wanita dari negri atas awan
Gunawan Pov
Saat kakiku menginjakan tanah, udara dingin langsung menyapa. Aku baru saja turun dari bus antar kota dan kini aku berada di suatu daerah yang terkenal dengan udara dingin dengan suhu yang dapat membekukan tubuh. Dengan ransel di punggung, aku berjalan keluar terminal. Tak ada lagi angkot yang bisa mengantarkan aku ke tempat tujuan, hanya ojeg pangkalan sebagai sarana transportasi untuk menuju daerah yang aku sering sebut ‘Negeri di atas awan’. Sebenarnya sebutan tersebut aku karang sendiri karena tempat itu senantiasa diliputi kabut.
“Mang … Ke Pasir Layung …” Kataku setelah berada di pangkalan ojeg yang letaknya sebelah timur terminal. Ada enam tukang ojeg di sana. Mereka tidak lantas menyahutku malah saling bertatapan satu sama lain.
“Kamu tuh anter …” Salah seorang tukang ojeg menyuruh temannya. Aku tahu kalau mereka enggan mengantarkan aku karena tempat yang aku tuju sangat jauh dan perjalanan sulit.
“Tiga ratus ribu ongkosnya …” Kataku sambil tersenyum dan mengeluarkan tiga uang kertas berwarna merah, mempertontonkannya pada tukang ojeg. Setelah mendengar harga yang aku tawarkan, keenam tukang ojeg tersebut kini berebutan. Aku hanya tersenyum melihat tingkah lucu mereka.
Aku pun naik ke motor tukang ojeg yang siap mengantarkanku. Motor melaju kencang, angin berhembus segar. Rumah-rumah kayu sederhana sepanjang jalan. Gadis-gadis berkain dan berbaju kurung hilir mudik. Anak-anak berlarian tertawa. Di separuh perjalanan, jalan mulai berkelok-kelok tak henti-henti, udara semakin segar walau matahari tepat di atas kepala, sawah di kanan kiri, lalu kebun teh luas membentang. Hampir dua jam aku berada di atas motor dan akhirnya aku pun turun dari motor.
“Terima kasih ya, mang …” Kataku sambil memberikan uang ongkos ojeg.
“Sama-sama, cep …” Sahut si tukang ojeg yang tak lama berlalu.
Aku melayangkan pandangku ke seluruh tempat ini. Tidak ada yang berubah sejak tiga tahun yang lalu. Aku tersenyum melihat lelaki setengah baya berdiri di depan pintu rumah panggung dinding biliknya. Dia berpeluk tubuh dan bersandar pada pintu sambil memandang ke arahku. Segera saja aku menghampirinya lalu berjabatan tangan erat.
“Sehat Kang …?” Sapaku penuh rindu.
“Alhamdulillah … Sehat … Kamu semakin ganteng aja …” Sahut Kang Asep setengah bercanda.
“Ha ha ha … Dari dulu juga aku kan ganteng, kang …” Candaku. Tiba-tiba mataku melihat wanita di dalam rumah kenalanku ini. Mataku membulat, kedua halisku seperti bertemu membentuk tatapan heran.
“Oh ya … Kenalin … Dia istriku …” Kang Asep sadar dengan keterkejutanku. Langsung aja ia memperkenalkan istrinya. Jujur, aku sangat terkejut ketika Kang Asep menyebut wanita itu sebagai istrinya.
“Kok gak ada kabar kalau akang menikah lagi?” Kataku agak kecewa sambil mendekati wanita berkerudung itu.
“Ini yang akang pernah ceritain, neng … Namanya Gunawan … Bapaknya adalah bos akang dulu waktu kerja di kota …” Kang Asep memperkenalkan aku dengan istri barunya. Aku jabat tangan wanita itu sambil tersenyum.
“Ina …” Istri Kang Asep memperkenalkan dirinya.
“Duh … Bisaan si Kang Asep …” Godaku pada mereka.
“He he he … Tinggal kamu, Wan … Kapan mau menikah … Betah amat ngejomblo …” Jawan Kang Asep sembari mempersilahkan duduk di lantai kayu rumahnya yang beralaskan tikar.
“Aku mah santai aja, Kang … Masih terlalu muda untuk mikirin nikah …” Kataku sambil mengeluarkan beberapa bungkus rokok kesukaan Kang Asep.
“Umur kamu udah mau 27 tahun … Udah cukup tuh berumah tangga …” Kang Asep menyambar satu bungkus rokok dan tak lama ia sudah menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“Santai aja Kang … Masih ada tiga tahun buat main-main dulu … Ha ha ha …” Kataku mengelak.
