Nikmatnya Tubuh Istri Penjabat Manado
Ini adalah kisahku waktu melakukan sebuah penelitian ilmiah di Manado, kota yang terkenal dengan kecantikan wanitanya. Saat itu karena prestasiku yang sangat baik, aku mendapat kehormatan untuk menerima dan meminta fasilitas yang aku perlukan untuk penelitian selama satu setengah bulan itu dari sponsor dan pemerintah.
Para pejabat daerah itu juga sangat antusias menyambutku, mereka sangat mengharapkan penelitian ilmiah ini menjadi faktor pendorong bagi perkembangan ekonomi wilayahnya. Salah satu dari para pejabat itu pula yang memberiku kehormatan untuk tinggal bersama keluarganya di sebuah kawasan khusus pejabat pemerintah dan pengusaha terkenal di kota itu. Lagi-lagi aku bisa menabung jatah uang akomodasi yang diberikan oleh sponsor dan fakultas.
Oh ya, nama panggilanku Agus, saat ini aku berumur 24 tahun, aku tercatat sebagai exchange student di University of Osaka, negeri para Shogun dan Shamurai. Badanku biasa saja dengan tinggi 170 cm kulit kuning langsat, wajah sering dapat pujian (nggak nyombong lho).
Ada yang aneh dalam diriku, di usiaku yang sekarang aku begitu menyukai wanita paruh baya yang berumur antara 37 sampai 45. Rasa-rasanya aku jauh lebih menikmati wanita-wanita dewasa, ibu-ibu kesepian atau para tante girang.
Dalam hal hubungan seks, kaum mereka jauh lebih sensitif dan mm pokoknya heboh. Jelas itu karena tuntutan mereka akan kepuasan seks yang lebih dari biasanya dan juga mungkin karena faktor kematangan jiwa serta pengalaman terbang yang melebihi rata-rata (pilot kali yah?)
Nama-nama yang ada dalam cerita ini hanya samaran, jadi kalau ada yang merasa keberatan silakan hubungi hansip di tempat masing-masing. Cerita ini kutulis bersama orang kedua yang juga merupakan pelaku di dalamnya. Jadi nantinya terdapat dua pribadi yang akan berbicara di sini, aku dan seorang wanita yang dalam tulisan ini sebut saja namanya Ibu Linda. Dan percaya atau tidak, cerita ini kami tulis sebagai selingan setiap kali kami melakukan hubungan seksual.
Keluarga Pak Rudy, tempatku tinggal, adalah keluarga kaya dan terpandang di seantero propinsi Sulut. Disamping Pak Rudi sendiri yang pejabat teras Pemda, keluarga itu juga memiliki beberapa perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang. Istrinya sendiri memimpin sebuah grup perusahaan perkapalan dan pengelolaan hasil hutan, ketiga anaknya mereka kirim ke luar negeri.
Satu di Australia dan dua lainnya di London. Di rumah itu mereka tinggal dengan tiga orang pembantu, dua sopir dan dua tukang kebun yang sehari-hari “ngantor” dari jam tujuh sampai jam lima sore. Sebagai orang kaya dan terpandang, Pak Rudi juga terkenal dermawan (atau pura-pura dermawan, entahlah).
Ada juga seorang adik perempuan Pak Rudi, Lisa yang masih single meski sudah berumur 38 tahun, ia seorang dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah di kota itu.
Seperti kebanyakan perempuan Manado, kulit Mbak Lisa (demikian aku memanggilnya) putih bersih, tubuhnya lebih mirip gadis Amerika sono ketimbang orang melayu. Hidungnya mancung dengan bibir yang sensual sekali. Kalau mau melihat dadanya hmm.. ukurannya terus terang saja di atas rata-rata.
Tak kalah cantiknya istri Pak Rudi, aku biasa memanggilnya Ibu, untuk menghormati kedudukannya sebagai pengatur kehidupan rumah tangga itu, orang mengenalnya dengan panggilan Bu Linda. Tubuhnya biasa saja, tak terlalu langsing dan tidak gemuk, pas.
Ia sedikit cerewet, mungkin karena semangatnya sebagai wanita karir yang berdisiplin tinggi. Dalam masalah waktu ia termasuk golongan “gila ketepatan”. Bu Linda tak pernah kepagian dan tak pernah juga kesiangan, ia selalu tepat waktu.
Bicaranya selalu diplomatis, topik pembicaraannya dengan siapapun pasti terdengar sangat ilmiah. Ia memang Sarjana Ekonomi dan Management lulusan UI di Jakarta, jadi jangan heran kalau sesekali ia bicara masalah politik atau kebijakan ekonomi nasional bahkan dunia. Tapi ada satu hal yang kuanggap sebagai kekurangan wanita ini, wajah manisnya lebih sering tampak judes dan “killer”, ia pelit senyum!
Di rumah itu, aku paling dekat secara pribadi dengan seorang dari sopir mereka. Namanya Pak Yos, Yosef Sengkei lengkapnya. Lelaki berumur hampir 51 tahun, pensiunan ABRI yang sudah mengabdi pada keluarga itu tak kurang dari sepuluh tahun. Kami sering berbicara ngalor ngidul. Ia memang ditugaskan untuk mengantarku kemana saja dalam rangka studi di lapangan sehingga kami banyak punya kesempatan untuk ngobrol.
Hanya lima hari sejak aku di sana, ada sebuah kejanggalan yang terjadi pada suasana keakraban dalam keluarga itu, setidaknya ini kata Pak Yos suatu ketika.
Ia bilang betapa kelihatan harmonisnya keluarga Pak Rudy sejak aku ada di situ. Bu Linda yang biasanya sangat menakutkan mereka tiba-tiba jadi agak sedikit ramah dan terbuka, masih super disiplin tapi tidak setegang dulu. Mbak Lisa juga begitu, sekarang ia betah di rumah, sejak ada aku kami memang kerap ngobrol pada malam harinya.
Biasanya hanya ngomong masalah kehidupan luar negeri atau perkembangan di negara ini. Dulu-dulunya kata Pak Yos, Mbak Lisa nggak pernah sedetikpun terlihat duduk di taman dekat kolam renang di belakang rumah. Habis dari rumah sakit langsung saja ngeloyor tidur, demikian cerita lelaki tua itu dengan polosnya. Kucoba jadi pendengar yang baik, toh ini mungkin bermanfaat bagi diriku.
Tapi memang, mengaku atau nggak aku punya perhatian khusus pada Lisa. Ada sebuah perasaan aneh saat pertama kali menatap perempuan setengah baya itu, meski hanya beberapa detik saja kami saling memandang, tapi aku seperti merasakan seolah ada aura yang kuat memancar dari matanya. Namun sebagai pendatang baru apalagi dengan status “Numpang-Man!!” tentu akan sangat tidak sopan kalau aku langsung menunjukkan reaksi.
Dan cepat-cepat aku menangkis semua bayangan-bayangan vulgar tentang kemolekan tubuh Lisa yang sempat bercokol di kepalaku saat aku melihat beberapa kali Lisa menerima kedatangan seorang dokter rekan kerjanya.
Mereka kurang lebih seumur, tapi menurut Lisa yang mulai minggu pertama terbuka padaku itu, Dokter Anton (begitu Lisa memanggilnya) sudah beranak istri. Hanya saja menurut cerita dokter itu ia tak sebahagia yang didambakannya. Suatu kali aku pernah juga memberanikan diri untuk memperingatkan Lisa akan hal itu, dan ia tampak termenung saja seakan masalah itu baginya sebuah dilema.
Pak Rudy, lelaki berumur 55 itu tak begitu dekat dengan keluarganya, ia lebih sering berada di luar rumah, maklum pengusaha sekaliber dia dengan bisnis yang beragam ditambah dengan tugasnya di departement pemerintah membuat waktunya hampir-hampir tak ada untuk keluarga.
