Mobil Merah Tetangga Sebelah
Aku baru saja memasuki rumah ketika kulihat sesuatu di rumah sebelah. Rumah Sesyl kelihatan agak berbeda dari biasanya. Disana, di pekarangan rumah itu terparkir sebuah Honda Jazz berwarna merah. Aku agak bingung sekaligus bertanya-tanya bagaimana mungkin ayahnya Sesyl yang selama ini hanya bekerja sebagai kuli bangunan itu bisa membeli Honda Jazz? Biasanya juga sehari-harinya suka minjem uang ke ibu.
Aku sudah berada di depan kamar. Aku melihat ke ruang lain sejenak, ada ibu yang sedang menyiapkan makan malam disana. Aku bermaksud menghampiri dan ingin menanyai mobil yang ada di rumah sebelah. Namun, kuurungkan niatku karena ku yakin ibu tidak akan pernah mau membahasnya. Ibu selalu mengingatkanku bahwa tidak ada baiknya mencari tahu urusan orang lain. “nanti jadi ghibah lho”, begitu ibu berujar selalu.
Aku memasuki kamar dan kembali melirik ke rumah sebelah melalui jendela kamarku. Kamarku terletak paling depan, tepat disebelah ruang tamu sehingga dari jendela kamarku itu kita akan langsung terhubung dengan pekarangan minimalis dan bisa langsung melihat ke rumah tetangga sebelah. Lagi-lagi rasa keingintahuanku menggelitik otakku. Pertanyaan-pertanyaan muncul seolah tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
“bagaimana mungkin pak Joni bisa membeli mobil?”, “apakah Pak Joni baru saja menang lotre?”, “atau mungkin pak Joni melakukan pesugihan ?”. Pertanyaan itu berputar-putar di pikiranku tanpa ku tahu jawabannya.
Malam itu setelah makan malam aku tertidur dengan berbagai pertanyaan tentang pak Joni yang tidak bisa terjawab.
Hari ini aku agak terlambat berangkat ke sekolah. Namun, untungnya guru yang mengajar belum masuk sehingga aku bisa berjalan tenang melalui lorong kelas. Aku baru saja menghempaskan tubuhku ke bangku di sebelah Gina. Namun, sahabatku itu langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan.
“Re, beneran ya ayahnya Sesyl menang lotre semalam ?”, pertanyaan itu meluncur dengan santai dari bibir Gina.
“nggak tahu gin, aku nggak nanya”, aku menjawab sekenanya.
“lagian buat apa kita ngurusin masalah orang lain”, aku berujar lagi.
Tanpa ku minta Gina mulai bercerita tentang Sesyl yang diantar oleh ayahnya tadi. Anak-anak lain juga mulai berkicau mengatakan hal-hal aneh tentang Sesyl, mulai dari dugaan bahwa ayah Sesyl menang lotre, sampai anggapan bahwa ayah Sesyl memakai ilmu hitam untuk mendapatkan itu semua. “persis sama dengan apa yang ada dipikiranku semalam”, batinku.
Hari itu, kelasku diributkan dengan masalah Sesyl. Sementara itu, Sesyl seperti tidak ingin berkomentar dan tiap kali ditanya tentang itu hanya tersenyum.
Sore ini aku baru saja selesai mandi. Di kamarku sudah ada Gina yang sedang memegang majalah sambil melihat kearah jendela. Aku memang sudah ada janji dengan Gina untuk mengerjakan tugas.
“Re, coba kamu lihat ke sebelah, Sesyl lagi sama om-om”, Gina memanggilku yang masih mengenakan handuk.
“kamu jangan asal ngomong deh, mana mungkin Sesyl kayak gitu”, aku mencoba membela Sesyl sembari melihat keluar jendela.
