T.r.a.n.s.i.t.
SAYA pulang kerja sudah agak malam karena jalan macet dimana-mana. Di rumah saya ada Budhe dari istri saya dengan suaminya menginap.
Budhe dari istri saya dengan suaminya transit sementara di rumah saya sejak kemarin siang tunggu dijemput oleh anaknya.
Berhubung istri saya tidak ada di rumah, saya ngomong dengan Pakdhe istri saya, bahwa rumah ditinggal saja nggak apa-apa kalau nanti dijemput. Kunci rumah bisa dititipkan ke tetangga, karena saya membawa kunci serep.
Sesampai saya di rumah, ternyata Budhe dari istri saya dan suaminya belum pergi. Mereka sudah tidur, begitu pikir saya karena mereka sudah tidak muda.
Pakdhe Teguh, begitu saya memanggilnya sudah berusia 58 tahun. Istrinya Budhe Mindah lebih muda sedikit dari Pakdhe Teguh, usianya 50 tahun. Tetapi bagi orang yang tidak kenal baik dengan Budhe Mindah kalau Budhe Mindah memakai pakaian yang sexy banyak orang akan menganggap bahwa Budhe Mindah baru berusia 45 tahun apalagi Budhe Mindah cantik, tubuhnya masih sekal, pantatnya juga montok.
Tetapi selesai saya mandi sewaktu saya ingin melewati kamar mereka menuju ke kamar saya, saya mendengar suara aneh, “…aaahhh… aaaahhh… Paa..aakk… aaaahhh…”
“Ouughh… Buu…uuu… uuuu… uuuuu… mmmhh..ooooohh…” lenguhan itu seperti lenguhan nikmat Pakdhe Teguh saat menyemprotkan air mani ke memek istrinya.
Saya buru-buru duduk di kursi ruang tengah dan kebetulan di atas meja ada lembaran koran, kemungkinan koran Pakdhe Teguh karena Pakdhe Teguh tidak biasa membaca koran di hape.
Saya sengaja tidak mau menyalakan televisi. Takut suara televisi mengganggu kenikmatan Pakdhe Teguh menyetubuhi keindahan tubuh istrinya, karena saya sendiri juga pengen kalau bisa.
Tidak lama kemudian terdengar pintu kamar berbunyi… klekk… entah siapa yang keluar dari kamar, mata saya terus ke lembaran koran, sedangkan ekor mata saya ke pintu kamar Pakdhe Teguh dan Budhe Mindah.
Ternyata yang keluar dari kamar adalah Budhe Mindah yang keluar memakai kain. Habis bersetubuh mungkin ia ingin membersihkan memeknya di kamar mandi. Tetapi kain yang dipakainya tidak diikat, melainkan hanya dipegangnya begitu saja.
“Eh… Wira… sangka Budhe kamu belum pulang…”
“Macet Budhe… barusan juga selesai mandi…”
“Sudah makan, Wira…?”
“Sudah, Budhe… Budhe…?”
“Sudah… mana tahan pakdhemu makan malam-malam…”
“Pakdhe sudah tidur…?”
“Sudah… sudah dari tadi…”
Jadi ingin tertawa saya mendengar jawaban Budhe Mindah yang ingin mengelabui saya, disangkanya saya tidak tau ia barusan selesai bersetubuh belum 5 menit.
“Duduk sini, Budhe…”
“Sebentar ya Wira, Budhe ke kamar mandi dulu…” jawab Budhe Mindah.
Karena sepi, saya bisa mendengar dengan jelas suara Budhe Mindah kencing, zzzzzzz…zzhh… zzzzzzzhhhh….. zzzzzzzzzzzzz…… zzzzzzzzz………. zzzzzzzzzz…… sehingga darah ditubuh saya berdesir-desir membayangkan lubang memeknya yang tadi digauli oleh kontol suaminya, lalu saya mendengar Budhe Mindah menyiram lantai kamar mandi.
