Suami, Kekasih & Anak Kost

Suami, Kekasih & Anak Kost

Aku wanita ‘udik’ 23 tahun, telah berkeluarga dan punya satu anak lelaki umur 2 tahun. Aku memang kawin muda, 18 tahun. Begitu tamat SMU Aku dinikahkan dengan pria pilihan orang tua. Suamiku, sebut saja Bang Mamat namanya (samaran) waktu menikah denganku usianya 35 tahun, sudah mapan, punya usaha sendiri. Kenapa Aku mau menerima lamaran seorang pria yang 17 tahun lebih tua. Pertama, karena Aku memang dididik untuk patuh kepada orang tua dan Aku anak tunggal. Kedua, lingkunganku di pedalaman selatan Jakarta memang mengharuskan gadis seusiaku segera menikah. Ketiga, Bang Mamat memang baik hati. Dia begitu sibuk mengurus usahanya sampai “lupa” mencari calon isteri. Keempat, meskipun Aku punya banyak kawan lelaki dan beberapa diantaranya naksir Aku, tapi semuanya hanya sebagai teman biasa saja. Tak satupun yang pernah Aku “jatuhi” cintaku, kecuali seseorang yang sempat mengisi hatiku, tapi banyak halangan (nanti Aku ceritakan tentang Mas Narto ini). Pendeknya, Aku belum punya pacar. Kelima, Aku termasuk tipe penyayang anak-anak. Sudah banyak anak-anak tetangga yang Aku “pinjam” untuk kuasuh. Aku ingin menjadi seorang Ibu.

Tahun-tahun pertama masa perkawinanku memang membuatku bahagia. Bang Mamat begitu mengasihiku, penyabar, penuh pengertian. Apalagi setelah Si Randy, anak kami lahir, rasanya Aku adalah ibu yang paling bahagia di jagat ini. Bang Mamat juga sangat menyayangi anak lelakinya. Makin semangat mengurusi usahanya yang akhir-akhir ini terkena dampak krisis ekonomi.

“Aku berjanji akan bekerja keras hanya untuk kamu dan Randy,” katanya suatu ketika. Terharu Aku mendengarnya. Aku berterimakasih kepada orang tuaku telah mempertemukan Aku dengan Bang Mamat. Menikah dengan pilihan orang tua memang tak selalu pilihan yang salah.

Kerja keras Bang Mamat dan anak buahnya membuahkan hasil. Perusahaannya telah berhasil memperluas pasar sampai Kualalumpur dan Chiang-mai. Krisis ékonomi tak hanya berdampak buruk, tapi malah membuat produk usaha kami jadi mampu bersaing dalam harga. Keberhasilan ini membawa dampak lain, yaitu pada Aku sendiri. Waktu Bang Mamat banyak tersita oleh pekerjaaannya, sehingga mengurangi waktu buatku. Apalagi Randy sudah dapat “dilepas”, Aku jadi punya banyak waktu luang. Aku sering kesepian. Dalam sepi ini Aku sering mengharapkan Bang Mamat pulang, lalu mencumbuku, dan diteruskan dengan hubungan seks yang nikmat. Ya, akhir-akhir ini kehidupan seks kami jadi meredup. Bang Mamat menjadi jarang memberiku “nafkah bathin”, jarang menyetubuhiku.

Kehidupan seks-ku waktu remaja boleh dibilang “kuno”. Kawan lelaki banyak, pacaran baru sekali, itu pun secara back street, diam-diam, karena orang tua tak memberi restu. Cara berpacaranpun tak seperti remaja kota jaman sekarang sampai tidur bersama sewa hotel. Kami hanya sekedar cium-ciuman dan meraba-raba. Sehingga dengan Bang Mamat suamiku-lah hubungan seks-ku yang pertama kulakukan. Kepada Bang Mamatlah keperawananku kupersembahkan.