“Astaghfirullah….”, tanpa sadar mulutku berujar melihat yang terjadi di luar. Apa yang kulihat dari balik jendela membuatku shock. Sesyl sedang berbincang-bincang dengan seorang lelaki paruh baya yang tidak aku kenal. Jujur, aku kenal hampir semua saudara dari ayah atau ibunya namun laki-laki yang sekarang aku lihat memang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Wah Re, ini jauh lebih buruk dari dugaan anak-anak Re”, Gina mulai berkomentar lagi sambil memegang bahuku. Aku hanya terdiam. Namun aksi diamku dimanfaatkan Gina. Tangannya menjalar ke buah dadaku yang masih terbungkus handuk.
“eeeeh, Gina mau ngapain??”, Tidak menjawab, Gina malah mencium bibirku dengan lembut. Aku kaget tapi tidak sanggup melawan. Bibirnya melekat kemudian melumat dengan lembut. Rasa ini terlalu nikmat untuk dilawan. Sambil mencium, tangan Gina terus bergerilya di buah dadaku.
Perlahan tapi pasti handukku mulai melorot dan jatuh kebawah. Gina semakin menjadi-jadi, ritme remasannya pd buah dadaku semakin cepat, aku merinding, lututku serasa goyah ketika satu tangannya menjalar kearah selangkanganku.
“Ahhhhsssh…… ”, aku mendesah ketika Gina berhenti melumat bibirku, dada Gina bergerak seirama dengan helaan nafasnya.
“pindah ke kasur yuk Re”, Gina berbisik di telingaku.
“Jangan Ahhh…”, aku menggelengkan kepala kemudian berkata “udah ya Gin, jangan terlalu jauh, aku mau pake baju dulu”, aku mengambil handukku yang tergeletak di lantai.
Gina menolak keinginanku. Ia menahan tanganku yang sudah kembali memegang handuk.
“pleaseee, ayolah Ree, tanggung…”, Gina menatapku penuh harap. Dia terus merengek memaksakan keinginannya.
Setelah menghela nafas panjang, akhirnya aku menuruti keinginan Gina, ada rasa cemas yang mengisi relung dadaku, ada sedikit rasa penasaran, namun juga ada rasa takut untuk melakukan hal baru seperti ini.
Gina menuntunku naik ke atas kasur, ia menyuruhku berposisi menungging. Ia sedikit mendorong tubuhku, kemudian sedikit menunggingkan pantatku, berat badanku sekarang tertumpu pada kedua tanganku. Gina mengelus lembut betisku. Usapan-usapannya semakin naik merayap ke atas, merayapi permukaan paha bagian dalamku. Pelan tapi pasti tangannya hinggap di pantatku.
Lubang anusku menjadi tujuannya. Dengan agak menundukkan badannya, ia mulai mengelus-elus lubang yang selama ini ku anggap kotor itu. Ia semakin menunduk hingga akhirnya aku merasakan sesuatu yang basah hinggap di lubang anusku, aku mencoba melihat kebelakang, ternyata lidahnya sudah mengulas-ngulas lubang anusku, membasahinya dengan air liurnya sebagai pelumas dan kemudian ditusuknya lubang anusku dengan lembut.
“Uhhhh….” Aku menarik pinggulku ketika jari Gina mengelus lembut lubang anusku. Perlahan-lahan jarinya menekan-nekan berusaha melakukan penetrasi.
Nafasku kadang-kadang memburu, kadang tertahan, kadang menghela nafas panjang dengan tubuh yang mengejang ketika perlahan-lahan jari sahabatku itu memasuki lubang anusku.
“Ahhhhhh…, Shhhhhhh, pelanh, pelannhhh….” aku mengernyit ketika Gina mulai menarik dan menusukkan jari telunjuknya, Gina menghentikan gerakan jarinya, dengan lembut Gina mengecupi buah pantatku, ia memberiku kesempatan agar dapat membiasakan diri dengan sebuah jari yang tertancap dilubang anus. Agak lama barulah Gina melanjutkan gerakan jarinya, ditariknya perlahan kemudian ditusukkannya dengan selembut mungkin.
