TELANJANG DI DEPAN OM [REAL STORY]
Vivi, tadi Om Bagas telp Papa, bilang mau datang. Papa bilang kamu ada di rumah. Nanti buka pintu ya.
Awal dari kegundahan hati
Oh ya, ini adalah kali pertama aku menceritakan kisah hidupku. Namaku Vivi. Aku adalah seorang wanita biasa yang bisa kalian temui di sepanjang hidup kalian. Cerita ini adalah kisah nyata yang kualami, sekaligus merupakan curahan hati yang tidak dapat kulakukan selain di forum tanpa nama. Tentu di beberapa bagian dibuat agak berlebihan untuk membuat ceritanya lebih menarik, namun hampir semuanya benar-benar terjadi.
Cerita ini terjadi waktu aku baru memasuki perkuliahan. Bila kebanyakan wanita glow up saat di bangku sekolah, aku baru mengalaminya ketika memasuki umur 18-an. Aku yang tadinya kurang pergaulan saat sekolah, mulai belajar cara merawat diri, berdandan, berolahraga, dan mengembangkan kepribadian yang disenangi banyak orang. Rasa percaya diriku tumbuh. Interaksi dengan lawan jenis menjadi semakin menyenangkan dengan adanya rasa ketertarikan yang terpancar di mata mereka. Masa itu adalah masa yang menyenangkan!
Perhatian dan pujian yang sering kudapatkan, sepertinya membuatku cukup besar kepala. Aku semakin mencintai diriku sendiri. Dan meskipun secara garis besar hal itu adalah hal yang baik, ada sisi lain yang membuatku menjadi seorang narsis yang ingin dipuja. Setiap habis mandi, aku selalu bertelanjang bulat di depan cermin, mengagumi setiap jengkal tubuhku yang indah. Ah, andai saja orang-orang melihatku saat ini, pasti mereka akan dipenuhi hasrat ingin memiliki yang menyebabkan mereka kehilangan akal. Gairah seksku meluap-luap, hampir tiap hari kusalurkan dengan menyentuh tubuhku sendiri di bagian-bagian yang tidak pantas.
Meskipun rasa puas dari orgasme kudapatkan, dalam hatiku tetap ada rasa yang tidak terpenuhi, yaitu hasrat untuk memamerkan keindahan tubuh ini kepada orang lain. Makin hari perasaan ini makin kuat, kadang hanya itu hal yang bisa kupikirkan setiap hari. Lalu apa yang menghalangiku melakukannya? Akal sehat.
Meskipun pikiranku dipenuhi hal-hal kotor, tetap saja aku merupakan seorang terpelajar yang tahu resiko. Telanjang di depan kamera, baik itu di dunia maya ataupun di aplikasi dating, adalah hal yang sangat terlarang untuk setiap orang yang masih mau punya masa depan. Sekali tubuh telanjangmu tersebar, maka tidak akan bisa terhapus lagi. Cepat atau lambat, orang-orang sekitarmu akan melihatnya dan beberapa dari mereka pasti mengenalimu. Meskipun pikiran bahwa tubuh telanjangku dilihat oleh ribuan orang adalah fantasi yang menggairahkan, dalam kenyataannya, kenikmatannya tidak sebanding dengan resiko yang harus ditanggung.
Aku juga tidak berminat memiliki pacar saat itu. Aku masih ingin menjadi pusat perhatian banyak orang, dan memiliki seseorang yang mungkin akan cemburu tentu tidak menyenangkan. Akhirnya, aku berkesimpulan bahwa kesempatanku untuk bertelanjang di depan orang lain seharusnya dilakukan secara terencana dan dibuat seolah merupakan ketidaksengajaan.
