryan – siapkan semua perlengkapan kalian, ya. Kita jadinya pergi sore ini setelah jam kerja. Perintah dari Pak Bos tadi kita langsung berangkat, karena sudah harus sampai di seberang pulau sebelum tengah malam. Tidak ada yang boleh pulang ke rumah, takutnya malah tunggu-tungguan nanti tidak jadi berangkat.” “Siap, Mas Reno,” angguk Ryan dengan sopan. “Siap, Mas.” Robin ikut mengangguk. Ryan sedikit kecewa. Yah, ga bisa ketemu Rima dan dua buah hatinya dong malam ini. Dia akan segera memberikan kabar ke sang istri kalau malam ini dia berangkat keluar kota tanpa sempat pulang ke rumah. “Kenapa, Ryan? Apa ada masalah? Kamu siap kan berangkat nanti sore?” “Eh, tidak ada masalah kok, Mas. Saya sudah siap.” Buru-buru Ryan bangkit dari lamunannya. Reno mengangguk dan meninggalkan kedua anak buahnya. Ryan dan Robin saling berpandangan dan sama-sama menarik napas panjang. .::..::..::..::. “Sengaja aku datang ke kotamu. Lama nian tidak bertemu.
Ingin diriku mengulang kembali. Berjalan-jalan bagai tahun lalu.
Sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangan.
Sepanjang jalan kenangan, kau peluk diriku mesra.
Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, menambah nikmatnya malam syahdu…” Suara merdu Rima yang berdendang membuat suasana pagi yang cerah seakan menjadi lebih membahagiakan. Menyanyikan lagu lama dengan petikan akustik yang diputar dari video karaoke Youtube, Rima sampai beberapa kali memejamkan mata untuk menikmati bernyanyi. Selain bercocok tanam, ibu muda yang jelita itu memang punya hobi menyanyi. Sudah cantik, seksi, baik, suara bagus pula. Paket komplit. “Walau diriku kini tlah berdua. Dirimu pun tiada berbeda.
Namun kenangan sepanjang jalan itu… tak mungkin lepas dari ingatanku…” Sembari bernyanyi Rima tersenyum karena tugasnya memindahkan bibit ke pot sudah hampir usai. Yak, pagi ini memang amat sangat cerah dan ceria, semua berjalan sesuai rencana. Sekarang tinggal memandikan adek, memasak, dan mencuci. Beginilah kalau jadi ibu rumah tangga, pekerjaan sehari-hari selalu menunggu tanpa berhenti. Sekali lagi Rima menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangan. Semangat terus dan… “Sepanjang jalan kenangan, kita selalu bergandeng tangaaaaan…” Suara serak kemudian terdengar dari arah jalan di luar pagar rumah Rima – menyambung nyanyian sang ibu muda. Suara milik seorang laki-laki tua yang sedang berjalan dengan istrinya. “Hahaha, pagi Kong Rayi, Bu Ratmi.” sapa Rima sembari berdiri dan melambaikan tangan pada pasangan tua yang menjadi tetangganya. “Jalan ke pasar ya?” “Pagi Bu Rima. Iya nih kita lagi jalan ke pasar,” balas bu Ratmi dengan ramah. “Mau nitip tidak?” “Hahaha, tidak terima kasih, Bu Ratmi.” “Pagi, Rima sayang cah ayu. Suaranya bagus kenapa tidak dilanjutin nyanyinya?” giliran Kong Rayi yang menyapa Rima. Dia memang selalu memanggil Rima dengan sebutan sayang. Jelas saja hal itu membuat bu Ratmi melotot. Langsung saja perut sang engkong ditowel oleh istri yang jauh lebih muda darinya itu. “Wadoooh… wadooooh…!!” Kong Rayi mengernyit kesakitan dicubit bu Ratmi. “Dasar kakek-kakek genit. Syukurin dah kena cubit. Puas? Kebangetan banget sih Bapak ini sama istri orang. Bisa-bisanya kalau sama bu Rima manggilnya sayang.” Kong Rayi menunjukkan wajah memelas pada sang istri, “Lah… kan emang udah biasa kalau sama bu Rima, Bapak selalu manggil say… eh… maksudnya… maksudnya supaya ya… gimana ya… akraaab gitu sama tetangga. Udah jangan melotot napa. Takut ih lihatnya.” Rima hanya tertawa melihat tingkah lucu kedua pasangan tua itu, dia bahkan tidak marah saat Kong Rayi memanggilnya dengan sebutan sayang karena sudah tahu itu hanya main-main saja. “Hati-hati di jalan ya, bu Ratmi, Kong Rayi. Panasnya ini lho.” “Iya sayang… duh kok perhatian banget sama Kong Ra-… wadooooooh….! Wadoooooohhh!!” “Baru juga dibilangin sudah mulai lagi,” bu Ratmi geregetan dan sekali lagi mencubit perut sang suami yang ganjen. Rima kembali tertawa. Ibu muda jelita itu lalu melirik ke atas. Cuaca sangat panas, perjalanan ke pasar