Tangan Gina yang satunya lagi membelai-belai permukaan vaginaku yang bersih tanpa bulu, Gina tersenyum, Aku memang rajin mencukur buluku, dan rajin merawat daerah intimku itu.
Jari Gina mulai melakukan gesekan pada belahan vaginaku sekaligus menarik dan menusukkan jarinya pada lubang anusku. Mulutku ternganga-nganga tanpa dapat mengeluarkan suara, yang ada hanya desahan nafas yang tersendat-sendat.
“Sssshhhhhhh…..,” kepalaku terangkat keatas, mulutku sedikit ternganga, kemudian mendesah panjang “Ahhhhhhhhhhhh……..”
“Crrrrrrrrttt… Crrrrtttt….” tubuhku mengejang kemudian seperti terhempas dengan lembut, lubang vaginaku berdenyut-denyut membuahkan rasa nikmat yang menjalari sekujur tubuhku.
Mulut Gina buru-buru melumat lubang vaginaku, diemutnya dengan lembut, dihisapinya cairan-cairan lengket itu sampai kering. Rasa nikmat yang sangat luar biasa membuat kaki dan tanganku ikut gemetar, dan tanpa bisa ku tahan tubuhku terhempas ke kasur.Gina ikut-ikutan berbaring dan mengusap rambutku.
“Gimana Re? enak ga?”, Gina menatap nakal kearahku yang masih tersengal-sengal. Lebih kurang lima menit aku terkapar dan Gina memeluk sambil mengusap rambutku lembut.
Tiba-tiba terfikir olehku untuk membalas Gina. Aku melepas pelukannya dan bangkit, tanganku bergerak liar menelanjangi Gina tanpa ada perlawanan. Aku memeluk erat tubuhnya. Dia mendesah sambil membalas pelukanku, untuk beberapa saat kami berdua saling berpelukan, rasa hangat dan desiran darah itu kembali menjalari tubuhku, perlahan membakar kemudian dengan mengobarkan lagi birahiku. Aku merundukan kepalaku untuk mencium bahu Gina, ku kecup lembut bagian itu. Kecupanku perlahan menjalar ke leher Gina, sebelum akhirnya bibir kami menyatu, saling memagut, saling mengecup dan saling kulum.
Gina tersenyum kecil sambil menggesek-gesekkan dadanya pada dada ku. Aku juga ikut menggerak-gerakkan dadaku, sesekali desahan kecil bergantian keluar dari mulut kami.
“Re, lagi ngapain di dalam?”, bantuin ibu masak buat makan malam dong sayang”, gerakan dan desahan kecil kami terhenti karena terusik oleh suara ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamarku.
“aku masih ngerjain tugas bu, kalau bantuin ibu dulu takutnya ntar Gina pulangnya kemaleman, aww!”, aku melotot ke arah Gina yang tiba-tiba menarik putting buah dadaku.
“itu kenapa teriak-teriak? Klo ngerjain tugas yang serius, jangan sambil becanda, biar cepat selesainya. Ya udah, ibu ke belakang dulu nyiapin makan malam ya sayang”, langkah kaki ibu mulai terdengar menjauh dari kamarku.
“ini si Gina tiba-tiba main cubit aja bu, awww Gina pleaseee…”, lagi-lagi Gina memutar-mutar dan menarik putingku. Aku mendelik kearah Gina dan dibalas dengan senyuman nakal olehnya. Awass yaa, pasti ku balas!, batinku.