“Dua puluh empat jam saja rasanya tidak cukup, Gus”, katanya suatu hari. Yah, itulah gambaran keluarga Pak Rudy dengan beragam karakter mereka. Diam-diam aku juga sering memetik pelajaran dari keluarga itu untuk riset ilmiah ini.
Aku masih ingat, malam itu 27 September 2014. Seperti biasanya kami, aku, Bu Linda dan Lisa berada di ruang keluarga. Kami menghabiskan waktu sambil menonton acara televisi dan menikmati kue-kue kecil sehabis makan malam.
Pak Rudy biasanya sampai di rumah cukup larut, antara pukul sepuluh sampai dua belas. Saat itu sudah pukul sembilan malam waktu setempat. Kami semua duduk di sofa menghadap TV di ruangan itu, ngobrol sana-sini tentang semua yang up to date.
Tapi anehnya, malam itu perhatianku seperti hanyut pada kedua wanita paruh baya itu, keduanya sudah mengenakan baju terusan sutra yang polos tak berlengan sehingga belahan dada mereka berdua tampak menonjol. Dada dan bahu mereka yang putih mulus itu menjadi titik perhatian mataku.
Aku seperti terhipnotis, terutama oleh pesona tubuh Bu Linda yang duduk persis disampingku. Istri Pak Rudy yang berwajah manis itu seperti kehilangan warna judesnya. Pojok mataku lebih sering melirik ke celah gaun tidurnya yang sesekali menampakkan bungkusan buah dada montoknya. Untung aku masih bisa kontrol, mereka beberapa kali menanyakan sesuatu tentang Jepang. Kujawab seadanya dengan mata yang masih saja jelalatan.
Setelah mengamati dengan cukup seksama ternyata Bu Linda berwajah lebih manis dari adik iparnya itu. Meski Lisa lebih muda empat tahun darinya namun kalau mau jujur, aku lebih senang kalau yang ngajak.. mm Bu Linda.
Ah pikiranku mulai ngeres, mereka sering berbicara dengan topik yang tak kuketahui, inilah kesempatanku untuk mencuri-curi pandang kearah celah di bawah ketiak Bu Linda. Dan secara tak sadar, aku tak tahu kalau posisi dudukku dan Bu Linda hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Aku tak tahu apa yang menggerakkan badanku untuk terus mendekat dan hmm.. kulit halus itu terasa tersentuh bulu-bulu tanganku yang langsung saja merinding.
Aneh sekali, kedua wanita paruh baya itu tidak merasa canggung sama sekali. Layaknya seorang anggota keluarga itu, mereka sama sekali tak tampak terpengaruh oleh posisi duduk aku dan Bu Linda.
Tak sampai lima belas menit setelah itu, Lisa menguapkan kantuknya. Rupanya dokter single dan cantik itu terlalu lelah, ia memang mengatakan padaku kalau siang harinya ia habis memimpin sebuah operasi bedah. Tak heran kalau ia tampak begitu lelah, matanya sayu dan sedikit merah.
“Kak , aku pergi tidur dulu ya?” serunya pada Bu Linda, hmm waktu beranjak dari sofa pahanya sempat terlihat olehku. Tapi ah, perhatianku sudah telanjur pada Bu Linda.
“Gus.. Mbak permisi dulu, kamu nggak ngantuk..?”
“Nggak kok, Mbak. Selamat tidur ya”, aku mengedipkan sebelah mata.
“Makasih..”, katanya sambil berlalu dari hadapan kami, ia sempat membalas kedipan mataku dengan senyum.
Beberapa saat kami berdua terdiam, tinggal aku dan Bu Linda dan TV yang ngoceh tak karuan dengan acaranya. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh istri Pak Rudy itu. Sementara aku sendiri asik menghayalkan kalau-kalau suatu saat nanti tubuh wanita ini bisa kusentuh, kuraba, kuremas, kucium dan ooww kutiduri sepuas hati.
“Heii.. kenapa aku jadi begini ya? Rasa-rasanya ada yang aneh malam ini, berduaan dengan pemuda ini, sesuatu yang mungkin di luar dugaan?”
“Hmm.. anak ini boleh juga, semoga suamiku pulang lebih larut lagi..”
Batin Bu Linda seperti merasakan sebuah getaran sejuk dari tubuh anak muda yang ada persis di sampingnya.
“Aneh, kenapa aku merasa biasa sekali dengannya, dia bukan siapa-siapa. Bahkan aku baru mengenalnya hanya satu minggu, tapi rasa-rasanya ia seperti orang yang telah kukenal lama” perempuan itu mencoba sedikit menggerakkan bahunya sehingga menimbulkan pergesekan di antara kulitnya.
“Eiit.. apa-apaan ini Bu Linda, mungkinkah dia berpikir sama denganku?”
“Ii.. ibu, bapak pulang jam berapa Bu?”
“Entahlah.. ibu juga nggak pernah perhatiin lagi tuh, pulangnya jam berapa”, tangannya meraih remote control diatas meja dan mencoba mengalihkan perhatian kearah TV.
“Apa kamu punya rasa yang sama denganku, Gus? Semoga saja iya..? Tapi benar juga katamu. Apa suamiku tak cepat datang dan menemukan kita sedang..” Batinnya mulai dilanda konflik.
“Kamu di Jepang nggak punya pacar, Gus?” ia menggeser duduknya yang terlalu dekat itu, lengan bagian atasnya tak lagi menempel di ujung bahuku. Aku agak sedikit kecewa. Sudut mataku masih saja mengikuti gerak tubuhnya yang cukup mencurigakan.
“Dulu pernah tapi sekarang sudah nggak lagi..”,
“Kalau boleh ibu tahu, kenapa kalian sampai putus? Maaf yah”,
“Nggak apa-apa, Bu. Hmm kami nggak punya titik temu saja”, jawabku,
“Titik temu..?”
“Ya. Kami tidak cocok dan sama-sama egois, tapi saya rasa bukan karena masalah perbedaan budaya, tapi karena mungkin sama-sama masih muda dan ego saya yang masih tinggi”,
“Lho bukannya yang seumur kamu bisa jadi partner atau mm pasangan yang cocok?”
“Nggak juga kok, Bu. Malah saya rasa sebaliknya, saya kira saya hanya akan lebih cocok dengan yang lebih dewasa”, aku mencoba menenangkan diri dengan mengatur arah pembicaraan itu.
“Apa pengertian dewasa yang kamu maksud, dari segi umur?”
“Mungkin ya, kalau mau jujur saja saya lebih menyukai wanita yang lebih tua dari segi umur”,
“Hei.. hei.. kamu mau sama aku? Hmm, kamu lumayan ganteng lho”, batinku.
“Emang kamu pernah pacaran sama yang lebih tua eh dewasa gitu?”
“Pernah sih, tapi sayang.. harus putus juga”,
“Kok putus terus sih?”
“Dia sudah berkeluarga, bu..”
“Aku juga mau kalau kamu mau, betapa enaknya selingkuh sama yang lebih muda kayak kamu, kamu mau.? kalau ya, malam ini juga aku kasih kamu, Gus”, teriaknya dalam hati.
“Tapi, pantas nggak sih kalau aku.. mm.. sama pemuda seumur ini, gimana rasanya ya? Sudah lama aku menginginkan moment seperti ini”, tak disangka wanita bersuami itu kini berkhayal tentang perselingkuhan yang sebelumnya tak pernah sama sekali ada dalam pikirannya, sungguh ajaib anak muda ini, tubuhnya seperti memancarkan gairah birahi yang sangat kuat pada perempuan paruh baya sepertinya.
Malah lebih jauh lagi, batinnya terus mengkhayal, matanya tak lagi memperhatikan TV, diintipnya tingkah anak muda setengah umurnya itu dengan seksama lewat pojok matanya.
“Ada kejanggalan pada gerak-gerik anak itu, memang, hmm akan kupancing dia”.