cukup lumayan. Rima lalu menatap ke arah pasangan tua yang sedang berjalan meninggalkan rumahnya. Kasihan juga mereka berdua. Rima buru-buru berlari ke dalam rumah dan sembari setengah berlari akhirnya menyusul bu Ratmi dan Kong Rayi. “Kong Rayi, bu Ratmi…!” Kedua pasangan tua itu menengok ke belakang dan menatap Rima yang berlari-lari kecil ke arah mereka. Rima tersenyum sembari menyerahkan sebuah payung yang masih sangat baru. “Ini buat Kong Rayi sama bu Ratmi, dipakai saja tidak apa-apa. Hari ini panas banget. Kasihan kalau kalian berdua terbakar matahari. Bisa pingsan lho nanti. Dipakai ya payungnya.” “Ya ampun, baik banget bu Rima… tapi kami tidak perlu…” bu Ratmi menggelengkan kepala, mencoba menolak pemberian Rima. “Udah, bawa aja bu Ratmi.” Rima tersenyum manis. Siapa yang bisa menolak kalau Rima sudah tersenyum begitu? Senyum manis Rima adalah candu. Bu Ratmi langsung luluh. “Ba-baiklah, terima kasih ya, bu Rima. Aduh jadi ngrepotin banget.” Kong Rayi maju dan langsung menyalami tangan lembut Rima yang kebetulan sudah melepas sarung tangan plastiknya. Tentu saja pegangnya lama biar semua orang bahagia – atau tepatnya Kong Rayi yang paling bahagia. “Terima kasih ya, sayang. Tau aja kalau hari ini panas. Baik banget mau… wadoooooh! Wadooooooh!” “Lepasin ga? Lepasin gaaa?” bu Ratmi langsung beraksi dengan cubitan mautnya. “Iyaaaaa… iyaaaaaaaa… wadooooooh…!!” Kong Rayi mau tidak mau melepas tangan lembut Rima dan membuka payung yang diberikan sembari bersungut-sungut. Bu Ratmi tersenyum sopan dan berterima kasih pada Rima. Kedua pasangan tua itu lantas berjalan beriringan menuju pasar sembari berpayungan. Tak lupa Kong Rayi mengedipkan mata diam-diam pada Rima yang dibalas oleh tawa sang ibu muda. Selepas kepergian kedua orang sepuh yang lucu itu, Rima berjalan perlahan menuju rumah sembari bersenandung kecil. Ah, senangnya hari ini, mudah-mudahan ia masih sempat mengunjungi makam sang… Eh? Belum sampai Rima di pintu pagar, ibu muda jelita itu merasa aneh. Seperti ada sesuatu yang membuatnya merinding. Ia seperti… sedang diawasi… Rima melirik ke rumah yang tepat berada di depan rumah mungilnya dan ia terkejut bukan kepalang. Dari rumah itu – dari rumah nomer 13. Rumah yang kata anak-anak angker – di sana berdiri seseorang yang menatapnya dengan sangat-sangat tajam. Pandangannya begitu menusuk hingga ke sanubari. Rumah nomer 13 bagaikan rumah yang tak terawat, halaman depannya berantakan dengan tanaman yang tumbuh acak-acakan. Rumput dan ilalang tinggi tak dipangkas rapi, pohon yang menjulang di depan rumah bagai penutup alami nan syahdu dan sendu yang mengaburkan keberadaan rumah dengan bayangan gelap sepanjang hari. Warna cat rumah yang coklat gelap sama sekali tak membantu membuat suasana menjadi ceria yang ada justru bermuram durja. Setahu Rima rumah itu dihuni oleh Pak Rebo – seorang duda yang usianya lebih tua di atas ia dan Ryan. Pak Rebo siapa ya nama lengkapnya…? Rima lupa… Rebo Wahono? Rebo Wahyono? Rebo siapa gitu lah… Pak Rebo tinggal sendiri setelah istrinya wafat dan setelahnya tidak pernah bersosialisasi. Pak Rebo orang yang tertutup, tidak ada orang yang tahu apa pekerjaannya dan darimana ia mendapatkan uang. yang jelas Rima dan Ryan jarang sekali melihatnya keluar rumah. Undangan RT tidak pernah datang, tujuhbelasan tidak keluar rumah, halal bihalal selalu minta maaf ada keperluan. Pak Rebo tidak pernah datang di acara apapun. Tapi hari ini… Rima terkejut bukan kepalang. Perasaan aneh yang sejak tadi memayunginya… perasaan diawasi… rupanya berasal dari rumah di depannya. Dari rumah No 13 yang konon katanya angker itu. Tapi perasaan aneh yang membuat Rima merinding bukanlah karena hantu – melainkan karena Pak Rebo. Pria itu saat ini sedang berdiri di depan teras rumahnya dan memandang tajam ke arah Rima. Seketika itu juga bulu kuduk Rima berdiri, ia merinding. Anak-anak sering menyanyikan lagu dengan sengaja di depan rumah No 13. Maksud mereka jelas untuk meledek Pak Rebo. “Pak Rebo, eh eh Pak Rebo. Pak Rebo lahire dino kemis.