Kadang Aku menangis sendiri dalam sepi, ingat beberapa tahun lalu Bang Mamat begitu menggebu-gebu melumatku sampai Aku terasa melayang-layang, mandi keringat dan lalu kelelahan. Itu dilakukannya hampir setiap hari. Bahkan dikala libur, Bang Mamat “minta” beberapa kali dalam sehari. Senyum sendiri Aku ketika ingat kejadian pagi di hari libur, kami bersetubuh di ruang tamu dan hampir “tertangkap basah” oleh anak buah Bang Mamat. Aku dan Bang Mamat sedang duduk-duduk santai di ruang tamu. Hari libur itu suamiku sedang menunggu stafnya yang akan melapor hasil penjualan bulan berjalan. Kami duduk saling merapat, lalu mulailah Bang Mamat mencumbuiku. Diciuminya seluruh wajahku, lalu leherku. Tangannya mulai menyusup ke dasterku. Dengan lembut disentuhnya puting dadaku, sentuhan lembut beginilah yang membuatku terhanyut. Lalu diremasnya buah dadaku perlahan. Aku mulai terrangsang. Bang Mamat memang nakal. Dipelorotkan sarungnya, dan nongollah batang penisnya yang amat tegang. Aku tak menyangka dia tak memakai celana dalam. Rasanya sehabis “permainan pagi” tadi kami mandi dan Bang Mamat mengambil pakaian dalam lalu pakaian kebesarannya : oblong dan sarung. Entah kapan dia melepas cd-nya. Ditariknya tanganku ke selangkangannya, kubelai-belai penisnya dengan penuh perasaan. Sementara Aku sendiri tambah terangsang.

Bang Mamat cepat-cepat melucuti pakaianku, lalu sarung dan oblongnyapun telah tergeletak di lantai. Kami telah telanjang bulat. Aku ingin Bang Mamat segera “mengisi” selangkanganku yang telah melembab. Kutarik Bang Mamat ke kamar.

“Di sini aja deh,” katanya menahan tarikanku.

“Gile Bang, dilihat orang,” protesku.

“Engga akan kelihatan dari luar deh,” sahutnya. Ruang tamu kami memang ada jendela kaca lebar, tapi tertutup viltrage. Pandangan dari luar memang tak bisa menembus ke ruang tamu.

“Kunci dulu dong pintunya.” Bang Mamat melepaskan tindihan ke tubuhku, bangkit menuju pintu. Pria telanjang bulat dengan penis yang tegang, lalu berjalan adalah suatu pemandangan yang agak lucu, walaupun hanya beberapa langkah.

Aku mempersiapkan diri. rebah terlentang di sofa, sebelah kakiku terjuntai ke lantai. Sebelah lagi Aku angkat ke sandaran sofa.

“Oh …..! ” Bang mamat terperangah melihat posisiku. Ditubruknya Aku. Dibenamkan mukanya ke selangkanganku. Nafsuku makin memuncak ketika kurasakan “kilikan” lidah bang Mamat di bawah sana. Untung Bang Mamat segera tahu bahwa Aku sudah “siap”. Dia bangkit, bertumpu pada kedua lututnya di antara kedua pahaku, mengarahkan “si gagah” ke mulut vaginaku. Aku memejamkan mata menunggu saat-saat nikmat ini………….

Tiba-tiba pintu diketuk. Bang Mamat bangkit, urung penetrasi. Secara refleks Aku menyambar daster dan menutupi tubuh telanjangku. Dari posisi rebahku ini Aku bisa melihat melalu kaca jendela lebar, seseorang berdiri di depan pintu. Pak Sakir (samaran juga) pagi ini memang diundang suamiku untuk melapor. Aku langsung beranjak sambil memunguti bra dan cd-ku, tapi Bang Mamat mencegahku sambil menutup jari telunjuknya di bibir. Lalu, hampir tanpa suara dia kembali merebahkan tubuhku, membuka pahaku lebar-lebar, lalu mulai menusuk.

Aku harus menutup mulutku dengan telapak tangan dan berusaha mati-matian untuk tak mendesah, apalagi merintih. Padahal, pompaan bang Mamat enak dinikmati sambil mendesah, melenguh, merintih, bahkan teriak! Apa boleh buat, kondisi tak mengijinkan. Aneh juga rasanya. Kami sedang asyik menikmati seks, sementara beberapa meter di dekat kami, berdiri seseorang menunggu, sambil sesekali mengulang mengetuk pintu, tak tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak tahu? Entahlah. Orgasmeku tak optimal, sebab tak “lepas”, harus menutup mulut. Tak apalah, toh nanti malam kami akan lakukan lagi. Aku cepat-cepat memunguti pakaianku yang berserakan di lantai, lalu masuk kamar. Bang Mamat menemui Pak Sakir hanya dengan belitan handuk di pinggangnya, seolah bersiap mau mandi…….