“Tapi kau wanita bersuami, Linda, apalagi ia jauh lebih muda darimu. Selayaknya kalau kau memanggilnya NAK, bukan sayang, lagi pula kabar tentang kebiasaan buruk suamimu belum tentu benar.”
“Tapi kenapa suamiku belum juga pulang?” Hati wanita itu terus berkecamuk, ia berusaha keras menyembunyikan hal itu dari pemuda gagah yang ada persis di samping tempat ia duduk. Ia juga sepertinya sadar posisi duduk mereka bisa membuat orang lain termasuk suaminya berpikir yang tidak-tidak tapi mengherankan juga, pantatnya terasa begitu berat untuk bergeser.
“Sayang sekali ya, tapi ibu lihat hal itu normal saja kok”, ia mencoba mencari pembenaran, tentunya dengan penuh harap kalau jalan pembicaraan itu menjurus ke arah yang ia inginkan.
“Nggak ngerti saya, Bu. Tapi.. ng.. saya masih berharap bisa menemukan yang seperti itu”, Waw! Bu Linda menyilangkan pahanya sehingga bagian bawah gaun tidur itu tersingkap cukup menantang. Paha putih mulus itu dengan cepat mengalihkan perhatianku dari daerah ketiaknya.
“Apakah ia lupa kalau seleraku adalah wanita seumurnya? Atau ia memang sengaja memancing reaksi?” mungkin benar kata teman-temanku, bahwa kebanyakan istri pejabat memang gatal seperti ini. Mengetahui suami mereka banyak “jajan” di luar rumah. Atau jangan-jangan ini memang sikap yang ia anggap biasa saja, Ingat, paling tidak dia pernah tinggal di Jakarta cukup lama, tentunya waktu menamatkan kuliahnya di UI.
Kami berdua terdiam untuk beberapa saat, sepertinya memang kami memikirkan sebuah hal yang sama tapi sama-sama malu dan enggan untuk mengungkapkannya. Sudut mataku full mentok ke arah buah dadanya yang maju banget, lebih dari rata-rata.
Kuperhatikan lagi wajahnya dengan seksama, kulirik sejenak lalu membayangkannya, hmm.. Bu Linda ini adalah perempuan paruh baya yang tercantik yang pernah kulihat.
Tapi.. Bagaimana caranya? Aku bingung sendiri sampai tiba-tiba ia membuka pembicaraan lagi, “Gus, menurut kamu kabar burung tentang kebiasaan buruk para elite pemerintah yang dikatakan punya hobi “jajanan” itu betul, nggak?” ia tak sadar semakin mengarahkan pembicaraan itu. Wah ini dia kesempatanku!
“Tampaknya ibu cukup ketinggalan juga, ibu masih menganggap itu kabar burung tapi saya sendiri pernah menelitinya secara ilmiah, Bu”,
“Oh ya?” dia tampak bersemangat lagi,
“Ya, dulu saya bersama teman pernah melakukan penelitian dengan sampling dan polling di antara keluarga para pejabat dan eksekutif di Jakarta”,
“Terus.. terus gimana..” ia memotong,
“Hasilnya cukup mengejutkan, sekitar 60 persen dari para bapak-bapak itu mengaku pernah atau memang sering melakukannya”,
“Hah..!” Bu Linda terperanjat, matanya menatapku tajam, ini kesempatan lagi untuk membalas tatapan perempuan cantik itu. Sambil lalu aku melanjutkan keterangan yang sebenarnya hanya khayalanku saja, ini untungnya ilmuwan, biar ngawur juga sedikit tidak pasti dipercaya.
“Dan yang lebih aneh lagi, Bu. Sebagian besar dari para respondent menganggap hal tersebut suatu yang sudah lumrah. Malah ada lagi yang berpendapat bahwa aneh kalau seorang pejabat teras dan eksekutif tak memiliki wanita lain selain istrinya, lebih tepat kalau saya katakan partner seks lain karena para wanita tadi memang lebih sering berfungsi sebagai teman kencan.
Kalau para pejabat pusat biasanya mengincar para artis dan bintang film, tentunya dengan konpensasi yang sebanding untuk si wanita, dan pejabat daerah biasanya memakai kedok perusahaan pribadi mereka, merekrut gadis-gadis cantik untuk dijadikan simpanan dengan kedok mempekerjakan mereka sebagai sekertaris, staff dan lain-lain”, jelasku panjang lebar, kata-kata itu muncul begitu saja dari mulutku dengan logika yang sedikit ngawur.
Bu Ani tampak sangat serius menanggapinya. Belum lagi aku melanjutkan kata-kata itu ia sudah memotong dengan pertanyaan yang justru membuat rencana kecil dan trik itu berjalan semakin lancar saja,
“Kalau menurut kamu, Bapak gitu nggak? Maksudku mm suami ibu gitu”, ini dia pertanyaan yang kutunggu, jantungku pun berdetak mulai kencang dan dengan susah payah aku berusaha mengatur intonasi suara agar terdengar stabil.
“Ngg.. gimana ya, Bu. Ini yang berat. Tapi..” Aku jadi ragu menjawabnya, Ah aku harus mendapatkan perempuan itu malam ini juga, ya, harus, harus.
“Tapi apa, Gus?” ia semakin penasaran,
“Tapi saya kan baru di sini, sebulan juga belum, Bu.”
“oo.. iya kamu benar juga, tapi nggak ada salahnya lho. Tapi oke lah, kita kembali ke topik tadi, terus gimana hasil penelitian kamu pada para istri pejabat”, suasana jadi agak kikuk, Bu Linda berusaha santai, kakinya yang sedari tadi dilipat itu kini ia selonjorkan.
“My God, aku harus bagaimana lagi untuk mencoba melakukannya, ah peduli setan, aku bukan istri yang setia. Dan lagi apa gunanya sih? Oh.. Agus, sentuh aku malam ini, rasanya aku ingin sekali merengkuh tubuhmu, memberi jalan padamu untuk memasuki tubuhku”, ia agak segan saat batinnya ingin menyebut nama benda yang ada di antara selangkangan pemuda itu. Dan.. woow, reaksi apakah itu? Ia seperti melihat perubahan jelas pada permukaan celana anak ini.
Aku pun mulai kehilangan bahan omongan, otakku sudah dipenuhi bayangan vulgar tubuh wanita berumur empat puluhan ini bertelanjang bulat di hadapanku.
Pantat dan pinggulnya yang aduhai itu, oh betapa nikmatnya kalau tanganku bisa meremas-remasnya. Suasana mendadak vakum cukup lama, tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami, Ya ampun, bagaimana caranya aku.. aku ingin sekali menyentuh benda itu tapi kenapa tangan ini rasanya seperti beku tak bisa kugerakkan.
Ini kali pertama aku begitu bergairah pada seorang lelaki sejak perkawinanku sembilan belas tahun lalu, mungkinkah? Ini bisa kulakukan.. oohh aku ingin cepat-cepat meremas batang penismu anak muda! Oohh betapa nikmatnya kalau anak ini sampai menindihku, memainkan seluruh alat vitalku, memasuki liang rahimku oohh, akankah ia jadi orang yang pertama berselingkuh denganku.
Jari tangan Bu Linda saling meremas keras, aku jadi semakin yakin kalau wanita ini memang menginginkannya, sikat saja, Gus! Dia wanita kesepian! Lihatlah gerak-geriknya, perlakuan suaminya, kecantikan tubuhnya, bukankah itu yang kau cari? Entah dari mana datangnya keberanianku, lebih tepat kalau dibilang kenekatanku. Tanganku tiba-tiba mendarat di atas telapaknya yang saling meremas tadi.
“Ada apa, bu. Ibu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?” kupandangi matanya yang indah, bibir manisnya yang tampak begitu ranum itu seperti kehilangan warna keseharian yang biasa ia tunjukkan pada para pekerja.