Yen setu dodolan neng Pasar Senen,
Seloso jumat mulih neng Pasar Minggu.” Terbayang anak-anak yang sering lewat di depan rumah kerap kali membicarakan Pak Rebo yang dibilang punya piaraan genderuwo, punya piaraan kuntilanak, yang sebenernya perwujudan kolor ijo, yang konon bisa berubah menjadi babi ngepet, piaraan tuyulnya sering keliling kalau malam, dan lain sebagainya. Jangan-jangan Pak Rebo juga bisa berubah menjadi Kakek Pacul kalau henshin? Ah apaan sih Rima? Kenapa malah berpikiran yang tidak-tidak kayak bocah? Pak Rebo itu hanya laki-laki normal dan biasa saja. Lihat saja sekarang, terlihat lemah dan tak berdaya dimakan usia. Dengan positive thinking, ibu muda jelita itu pun mengangguk sembari tersenyum manis. Pak Rebo terdiam saja tanpa ekspresi. Rima jadi serba salah. Dia terpaku di depan gerbang rumahnya – menatap Pak Rebo dari kejauhan. Wajah Pak Rebo terlihat seperti orang tua yang kuyu dan pemarah, wajahnya grumpy dengan lekukan-lekukan keriput yang makin menebal. Rambutnya masih cukup banyak dan tebal, tidak menampakkan tanda kebotakan, meskipun baik rambut, kumis, dan alisnya sudah mulai beruban dan menjadi semu keperakan. Tubuhnya yang dulu mungkin gagah, kini sedikit membungkuk, tapi ia masih berdiri dengan gagah tanpa perlu bantuan tongkat. Rima meneguk ludah. Diajak bicara ga ya? Tidak ada salahnya kan? Namanya juga tetangga. “Selamat pagi, Pak.” Rima memberanikan diri menyapa terlebih dahulu, toh dia yang lebih muda. Dari semua tetangga di kompleks ini, Pak Rebo satu-satunya yang belum pernah bercakap-cakap lama dengan sang mamah muda yang ramah itu. Itu pula sebabnya Rima tidak berharap Pak Rebo akan membalas salamnya. Sedetik, dua detik, tiga detik. Nah benar kan, tidak dibalas. Rima tetap sopan dengan kembali menganggukkan kepala dan bersiap-siap untuk masuk ke rumahnya sendiri. Saat itulah Pak Rebo membalas anggukan kepalanya. Rima jelas terkejut bukan kepalang! Eh demi apa!? Pak Rebo membalas anggukan kepalanya!? Saking terkejutnya Rima sampai kelupaan hendak masuk ke gerbang rumahnya dan terpaku menatap sang tetangga depan rumah. Ia bahkan lebih kaget lagi ketika tiba-tiba saja orang itu kemudian berjalan ke depan dan menuju ke arahnya. Eh? Ehhhhhh!? Ehhhhhhhhhhh!?? Mau ngapain Pak Rebo? Rima jelas jadi salah tingkah. “Selamat pagi,” ucap Pak Rebo. Gleg. Rima meneguk ludahnya. Pak Rebo menyapanya? Pak Rebo yang dijuluki papanya gerandong suaminya kujang itu menyapanya!? Apakah ini tanda-tanda akhir jaman? “Se-selamat pagi, Pak.” “Maaf menganggu pagi-pagi.” Pak Rebo membuka pintu gerbang rumahnya, matanya menatap tajam ke Rima. Postur tubuhnya yang meski sudah sepuh tapi tetap gagah dan besar mengintimidasi sang ibu muda mungil yang ketakutan. Rima hanya bisa memandang dengan mulut menganga. Ia sama sekali tak bisa bergerak, sama sekali tak bisa melakukan apa-apa. Mau apa ya Pak Rebo? Pak Rebo yang lahirnya hari kamis. Eh apaan sih Rima!? Fokus! “Bi-bisa saya bantu, Pak?” Sekali lagi… Rima hanya berusaha sopan, meski sebenarnya ia cukup deg-degan dengan tubuh bergetar. Rima tidak takut karena Pak Rebo menyeramkan, Rima hanya merasa jengah karena orang yang ia hadapi sikapnya kaku dan terkesan galak, membuat si cantik itu juga merasa awkward. Pak Rebo membawa kotak berwarna coklat. Kotak yang panjang dan lebarnya sekitar satu jengkal. Tidak saja Pak Rebo tiba-tiba mengajak Rima bicara, ia juga tersenyum – meski senyumnya tipis sekali. Setipis irisan tomat di tukang nasgor. Ih, bisa juga dia tersenyum ya? “Selamat pagi, Bu Rima.” Walahiyungbuset! Dia kenal loh sama Rima! Tau loh nama Rima! “Pagi, Pak.” “Ini ada kue bolu sekedarnya dari saya. Beberapa hari ini saya sedang mencoba-coba resep peninggalan mendiang istri saya. Rencananya saya mau berjualan kue online untuk menyambung hidup. Maklum sudah saatnya saya pensiun.” Kerja apa aja ga ngerti, kok tau-tau pensiun. “O-oh begitu, Pak.” Rima mengangguk dan menerima kotak yang diberikan Pak Rebo. “Te-terima kasih ya, Pak. Wah baunya enak ini.” Pak Rebo tersenyum, “mudah-mudahan rasanya juga enak. Di kardusnya ada nomor telpon saya kalau mau pesan. Yang ini gratis sebagai tester. Saya sebenarnya malu menawarkan roti yang ala kadarnya ini ke Bu Rima yang sepertinya jago masak.” Tau dari mana emang Rima jago masak? “Eh, saya ga jago kok, Pak.” “Baiklah. Terima kasih, Bu Rima, Selamat menikmati – mudah-mudahan anak-anak juga suka.” “Ba-baik, Pak. Terima