Pembaca, perkenankan saya flash-back dulu, agar Anda mendapatkan gambaran yang utuh tentang diriku.

Masa remajaku cukup menyenangkan. Aku banyak dikenal di lingkungan sekolah, terutama cowoknya, karena Aku gampang bergaul. Dari banyak teman cowok, beberapa di antaranya pernah mengungkapkan cintanya kepadaku, atau meminta Aku jadi pacarnya. Tapi semuanya Aku jawab sama, cuma berteman, Aku belum ingin terikat. Mereka mengatakan Aku mirip Ipeh, itu lho yang suka nongol bareng Bagito waktu melawak sebagai bintang tamu (makanya aku pinjam namanya).

“Tapi kamu lebih seksi,” kata mereka. Seksi apanya? Mereka tak mau terus terang mengatakannya. Akhirnya Aku tahu sendiri. Bila Aku sedang jalan-jalan, di Mall atau gedung bioskop, atau jalan kaki dari halte bus ke rumah dan sebaliknya, bila berpapasan dengan cowok, Aku perhatikan mereka, terutama cowok dewasa, setelah menatap mukaku matanya langsung menuju dadaku. Mungkin bentuk dadaku ini sehingga mereka mengatakan Aku seksi?

(Di kemudian hari penegasan tentang hal ini Aku dapatkan dari Mas Narto, cowok yang sempat mengisi hatiku). Mulanya Aku memang tak menyadari akan “kelebihan”ku ini. Bentuknya sama dengan umumnya buah dada, dua bulatan kembar. Tapi setelah hampir setiap mata cowo mengarah ke sini, Aku jadi memperhatikan, apanya sih yang menarik perhatian mereka? Ukurannya barangkali. Kalau kami rombongan cewe pulang sekolah jalan-jalan di Mall mampir ke lingerie-corner, bra yang kubeli memang nomornya paling besar. Menyadari hal ini, Aku jadi lebih berhati-hati mengenakan pakaian atasan. Kalau tak perlu benar Aku jarang memakai atasan yang ngepas, sebab tonjolan kembarnya makin nyata, walaupun bra yang kupilih jenis yang tipis …..

Ayah, Ibu, dan Aku menempati rumah di selatan Jakarta ini secara turun-temurun. Ini memang rumah warisan dari kakek. Rumah sederhana tak begitu besar, 4 kamar tidur, hanya halamannya cukup luas yang ditumbuhi banyak pohon rambutan dan belimbing. Waktu Aku SD dulu lingkungan kampung ini amat sepi. tapi sekarang setelah wilayah ini berkembang menjadi lokasi pendidikan, banyak kampus baru dibangun, dari perguruan tinggi yang terkenal sampai institusi pendidikan yang kampusnya hanya “ruko” serta berbagai macam kursus, daerahku jadi ramai. Pembangunan kampus-kampus diikuti oleh pembangunan usaha ikutannya seperti restoran, warung makan (segala jenis makanan ada), toko buku dan alat tulis, usaha fotokopi, wartel dan warnet, kantor pos, bank, dan tentu saja usaha kost.

Rumah kami sering didatangi mahasiswa yang ingin kost, sewa kamar, atau ngontrak. Ayah tak pernah menerimanya.

“Tanggung,” kata Ayah. “Cuma punya satu kelebihan kamar.”

Sampai pada suatu saat Ayah terpaksa menyewakan kamar yang kosong itu, karena diminta oleh sahabat Ayah yang tinggal di Bandung untuk anaknya, Didin. Didin tinggal setahun lagi menyelesaikan kuliahnya. Aku masih di SMP. Ketika Didin menamatkan kuliahnya dan cabut dari rumah pindah ke Jakarta, kamar diisi lagi oleh anak lelaki kawan Ayah yang tinggal di Salatiga, Narto (bukan nama sebenarnya) namanya. Aku masuk SMU.