“Gus”, panggilnya serak dan berat.
“Ya, bu?”
“Ibu ingin sesuatu dari kamu.. dan ibu harap kamu mau meluluskannya”, ia menatap mataku. Teduh sekali pandangan wanita ini, wajahnya berubah seperti seorang pengantin baru yang sedang menghadapi malam pertama.
Aku yakin, saat itu aku tak dapat lagi mengontrol diri, sebelah tanganku bergerak meraba pundaknya, entah setan dari mana yang memberiku tenaga tapi aku yakin seyakin-yakinnya.. ini malam pasti bakalan kejadian,
“Saya berharap inilah yang ibu inginkan”, kataku lalu mengarahkan bibirku pada bibirnya yang merah.. entah berapa lama setelah itu kami berdua sudah turun dari sofa dan terlibat pertarungan bibir yang sangat hebat.
Tak ada lagi kata-kata, yang terdengar hanya desahan berat mengiringi waktu dan suasana yang semakin panas, aku menindih tubuhnya di lantai berlapis karpet tebal itu. Sementara tanganku meraba permukaan dadanya yang menggelembung besar dan montok, kususupkan telapakku melalui celah dasternya lalu dengan cekatan jari-jariku menarik BH-nya ke atas.
Hmm.. kelembutan buah dada wanita paruh baya itu semakin membuatku bernafsu menggumulinya. Tangan kiriku tak mau ketinggalan, merambat ke arah bawah menuju daerah pangkal pahanya, dari situ kutarik celana dalam pink-nya ke bawah dan langsung kulorotkan, Bu Linda menyambutnya dengan meloloskan CD itu lepas dari kakinya.
Sejenak kuhentikan aktivitas itu, kurenggangkan jarak antara tubuh kami, lalu pelan-pelan kulepaskan dasternya yang begitu tampak seksi dimataku.
“Oohh akhirnya.. mm.. gumuli aku, sayang, gumuli aku, setubuhi wanita kesepian ini.. oohh..”
“Ibu yakin akan melakukan ini, bu?”
“Teruskan sayang, puaskan ibu malam ini. Ibu memang sudah lama ingin melakukan ini, kamu akan jadi lelaki pertama yang menyetubuhi ibu selain suami, lakukanlah, Gus, lakukan, ibu mau, Gus. Mau.. mau.. teruskan sayang..” ia mengangkat-angkat tubuhnya untuk memudahkan aku meloloskan dasternya dan.. tubuh bahenol istri Pak Rudi itu kini telah tersaji lengkap di hadapanku.
Tergesa-gesa kulepaskan pakaian dan celana dalam yang kukenakan. Mata permpuan itu melotot melihat sesuatu yang berdiri tegak di selangkanganku, raut mukanya menampakkan rasa khawatir bercampur gembira.
“Besar sekali sayang.. ya ampun, gimana rasanya?” serunya genit sambil mengulurkan tangan kearahku. Aku kembali menindih tubuh telanjang yang begitu menggairahkan itu. Mulutku langsung menuju ke puncak gunung kembar di dadanya dan croop.. menyedot puting susunya yang merah kecoklatan.
Ternyata bentuk payudara ini jauh lebih bagus dari payudara wanita-wanita lain yang pernah kugauli, malah Annie mantan pacarku pun tak ada apa-apanya dibanding Bu Linda.
“oohh.. nikmatnya mulutmu sayang oohh, kau benar-benar lelaki yang pertama kali memberiku kenikmatan seperti ini, suamikupun tidak pernah..”
“Ng.. aahh.. sedoot yang keraas.. uuhh.. nikmat sekali sayang”,
“Kenapa aku tiba-tiba tak sabar ingin di masuki batang penismu? Menelan air manimu seperti di film itu atau menampungnya dalam rahimku oohh.. akupun rela kalau mengandung anak hasil perbuatan haram ini.. sayang, oohh setubuhilah aku sepuasmu, nak. Kau harus memberiku kepuasan malam ini.”
Pinggulnya bergerak ke samping kiri dan kanan, seperti mengisyaratkan aku untuk segera mulai menyetubuhinya. No way, terlalu cepat. Kuturunkan wajahku sambil terus menjulurkan lidah di permukaan perutnya terus turun dan sampai di daerah yang paling aku sukai, hmm namanya juga istri pejabat, daerah ini tampaknya terawat baik sekali. Tak perlu ragu.
“Ibu mau diapain sayang oohh.. ibu malu”, tangannya mencoba menahan sambil menarik rambutku. Namun rasa geli di permukaan perutnya ternyata sangat ia sukai.
Beberapa saat kemudian tangan itu malah mendorong kepalaku semakin bawah dan.. nyam-nyam ini dia! Hutan lebat yang menyembunyikan oase itu kusingkap, oh.. bukit kecil dengan sumur di antaranya yang berwarna merah merangsang birahi itu. Kusibakkan kedua bibir vaginanya dan creep.. ujung hidungku kupaksakan masuk ke dalam celah vagina yang sudah sedari tadi becek itu.
“aahh.. kamu nakaall”, jeritnya cukup keras, Terus terang vaginanya adalah terindah yang pernah aku cicipi, bibir kemaluannya yang merah merekah dengan bentuk yang gemuk dan lebar itu membuatku semakin bernafsu saja. Bergiliran kutarik kecil kedua belah bibir vagina itu dengan mulutku. Tak kusangka wanita pemiliknya sudah pernah mengeluarkan tiga anak dari vagina ini. Cairan kelamin mulai deras mengalir dari lubuk rahim Bu Linda.
“uuhh.. kamu yang pertama memperlakukan aku seperti ini, oohh aku bahkan tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, ya ampuunn oohh lidahmu ooh nikmatnya. Tak pernah sebelumnya suamiku berbuat seperti ini padaku, ah masa bodoh dia hanya seorang pecundang sekarang.”
Sementara aku asyik menikmati bibir kemaluannya, ia terus mendesah merasakan kegelian, persis seorang gadis perawan yang baru merasakan seks untuk pertama kali, kasihan wanita ini dan betapa bodohnya Pak Rudy. Lelaki botak itu mungkin sedang asyik dengan perempuan lain malam ini. Jadi wajar saja kalau istrinya bersetubuh denganku, adil kan?
“aahh.. sayang.. ibu suka yang itu yaahh sedoot lagi dong sayang oogghh”, ia mulai banyak menggunakan kata sayang untuk memanggilku. Sebuah panggilan yang sepertinya terlalu mesra untuk tahap awal ini. Tapi kuakui sikapnya yang dewasa dan keibuan inilah yang menjadi daya tariknya. Lima menit kemudian..
“Sayang.., Ibu ingin cicipi punya kamu juga”, katanya seperti memintaku menghentikan tarian lidah di atas vaginanya.
“Ahh, baiklah Bu, sekarang giliran ibu”, lanjutku kemudian berdiri mengangkang di atas wajahnya yang masih berbaring. Tangannya langsung meraih batang penis besarku dan sekejap terkejut menyadari ukurannya yang jauh di atas rata-rata.
“ini barang atau ketimun, Gus?” candanya padaku, lidahnya langsung menjulur kearah kepala penis yang sudah sedari tadi tegang dan amat keras itu.
“Mungkin ini nggak akan cukup kalau masuk di.. aah mm.. nggmm”, belum lagi kata-kata isengnya keluar aku sudah menghunjamkan penisku kearah mulutnya dan croop langsung memenuhi rongganya yang mungil itu. Matanya menatapku dengan pandangan lucu, sementara aku sedang meringis merasakan kegelian yang justru semakin membuat batang penis itu tegang dan keras.