kasih juga.” Pak Rebo buru-buru kembali ke rumahnya tanpa sekalipun menengok ke belakang. Meninggalkan Rima yang terbengong-bengong memegang kotak berisi kue bolu di pinggir jalan. Suara tangisan si bungsu membangunkan Rima dari kejutan yang diberikan oleh Pak Rebo. Luar biasa. .::..::..::..::. Raka selalu memulai harinya dengan membuka ketiga monitor di meja kerjanya secara berurutan, yang paling kiri, tengah, baru yang kanan. Tidak pernah acak dan tidak pernah terbalik. Setelah itu dia akan meletakkan ornamen boneka rajut kecil buatan Rizka di atas monitor yang tengah. Itu memang sudah kebiasaannya dan dia paling tidak suka kebiasaannya tersebut diubah-ubah oleh siapapun. Kalau ada yang tiba-tiba saja menyalakan monitornya terlebih dahulu atau meletakkan boneka rajut buatan Rizka di tempat yang tidak jelas, dia pasti akan langsung badmood. Begitu pula pagi ini. Dia menyalakan monitor di mejanya dengan urutan yang sama. “Kiri, tengah, dan kanan. Tidak pernah terbalik, tidak pernah acak. Selalu saja begitu, tidak pernah berubah” Suara merdu seorang wanita membuat Raka terjaga di kursinya. Sebenarnya suara itu bukan suara yang asing, setiap pagi sang teman kerja selalu datang untuk mengunjunginya. “Kopi susu, gulanya tiga sendok. Kesukaanmu. Yang ini juga tidak pernah berubah.” Segelas kopi hangat yang harum disajikan di meja Raka, di samping kopi sudah terdapat dua tangkup roti sarikaya empuk dan hangat. Seorang wanita berwajah teramat cantik dan bertubuh aduhai lantas duduk di pinggiran meja Raka, rok mininya sedikit terangkat karena posisi duduknya yang menempel. Beruntung sang wanita seksi mengenakan pelindung kaki sehingga paha mulusnya tak nampak oleh siapapun. Meski begitu, pose seseksi itu jelas-jelas tak akan lepas dari pandangan suami Rizka, pria itu pun berusaha menghilangkan image menggairahkan itu dari benaknya sembari menatap ke monitor yang mulai menyala satu persatu dan masuk ke operating system. “Makasih, Ray.” Anneke Raya Utari, sekretaris pimpinan, rekan kerja, sekaligus istri dari sahabat baik Raka – Romy. Romy adalah teman kerja Raka di kantornya yang lama, mereka bagaikan partner yang selalu mendukung. Ketika kontrak Raka tidak diperpanjang dan sibuk mencari kerja, Romy yang masih bertahan di kantor lama segera meminta istrinya untuk memasukkan Raka ke perusahaannya. Itulah awalnya kenapa Raka bisa kerja di tempat yang sama dengan Raya. Berkat Raya-lah Raka kemudian berhasil bekerja di tempat ini sekaligus menapak sedikit demi sedikit panggung jabatan hingga berhasil menempati posisinya yang sekarang. Bersama Raya dan putri tunggal mereka, Romy sekeluarga sangat sering berkunjung ke rumah Raka. Mereka tentu saja sudah mengenal Rizka, bahkan sering bertamasya atau liburan bersama. Setiap pagi, Raka dan Raya selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol sedikit. “Kenapa wajahmu kusut begitu? Semalam tidak tidur lagi?” Raya menyeruput kopinya yang hangat dan menyegarkan. “Berapa ronde semalam?” Raka tersenyum kecut. “Apaan sih, Ray. Ga ada ronde-rondean. Mana sempat lah yang begituan kalau tiap hari aku dikasih kerjaan koding segini banyaknya. Harus satu-satu scanning-nya buat mencari bug dan benerin kerusakan yang kemarin bikin heboh klien kita di kota lama. Manager proyeknya udah kalangkabut seminggu ini.” “Bukannya kamu punya asisten? Manfaatin dong. Rugi aku dukung kamu cari asisten kalau pekerjaan masih terus-terusan begini. Aku tuh udah berusaha banget ngusulin kamu punya asisten sama Pak Bos. Aku usulin supaya kamu tuh punya bawahan, biar bisa bagi-bagi tugas. Di-deploy lah. Jangan semua kamu angkut. Kalau begini terus yang ada kerjaan numpuk, setiap hari begadang, istri cantik seksi dianggurin, wah… gimana sih? Kapan mau punya momongan kalau begini terus?” Raka tertawa. “Itulah Ray. Asistennya masih perlu banyak belajar, bukannya bikin bener malah bikin error melulu. Yang ada aku yang pusing, itulah sementara waktu aku minta dia belajar dulu. Masih butuh waktu buat dia beresin semua masalah di source code.” “Pakai framework kan? Seharusnya tidak perlu selama itu pengenalan orientasi kerjanya.” “Diusahakan Ray, diusahakan. Anaknya rajin kok.” “Sudah seharusnya. Gajinya gede.” Raka tertawa saja, “Kalau kamu sendiri? Bagaimana kabar bos yang baru? Umurnya berapa sih? Lima puluhan ya? Rambutnya sudah putih semua, muka juga sudah kelihatan sepuh dengan keriput-keriput, tapi