Awalnya tak ada apa-apa antara Aku dan Mas Narto. Aku mulai tertarik karena Narto sebagai anak kost bersedia membantu Ayah, Ibu dan Aku, selain karena dia cerdas. Aku serasa mendapatkan guru privat untuk mata pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia. Dia pernah usul pada Ayah untuk mengembangkan rumah kami menjadi kost-kost-an memanfaatkan lahan kosong yang terletak di samping-depan rumah. Desain kamarnya dia bikin, bisa jadi 20 kamar kalau 2 lantai.

“Biayanya dari mana?” kata Ayah.

“Pinjam dari bank, Pak.”

“Emang gampang minjem duit di bank.”

“Ada persyaratannya, memang. Sertifikat rumah untuk borg, dan proposal usaha.”

“Proposal apa?”

“Saya dan teman-teman yang bikin proposal,” ujar Narto.

Hitung-hitungan Mas Narto, kami bisa mendapatkan penghasilan lumayan dari usaha ini setelah dipotong cicilan dan bunga bank disamping bisa memberi pekerjaan paling tidak untuk 2 orang.

“Saya jamin kamar akan selalu terisi,” tambah Mas Narto meyakinkan Ayah. Untuk hal ini Aku sependapat dengan Mas Narto. Rumah kami memang letaknya strategis, tak jauh dari jalan raya, tapi cukup hening dan teduh, lingkungan yang hijau.

Tapi ayah masih pikir-pikir, belum mengiyakan.

Mas Narto selalu ada waktu buatku kalau Aku nanya-nanya PR ketiga mata pelajaran itu. Penjelasannya malah lebih enak dibanding guruku, mudah dimengerti. Aku bebas saja keluar masuk kamarnya. Sudah biasa kalau Aku mendapati Mas Narto hanya bercelana pendek di kamarnya. Kadang Mas Narto juga masuk ke kamarku, dengan seijinku. Pernah ketika Mas Narto masuk ke kamarku dan kami ngobrol sambil Aku terus melipat lengan di dadaku. Aku baru saja selesai mandi dan belum sempat mengenakan bra, hanya t-shirt saja. Aku dan juga seisi rumah menganggap kami seperti kakak-adik. Anehnya, kalau Mas Narto liburan semester dan pulang kampung, aku merasa sepi, Aku merindukan kehadirannya. Sebaliknya, bila teman sekolah (cowok) main ke rumah, roman muka Mas Narto menunjukkan rasa kurang senang. Sampai suatu ketika, ternyata Mas Narto menganggapku bukan sekedar adik saja …..

Sore itu kami sedang membahas satu soal PR Fisika yang rumit di kamarnya. Aku tercenung memandangi soal, tak tahu apa yang musti Aku buat, sementara Mas Narto sibuk membongkar buku referensi. Ketemu catatan kuliahnya. Kami meneliti tulisan tangan yang sebagian kabur itu, sehingga wajah kami begitu berdekatan.

“Ketemu caranya ..!” teriak Mas Narto kegirangan, lalu tiba-tiba dia mengecup pipiku. Aku sejenak kaget dan terpana. Tempelan bibir Mas Narto pada pipiku barusan terasa sampai di dalam dadaku, berdebar-debar. Berbeda rasanya dengan ciuman pipi dari pamanku, misalnya. Mas Narto tampaknya juga kaget sendiri atas kelancangannya. Matanya tajam menatapku. Lalu tangannya mengelus pipiku bekas kecupannya tadi. Terus tangannya bergeser ke daguku, diangkatnya daguku. Aku masih terpana, tak berreaksi. Pun ketika dia menunduk mendekatkan wajahnya ke mukaku. Detik berikutnya bibirnya telah menempel di bibirku. Aku merasa aneh. Belum pernah seorang pria sampai mencium bibirku. Aku mendorong bahunya sampai ciuman terlepas. Entah mengapa, Aku jadi pengin marah. Mas Narto tahu situasinya, cepat-cepat dia memegang tanganku dan meminta maaf.

“Sorry ya Ipah …..” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Kenapa Mas seberani itu ?”

“Karena Mas sayang ama kamu, Ipah …maafin Mas ya ..”. Kenapa Aku harus marah? Ucapannya barusan tak mengagetkanku. Aku telah menduganya dari perilakunya selama ini, begitu perhatian padaku. Jujur saja, Aku juga mulai menyayanginya.

“Okay deh Mas, Ipah maafin.”

“Mas sayang ama kamu.”