“Aduuh enaak Bu oohh enaknya Bu oohh..”, mulutku mulai mengeluarkan tempat bersandar sampai aku terduduk lagi di sebuah sofa panjang sementara ia terus menyedot dan mengocok batang kemaluanku keluar masuk mulutnya yang kini tampak semakin sesak. Tangan kananku meraih payudara besarnya yang menggelayut bergoyang kesana kemari sembari tangan sebelah kiriku memberi rabaan di punggungnya yang halus itu.
Sesekali ia menggigit kecil kepala kemaluanku dalam mulutnya”, mm.. mm..”, hanya itu yang keluar dari mulutnya, seiring telapak tanganku yang meremas keras daging empuk di dadanya. Apakah aku sanggup menerima penis ini dalam vaginaku, uh.. besarnya. Tak kubayangkan ada lelaki muda dan gagah dengan ukuran kemaluan sebesar dan sepanjang ini, alangkah nikmatnya, aku sudah tak sabar lagi.
“Crop..” ia mengeluarkan kemaluanku dari mulutnya.. dan berdiri tegak di hadapanku, aku langsung menyergap pinggulnya dan lagi-lagi, daerah selangkangan dengan bukit berbulu itu kuserubuti dan menyedot cairan mani yang sepertinya sudah membanjir di bibir vaginanya.
“Aoouuhh.. ibu ndak tahan lagi sayang ampuun.. Guss.. hh masukin ibu sekarang juga, ayoo..”, pintanya sambil lalu beranjak menempatkan dirinya tepat diatas pangkal pahaku yang terduduk tegak di sofa, selangkangannya yang tersibak di antara pinggangku menempatkan posisi liang vaginanya yang terbuka lebar itu siap menerima masuknya penis besar yang kini sudah benar-benar tampak tegak lurus dan keras. Pelan sekali ia menempelkan bibir kemaluannya di kepala penisku dan mendorong perlahan,
“Ngg.. aa.. aa.. aa.. ii.. oohh masuuk.. aduuh besar sekali sayang, oohh..”, ia merintih, wajahnya memucat seperti orang yang terluka iris. Aku tahu kalau itu adalah reaksi dari bibir vaginanya yang terlalu rapat untuk ukuran penisku. Dan Bu Linda merupakan wanita yang kesekian kalinya mengatakan hal yang sama. Namun jujur saja, ia adalah wanita paruh baya tercantik dan terseksi dari semua wanita yang pernah kutiduri.
Buah dadanya yang membusung besar itu langsung kuhujani dengan kecupan-kecupan pada kedua putingnya secara bergiliran, sesekali aku juga berusaha mengimbangi gerakan turun naiknya diatas pinggangku dengan cara mengangkat-angkat dan memiringkan pinggul hingga membuatnya semakin bernafsu.
“Huuhh.. aahh Bu, nikmat sekali Bu Linda.. oohh, vagina ibu oohh lezatnya oohh goyang terus Bu aahh ini yang saya suka Bu oohh”,
“Yaahh ngg.. oohh sayang.. sedoot terus susu ibu, Gushh..”
Tangannya menekan-nekan kepalaku kearah buah dadanya yang tersedot keras sementara penisku terus keluar masuk semakin lancar dalam liang vaginanya yang sudah terasa banjir dan amat becek itu. Puting susunya yang ternyata merupakan titik nikmatnya kugigit kecil hingga wanita itu berteriak kecil merintih menahan rasa nikmat sangat hebat, untung saja kamar tidur Lisa terletak di lantai dua yang cukup jauh untuk mendengar teriakan-teriakan kami berdua.
Puas memainkan kedua buah dadanya kedua tanganku meraih kepalanya dan menariknya kearah wajahku, sampai disitu mulut kami beradu, kami saling memainkan lidah dalam rongga mulut secara bergiliran. Setelah itu lidahku menjalar liar di pipinya naik karah kelopak matanya melumuri seluruh wajah cantik itu, dan menggigit daun telinganya.
Genjotan pinggulnya semakin keras menghantam pangkal pahaku, penisku semakin terasa membentur dasar liang vagina itu.
“oohh.. aa.. aahh.. aahh.. mmhh gelii oohh enaknya, Gus.. ooh”,
“Yaahh enaak juga Bu oohh vagina ibu rasanya nikmat sekali, yaahh iiyyaakkhh.. genjot yang keras Bu, nikmat sekali seperti ini, Bu oohh ibu enaakk.. oohh Bu oohh vagina ibu nikmat sekali, Bu”, kata-kataku yang polos itu keluar begitu saja tanpa kendali, bahkan tak kupedulikan lagi estetika bahasa pada istri Pak Rudi ini, aku tak canggung lagi menyebut kata-kata seronok tentang alat vitalnya yang memang benar-benar terasa nikmat.
Goyang pinggulnya yang sesekali memutar itu membuat seluruh permukaan penisku terasa membelai dinding bagian dalam kemaluannya. Tanganku yang tadi ada di atas kini beralih meremas bongkahan pantatnya yang bahenol itu. Setiap ia menekan ke bawah dan menghempaskan vaginanya tertusuk penisku, secara otomatis tanganku meremas keras bongkahan pantatnya. Secara reflek pula vaginanya menjepit dan berdenyut seperti menyedot batang penisku.
Hanya sepuluh menit setelah itu goyangan tubuh Bu Linda terasa menegang, aku mengerti kalau itu adalah gejala orgasme yang akan segera diraihnya, oouuhh.. Ini pertama kalinya dalam hidupku aku merasa seperti ini, anak ini benar-benar perkasa, ooh dia masih tampak kekar dan tenang. “Aku menyerah anak muda, aku tak kuat lagi menahan ini ooh penismu terasa seperti peluru kendali nuklir yang meluluh lantakkan rahimku.. ooh nikmatnya.”
“Guss.. aahh ibuu ngaa.. nggak kuaat aahh aahh aahh oohh..”,
“Taahaan Bu.. Tunggu saya dulu mm ngg.. Nooh enaknya Bu.. tahan dulu Bu.. jangan keluarin dulu.”
Tapi sia-sia saja, tubuh Bu Linda menegang kaku, tangannya mencengkeram erat di pundakku, dadanya menjauh dari mukaku hingga kedua telapak tanganku semakin leluasa memberikan remasan pada buah dadanya. Aku sadar sulitnya menahan orgasme itu, hingga aku meremas keras susunya untuk memaksimalkan kenikmatan orgasme itu padanya. “oo.. ngg.. aahh.. sayang sayang sayang sayaang ooh enaak ibu kelauaar keluar keluar haah haah hhoohh oohh..”, teriaknya panjang mengakhiri babak permainan itu.
Aku merasakan jepitan vaginanya di sekeliling penisku mengeras dan terasa mencengkeram erat sekali, desiran zat cair kental terasa menyemprot enam kali di dalam liang vaginanya sampai sekitar sepuluh detik kemudian ia mulai lemas dalam pelukanku. Dengusan nafasnya mendominasi suasana yang mendadak sepi itu.
Uhh, perkasanya anak muda ini, suamiku pun bahkan tak pernah dapat memberikan kepuasan seperti ini. Pengalaman pertamaku.. ya. Terimakasih sayang, kamu telah memberikan sebuah pelajaran nikmat dan tak terlupakan ini. Aku jadi tahu betapa nikmatnya kepuasan seks yang kamu berikan. Tapi bagaimana dengan kamu sendiri? Hei dia masih tegar, yah aku masih bisa merasakan getar nafsu yang hebat di batang penisnya yang masih terjepit dalam vaginaku.
Pinggulnya sedikit bergerak.
“Maafkan ibu, sayang.. Ibu belum bisa memuaskanmu..”, katanya dengan nafas yang masih mendengus naik turun. Aku memberinya belaian lembut dan beberapa kecupan di pipinya. Ia tersenyum mesra mendongakkan kepalanya yang bersandar di dadaku.
“Tak apa, Bu..”, jawabku menghiburnya,
“Yang penting ibu bisa memuaskan diri ibu, saya juga menikmatinya, kok”,
“Meskipun kamu belum keluar?” ia memandangku seksama.