Tak terdengar lagi suara langkah kaki ibu, sepertinya beliau sudah sampai di dapur. Perlahan-lahan kami memulai kembali kegiatan yang sempat terhenti. Aku menundukkan kepalaku kearah payudara Gina, aku kecupi dengan lembut bulatan dada Gina yang menggembung semakin membuntal padat, sesekali mulutku memagut-magut liar sampai Gina mendesah keenakan. Gina menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, dan menyodorkan vaginanya kedepan dengan posisi kedua kakinya sedikit mengangkang. Kepalaku mengarah ke antara kedua kaki Gina, tanganku merayapi permukaan paha Gina, matanya menatap sayu ke arahku. Sepertinya dia sudah benar-benar ingin. Sedangkan tanganku mulai menjalar ke belahan vagina Gina sebelum akhirnya aku menjulurkan lidahku keluar dan memoles belahan bibir vagina Gina, kukecup bibir vagina Gina dan kuhirup aromanya yang masih sangat aneh bagi hidungku.
Bibir ku dengan lembut memagut-magut bibir vagina Gina, jariku menekan sisi bibir vagina Gina agar belahan itu sedikit merekah. Aku menggerakkan lidahku mirip seperti sedang mengait sesuatu, mengorek, dan mengulasi daging klitoris Gina yang semakin membengkak. Sesekali Gina menarik vaginanya ketika rasa geli itu semakin hebat menyerang daerah intimnya, namun kemudian menyodorkan kembali vaginanya ke mulutku. Tangan Gina membelai – belai rambut ku, dan sesekali mencoba meraih payudaraku yang menggantung. Kepala Gina kadang terangkat ke atas dengan mata terpejam-pejam menikmati pagutan-pagutan lidahku di vaginanya.
Wajah Gina tampak semakin sensual ketika mendesah-desah, kadang mulutnya seperti hendak mengucapkan kata “A”, kadang meruncing tajam.
“Reeeeeee….” Gina mendesah sambil mengusap-usap kepalaku.
“Ennghh…,gimana gin , enak?”, aku menghentikan sejenak aktivitasku dan menatap Gina yang masih tersengal-sengal.
“lumayanlah, untuk pemula kayak kamu”, ucapnya sambil meleletkan lidahnya.
“Shiittt! Dia malah mengejekku”, ujarku dalam hati.
Aku kembali menjulurkan lidahku sebentar ke vaginanya, kemudian aku membalikkan tubuh Gina. Gina mengikuti saja arahanku. Kemudian lidahku kembali beraksi, tetapi kali ini lubang anusnya yang menjadi tujuanku. Persis seperti apa yang ia lakukan padaku tadi. Lidahku mulai mengelitiki sela-sela pantat Gina, seinchi demi seinchi akhirnya sampai ke lubang anus Gina, ku remas lembut buah pantat Gina yang bulat padat, sambil lidahku tetap melumasi lubang anusnya. Setelah lubang anus Gina agak basah oleh air liurku, barulah ku tempelkan jari tengahku di lubang anus Gina.
”Annghhhhh….” Gina menggigit bibir bawahnya ketika merasakan jari tengahku mulai mengorek dan menusuk lubang anusnya, sepertinya ia sedikit merasa pedih ketika jari tengah ku perlahan-lahan memasuki anusnya.
“Aww….pelan-pelan Reeeee…..”aku menghentikan gerakan jari tengahku ketika Gina meringis.
“Ahh cemen, masa gitu aja sakit? Terus ga nih?”, Aku berbalik mengejeknya karena ia mengatakanku pemula tadi.
Gina tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya. Setelah mendapat persetujuan, jari tengah ku kembali menekan dan kali ini lebih dalam.
“Cuppp.. Cupppp… Cuppp”,aku mulai sedikit bergeser. Aku mengecupi pinggul, pinggang, punggung dan kemudian mengecupi tengkuk leher Gina. Tangan kiriku begerak meremas-remas payudara Gina yang membuntal, semakin padat dan kenyal ketika tanganku mengelus dan meremasi benda itu.