Akhirnya aku kembali ke tempat ini setelah tiga tahun yang lalu. Tempat yang selalu aku rindukan karena keindahan alamnya. Tidak banyak perubahan di tempat ini dan yang berubah hanya status Kang Asep yang lama menduda kini telah memiliki istri lagi. Sedikit aku bertanya-tanya tentang istri barunya itu. Ina adalah seorang janda beranak satu berusia 37 tahun. Anak tiri kang Asep sekolah di sebuah pesantren di beda kota dan bahkan anak-anak kang Asep dari perkawinan pertamanya pun bersekolah di pesantren yang sama.
Setelah melepas kerinduan bersama tuan rumah, aku beristirahat di sebuah kamar yang disediakan tuan rumah. Kubaringkan tubuh lelahku pada kasur yang tak beranjang. Sejuknya hawa udara dingin membuat mataku tinggal lima watt. Tak terasa aku pun tertidur cukup lama karena sekarang sudah pukul setengah lima sore dan saat aku mulai tertidur tadi kurang lebih jam setengah dua siang.
Waktunya mandi dan merasakan air dingin di pancuran belakang rumah. Memang di rumah Kang Asep tidak ada kamar mandi. Sarana untuk membersihkan diri adalah sebuah pancuran yang airnya sangat jernih dan menyegarkan berada dalam sebuah bilik anyaman bambu. Handuk telah berada dalam genggaman, saat keluar kamar, tak seorang pun berada di rumah. Sampai akhirnya aku keluar dari pintu belakang, di sana aku menemukan Teh Ina sedang memasak di atas tungku. Teh Ina menoleh ke arahku sambil tersenyum.
“Kemana Kang Asep, teh?” Tanyaku sekedar basa-basi.
“Lagi nganterin semen ke kampung sebelah … Sebentar lagi juga pulang …” Jawabnya. Aku setengah terpana setelah dengan seksama melihat wajah istri Kang Asep ini. Wajahnya cantik dan imut, terlihat sekali bahwa ia adalah wanita yang polos dari tatapan matanya.
“Oh … Aku mandi dulu ya teh …” Kataku yang dijawab anggukan kecil dan senyuman manisnya.
Tubuhku basah kuyup terguyur oleh air dingin. Aku bahkan sudah menggigil karena terlalu lama berdiri di bawah pancuran air itu. Aku tak ingin berlama-lama lagi karena tubuhku sudah kebas-kebas. Aku segera membilas tubuhku, memakai handuk dan langsung pergi menuju kamar, berdandan kemudian merapihkan diri. Setelahnya, aku keluarkan kamera Panasonic GX85. Dan tujuanku ke sini yang sebenarnya adalah untuk mengambil gambar pemandangan alam sebagai bahan iklan produk yang sedang aku garap.
Aku kembali keluar rumah lewat pintu belakang. Tanpa memperdulikan Teh Ina yang sedang memasak, aku berjalan menyusuri pematang sawah sambil melihat-lihat objek yang bisa aku abadikan. Aku mengarahkan lensa kameraku untuk menjepret dan mengabadikan keadaan sore yang indah berlatarkan kabut tebal. Menit demi menit kulewati dengan menciptakan keindahan alam melalui kameraku. Dan sekarang aku memutuskan untuk kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, Teh Ina sedang mempersiapkan makanan di ruang depan. Nasi, sayur kangkung, ikan peda dan sambel telah tersaji di atas tikar. Teh Ina langsung mempersilahkan aku untuk makan duluan karena Kang Asep akan sedikit telat sampai di rumah. Aku meminta teh Ina untuk menemani makan, namun wanita itu menolak dengan alasan masih kenyang. Teh Ina malah pergi ke belakang membiarkan aku sendiri menikmati hidangan yang disajikan tuan rumah. Tanpa sungkan, aku pun segera menyantap hidangan kampung tersebut. Lidahku selalu suka dengan makanan kampung ini. Setelah selesai, aku bawa piring kotor dan tempat nasi ke belakang.
“Biar saja, cep … Biar teteh yang beresin …” Teh Ina sedikit terperanjat dari duduknya lalu berdiri. Aku tersenyum dipanggil ‘cep’ olehnya yang berkonotasi sama dengan panggilan ‘mas’ dalam bahasa jawa.
“Gak apa-apa teh … he he he …” Kataku sambil terkekeh melihat Teh Ina yang kaku dan gugup. Wanita itu pun bergegas ke depan dan tak lama membawa piring-piring bekas makananku lalu memasukannya ke dalam lemari kayu yang sudah lusuh.