Rencana
Aku mencoba menyusun berbagai rencana dimana aku bisa bertelanjang di depan orang lain tanpa resiko. Pura-pura handuk jatuh? Keluar dari kamar mandi tanpa tahu ada orang lain? Pura-pura tidak menutup rapat gorden kamar ganti? Sepertinya belum ada yang cocok dengan situasiku. Kalau bisa, aku ingin melakukannya di rumah, agar tidak ada resiko terekam CCTV ataupun kamera dari orang yang melintas. Setelah menjelajahi berbagai kemungkinan, aku berhasil merumuskan sebuah rencana matang anti gagal. Bahkan, aku sudah memikirkan target yang akan menjadi korbanku.
Orang itu adalah Om Bagas, yang merupakan suami dari adik Papa. Dengan kata lain, Om Bagas dan aku tidak memiliki hubungan darah, dan kami hanya merupakan saudara berdasarkan hukum. Om dan keluarga tinggal di satu kompleks dengan kami, dan sering berkunjung untuk membagi makanan atau sekedar mengobrol bersama. Om ku ini adalah orang yang baik, dan memiliki wajah yang lumayan. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, dan rencanaku akan mulai berjalan.
Masih ingat dengan percakapan telepon di awal cerita? Mari kita lanjutkan dari sana. Aku merasa cemas, nervous, namun di saat bersamaan juga bersemangat. Aku mengulang-ngulang rencana di kepalaku agar nantinya tidak terjadi kesalahan. Saat ini, aku sedang di rumah sendirian. Keluargaku semua sedang pergi, dan Om Bagas barusan menelpon Papa menanyakan apakah kami ada di rumah karena ingin mengantarkan makanan. Papa mengatakan bahwa aku ada di rumah, dan mengirimkan pesan singkat kepadaku, memberitahu rencana kedatangan Om Bagas. Sungguh kesempatan emas!
Aku berpura-pura tidak membaca pesan dari Papa. Aku membuka tanktop dan celana pendek yang sedang kupakai, dan langsung telanjang. Aku memang tidak pernah mengenakan dalaman saat di rumah. Betapa kagetnya aku melihat celana pendekku sudah basah di bagian yang tadi bersentuhan dengan selangkanganku.
“Duh, ga sabar banget kamu. Sebentar lagi yaa hehe.” Aku berbicara pada selangkanganku sendiri sambil menepuk-nepuknya dengan sayang
Dengan kondisi telanjang bulat, aku memastikan bahwa pagar rumah tidak terkunci. Kemudian aku berjalan balik melewati garasi, lalu berdiri di depan pintu. Pintu rumahku terbuat dari besi teralis, yang kemudian ditutup kawat nyamuk. Dari sini, aku bisa melihat ruang tamu dengan terang benderang. Dari sinilah nanti Om Bagas akan melihatku!
Aku kemudian masuk ke dalam rumah, mengunci pintu kawat nyamuk, lalu berbaring di sofa ruang tamu. Sofa ruang tamu diletakan sejajar memanjang dengan tembok sebelah kiri. Aku tiduran terlentang dengan kepala bersandar di pegangan sofa dekat dengan pintu kawat dan kaki mengarah ke ujung satunya. Dengan posisi ini, aku membelakangi pintu, dan orang di depan pintu akan bisa melihat bagian atas kepalaku dan hampir seluruh tubuhku. Aku berbaring, menyalakan handphone dan memutar salah satu video porno koleksiku. Aku lalu mengenakan headphone dan berpura-pura asik menonton. Vaginaku saat ini sangat basah, dan bukan disebabkan oleh video porno, melainkan menantikan kedatangan seorang penonton yang akan menjadi orang pertama yang melihat tubuh telanjangku.
Tidak lama, aku mendengar suara pintu pagar dibuka. Tubuhku mengejang kaku. Dadaku berdegup dan keringat mulai mengucur dari dahiku. Aku dapat mendengar suara langkah kaki mendekat, karena memang aku mematikan suara dari headphoneku.
“Vivi!”
Dapat ku dengar Om ku memanggil namaku. Aku mengarahkan bagian layar handphoneku yang berwarna hitam, yang biasa ada kalau memutar video dengan layar tidak penuh, sehingga memantulkan apa yang ada di belakang kepalaku. Aku dapat melihat Om Bagas sedang membuka sandal sambil menenteng bungkusan makanan. Om Bagas kemudian mendekat dan berdiri di depan pintu kawat, lalu melihat ke dalam.