“Jangan pikirkan saya Bu..”, padahal aku cukup kecewa juga. Dasar sok aksi, padahal kalau bukan Bu Linda sih sekarang juga kau pasti memperkosanya, benakku mengejek diri sendiri.
Teng! Teng! Teng! jam dinding antik di ruangan itu berdentang duabelas kali, seakan mengingatkan kami berdua akan bahaya yang bisa tak kami sadari. Raut wajah ratu rumah tangga itu mendadak pucat, penisku masih menancap di liang vaginanya, posisi kami memang belum berubah dari sejak ia mengalami orgasme. Penisku pun masih tegang terselip dalam kemaluannya yang mulai mengering.
Tapi bunyi dentang jam itu seperti sebuah komando bagiku untuk waspada, penisku seperti mengerti akan hal itu. Ia mendadak menciutkan diri. Bu Linda memandangku seksama, mungkin merasakan perubahan cepat pada barang yang terjepit dalam vaginanya.
“Ibu cabut yah, sayang? Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa, Bu. mm jam berapa bapak pulang Bu”, tanyaku setengah berbisik.
“Biasanya sekarang ini sudah pulang.. tapi kenapa yah..?”
“Atau mungkin bapak mm bapak..”,
“Bapak apaan sih..”,
“Apa mungkin bapak tahu, Bu?”
“Eh kamu yang nggak-nggak saja, nggak mungkin sayang. Rumah ini terlalu besar untuk bisa diintip dari luar”,
“Gimana kalau dia sudah masuk dan mengetahui kita sedang berbuat ini?”
“Yang jelas kamu bukan polisi yang serba tahu dan suka menebak-nebak”, ia berdiri, penisku tercabut dari liangnya, ada sedikit rasa geli saat batangku tergesek dindingnya.
“Aouw.. ah geli, Gus.. kamu mau lanjutin sampai kamu puas? Ibu siap, siap layani kamu sampai ini bisa dikatakan seimbang dan adil”, Katanya sembari memberi senyuman kearahku, wajah pucatnya tak tampak lagi.
Sepertinya akan ada permainan lagi, oo tentu dong!! Aku belum puas menikmati tubuh ini, aku belum sempat menindihnya, menggumulinya dan aahh.. menidurinya sepuas hati sampai wanita ini berteriak minta ampun. Tapi ah selalu ada tapinya.. tapi bukankan ini jam rawan Pak Rudi pulang?
“Tapi Bu? Kalau Bapak datang?”
“Tenang.. sayang, serahkan itu pada ibu”, katanya, ia lalu meraih baju tidur, BH dan celana dalamnya yang tercecer di karpet. BH dan celana dalamnya ia pegang sementara gaun tidur itu ia kenakan lagi. Aku mengikutinya mengenakan juga celana pendek dan baju kaos tanpa celana dalam.
Bu Linda melangkah ke meja kecil di pojok ruangan lalu beberapa saat kemudian ia sudah menunggu jawaban dari gagang telepon yang menempel di telinganya. Aku mulai bisa menebak akal-akalan ini.
“Halo Pak, bapak di mana nih? Tapi kok sampai seginian larut belum selesai juga? Jam dua belas.. hah? oo begitu, iya deh kalau gitu Mami tunggu yah, daah”, ia meletakkan gagang telepon dan langsung meraih tanganku dan menarikku kearah tangga.
“Gus kita masih punya satu jam lagi.. cukup, kan?”
“Ya cukup Bu, tapi saya kuatir kalau..”,
“Kalau bapak datang? Tenang saja.. lokasinya akan memungkinkan kita melihat kedatangan mobilnya dari jarak yang cukup jauh”, Ia terus menaiki tangga, melewati lantai dua tempat kamar Lisa terus menuju ke lantai tiga di mana terdapat sebuah hall khusus untuk santai dengan sebuah tempat duduk empuk yang panjang dan sebuah payung besar mirip beach umbrella.
“Bukan itu maksud saya, Bu..”,
“Lalu maksud kamu apa”, ia menatapku,
“Maksud saya,.. saya kuatir kalau ibu minta lagi dan kita main lagi dan.. aauuww”, belum lagi kata-kataku habis Bu Linda menjamah batang penisku lalu meremasnya dengan keras.
“Iihh.. nakal kamu, awas lho kalau kamu keluar duluan, janji yah, keluar samaan”, katanya genit. Aneh sikap Bu Linda yang sehari-harinya judes itu malam ini hilang tak berbekas, ia mendadak berubah seperti perawan yang baru saja beranjak remaja, kubalas mencubit pantatnya yang sintal itu dengan gemas. Kami berdua benar-benar menikmati moment itu mirip pengantin baru yang sedang berbulan madu.
Sampai di pojok lantai atas yang terbuka itu, aku memandang sekeliling. Rumah ini memang yang tertinggi di antara rumah lain di lingkungan kompleks pejabat teras dareh itu, berlantai tiga sehingga pemandangan sekitar kompleks tampak jelas terlihat dari sini.
“Sekarang lakukan apa maumu sayang, ibu mau puasin kamu sepuas-puasnya”, ia merebahkan diri di kursi panjang yang bisanya menjadi tempat membaca koran minggu pagi suami wanita itu, ia masih memegang tanganku dari tadi.
“Tidak, Bu. Bukan ini yang saya inginkan”, kataku menggeleng,
“Lalu ibu mau kamu apain?”
“Coba sekarang ibu berdiri membelakangi saya”, aku menunjuk ke arah pinggiran lantai yang menghadap pintu gerbang di bawah.
“Terus?”
“Naikkan sebelah kaki Ibu di bangku ini”, aku mengambilkan sebuah bangku kaki tiga setinggi lutut,
“Kamu mau ibu buka pakaian?”
“Tidak, Bu. Saya lebih senang melihat ibu dengan gaun itu, ibu tampak jauh lebih menggairahkan”,
Dasar anak muda! Serunya dalam hati, tapi ia senang juga pada fantasi seks anak ini. Baginya apapun yang dimintanya adalah pelajaran berharga.
Ia yakin benar bahwa anak ini jauh lebih mengenal variasi seks dari pada ia sendiri yang selama perkawinannya hanya mengenal teknik seks dari suaminya, dan terus terang suaminya takkan pernah memberinya fantasi sehebat ini. Tanpa variasi dan sangat menjemukan.
Hamparan pemandangan vulgar itu tersaji sudah, Bu Linda, wanita paruh baya empat puluhan itu kini membelakangiku dengan pantatnya yang semok sejajar dengan penisku yang mulai tegang.
Aku menyingkap ujung bawah gaunnya keatas dan menyelipkannya di ikatan pinggang gaun itu. Pantat itu terbuka dan samar-samar terlihat belahan vaginanya yang terjepit kedua belahan pantat itu. Kukocok sejenak penisku yang sudah tegang untuk menambah kerasnya, lalu perlahan kusisipkan kecelah yang mulai basah itu dari belakang.
“Ooohh.. ngg”, desahan khasnya saat menerima masuknya penis besar dan panjang itu.
“Ini salah satu posisi favorit saya, Bu, ibu suka?” aku meraih buah dadanya dari celah gaun tidur itu.
“Hoohh.. i. I.. Iya.. ibu suka sekalii.. hheehh.. aahh”, Pompaanku dimulai, sambil meremas payudara besarnya sebelah lagi tanganku memijit clitoris di bagian atas vaginanya. Bu Linda mendesah semakin cepat, nafasnya pun semakin memburu, tusukan-tusukan penisku dari arah belakang pantatnya kini ia balas dengan menggoyang-goyang pantatnya maju mundur berlawanan denganku.
Hempasan pangkal pahaku menimbulkan decakan suara yang semakin keras saat ia juga menghempaskan pantatnya saat aku menusuk ke arah vaginanya.