Gina menolehkan kepalanya kearah ku, lidah Gina terjulur keluar menghampiri lidahku, mulutku terbuka lebar dan mencaplok lidah Gina kemudian lidah kami saling menghisap dengan lembut, tangan kiriku mulai merayap lagi kebawah meninggalkan dadanya, dan mulai mengelusi bibir vagina Gina, terkadang dengan gemas ku meremas-remas selangkangan Gina, sementara jari tengah tangan kananku yang masih mengait lubang anus Gina bergerak keluar masuk dengan lembut. Aku semakin giat merangsang Gina untuk mencapai orgasmenya.
“Aaaakhhhhhh…” Akhirnya Gina terpekik kecil ketika merasakan letusan nikmat yang diiringi dengan denyutan-denyutan kenikmatan di lubang vaginanya, hanya desahan-desahan kecil yang terdengar dari bibir Gina yang tersendat-sendat.
“Crrrrrrrrrrrrrt… Crrrrrrrrrtttt”
Ginapun akhirnya terhempas ke ranjang. Aku merapatkan buah dadaku ke punggung Gina, kedua tanganku menggenggam bongkahan payudara Gina, sesekali terdengar helaan – helanan nafas panjang diiringi oleh suara rintihan kecil. Kami sama-sama terbaring di ranjang.
Beberapa saat kemudian setelah tenaga kami kembali, Aku berjalan ke kamar mandi meninggalkan Gina yang masih terlihat pasrah, aku mencuci tangan dan kemudian mencuci wajahku kembali dengan pembersih muka. Aku beranjak kearah lemari bajuku, ku lihat Gina mengelap wajahnya dengan tissue basah, kemudian gadis itu berlalu masuk ke kamar mandi.
“Ahh, gila! Sahabatku itu sudah memberiku pelajaran baru”, aku membatin dan tersenyum sendiri.
Sesaat kemudian Gina sudah berdiri lagi di jendela kamarku. Melihat ke rumah Sesyl.
“Lihat Re, Sesyl pegang-pegangan sama om itu”, Gina mengucapkan hampir setengah berbisik karena tidak percaya.
Aku yang sedang mengenakan celana pendek kaget, dan bergegas menggunakan BH pink, senada dengan warna celana dalamku. Aku yakin yang sepenuhnya terjadi tidak seperti itu. Aku sangat yakin Sesyl pasti punya alasan sendiri tentang hal ini.
“Kita kesana aja yuk Gin”, aku berkata sambil memakai kaos kesayanganku yang bergambar kucing. Sesaat kemudian, aku menarik tangan Gina keluar kamar.
“Kita ga usah kesana deh, ga enak”, baru beberapa langkah kita berjalan, tiba-tiba Gina menahanku. Kami kemudian balik ke kamar dan duduk di ranjang.
“Apa mungkin Sesyl dijual ayahnya ke om-om itu ya ?”, Gina berbisik lagi ditelingaku.
Aku hanya diam, pikiranku kini berisi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Aku tidak ingin menghakimi begitu saja. Namun, apa yang kulihat benar-benar membuatku tak bisa untuk berpikiran positif lagi pada Sesyl. Sesyl memang sangat cantik. Di sekolah Sesyl menjadi idola, bukan hanya bagi anak laki-laki tetapi juga para guru. Selain karena dia yang cantik, otaknya juga cerdas. Sesyl memang langganan juara kelas. Itu membuat ia semakin populer di sekolah.
“Dijadiin istri muda atau istri simpanan mungkin?”, Gina lagi-lagi berspekulasi.
“Bisa jadi..”, tanpa sadar bibirku berucap demikian.
Aku tahu, tidak seharusnya aku mengatakan itu pada Gina, karena itu sama saja dengan memberi Gina dukungan untuk menyebarkan itu di sekolah. Biasanyakan yang sering mengumbar gosip di sekolahan kan Gina. Pasti sekarang dia merasa mendapat dukungan dariku.
“Gin, tolong jangan ngomong yang macam-macam di sekolahan ya, aku tidak ingin anak-anak berpikiran aneh-aneh tentang Sesyl”.