“Iya, Ipah tahu.”

“Apa jawabmu, Ipah?”

Aku diam. Rasanya berat mau bilang, ‘Ipah sayang juga’. Tak sepatahpun keluar dari mulutku.

“Ipah ….?”

“Entahlah Mas ….” sahutku, tapi Aku merebahkan kepalaku di dada Mas Narto. Lalu Mas Narto mencium bibirku lagi, kali ini Aku tak menolak, tapi masih pasif. Saat kurasakan nikmat menjalar ke kepalaku, Aku mulai membalas lumatannya. Mas Narto makin semangat …..

Sore itu Aku merasakan ciuman pertamaku.

***

Pertemuan-pertemuan kami berikutnya selalu dihiasi dengan cium-ciuman. Bahkan Mas Narto mulai berani meraba-raba tubuhku. Pertama kali telapak tangan Mas Narto menyusup ke dalam bra ku kurasakan hanya geli. Tak ada enaknya. Begitu pula ketika jari-jarinya menyentuh puting dadaku. hanya geli. Tapi lama kelamaan, Aku menikmati isapan mulut Mas Narto di puting dadaku. Enak, serasa melayang, dan lalu kurasakan basah di bawah sana.

“Dadamu bagus” pujinya berulang-ulang.

Pelajaran lain yang kudapat adalah tentang ketegangan tubuh Mas Narto.

Kami sedang duduk di karpet kamarku bersandar pada dinding sambil berciuman. Aku bermaksud meraih pinggangnya mau kupeluk, tapi Mas Narto menggeser duduknya sehingga tanganku menyentuh selangkangannya. Sekilas Aku merasakan sesuatu yang keras di balik celana pendek Mas Narto. Kembali Aku meraih pinggang, tapi Mas Narto menahan tanganku untuk tetap di situ. Bahkan menuntun tanganku untuk mengusap-usap di daerah sana. Aku menurut saja. Sambil terus berpagutan bibir, kini tanganku dituntun ke pinggangnya. Aku peluk erat. Aku merasakan tangan Mas Narto kembali ke selangkangannya dan melakukan sesuatu. Aku tak bisa melihat apa yang dilakukannya, karena kami terus saling melumat bibir. Beberapa saat kemudian, tanganku diambil dari pinggangnya kembali ke selangkangan. Aku kaget. Telapak tanganku merasai benda keras dan hangat. Ciuman terlepas. Mas Narto memang nakal. Tadi dengan diam-diam dia melepas rits celana dia, melorotkan cdnya dan mengeluarkan “isi”nya. Baru kali ini Aku melihat kelamin lelaki dewasa yang sedang tegang. Melihat sesungguhnya, bukan hanya gambar. Dengan wajah “tanpa dosa” Mas Narto menuntun tanganku untuk mengocok penisnya. Dan anehnya, Aku nurut saja. Juga ketika dengan agak kasar dia membuka bra-ku dan menciumi putingku. Sampai akhirnya lenganku, sampai atas, serasa diciprati cairan hangat. Mas Narto ejakulasi. Entah apa yang kurasakan waktu itu. campuran antara rasa aneh, jijik, rasa bersalah, tapi juga sedikit kepuasan telah mengantarkan Mas Narto sampai ke puncak ejakulasi.

Hanya begitulah pacaran kami yang paling “liar”. mas Narto tak pernah memaksakan kehendaknya. Apa yang aku larang, dia menurut. Suatu siang di kamarnya yang terkunci, kami bercumbuan sampai “panas”. mas Narto sudah telanjang bulat. Dia juga telah berhasil melepaskan jeansku. Ketika cdku hendak dilepaskannya pula, dengan tegas Aku menolak.

“Mas engga akan berbuat itu, Yang …” katanya sambil terengah.

“Iya, Ipeh tahu. Tapi engga Mas”

“Pengin ciumin aja”

“Engga Mas, engga”

“Lihat aja deh, sebentar”

“Mas!” seruku sambil melotot.

Dia lalu seperti tersadar, dan minta maaf. Dia tak pernah mengulangi permintaannya yang bagiku nyeleneh itu.

Satu permintaan nyelenehnya lagi adalah waktu Aku, seperti biasa, hendak melepaskan ketegangannya dengan mengonaninya. Tanganku baru mulai mengelusi penisnya ketika dia minta hal yang tak biasa.