“Iyaakkhh iihh uuhh aauuwww.. hheehh.. nikmat genjot aah”,
“Oohh Bu, nikmat sekali ini, oohh ini aahh inii Bu aahh.. enaakkhh.. sshh”,
“Ayoo sayaang ibu su.. sudaah hampir laagii aahhmm sshh..”
“Tahan Bu sentar laagii aahh sshh sstt.. eehh.. ooh enaknya vagina ibu”,
“Aduuhh.. Gus cepetaan sayaang.. aduuh enaknya koon oohh penis kamu, sayang”,
Sebenarnya aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mempercepat ejakulasiku namun ooh, sulit sekali membuatnya cepat kalau dengan pasangan main secantik dan semolek Bu Linda ini. Dan kejadian itupun terulang, Bu Linda mendesah panjang dengan tubuh yang kembali menegang. Tangannya meremas tiang tempat ia berpegang sambil menggigit bibirnya.
“aauuww ibu nggak tahaan sayang oohh.., enaakhh ibu keluar lagii”,
“ooh Bu mm”, aku sedikit kecewa saat ia menghentikan gerakan. Kakinya ia turunkan dari bangku yang membuat penisku tercabut.
“Ibu capeek, sayang.. selangkangan ibu rasanya pegal sekali”, ia menatapku lemas, aku diam sejenak. Ah peduli amat..! aku harus memuaskan dirku sekarang! Kalaupun ia menolak akan kuperkosa wanita ini.
Aku menariknya dengan sedikit kasar lalu kudorong ia perlahan untuk menungging dan bertumpu di kedua kaki dan tangannya. Pahanya kulebarkan dengan sedikit memaksa,
“Ampun sayang, ibu nggak kuat lagi, ooh ibu nyerah deeh” ia meminta.
“oohh anak muda ini, gila!! Benar-benar gila kau Agus.. kau mampu membuatku orgasme sampai dua kali dan kau sendiri masih belum apa-apa. Dan sekarang.. oh tuhan aku mau diapakan. Aku memang suka permainanmu yang hebat ini tapi oouuh.. ampuun gelii..”
Aku menghunjamkan penisku dari belakang, kupikir doggy style ini biasanya membuatku cepat keluar,
“Maafkan saya bu, tapi tubuh ibu sangat menggairahkan, ini kesempatan yang sudah saya tunggu sejak pertama melihat ibu”, aku mulai memaju mundurkan pantatku menggenjotnya. Permintaannya untuk berhenti justru semakin membangkitkan birahiku.
Bagaimana rasanya orang yang sehari-hari tampak judes dan kejam ini merasakan keperkasaanku yang telah dua kali membuatnya tumbang. Aku semakin menikmatinya. Genjotanku semakin lancar, tak kupedulikan lagi desahan dan rontaannya yang timbul dari rasa geli itu.
Sepuluh menit kemudian aku baru merasakan gejala ejakulasi, sengaja kupercepat dan perkeras genjotanku. Tanganku meraih buah dadanya yang menggantung dan bergoyang keras akibat benturan pangkal pahaku yang bertubi-tubi.
Tapi tiba-tiba sekali, sekelebat sinar terang dari sebuah kendaraan tampak di kejauhan. Dan wajah Bu Linda yang memang menghadap ke arah itu melihatnya jelas, tubuhnya reflek berhenti dari reaksi kenikmatan yang sebenarnya baru saja mulai ia rasakan lagi. Akupun demikian, kami bagai tersambar listrik, langsung terdiam dan tak bergerak, hanya beberapa detik sebelum Bu Linda reflek mencabut gigitan vaginanya dan berdiri menghadapku.
“Itu bapak! Kita harus kembali ke kamar masing-masing, kunci kamarmu”, katanya cekatan, wajahnya mulai tegang, pesona seksual dan libidonya seperti hilang tak berbekas.
“Ayoo!! Kamu tunggu apa..”, ia seperti membentakku karena melongo seperti patung goblok.
“I.. iya Bu, tapi..”, aku meraih buah dadanya dan menyorongkan mulutku, tapi baru sedetik mulutku mendarat ia sudah menepisnya sambil melotot.
“Jangan keterlaluan, Gus. Ayo cepat kamu tunggu apa lagi”, ia merapikan pakaian tidur itu dan berlalu. Aku mengikuti dari belakang. Bajuku sudah terpasang tapi celanaku hanya kutenteng.
“Besok kita lanjutkan, itu kalau kita selamat malam ini..”, ia memberiku kecupan dan langsung berlalu dari hadapanku. Untung saja kamarku ada di lantai dua, di samping kamar Lisa, coba kalau di lantai dasar pasti sudah ketahuan Pak Rudi, karena untuk mencapai kamar khusus tamu harus melewati kamar tamu dan ruang keluarga dulu.
Aku menutup pintu kamar, sejenak aku terpaku. Ah, benar juga Bu Linda, dasar aku saja yang sudah kesetanan berpikir untuk memaksanya menuntaskan permainanku. Dadaku bergetar saat menyadari betapa bahayanya kalau kejadian itu sampai diketahui Pak Rudi. Pasti aku mati.. ya.. mati!
Dengan perasaan was-was aku menuju kedekat pintu, menempelkan telingaku di daun pintu itu, berharap kalau mendengar apa yang terjadi di bawah. Kamarku memang dekat tangga keruang bawah sehingga suara-suara di lantai dasar terdengar dari situ. Aku mendengar suara pintu di buka,
“Maaf Mi, Papi pulang selarut ini uuh capeknya”, suara Pak Rudi terdengar khas, bariton. Tak ada jawaban setelah itu. Lalu terdengar langkah dua orang memasuki kamar dan menutup pintu. Aku masih tegang, pikiranku mulai tenang dan mencoba menerka apa yang terjadi, mungkinkah Pak Rudi menanyai istrinya kenapa begitu berkeringat? lalu apakah jawaban Bu Linda?
Apakah itu akan menimbulkan kecurigaan? Ah mungkin saja Bu Linda membasuh mukanya sebelum ia keluar menyambut suaminya itu. Tapi apakah itu tak menampakkan bahwa Bu Linda tak tidur semalaman?
Oooh Fuck off!! Teriakku dalam hati that’s not my business, what a heck! Aku kembali ketempat tidur. Mencoba memejamkan mata tapi ah, lagi-lagi wajah Bu Linda dengan tubuh tanpa busana datang, coba kuhapus, tak bisa. ooh tubuh mulus perempuan paruhbaya seleraku, putih bersih dan halus, wajah dewasa, keibuan.
Dan wow buah dada itu.. payudara terindah yang pernah kulihat, besar, padat meski sedikit turun karena usia dan mungkin Pak Rudi yang terlalu sering meremasnya, itu justru yang kusuka, menambah pesonanya sebagai wanita dewasa.
Terbayang bibirnya yang mmhh mengulum penisku penuh sesak, dan ah vagina terindah dan ternikmat yang pernah aku rasakan. Kenapa aku begitu tergila-gila pada wanita ini? Huh, goyang tubuhnya saat aku menggaulinya tadi, sungguh sebuah sensasi yang tak tertandingi oleh yang lain, yang pernah aku nikmati sebelumnya.
Tapi, mungkin juga sekarang Pak Rudi sedang menikmati tubuhnya yang mm, ada rasa cemburu merayapi benakku yang membayangkan betapa lahapnya suami Bu Linda menerkam tubuh istrinya yang baru saja aku nikmati itu.
Tapi bukankah malam ini aku tidak tuntas? Sudah dua kali ia meraih kepuasan dariku namun belum sedetikpun aku menikmati puncak birahiku sendiri. Ini tidak adil!
Akhirnya obsesi dan bayangan seksual Bu Linda itu pula yang menyebabkan aku nekat, aku bangun. Jarum jam menunjukkan angka 1.30 am. “Aku harus memuaskan diriku, sekarang juga! Yah sekarang juga, harus, aku harus menumpahkan spermaku dalam rahimnya, yah dalam vagina Bu Linda”, benakku bergumam keras dalam hati.