“Teh … Kira-kira jam berapa Kang Asep pulang?” Tanyaku yang memang agak risih berduaan dengan wanita ini.
“Gak tau ya, cep … Kadang hampir tengah malem …” Jawabnya terdengar sendu.
“Tengah malem???” Aku terkejut bercampur heran.
“Iya cep …” Suaranya terdengan semakin sendu.
Aku tak sengaja menatap wajahnya yang sendu kurang bergairah. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Teh Ina tersenyum meski tidak terlihat keceriaan di dalam senyumnya itu. Aku bisa merasakan kesedihan yang sangat dari sorot matanya. Entahlah, mungkin aku yang terlalu perasaan. Aku coba buang jauh-jauh prasangka itu dan mulai mengajak Teh Ina ngobrol santai dengan sedikit guyonan agar suasana sedikit mencair.
Perlahan-lahan, kecanggungan mulai terurai. Sedikit demi sedikit obrolan kami sudah dua arah. Dan pada akhirnya sungguh menyenangkan rasanya ketika kami bisa tertawa bersama-sama. Kami ngobrol ngaler ngidul cukup lama namun Kang Asep belum datang juga, sampai mataku terasa berat pengaruh sayur kangkung yang aku makan tadi. Aku memutuskan tidur duluan di dalam kamar. Tak butuh waktu lama, aku sudah terlelap masuk dalam dunia mimpi.
###
Kokok ayam jantan dan kicauan burung yang bersaut-sautan mampu membangunkanku dari tidur. Aku menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya bangkit dan menyambar handuk yang aku gantung di gantungan pakaian. Seperti kemarin tak ada siapa pun saat aku keluar kamar, hanya saja ada segelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih hangat di atas tikar. Tanpa perlu meminta izin lagi, aku seruput kopi yang mulai mendingin lalu memakan singkong hangat itu.
“Sudah bangun, cep …” Suara Teh Ina yang tiba-tiba membuatku agak terkejut.
“Iya nih teh … Kalau di sini, enak makan dan enak tidur … He he he …” Kataku setengah malu karena bangun agak siang.
“Ya gak apa-apa … Itung-itung liburan …” Senyum itu sangat manis.
“Kang Asep kemana?” Tanyaku sambil celingak celinguk mencari suami Teh Ina.
“Udah pergi cep … Tadi subuh … Ada proyek bangunan di kampung sebelah …” Jawab Teh Ina.
“Oh gitu ya … Aku mandi dulu ya teh …” Kataku seraya bangkit dan bergerak ke pancuran.
Walau hari mulai merangkak dari pagi, suasana di luar yang berkabut membuat hari tampak kelabu. Sepertinya daerah ini jarang mendapatkan sinar matahari. Oleh karena itu aku selalu menyebutnya ‘negeri di atas awan’. Pancuran air dingin di pagi hari, membuat tubuhku mendapat oksigen yang memadai untuk mengurangi stes di otak. Mandi pagi ini membuat tubuhku menjadi segar, tetapi dinginnya air membuatku segera menyudahi mandi. Setelahnya, aku membenahi diri di kamar lalu keluar sambil membawa kameraku.
“Cep Wawan mau motret-motret ya …?” Ucap teh Ina yang keluar dari pintu tengah membawa teh hangat untukku.
“Iya teh … Mau cari tempat yang bagus untuk pemotretan …” Jawabku sembari menerima gelas yang disodorkannya.
“Teteh tau tempat yang bagus …” Kata Teh Ina yang membuatku tertarik.
“Di mana teh?” Tanyaku lalu nyeruput teh hangat.
“Di kampung atas … Tapi agak jauh dari sini …” Jawabnya.
“Teteh mau nganter?” Tanyaku lagi setengah bergurau.
“Hhmmm … Boleh … Tapi pulangnya jangan malem-malem …” Ucap Teh Ina lirih.
“Gak lah … Paling motret satu atau dua jam … Gak akan lebih …” Kataku.
“Ke sananya gimana? Kalau naek motor sekitar dua jam …” Teh Ina menatapku.
“Kita sewa motor aja … Teteh tunggu di sini … Aku ke rumah Mang Jajang mau nyewa motornya …” Kataku lagi.
Seperti tiga tahun yang lampau, aku pernah menyewa motor untuk pergi agak jauh dari tempat ini. Tak jaub letak rumah orang yang memberikan sewa motornya untukku. Mang Jajang menyambutku sangat ramah. Setelah kuutarakan maksudku, tanpa ragu Mang Jajang memberikan motornya. Kulajukan motor untuk menjemput Teh Ina dan ternyata wanita itu telah siap di halaman rumah.