“Yang …… bisa engga.”

“Napa?”

“Jangan pake tangan.”

“Lalu?” tanyaku lugu.

“Dikulum…..”

Aku marah, sehingga batal untuk membuatnya ejakulasi. Sejak itu dia tak pernah lagi minta dikulum. Bahkan kelak dengan Bang Mamatpun (suamiku) Aku tak pernah melakukannya. Tapi justru dengan pria lain ini Ortuku tak menangkap perubahan hubunganku dengan Mas Narto. Mereka masih menganggap hubungan kami sebagaimana kakak beradik. Akupun takut bercerita hal ini kepada Ortuku. Aku khawatir mereka tak merestui hubunganku ini. Yang jelas Aku makin sayang kepada Mas Narto. Kami memang saling mencintai.

Akhirnya Ayah memutuskan untuk membangun tempat kost, tapi hanya 10 kamar, satu lantai saja. Mas Narto menyambut gembira keputusan Ayah ini, bersama groupnya dia membuat proposal dan mengajukan kredit ke bank. Hanya dalam waktu 8 bulan bangunan telah selesai. Bangunannya memang sederhana, tapi kuat, dan biaya yang dicukupkan dengan dana kredit. Letaknya di samping kanan agak ke depan dari rumah utama dan bersambung dengan pintu tengah rumah. Terdiri dari 10 kamar, ada ruang tamu di tengahnya, 2 kamar mandi. Mas Narto benar, tanpa beriklan seluruh kamar telah disewa oleh mahasiswa. Sepuluh orang cowok semua.

Selama pembangunan kamar kost itu Mas Narto semakin dekat dengan Ayah. Sehingga ketika kuliahnya selesai dan meraih gelar insinyur, tanpa ragu dia melamarku melalui Ayah. Mas Narto kelihatan amat terpukul ketika lamarannya ditolak Ayah…….

***

Entah kenapa dalam usiaku yang 23 tahun ini Aku jadi begitu “membara”. Aku ingin Bang Mamat melumatku setiap malam, Aku memimpikan hal itu, bagai kehausan yang tak kunjung puas. Mimpi tinggallah mimpi. Kenyataannya Bang Mamat semakin tenggelam mengurus usahanya. Dia menyetubuhiku seminggu sekali, di hari libur. Sementara Aku menginginkan setiap hari. Pernah suatu malam menjelang tidur Aku kepingin banget. Aku coba mulai mengelus-elus tubuhnya, dengan “kode” begitu Bang Mamat telah mengerti bahwa Aku menginginkan hubungan seks. Dengan halus dan sembari meminta maaf Bang Mamat menolak, capek katanya. Dia memang benar-benar capek setelah seharian bekerja keras. Sebentar kemudian dia telah lelap. Tinggal Aku sendiri, susah tidur dan akhirnya hanya bisa menangis.

Suatu pagi telepon berdering.

“Ipah?”

“Iya benar, siapa nih?” sahutku.

“Mas Narto”. Kaget Aku bukan main. Sejak Aku menikah dengan Bang Mamat, Aku sudah melupakan lelaki ini. Sudah hampir 4 tahun tak ada kabar, kini dia tiba-tiba menelepon. Ada apa?

“Hai! Ada angin apa nih tiba-tiba nelepon?” tanyaku.

“Emmm … Ayah ada Pah?”

“Udah berangkat dong, kenapa gitu.”

“Gini ….. Eh, anaknya udah berapa sekarang?” Mas Narto mengalihkan pembicaraan.

“Satu dong, laki, hampir 3 tahun, Mas sendiri gimana?”

“Masih seperti yang dulu, belum laku.”

“Ah, masa?”

“Bener!” Aku terdiam. Rasanya Aku ikut bersalah.

“Ipah?”

“Ya Mas.”

“Tolong sampaikan ke Ayah ya, ada temen Mas mau lihat-lihat tempat kost.”

“Udah penuh tuh Mas.”

“Bukan mau kost, dia mau bikin tempat kost, mau lihat hasil karyaku dulu.”

“Kalau cuman itu langsung aja Mas ke sini, engga perlu bilang Ayah dulu, pasti beliau izinkan.”