Dengan hati-hati aku melangkah keluar kamar, menuruni tangga menuju lantai dasar dan akhirnya sampai di depan kamar Pak Rudi. Ternyata akalku main juga, setelah kutempelkan telingaku pada daun pintu aku mendengar jelas dengkuran laki-laki, pasti itu Pak Rudi. Pria itu jelas terlalu lelah sehabis kerja sehari-semalam, untung juga ia tidak meniduri istrinya yang cantik itu, kalau ya wah gawat, dia bakalan dapat sisa cairanku di situ, hehehe, aku jahil juga.
Kebetulan di situ ada sebuah piano besar dengan kursinya. Aku mengangkat kursi itu dengan hati-hati dan meletakkannya di samping pintu. Lalu kunaiki dan mengintip lewat celah di atas. Kulihat Pak Rudi yang mendengkur keras dengan muka menghadap samping dan bantal menutupi telinganya, bagus berarti lelaki botak itu tak akan mendengar kalau aku harus nekat membuka pintu kamar ini.
Dan kulihat Bu Linda masih terjaga, matanya tampak seperti menerawang jauh memandang ke langit-langit kamar, tampaknya wanita itupun tak bisa tidur. Aku yakin ia takkan sanggup memejamkan mata malam ini, wanita itu takkan sanggup melupakan peristiwa yang baru saja dialaminya, eh kami alami. Ia takkan begitu saja menghilangkan nyeri dan sisa kenikmatan di selangkangannya.
Sekarang aku benar-benar nekat, pokoknya “nekat of the year”. Mengetuk pintu dari kayu jati itu mungkin akan membuat suaminya terbangun, tapi membukanya dengan hati-hati mungkin tidak akan menimbulkan suara. Dan.. krek! ah tidak terkunci.
Langsung terbuka dan langsung juga membuat Bu Linda terhenyak, tapi dengan cepat aku meletakkan jari telunjuk di bibir. “Wow nekat..! Kau anak muda mm.. untung saja aku telah memberinya obat tidur. Tapi ah, sungguh asyik bermain-main dengan bahaya seperti ini. Aku mau tahu apa yang akan ia perbuat padaku sekarang. Oh penis besarnya serasa masih mengganjal di celah dinding vaginaku, aku ingin lagi!”
Ia mengulapkan tangan memberi tanda padaku untuk keluar dan menunggu. Aku pun mengangguk, dan berlalu. Dadaku berdetak keras, kalau saja ini terjadi setiap hari berturut selama tiga hari saja, aku pasti jantungan. Lalu Bu Linda muncul dari balik pintu kamarnya dan berjalan kearahku,
“Kita di dapur saja.. dari situ kita bisa lihat ke arah pintu kamar ibu”, bisiknya.
“Baik Bu”,
Dapur itu memang terletak berhadapan dengan ruang keluarga dan pintu kamar tidur mereka bisa dilihat jelas. Mungkin Bu Linda berpikir kalau suaminya sampai bangun dan keluar dari kamar tidur maka akan tampak jelas dari jendela dapur ini, sementara jendela itu sendiri hanya tampak remang kalau dilihat dari arah sebaliknya. Cerdik juga!
Aku yang sudah tak sabar lagi langsung menuntunnya untuk berdiri dan bersandar di dinding ruangan itu, kulepas ikatan gaun tidurnya, meraih buah dada montoknya dan langsung menyedot puting susu itu bergiliran, huh nikmatnya kelembutan payudara perempuan paruhbaya itu.
Dengan posisi berdiri seperti ini, bush dadanya memang terlihat lebih menantang, walau agak turun tapi ukurannya yang diatas rata-rata itulah yang membuatnya jadi tampak begitu menantang birahi.
“Heehhgg.. mm ayoolah sayang jangan berlama-lama disitu, ingat situasi dong”, keluhnya,
“Baik Bu”, jawabku tak membantah, lalu berjongkok sejenak di depan pahanya yang mengangkang dan mencicipi permukaan vaginanya, lidahku terjulur membasahi dinding tebalnya di bagian luar.
Kemudian aku tergesa gesa berdiri segera kutusukkan penisku yang memang tegang non-stop sedari tadi. Masuk dan langsung menggoyangnya maju mundur. Tak seperti suasana sebelum Pak Rudi datang, desahan Bu Linda terdengar seperti berbisik.
“Huuhh yaahh.. ini sayang yaah pijit yang agak keras yaah..”, bisiknya ditelingaku sambil membawa telunjukk kananku menyentuh puting susunya, aku menjepit puncak buah payudara itu dengan jari tengah dan ibu jari, telunjukku membelainya.
Kucoba meresapi gerakan pinggulnya yang kini ikut bergoyang seperti berdansa, mengimbangi gerakan pinggulku yang sesekali memutar-mutar, membuat penisku mengaduk-aduk lubang kenikmatan di antara pangkal pahanya.
“Kali ini kamu harus bisa keluar sayang, oohh ibu mau cairan kamu masuk ke dalam rahim ibu. Harus sayang, kamu harus keluarin sekarang. Kalau tidak ibu nggak akan sanggup lagi, hheehh oohh yaahh oohh yyaahh iiyaahh aahh aauuh enaknya oohh besar sekali penis kamu aahh uuh nikmat sayang?”
“Yah hhmm aahh nikmat sekali Bu oohh saya hampir keluar sekarang oohh jepit Bu ooh vagina ibu enaakkhh mm”, balasku mendesah sambil menundukkan kepala dan menyedot puting susunya. Kedua tanganku mengangkat buah dada itu sambil meremas-remas dan mengarahkannya ke mulutku yang terus menyedotnya.
“oohh.. yyaahh.. oohh yyaahh, ibu juga mau kelu.. Aarr aakkhh yyaahh, sekarang Gus sekarang oohh genjot ibu sayang oohh remas susu ibu sayang remeess yaahh yang keraas lagi oohh.. sekarang yaakkhh yaakkhh aahh”, perempuan itu melepaskan cairannya untuk yang kesekian kali di malam itu dan..
“Saya juga Bu oohh vagina ibuu.. oohh Bu oohh Bu saya keluar, keluar keluaarr enaak Bu oohh enaak sekali aahh ahh ahh ahh ahh yaahh..”, akhirnya aku juga melepaskan beban birahi itu dengan ejakulasi yang sangat kuat, wajahku mendongak ke atas, penisku memuntahkan seluruh isinya ke dalam liang vagina Bu Linda yang juga mengalami hal sama.
Kami sama-sama merasakan puncak hubungan seks itu dengan dahsyat. Tubuh kami sama-sama menegang keras saling berpelukan erat sekali.
Beberapa detik kemudian kami terduduk lemas di lantai dapur itu, lega sudah sekarang rasanya. Tubuhku terasa ringan dan enteng. Bu Linda menyandarkan kepalanya di pundakku, ia juga tampak lemas setelah mengalami tiga kali orgasme, nafasnya masih terdengar tak teratur, ia lalu memperbaiki ikatan pinggang gaun tidurnya yang terlepas. ”
Kamu sudah puas sayang?”, bisik Bu Linda. “Sudah, Bu. Terimakasih, ibu nikmat sekali. Sudah setahun lebih saya tidak melakukannya dan ibu adalah wanita tercantik yang pernah saya kenal”,.
“Bisa saja kamu, Gus tapi benar deh kamu hebat” bisiknya sambil membelai dadaku yang bidang.
“Baru kali lho ibu mencapai puncak, Gus.”
“Ah saya juga sama deh Bu puas banget” balasku mesra. Kamipun saling berpelukan mesra.
Sejak kejadian tersebut kami berdua selalu mengulanginya setiap ada kesempatan, terutama bila suaminya tugas ke luar kota.