Budhe Mindah keluar dari kamar mandi sudah dengan kain terikat di dadanya, tetapi tidak full menutupi payudaranya, melainkan disisakan belahannya. Budhe Mindah duduk di sebelahku.
“Budhe memakai pakaian begini duduk sama Wira disini, kalau kelihatan sama Pakdhe apa nggak marah…?” tanyaku.
“Marah apa, Wira… kita sudah tua…”
“Yang disebut tua itu kalau sudah keriput, Budhe…” jawabku menjulurkan tanganku memegang punggung Budhe Mindah yang telanjang. “Ini kan masih muluuu..uuss…” kataku.
“He..he…” Budhe Mindah tertawa senang karena merasa dipuji.
Huk… uhuk… uhukk… Pakdhe Teguh batuk.
“Budhe masuk sebentar lihat Pakdhemu ya, Wira…” kata Budhe Mindah beranjak bangun dari duduknya.
Sewaktu Budhe Mindah mau berjalan ke kamar, saya tidak tahan lagi. Tangan saya segera terjulur menjangkau bongkahan pantatnya lalu saya meremas pantat yang padat kencang dan bahenol itu, tetapi Budhe Mindah terus berjalan ke kamar tidak menggubris tangan saya yang meremas pantatnya.
Hanya sebentar Budhe Mindah di kamar. Terus ia duduk lagi di samping saya.
“Pakdhe sudah tidur lagi?” tanya saya. Tangan saya sudah tidak sabar ingin sekali memeluknya tetapi takut Budhe Mindah bilang saya kurang ajar kalau tidak pada waktu yang tepat.
“Sudah… kapan Bella pulang?”
“Katanya sih pergi seminggu, ini baru dua hari, Budhe…”
“Suntuk ya kalau sendirian di rumah…? Waduh… ini nyamuk…” keluh Budhe Mindah kemudian.
Kesempatan, batinku.
“Ya… Budhe, nyamuknya ganas-ganas lagi apalagi sekarang lagi banyak orang demam berdarah…”
“Iya… tetangga Budhe kemarin sampai masuk rumah sakit seminggu…”
“Kalau Budhe belum ngantuk… apa kita pindah saja ngobrol di kamar…?”
“Budhe takut Pakdhemu batuk-batuk lagi… nanti ia cari Budhe minta minum air anget…”
“Ya sudah kalau Budhe mau tidur, silahkan…” kata saya.
Budhe Mindah tidak langsung beranjak bangun dari tempat duduknya. Mungkin ia bingung menentukan pilihan. “Kamu masuk dulu, nanti Budhe nyusul kalau Pakdhemu bisa ditinggal.” kata Budhe Mindah kemudian.
“Ya Budhe…” jawab saya dengan jantung berdebar membayangkan tubuh montok itu sebentar lagi saya nikmati, tetapi seandainya Budhe Mindah nolak… uhuk… uhuk… uhukk…
Tok… tok… tok…
“Masuk, Budhe…” kata saya dari dalam kamar. Lampu utama di kamar sengaja saya matikan. Saya menghidupkan lampu di tepi tempat tidur yang temaram, syahdu dan romantis.
Budhe Mindah membuka pintu masuk ke kamar saya sudah mengganti pakaiannya dengan baju tidur berupa kaos dan celana panjang yang juga dari bahan kaos.
Tadi ia tidak memakai BH, sekarang saya melihat bayangan BH dari luar kaosnya… waduh, ciut nyali saya, sirna harapan saya… berarti sudah tidak ada lagi harapan bagi saya untuk menikmati tubuhnya, batin saya begitu.
Budhe Mindah melihat sekeliling kamar saya. “Nostagia ya, Budhe… membayangkan Budhe masih muda dulu, ya… eh… eh… sekarang Budhe juga masih muda… baring Budhe… kita ngobrol santai saja di sini…”
Budhe Mindah meletakkan tubuh semoknya di kasur. Pegas kasur di tempat tidur saya pasti lebih mantul dan membal, sehingga sewaktu nanti kontol saya menggenjot lubang memeknya turun-naik keluar-masuk pasti lebih luwes dan lentur dibandingkan dengan kasur yang ditidurinya sekarang dengan Pakdhe Teguh.