badannya masih lumayan banget. Pasti hobi nge-gym. Aku jadi minder tiap hari begadang ngurusin koding sementara dia angkat barbel melulu.” Sekarang giliran Raya yang tertawa. “Kalau soal nge-gym Pak Rustam bukan hobi lagi. Dia punya satu studio di dekat B-Exchange.” “Serius?” Raya mengangguk. “Aku juga baru tahu minggu ini, beliau kan baru masuk sekitar sebulan belakangan jadi pimpinan baru di sini – jadi komunikasi dengan pihak staf dan karyawan juga sedang dalam taraf penjajagan. Tapi orangnya sangat ramah dan baik. Tamu dan karyawan sering ditraktir ke cafe dan karaoke.” “Wow. Hospitality sudah dapat centang biru, dong.” Raya mengangguk lagi, “Ya udah. Aku balik lagi ke meja, ya. Jangan lupa makanannya dihabisin, daripada ntar jadi makanan semut. Cari rotinya susah lho itu, udah susah antri pula, konon lagi viral. Untung belinya pakai sayang, jadi… eh…” Raka terkejut. Raya pun terbelalak setelah mengetahui dia salah ucap, wajahnya memerah bak makan cabe sekilo ditambah boncabe dua panci. “Ma-maksudnya sayang sebagai teman. Ish. Aku kadang belipet gini ngomongnya.” Raka tertawa dan mengangguk. “Siap. Kalau tidak sebagai teman memang sebagai apalagi?” Raya mencibir dan berlalu dari ruangan Raka. Hatinya masih degdegan karena salah ucap. Raya mengambil berkas-berkas yang ia letakkan di meja dan masuk ke ruangan Pak Rustam. Beliau sudah datang rupanya. Tumben pagi banget sudah ada orangnya. Biasanya jam delapan jam sembilan baru nyampe. “Selamat pagi, Pak Rustam.” Raya mengangguk dan tersenyum dengan sopan pada pimpinannya setelah mengucapkan salam, tapi entah kenapa hari ini lain daripada hari yang lain – sang Bos tidak membalas senyumannya. Pak Rus bermuram durja dengan wajah gelap. Kenapa ya? Apa ada masalah di rumah? Diomelin istrinya mungkin? Sang Bos bahkan kemudian melengos, memalingkan muka, dan membalikkan kursi untuk menatap jendela. Ia lebih memilih melihat keluar dibandingkan harus bertatapan mata langsung dengan Raya. Tapi sekilas wanita cantik itu bisa melihat pandangan mata Pak Rus. Matanya kosong saat menatap kejauhan. Jelas sedang ada masalah, kemungkinan masalah pribadi. Raya mengangkat bahu, ya sudahlah. Memang pasti ada hari-hari di mana sang Bos sedang badmood. Tidak setiap hari mereka akan bahagia dan membuat kita sejahtera, jadi ikutin saja aturan mainnya lah. Cari aman. Yang penting dia bekerja sebaik mungkin dan mengikuti semua aturan di kantor ini. Dia dan Romy masih butuh dana untuk mencicil rumah dan membayar semua kebutuhan rumah sakit sang ibunda yang sakit keras dan harus berbulan-bulan dirawat di ICU. “Sekedar pengingat untuk rentetan jadwal hari ini, Pak. Jam sembilan pagi ini Pak Rus ada janji untuk meeting online dengan stakeholder, lalu jam sebelas ada ketemuan dengan klien dari Bali di Starbucks di gedung sebelah lantai satu. Lalu…” “Raya…” “Iya, Pak?” “Kesini coba. Lihat ini.” Pak Rus melambaikan tangan supaya Raya mendekat. Pria tua itu sedang duduk sembari menatap kejauhan, pandangan terlempar jauh menembus bingkai jendela. Ada apa ya? Apakah ada sesuatu di luar sana? Jantung Raya menjadi tak menentu. “Baik, Pak. Apa yang harus saya… Aaaaaahhh!!” Betapa terkejutnya Raya ketika tahu apa yang kemudian ingin ditunjukkan oleh Pak Rus. Wanita cantik itu pun seketika terpekik karena terkejut dan segera membalikkan badan, berkas-berkas yang ia bawa jatuh semua ke lantai. Wajah jelitanya yang awalnya putih jadi memerah bukan kepalang. Jantungnya berdetak teramat cepat. “Pa-Pak.. Rus… A-apa yang…?” “Aku sedang tidak mood untuk melakukan apa-apa hari ini. Istriku lagi-lagi ngomel dari tadi pagi. Dari bangun tidur sampai aku berangkat kerja. Aku tidak akan bisa produktif kalau terus menerus punya perasaan bad mood seperti itu, jadi aku butuh bantuanmu.” “Ta-tapi…!?” Raya tak mempercayai apa yang ia lihat. Pak Rus membuka celana dan mempertontonkan alat kelaminnya di hadapan Raya. Pria tua itu menyeringai sembari melihat keindahan tubuh Raya yang tengah gemetaran. “Tolong kamu jilati sampai muncrat.” Raya jelas melotot mendengar permintaan tak senonoh itu, tapi ia tidak berani menatap langsung ke Pak Rus, karena kalau sampai ia membalikkan badan itu artinya dia akan melihat langsung penis milik orang tua bejat itu! Pak Rus masih terus memperhatikan Raya yang tengah salah tingkah, sungguh wanita yang sempurna. Beruntung sekali suaminya. Putih, seksi, mulus, dari atas sampai bawah tidak ada cacat Pasti nikmat sekali nih cewek. Pak Rus harus berhasil merebut wanita indah ini dan menjadikannya sebagai istri mudanya. Raya belingsatan tidak karuan. Aduh! Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? .::..::..::..::. “Bengong mulu, Mbak. Entar kesamber apaan tau.” Rima tersadar dari lamunannya ketika suara Rizka terdengar. Ibu muda jelita itu langsung tertawa melihat sahabatnya nyengir di depan pagar rumah, menunggu dibukakan pintu. Dengan terburu-buru Rima pun berdiri dan mendekati pintu pagar untuk membuka gembok yang sebelumnya terpasang. “Hahaha, makasih ya, Ri. Sudah disadarkan dari kesurupan. Hahahaha. Ga tau dah, kenapa hari ini rasanya aneh banget – jadi sering banget ngelamun. Kenapa ya?” Senyum manis khas Rima ditebarkan, bahkan Rizka pun sampai terpesona. Yang cewek pengen menjadi dia, yang cowok ingin memilikinya. Begitulah. Rizka yang biasanya dipanggil Riri oleh Rima pun mengerutkan kening mendengar keluhan sang sahabat. “Ngelamun sih biasa, Mbak. Aku juga sering gitu kalau tanggal tua. Hihihi. Emang kenapa kok aneh, Mbak?” Begitu pintu pagar dibuka Rizka pun masuk ke dalam halaman rumah Rima. Keduanya biasa duduk-duduk di teras rumah sembari sarapan seadanya menunggu tukang sayur atau sekedar berbincang-bincang ngalor-ngidul ga jelas. Kadang Rizka akan membawakan sarapan untuk Rima dan anak-anak, kadang sebaliknya. “Ya berasa aneh aja, Ri. Semacam ada perasaan tidak enak. Jantungnya berdebar tidak jelas, perasaan hati kosong dan gelisah. Semacam seperti itu lah.” “Sudah minum tolak angin?” “Hahahaha, bukan masuk angin ini sih.” Rizka mengangguk-angguk, “Mungkin Mbak Rima lagi kangen berat sama Mas Ryan? Tadi kan Mbak Rima bilang di WA kalau Mas Ryan hari ini bakal jalan keluar kota untuk keperluan dinas.” “Hmm, masa iya kangen sampai begini amat? Kan aku sudah biasa dia tinggal dinas keluar kota. Ini bukan pertama kalinya lah, Ri. Kalau yang seperti itu aku sebenarnya sudah biasa. Tapi ga tau hari ini kok berasanya aneh aja. Berasa kosong banget, kesepian, sunyi, sendiri, sepi. Pengen rasanya nabuh kentongan, hahaha. Emang bener sih yang kamu bilang tadi. Kalau begini terus lama-lama aku bisa kesurupan. Hahaha.” Rizka tertawa dan menjulurkan lidah dengan imutnya. Si cantik itu menengok ke tempat sepatu dan melihat sepatu imut Rasya sudah rapi di tempatnya. Kakak Rasya sudah pulang sekolah rupanya. “Nah kan? Makanya pikirannya jangan sampai kosong, Mbak. Isilah dengan kegiatan yang positif, nonton drakor misalnya. Bikinin aku ayam rica-rica misalnya. Hihihi. Anak-anak gimana di dalam? Ga rewel kan ditinggal kerja ayahnya?” “Ga kok, mereka ga rewel. Kadang-kadang saja nanyain kalau pas lagi manja. Sepertinya mereka juga sudah mulai terbiasa saking seringnya Papa-nya Rasya pergi keluar kota. Kalau sepi ga ada Papa-nya, mereka juga tidurnya malah jadi cepet. Tuh mereka sudah tepar di depan TV. Tinggal di angkat ke kamar aja ntar.” Rizka melongok melalui pintu untuk melihat ke dalam rumah. Benar apa yang dikatakan Rima, kedua buah hati-nya tengah terlelap di depan TV yang masih terus menyala menayangkan film kartun untuk semua umur. Sahabat Rima yang jelita itu pun manggut-manggut. “Atau…” Rizka meneguk ludah. “Atau…?” Rima kembali bertanya-tanya. “Atau… maaf nih, Mbak. Atau… mungkin karena Mbak Rima mungkin sedang kangen sama Rama? Berhubung tidak ingin memikirkan yang sedih-sedih, maka Mbak Rima memilih tidak memikirkan apa-apa. Semacam menghapus kenangan dan jadinya justru pikirannya blank? Mungkin semacam itu? Atau gangguan PTSD gitu? Post Traumatic Stress Disorder?” Rima tercenung sesaat, memikirkan semua pernyataan si Riri yang memang memungkinkan. Apakah benar ia sakit seperti apa yang dikatakan sang sahabat? Sakit mental? Sakit karena masih terbayang akan Rama…? Akan peristiwa yang seumur hidup akan selalu menghantuinya? Rima menundukkan kepala. Tragedi itu… Wanita yang biasanya ceria itu kembali menunjukkan kesedihannya. “Eh, aduh. Kok malah jadi sedih gitu, Mbak? Aduh, aku salah ngomong ya? Maaf ya, Mbak. Aduh… apa ya… Pokoknya aku ingin Mbak Rima jangan pernah merasa bersalah. Semua yang terbaik sudah dilakukan. Rama sudah berada di tempat yang lebih baik. Kita hanya bisa berusaha, tapi kita tidak bisa menentukan…” Rizka jadi merasa bersalah, ia mengelus punggung tangan Rima. Meskipun canggung, tapi Rizka tidak ingin Rima berlarut-larut dalam kesedihan. Dia tahu Rima sudah melalui