“Bener nih? Kita mau ke situ, sekarang.”

Tiba-tiba Aku jadi berdebar. Bingung, bagaimana Aku harus bersikap menemui mantan kekasihku ini. Jelas harus berbeda dibanding dulu. Kini Aku sudah dimiliki orang. Kembali terbayang masa-masa kami pacaran dulu. Dengan dialah Aku pertama kali berciuman. Juga dialah orang yang pertama kali menciumi buah dadaku. Juga milik dialah Aku pertama kali melihat dan merabai kelamin lelaki. Untung hanya itu, tak berlanjut, sehingga Aku bisa menyerahkan perawanku kepada suamiku.

Tak seperti biasa, selesai mandi Aku bingung memilih-milih pakaian apa yang akan kukenakan. Biasanya Aku hanya memakai daster karena memang jarang bepergian, lebih banyak di rumah. Kalaupun keluar rumah Aku memilih blouse biasa dipadu dengan rok panjang atau celana panjang, tak berani memakai blouse atau kaos ketat karena mata para lelaki yang nakal. Bang Mamat juga kurang suka kalau Aku menonjolkan bentuk dadaku di luar rumah. Sebaliknya, Mas Narto senang kalau Aku mengenakan blouse atau kaos ketat. Untuk menyambut Mas Narto, apakah sebaiknya Aku mengenakan yang ketat? Ah, tidaklah. Meskipun Aku ingin, tapi nanti bisa menimbulkan kesan tak baik. Akhirnya Aku pilih blouse yang tak begitu ketat dan rok panjang.

“Pa kabar?” sapa Mas Narto ramah sambil mengulurkan tangan. Wajahnya tak berubah, masih tampan. Hanya badannya agak gemukan.

“Baik aja, Mas”. Tanganku digenggamnya erat.

Mas Narto datang dengan 2 lelaki. Lelaki yang satu Aku telah kenal, Si Adi, dia dulu asistennya sewaktu membangun kamar kost. Yang satu lagi kawannya yang mau lihat-lihat bangunan.

“Okey Di, langsung antar aja Pak Bambang lihat-lihat. Sama Adi aja ya Pak Bambang, udah lama engga ketemu sama Ipah, pengin ngobrol”

“Okay, gak pa-pa” kata Pak Bambang. Berdua mereka beranjak. Mas Narto duduk lagi, Aku duduk di sofa berseberangan dengan Mas Narto.

“Ibu ada?”

“Kan pergi sama Ayah.”

“Bang Mamat?”

“Lagi mengabsen nih ceritanya?”

“Ha .. ha ….kamu engga berubah juga. Eh… ada yang berubah ding.”

“Apanya ?”

“Udah jadi Ibu, makin cantik aja ….”

Mungkin mukaku jadi merah. Tapi terus terang Aku senang dipuji oleh Mas Narto.

“Kenalin Aku sama si Kecil dong.”

“Lagi dibawa main ama pengasuh, Mas.”

“Oo …. jadi kamu sendirian.”

“Iya ….emang kenapa?”

“Ah engga, cuman ingat 4 tahun lalu.” Ada seberkas senyum nakal di wajahnya. Dulu kami memang cari kesempatan sepi begini untuk bercumbu. Aku menghela nafas panjang.

“Bentar ya Mas, eh, mau minum apa?” kataku mengalihkan perhatian.

“Apa aja yang kamu bikin Mas mau.”

Aku buatkan teh manis panas kesukaannya.

Sewaktu Aku kembali ke ruang tamu, Mas Narto telah pindah duduk, di sofa. Dan ketika Aku meletakkan cangkir di meja dengan sedikit membungkuk, Aku merasa Mas Narto menatapi dadaku. Aku kembali ke tempat dudukku semula, jadi kami duduk bersebelahan.

Kami ngobrol, kebanyakan bercerita masa lalu yang manis. Tiba-tiba Mas Narto mencengkeram kedua lenganku.

“Ipah ….” matanya tajam menatapku. Aku diam deg-degan. Mendadak tanpa kuduga Mas Narto mencium bibirku. Nekat juga ini orang. Beberapa detik Aku merasai lumatan bibirnya di mulutku, lalu Aku berontak, kudorong tubuhnya.

“Mas! Sadar engga sih kamu!”