Semua mulustrasi dan ilusi bermain silih berganti mengelilingi otak saya, sehingga saya memberanikan diri memeluk Budhe Mindah. “Waww…” seruku. “Tubuh Budhe masih mantap sekaliii… senang Wira, Budhe…”
“He.. he…” Budhe Mindah tertawa. Mulutnya mengeluarkan bau yang sedap, sehingga membuat saya semakin terangsang.
“Budhe masih begitu dengan Pakdhe…?”
“Kadang-kadang Wira… Pakdhemu sudah nggak ada tenaga… Budhe hanya melayani saja, kalau untuk mencari kepuasan ya nggaklah…”
“Kasihan, Budhe…” kata saya pura-pura iba dengan Budhe Mindah. “Terpikirkan nggak sama Budhe… mmm… mmm.. maaf ya, Budhe… pengen sama laki-laki lain, Budhe kan masih layak… masih sanggup… gitu lho, Budhe…”
“Kalau mau selingkuh sewaktu masih muda, Wira… kek gini, laki-laki mana yang mau sama Budhe…?”
Saya sudah tidak tahan lebih lama lagi. Saya segera bergerak mencium bibir Budhe Mindah bercampur takut dan napsu. Sebodoh amat jika ia mau marah, batin saya. Yang penting sudah saya mengerjakan bagian saya.
Eh… benar saja. Bibir Budhe Mindah langsung memagut bibir saya. “Ohhh… Wir…aaa…” desahnya.
Tanpa saya memberikan Budhe Mindah peluang untuk jedah lagi. Segera saya gumuli bibirnya yang ranum itu, sementara lidah Budhe Mindah sudah tidak bisa berdiam diri, meliuk sana meliuk sini di dalam dan di luar bibir saya.
Saya buka kancing baju tidurnya yang berada di depan. Setelah saya buka semuanya, BH-nya saya dorong ke atas, selanjutnya teteknya yang sudah bertelanjang di depan saya, saya remas-remas seperti memeras santan kelapa.
Tetek Budhe Mindah masih kenyal berisi. Putingnya juga besar. Saya puntir-puntir putingnya yang sudah tegang itu dengan jari.
“Ooouuhhh… Wiraaa..aaaaa…. Budhe sudah nggak tahan…” desah Budhe Mindah. “Masukin penismu, ayo… tapi ini rahasia kita ya, Wiraaaa….”
“Ya, Budhe…”
Budhe Mindah segera melepaskan pakaiannya. Semuanya tanpa sisa sehingga Budhe Mindah bertelanjang bulat di depan saya. Saya juga melepaskan pakaian saya. Dengan penis mengacung tegang, penis saya tidak segera mengeksekusi memek Budhe Mindah.
Mungkin hanya malam ini Budhe Mindah menginap di rumah saya. Setelah dijemput anaknya besok, sudah tidak… dan entah kapan lagi Budhe Mindah akan menginap di rumah saya lagi. Maka itu saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mumpung istri saya juga tidak di rumah.
Saya memagut leher Budhe Mindah dan saya hisap di beberapa bagian sambil teteknya terus saya remas. Setelah saya beri cap bibir di leher Budhe Mindah, saya pindah mencium ketiaknya yang polos tak berbulu.
“Ouughhh… Wiraaaaa…aaa…” desah Budhe Mindah.
“Biar Budhe puas…” kata saya. “Mau kan, Budhe…?” lalu saya menjilat ketiak Budhe Mindah, kiri dan kanan sambil jari saya mengelus-elus belahan memeknya.
“Ouugghh… oouugghh… Wiraaaa… jangan siksa, Budhe…. masukin saja penismu… Budhe sudah benar-benar gak tahan neh…” mohonnya.
Kini teteknya saya cium, saya jilat, saya hisap putingnya dan saya juga membuat cupang di kulit teteknya yang putih mulus itu sambil jari saya berada di dalam lubang memeknya yang terasa kering.