masa-masa kesedihan yang bertahap-tahap dan ini saatnya bangkit kembali. “Maaf karena aku terlalu ceplas-ceplos ya, Mbak. Jadinya Mbak Rima keingetan deh.” Rima tersenyum sangat manis dan menggeleng, ia tak menjawab apa-apa. Peristiwa semacam itu tak akan mudah untuk dilupakan begitu saja dan pasti akan selalu teringat sampai tiba akhir masa – sampai sudah saatnya mereka bertemu kembali dalam keabadian. Rima tahu Rizka hanya berniat baik, meskipun kebaikannya itu membenturkan Rima pada sebuah kenyataan yang inginnya selalu ia benamkan dalam-dalam di sanubari. Tidak boleh berlama-lama bersedih ya? “Eh, tapi ada lho yang hari ini bikin aku bengong banget.” Rima mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk, ia menengadah seakan-akan sedang membayangkan sesuatu. “Bener-bener mengejutkan, surprise, tak disangka-sangka, di luar dugaan, netizen terperangah. Alasan kelima membuat ibu-ibu menangis. Hihihi.” Rizka pun tertawa, “Apa tuh, Mbak?” “Kamu tau Pak Rebo kan?” “Pak Rebo yang tetangga depan situ?” Rizka menunjuk rumah di depan teras Rima. “Yang lahire dino kemis kalo kata bocah-bocah?” “He’em.” “Ya tau lah. Orangnya agak eksentrik kan? Eksentrik, kalau ga mau disebut aneh. Hihihi. Kenapa dia?” Rizka mulai penasaran. Pak Rebo memang warga kompleks yang paling spesial, jadi kalau ada berita tentangnya, berita itu bisa jadi berita yang sangat menarik atau malah sangat aneh. Kok tumben nih Mbak Rima punya berita tentang Pak Rebo. “Tadi pagi… dia datang ke sini. Menyapa aku.” “HAH!?” Rizka terbelalak tak percaya. “Pak Rebo yang depan rumah? Datang ke sini?” “Ya ga kesini sih, tepatnya ke gerbang aja.” “Ngapain dia, Mbak? Wih hebat ini. Tumben dia ngajak ngomong orang lain. Biasanya diem bae. Diajak senyum aja melengos.” “Orangnya ramah gitu kok ternyata, heran kan? Dia ngasih aku sama anak-anak kue. Katanya dia sedang mencoba usaha kue rumahan gitu. Terus kita disuruh nyobain.” “HAAAAH!?” Rizka semakin tak dapat mempercayai pendengarannya. Pertama, Pak Rebo menyapa Mbak Rima, kedua… ini yang jauh lebih gila lagi… Pak Rebo nawarin kue! Kue! Pak Rebo lho ini! Nawarin kue! Bisa-bisanya! Kalau saja ini Bu Retno yang sudah terbiasa nitipin kue ke warung, maka mereka tidak akan heran. Kue-kuenya juga enak. Lah ini Pak Rebo! Jangankan kue, bikin kopi aja mereka tidak pernah lihat! “Te-terus?” “Ya udah, gitu aja. Itu kuenya ada di meja makan. Semacam bolu kukus tapi dibikin cetakan besar. Enak kok, aku sudah nyobain habis beberapa potong. Anak-anak juga suka.” Rima tertawa, “mungkin kita nanti jadi langganan kue bolu-nya Pak Rebo. Hahaha.” “Nyobain ah… jadi penasaran aku.” “Hahaha. Gih.” Rizka pun melepas sendalnya dan masuk ke dalam rumah Rima, ia mencuci tangan di wastafel dan mencomot sepotong kue bolu buatan Pak Rebo. Benar kata Mbak Rima, teksturnya mirip seperti bolu kukus. Warnanya putih dengan aroma vanila yang memiliki warna-warni pelangi sebagai penghias. Lumayan rapi dan apik, sudah jelas ini bukan kerjaan seorang pemula. Sembari menggigit kue itu, Rizka berjalan ke teras kembali untuk menemui Rima. “Eh iya lho, Mbak. Beneran enak ini. Kagum aku sungguh. Ga nyangka kalau Pak Rebo ternyata berbakat jadi masterchef. Asem, ngaku kalah deh aku. Begini-begini aku malah ga bisa bikin kue bolu seenak ini.” “Hahaha, ah kamu ini, Ri.” “Ya habisnya ga nyangka aja, Mbak.” Rizka mengangguk-angguk, “approved lah ini. Besok kalau Mbak Rima pesan kue ke Pak Rebo, aku nitip ya. Hihihi.” “Hahaha, siap. Nanti aku kabarin, Ri.” Ponsel Rizka tiba-tiba saja menyalak. “Siapa tuh, Ri?” Rizka melirik ke arah ponselnya dan teringat, “Oh alah. Ini, Mbak. Ada pesanan paket datang. Aku kemarin beli skincare di toko online. Ternyata sudah datang. Aku pulang dulu deh, Mbak. Makasih, ya.” “Sama-sama, Ri. Ati-ati.” Rizka pun pulang dengan langkah gembira menyambut skincare yang dibelikan oleh Raka. Rima geleng-geleng melihat kepergian sang sahabat yang teramat ceria. Rima bersyukur akan hadirnya Rizka. Untung saja ada dia yang selalu bisa ia ajak bicara dan berkeluh-kesah di hari-harinya yang sepi sebagai ibu rumah tangga, bahkan hanya curhat soal Pak Rebo saja bisa membuatnya bahagia dan merasa lega. Rima pun masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Rasa kantuk mulai menjerat sang ibu muda jelita itu. Matanya berat sekali tak mau dibuka. Mungkin istirahat dulu ya? Rima pun rebah di samping kedua buah hatinya di depan pesawat