Sepertinya butuh beberapa saat untuk mata Om Bagas yang baru dari luar untuk terbiasa dengan cahaya dalam ruangan. Beberapa detik kemudian, dapat kulihat ekspresi kaget terpancar di wajahnya. Bagaimana tidak? Keponakannya yang cantik saat ini sedang tiduran menonton video porno, tanpa sehelai benang pun!
Tubuhku bereaksi secara gila melihat ekspresi Om Bagas. Payudaraku terasa kencang dan putingku keras mencuat. Nafasku memburu. Kakiku berulang kali melakukan gerakan menekuk dan melurus tanpa sadar. Ahhh, ini rasanya. Ini rasanya bertelanjang di depan orang lain. Ini rasanya, ketika tubuh indahku dilihat dengan tatapan penuh hasrat. Sungguh rasa kebanggaan yang tidak dapat dilukiskan!
Sesekali, akal sehatku mencoba memerintahkan tanganku untuk menutupi aurat-auratku dari pandangan Om Bagas. Namun, aku mati-matian melawannya. Tidak akan kubiarkan ajaran dan norma-norma kesopanan yang diajarkan sejak kecil menghalangi kenikmatan yang kurasakan saat ini. Aku melihat dari pantulan layar, Om Bagas kini berdiri mematung. Tatapannya lurus ke arahku. Saat ini, aku yakin hanya akulah satu-satunya yang ada di pikirannya.
Aku tersenyum sambil menggigit bibir bawahku. Dengan sambil berpura-pura menonton video porno, aku menyentuh selangkanganku perlahan. Ujung jariku terasa seperti sengatan untuk vaginaku yang sangat sensitif. Desahan tidak dapat kucegah keluar dari mulutku.
“Mmmhhhh..”
Aku memainkan vaginaku, sambil ditonton oleh Om ku! Setiap sentuhan terasa 1000 kali lebih nikmat dari biasa. Aku menggosoknya naik turun. Dapat kudengar bunyi lendir yang vulgar keluar seirama dengan gerakan tanganku. Dengan jarak hanya sekitar 1 meter dariku, pasti Om Bagas juga bisa mendengarnya dengan jelas.
Dengar Om, ini suara dari memek binal keponakanmu!
Tangan kiriku masih memegang handphone, menampilkan video porno yang tidak kutonton sama sekali. Aku malah fokus pada bayangan Om ku yang memantul di bagian atas layar. Dengan jari kelingking aku memainkan puting payudaraku, sambil tangan kananku tetap mengocok vaginaku. Rangsangan yang kuterima terlalu luar biasa. Kenikmatan yang kurasakan dilipat gandakan dengan kehadiran Om ku, dan membuat tubuhku tidak berdaya. Aku merasakan rasa nikmat tersebut seperti mau mendobrak keluar dari tubuhku. Seluruh tubuhku mengejang. Tanganku bergerak liar tidak terkontrol, bertubi-tubi melakukan rangsangan kuat terhadap tubuhku. Pandanganku gelap, dan tubuhku terasa seperti melayang. Tanpa permisi, tubuhku dihantam oleh gelombang-gelombang orgasme yang tanpa ampun menghempaskan tubuhku, membuatnya menggelinjang dan menggelepar hebat.
“Aaaahh…aahh! Aaaahhh! Ahhhhhhh!!!!”
Entah berapa lama tubuhku bergetar. Tangan kananku masih tidak mau berhenti menggosok vaginaku. Tangan kiriku meremas dan memijat lembut dadaku. Handphoneku entah ada di mana. Headphone yang kugunakan juga sudah terlepas dari kepalaku. Aku terkulai lemas di atas sofa. Nafasku yang memburu perlahan-lahan mulai tenang. Aku tersenyum bahagia. Ini adalah kenikmatan paling tinggi yang pernah kurasakan selama hidup. Tanpa sadar, aku melihat ke arah pintu, dan bertatapan mata dengan Om Bagas.