Jari saya tidak berani lama-lama di dalam lubang memek Bu Mindah, kemudian saya berpindah menjilat memeknya dengan lidah.
“Ouuhhhgggg… kok dijilat, Wiraaa…?”
“Nikmati saja, Budhe… kapan lagi kan…?”
“Yeahh… yeahh… ouugghhh… yeahh… yeahhh… aaggghh… ssttss… ooohhh…. Wiraaa… Wiraaaaaa… Budhe sungguh-sungguh gak tahan….. ooohhh… ooohhhh…”
Budhe Mindah menggelinjang hebat sampai tubuh semoknya memelintir saat lidah saya menjilati biji kelentitnya… terus saya jilat… truss… trussss…
“Aagghhhh…. Wiraaaa… Wiraaa… Wiraaaaa… aaagghhhh… ooohhhh…. uuugghhhhh…..”
Budhe menghembuskan napas panjang seraya tubuhnya mengejang; Budhe Mindah O.R.G.A.S.M.E.
“HADUUHHH… BUDHE LEMEEE…EESS, WIRAA..AA…”
“Tapi nikmat kan?”
“Ya, Wira….”
Saya bangunkan Budhe Mindah duduk di tempat tidur, kemudian saya masukkan penis yang tegang ke dalam mulut Budhe Mindah… saya kocok-kocok penis saya di mulut Budhe Mindah seolah saya memperkosa mulutnya.
Tidak sampai saya ejakulasi, kemudian saya membaringkan Budhe Mindah di tempat tidur. Budhe Mindah menurut saja apa yang saya lakukan terhadapnya.
Kemudian saya mendorong penis saya masuk ke lubang memek Budhe Mindah. Perlahan-lahan sambil kami berciuman. Lubang itu seret, karena sudah tidak mengeluarkan lendir.
Akhirnya masuk seluruh penis saya tenggelam di dalam lubang memek Budhe Mindah. Lantas saya mulai menarik dan mendorong ngentot lubang itu.
Meskipun lubang itu sudah seret, tapi masih legit… pantesan kontol Pakdhe Teguh masih menyukainya. Saya juga menyukainya.
Saya terus mengentoti lubang memek Budhe Mindah. “OOGGHHH… WIRAAAA… PENISMU BESAR, YA…”
“Enak yang besar kan, Budhe…?” tanyaku. “…..tapi Budhe ngentot juga dengan Pakdhe, tadi kan…”
“Kok kamu tau…?”
“Ahhh… Budhe menjerit-jerit…” kata saya. “Sebenarnya saya gak ada maksud bersetubuh dengan Budhe begini… tapi sayavnghak tahan tadi mendengar suara Budhe merintih nikmat begitu…..”
“Ya, Wira…” jawab Budhe Mindah pelan dan sedikit malu karena rahasianya ngentot dengan Pakdhe Teguh terkuak.
Setelah sekitar 15 menit saya menggenjot lubang memek Budhe Mindah, akhirnya saya tidak tahan.
Sejurus saya mendorong batang kontol saya sejauh mungkin menjelajah lubang memek Budhe Mindah, lantas saya semprotkan air mani saya di depan rahimnya.
Crroottt… crroottt… crroottt… croottt…
Oooo… nikmat sekaliii…
Saya diamkan kontol saya di dalam lubang memek Budhe Mindah yang basah kuyup, sebentar kemudian baru saya cabut dan saya melihat lubang tempat saya menancapkan kontol saya itu.
Lubang itu ternganga mengeluarkan air mani saya yang putih kental.
Sayang sekali, Budhe Mindah sudah tidak bisa hamil!
Dan saat Budhe Mindah ingin memakai kembali pakaiannya, saya ingin tertawa. Selain lubang memeknya telah saya nodai, lehernya juga saya nodai dengan cupang, begitu juga teteknya.
Pagi-pagi anaknya mengirim mobil menjemputnya bersama suaminya pergi ke rumah anaknya.
Dengan demikian, cerita ini BERAKHIR pula sampai disini.