televisi yang masih menyala sepanjang masa, satu kali dua puluh empat jam, tujuh hari seminggu. Mata indah ibu muda jelita itu pun terkatup. Ia mulai tenggelam dalam… Dalam… Rima tenggelam dalam lelapnya. Sampai suatu ketika… ada suara gemerincing yang nyaring membangunkannya. Suara bergemerincing? Hmm? Suara apa itu? Suara itu tak berhenti begitu saja dan terus terdengar. Rima membuka mata. Duh suara apa sih itu? Bikin dia tidak bisa tidur saja, padahal masih ngantuk berat. Jam berapa ini? Sudah sore? Berapa jam dia tidur? Eh, apa yang masih ia pegang ini? Ya ampun. Rima melirik ke tangannya dan melihat gembok yang rupanya belum ia pasang kembali usai membukakan pintu untuk Rizka tadi. Dengan malas Rima bangkit dan melangkah ke depan rumah, ia membuka pintu depan dan berjalan ringan menuju pagar – berniat untuk memasang gembok. Suara bergemerincing kembali terdengar sebelum ia mencapai tempat tujuan. Saat itu pula sesosok wajah tiba-tiba saja muncul dan membuka pagar rumah Rima. Rima sempat terkejut dan mundur ketakutan sebelum menyadari siapa yang datang. Ryan. “Lho? Papa? Kok udah pulang jam begini? Bisa ya pulang duluan sebelum berangkat? Pesawatnya jadi jam berapa? Tadi katanya ga bisa pulang pas Papa WA, kok sekarang pulang? Apa ga jadi berangkat keluar kota hari ini?” Berondongan pertanyaan Rima tak dijawab oleh sang suami. Rima tak berhenti. “Gimana sih kok ga ngabarin kalau mau pulang dulu? Tahu gitu kan aku masakin yang spesial tadi.” Sosok Ryan yang berdiri di halaman rumah Rima itu terlihat tidak nyaman. Berulangkali ia melirik ke kanan dan kiri sepertinya sedang dikejar oleh seseorang. Ryan tidak bersuara, ia malah berdehem-dehem seakan-akan ada yang menyumbat kerongkongannya. “Pa? Papa kenapa? Kok aneh banget sih Papa? Papa dikejar siapa?” Rima longok-longok ke kanan dan kiri. “Lho? Mobilnya mana, Pa? Kok tidak dibawa pulang?” Suara Ryan terdengar serak, tidak enak didengar. “Mobil masih di kantor, nanti aku jelaskan.” Rima mengerutkan kening. Kenapa ya Mas Ryan ini? Mobilnya tidak dibawa pulang, tas kerjanya tidak dibawa pulang, pakaiannya pun sangat berbeda dengan yang biasa dikenakan atau yang biasa ia cuci. Ini jelas bukan pakaian yang ia kenakan pagi tadi sewaktu berangkat kerja – dasi yang tadi pagi pun tidak terlihat. Dapat pakaian dari mana dia? Apa yang terjadi? Setelah mengunci dan menggembok pagar, Ryan dan Rima pun masuk ke dalam rumah. Ryan buru-buru menutup pintu depan. Berulang kali ia melongok keluar dengan sangat khawatir. Rima pun jadi geleng-geleng kepala. Kenapa aneh begini sih suaminya? “Pa… Papa itu kenapa sih? Kenapa tidak cerita? Ayolah… apa yang terjadi? Jangan bikin bingung Mama begini… Hmph!” Tiba-tiba saja Ryan membalikkan badan dan mencium sang istri. Bibirnya melumat bibir mungil Rima dengan penuh nafsu. Dioles, dikecup, dijilat, dirasakan sesenti demi sesenti. Bibir idaman sejuta pria itu dicium tanpa batasan. Ia luapkan semua nafsu dalam dada demi bibir yang menggiurkan itu. Rima membiarkan saja sang suami mencium bibirnya, meskipun ini di luar kebiasaan Mas Ryan – tapi ya masa menolak dicium suami sendiri? Tapi anehnya kok bibirnya basah sekali!? Seperti bukan bibir Mas Ryan? Tangan Ryan menggerayangi badan Rima yang saat itu tengah mengenakan pakaian yang lembut dan santai. Sangat enak dielus dan diremas. Pantat Rima pun jadi sasaran pertama tangan Ryan yang kesetanan, ditangkup dan diremas-remas dengan sekuat tenaga. Bibir Ryan turun dari posisinya mengecup bibir Rima, turun hingga ke leher, mengecup di sana dan di sini, meninggalkan bekas cupang di leher sang istri, lalu naik lagi dan sekali lagi mencium Rima. “Mmmmhhhh!” buru-buru Rima mendorong tubuh Ryan. “Papa apa-apaan sih? Anak-anak ada di depan TV lho! Nanti mereka bangun! Papa ini kenapa? Kenapa tiba-tiba begini?” “Aku sudah lama tidak melakukan ini…” Ryan menyeringai. Rima jelas heran. Hah? Sudah lama apanya? Kan baru semalam mereka… Tapi Rima tidak sempat untuk menanyakan hal ini itu karena tiba-tiba saja Ryan mengangkat tubuh mungil sang istri dan menggendongnya ke dapur. Ia meletakkan tubuh Rima di atas island yang kosong dengan posisi telentang. “Papa! Apa-apaan…” Tangan Ryan menyeruak masuk ke dalam pakaian bawahan sang istri dan mencoba menarik tali celana dalam Rima turun. Ibu muda jelita itu terkesiap dan menjerit tertahan. Apa yang…!? BAGIAN 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2 no quote