“Pah ….. Mas gak bisa ngelupain kamu, hanya kamu wanita satu-satunya di hatiku.”

“Ipah tahu Mas, tapi sekarang Ipah milik Bang Mamat ….”

“Berilah Aku kesempatan buat melepas rindu, Yang …” katanya lagi.

“Mas …. Ipah isteri orang lho …. gak boleh gitu dong.”

“Sekedar melepas kangen, Yang …” katanya sambil mendekat lagi. Tahu-tahu bibirnya sudah mendarat di mulutku. Aku mengelak, tapi mulutnya terus mengejarku tubuhnya memepet tubuhku. Tak bisa lain aku menyerah. Kubiarkan bibirnya melumati bibirku. Tangannya merangkulku. Aku langsung teringat di sofa ini dia pernah juga mengulumiku. Kenangan yang indah. Mas Narto terus menciumiku, perasaan nikmat mulai menjalar. Tak boleh berlanjut. Kudorong lagi tubuhnya. Mas Narto makin memperketat pelukannya. Tangannya mulai meremasi dadaku. Percuma saja Aku berontak, Mas Narto lebih kuat. Lagi pula Aku mulai menikmati serangannya setelah jari-jari Mas Narto mengelusi puting dadaku.

“Oh …. dia telah membukai bra-ku!

Harus stop, tak boleh berlanjut.

Tapi rasa nikmat manjalar di dadaku dan terus ke bawah, dan Aku basah! Oh … Mas …… jangan mulai! Aku bisa tak tahan ….. Aku memang sedang kehausan ….. tapi bukan begini, Aku bukan isterimu ….

Entah bagaimana tadi, kenyataannya Aku sekarang telah rebah di sofa dengan dada telanjang. Mas Narto menindih tubuhku sambil terus menghisap-hisap puting dadaku.

Kurasakan Mas Narto sekarang berbeda. Dulu cumbuannya begitu romantis, halus, kini nafsunya yang lebih kentara.

Bahkan rokku telah tersingkap…..

Pinggulnya telah menindih selangkanganku…..

Tubuhnya telah bergoyang-goyang …..

Selangkanganku merasakan kerasnya gesekan batang penisnya, walaupun masih ada beberapa lembar kain di antara kelamin-kelamin kami……

Aku makin basah ….

Tubuhku mulai terangkat, rasanya ….

Sekonyong-konyong Mas Narto bangkit gugup. Aku ikut bangkit, kulihat dari kaca jendela dua orang kawannya sedang menuju ke arah kami. Celaka!

Mas Narto bisa dengan cepat berberes, karena pakaiannya memang belum terbuka. Tapi Aku? membereskan bra, menutup kancing blouse, mana sempat?

“Masuk aja …” bisik Mas Narto.

Setengah berlari sambil tangan menutupi buah dada, Aku masuk ke ruang tengah, lalu langsung ke kamar. Aku menenangkan diri. Nafasku masih tersengal, gemetaran menahan sesuatu. Kurang ajar. Dibikinnya Aku tinggi, lalu dilepaskan. Hhhhh …. rasa menggantung memang tak nyaman. Aku ingin “diselesaikan” ……

Aku butuh waktu beberapa saat lagi untuk menurunkan nafsuku yang terlanjur naik.

Ketika Bang Mamat pulang, entah kenapa Aku jadi salah tingkah. Aku tak berani menatap matanya. Aku merasa bersalah. Kenapa Aku tadi membiarkan Mas Narto meremasi dadaku dan lalu menghisap-hisap putingnya? Bukankah semua yang ada dalam diriku –termasuk kedua buah kembar ini– sudah menjadi milik Bang Mamat? Tapi Mas Narto lebih dulu memacariku dan Aku dulu mencintaiku. Ah itu hanya alasan pembenaranmu saja Pah! Tapi toh tak terjadi apa-apa antara Aku dengan Mas Narto, tak lebih dari hisap-hisapan. Itu juga tak seharusnya kamu lakukan. Pokoknya tak boleh ada pria selain Bang Mamat yang boleh menyentuh tubuhmu. Tapi Bang Mamat jarang menyentuhku. Itu juga bukan alasan! Baiklah, Aku janji tak akan mengulanginya lagi. Oh, semoga Bang mamat tak tahu perubahan perilakuku ini.