Kami pun melaju di jalanan berdebu karena sebagian jalan sudah tidak beraspal lagi serta naik turun dan berkelok-kelok. Namun karena perjalanan kami cukup menyenangkan, waktu dua jam rasanya sangat singkat. Kami sampai di sebuah sungai di tengah hutan. Mataku disuguhkan dengan pemandangan aliran air sungai yang begitu jernih dan rindangnya pepohonan di sekelilingnya. Suasana di tempat ini agak gelap karena lebatnya pepohonan yang berumur pulahan tahun. Buih air semakin banyak, bentangan vertikal air terjun kecil dengan tinggi sekitar 10 meter menjadi penyejuk lelahnya perjalanan kami untuk sampai di sini.
“Luar biasa teh … Indah sekali …” Pujiku pada alam sekitar. Teh Ina tersenyum lalu berjalan menuruni jalan setapak menuju sungai. Aku pun mengekor di belakangnya.
“Rumah teteh ada di sebelah sana … Paling sepuluh menitan lagi, pas keluar hutan ini ada kampung … Di situ rumah teteh …” Ucap Teh Ina sesaat kami sudah berada di pinggir sungai.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung memotret objek-objek yang aku pandang bagus dengan kameraku. Air terjun dan sungai yang mengalir di bawahnya sungguh pemandangan alam yang luar biasa indah. Antara percaya dan tidak percaya aku terus memotret. Namun tiba-tiba aku terhenyak ketika mendengar benda jatuh ke dalam sungai. Seketika itu juga aku menoleh ke arah sumber suara. Jantungku seperti copot, namun tak ada jeda waktu untuk aku meloncat ke arah Teh Ina yang kecebur ke dalam sungai.
“Teh …!!!” Pekikku sambil berloncatan di atas batu-batu sungai.
“Aih … Kepeleset … Hi hi hi …” Tawa renyahnya membuat hatiku sedikit lega.
“Gak apa-apa teh?” Aku masih khawatir dan membantunya berdiri.
“Gak apa-apa kok …” Jawabnya sambil tersenyum lalu naik ke atas batu yang cukup datar dan besar.
Seketika itu juga aku menjejak ruang hampa yang kosong dan melihat maha karya yang begitu luar biasa. Seperti ada yang menggerakan, kamera kuarahkan pada sosok wanita berbaju basah yang sedang berdiri di atas batu itu. Beberapa kali jepretan keluar dari kameraku. Penampilan wanita itu sangat artistik dan sensual.
“Cep … Apa-apaan … Ihk …” Ucap Teh Ina setengah protes namun senyumnya mengembang menambah aura natural dalam karyaku kali ini.
“Diam di situ teh …!” Pintaku sambil terus memotretnya dari berbagai sudut.
Teh Ina pun berdiam diri sambil senyum-senyum malu saat aku terus memotret dirinya. Namun tidak pernah sekalipun aku memintanya, wanita berkerudung dengan baju basahnya itu mulai bergaya bak model profesional. Aku semakin bersemangat mengambil pose dirinya bahkan lama-lama aku mengarahkan berbagai gaya. Beberapa saat kemudian, aku sudahi sesi pemotretan. Sambil duduk berdampingan di atas batu besar, aku perlihatkan hasil pemotretan padanya.
“Gak nyangka bisa bagus begini …” Pujiku.
“Hi hi hi … Masa sih cep … Wajah kampung disebut bagus …” Sanggahnya malu-malu.
“Ini laku dijual, teh … Bisa jadi uang …” Selorohku sambil tersenyum.
“Ah masa??? Hi hi hi …” Teh Ina tak lepas dari tawa lirihnya.
“Serius teh … Sedikit diolah oleh komputer … Foto-foto ini bakalan laku …” Kataku tidak mengada-ada karena memang hasil pemotretanku ini bernilai artistik lumayan tinggi.
Kami pun bercanda dan tertawa-tawa sembari meninggalkan lokasi pemotretan. Motor melaju untuk kembali pulang. Sepanjang perjalanan aku bercerita tentang profesiku sebagai desainer iklan produk komersial. Aku rasa wanita di belakangku ini cukup interest saat aku akan menawarkanfoto-fotonya pada para customer-ku. Entah disengaja atau tidak, Teh Ina berkeluh kesah tentang keadaan hidupnya yang selama ini dirasakannya berkekurangan. Aku juga mendengar kalau keinginannya untuk hidup mapan dan berkecukupan. Tanpa terasa dua jam sudah, kami berkendaraan dan akhirnya sampai di rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang.
Bersambung