Aku terlonjak kaget. Aku sejenak lupa akan kehadiran Om Bagas disana. Untungnya, kekagetanku ini membantuku bereaksi secara natural, selayaknya orang yang baru ketahuan masturbasi.
“Eh, Om? Eh.. hah. Kok ada di situ?” ucapku terbata-bata. Aku tidak memerlukan banyak acting, karena kini aku benar-benar gugup.
“Vivi, Om dari tadi udah manggil-manggil kamu.” Om Bagas yang awalnya terlihat kaget dengan cepat menguasai diri.
“Ya ampun, maaf Om, maaf!” dengan tergesa-gesa aku membukakan kunci pintu kawat dan mempersilahkan Om Bagas masuk.
“Ini Om bawain makanan buat kamu. Papa kamu ga bilang Om mau datang?”
“Oohh iya, makasih Om. Wah aku belum baca whatsapp dari tadi Om, jadi gatauu.”
Tidak bisa kupercaya, saat ini aku berinteraksi normal dengan Om ku dalam kondisi telanjang bulat!
“Ya ini Om bukain aja makanannya. Kamu masuk dulu sana, pakai baju.” kata Om Bagas, tapi aku tidak akan menurutinya.
“Om..” aku menarik lengan Om Bagas, lalu menariknya untuk duduk di sofa bersamaku. Sofa yang baru saja menjadi tempat ku bermasturbasi, dan dengan kondisiku yang masih polos tanpa sehelai benangpun. Aku memandang Om Bagas dengan mata berkaca-kaca. “Om, tolong jangan bilang Papa ya.”
“Ya ga mungkin lah Vi Om bilang Papa kamu.” Om Bagas menenangkanku. “Om juga ngerti, di umur kamu wajar kok kayak gitu.”
Aku tersenyum lemah. “Makasih ya Om.”
“Tapi kamu juga jangan sering-sering Vi, ga baik. Dan terutama, jangan di depan pintu begini. Nanti kalau dilihat orang gimana?”
Memang itu tujuannya Om, hehe.
“Iya Om, aku kira ga akan ada yang datang, jadi aku ngelakuinnya di ruang tamu.”
“Kenapa ga di kamar kamu?”
“Mumpung lagi sendiri di rumah, kalau di kamar kan setiap hari bisa hehe.”
“Yee, udah Om bilang jangan sering-sering, malah tiap hari.” ujar Om Bagas sambil mencubit pipiku.
“Aduuuhh, kok dicubit sih!” protesku manja.
“Udah sana pakai baju, emang ga malu sama Om?”
“Ya ngapain malu Om, Om juga udah lihat semua kan? Lagian ga mungkin kan Om nafsu sama aku.” Godaku.
“Ya enggalah Vi. Kamu juga dulu Om yang suka mandiin.”
“Yee itu kan waktu kecil Om. Belum ada ininya.” aku mengangkat kedua payudaraku dari bawah dengan kedua tangan. Om ku meresponnya dengan menggelitik pinggangku, membuatku menggeliat memohon ampun.
Kami terus berbincang-bincang, makan bersama, menonton tv selama kurang lebih satu atau dua jam. Semua itu kulakukan dengan bertelanjang. Hari itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku.
Bila ini merupakan cerita panas, tentu hari itu menjadi awal dari hubungan terlarang kami, namun kenyataan lebih membosankan daripada itu. Kami tidak pernah membicarakan tentang hari itu sama sekali. Hubunganku dan Om Bagas masih sangat baik, kami berinteraksi normal layaknya saudara. Tidak pernah Om Bagas bertingkah mesum kepadaku, karena pada dasarnya dia memang seorang Bapak yang baik. He’s a decent man, I’m the bad girl. Haha.
Begitulah ceritaku kali ini, semoga menghibur teman-teman semua. Saat percakapan tentu sebenarnya kami tidak se-flirty itu, namun mohon dimaafkan, biar ceritanya lebih asik.