“Tapi kan kita sudah melihat dengan mata kepala sendiri Re, kurang bukti apalagi?”, nada bicara Gina mulai berubah.
“Ya, cukup ini kita aja yang tahu, jangan disebar-sebarin”, aku mencoba berujar pelan agar tidak memancing emosi Gina.
“Iya deh iyaa, aku nggak akan kasih tahu siapa-siapa, tapi ada syaratnya”, Gina akhirnya tersenyum kembali.
“syarat apaaa, jangan aneh-aneh!”, aku menekankan kata aneh sambil mendelik, berpura-pura marah.
“cium aja kok, ga aneh kan Re?!”, ia berujar sambil menunjuk bibirnya, matanya mengerling nakal.
Aku terdiam sejenak. Ragu. Harga diriku sedikit terusik. Tapi, ahh, jangankan bibir, vaginaku saja sudah diciumnya tadi. Lantas harga diri seperti apa lagi yang harus ku bela?, pikiranku sedikit berkecamuk, akhirnya aku mengangguk dan tersenyum lemah.
Tanpa dapat ditahan lagi, bibir Gina langsung menerkam bibirku dengan ganas. Kami berciuman cukup lama. Sampai akhirnya pelan-pelan Gina melepas lumatannya.
“Tapi aku heran, kenapa kamu masih belain Sesyl?, sudah nyata-nyata kamu lihat sendiri”.
“Sstttt, udah ya buk gosipnya, kita kerjain tugas sekarang, biar kamu pulangnya tidak kemalaman”, aku menutup mulut Gina dengan telunjukku. Sesaat kemudian kita tertawa bersama.
Lagi-lagi aku terlambat ke sekolah. Kali ini aku berlari menuju kelas. Beberapa orang yang menyapaku saat berpapasan tak kuhiraukan. Beruntung aku masih diperbolehkan masuk oleh Pak Ginting, guru fisikaku.
Aku duduk di bangkuku dengan tenang, dadaku masih berdebar kencang karena lari tadi. Aku melirik Gina sesaat. Terpancar senyum manisnya, wajahnya biasa saja seolah-olah semalam kami tidak melakukan apa-apa.
“Re sepertinya apa yang kita bicarakan kemarin itu benar, coba lihat bangku Sesyl”, Gina setengah berbisik padaku. Aku tidak menjawab, namun secara refleks mataku melihat ke bangku kanan paling depan, bangkunya Sesyl kosong.
“Mungkin sekarang, Sesyl sudah pergi sama om-om yang kita lihat kemarin. Dan mungkin juga dia tidak sekolah lagi disini, soalnya tadi aku lihat di ruang guru, Ayahnya Sesyl bicara dengan Kepala sekolah”, Gina lagi-lagi mengoceh tanpa kuminta.
Pikiranku mulai melayang, aku tidak memperhatikan pelajaran. Aku ingat, semalam ibu sempat mengatakan kalau beberapa waktu lalu pak Joni meminta tolong ibu untuk menjualkan rumahnya.
“Apa mungkin dugaan kita itu benar ya, Gin?”, aku menghela nafas panjang.
Aku keluar dari kantin, ingin ke kelas. Akhirnya aku terbebas dari rasa lapar yang membelenggu sejak pagi tadi. Aku baru saja memasuki kelas ketika seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang.
“Re, benar ya kalau Sesyl dijual ayahnya ke om-om hidung belang?”, aku kaget mendengar pertanyaan Ririn, teman sekelasku.
“Kata siapa?”, aku balik bertanya. Bukannya menjawab tapi Ririn malah menunjuk ke arah bangkuku. Ternyata disana sudah berkerumun teman-teman sekelas mengelilingi Gina yang sepertinya asyik bercerita.
“Tanya Rere aja kalau kalian masih nggak percaya”, Gina menunjuk aku yang sedang berjalan kesana. Matanya menatapku tajam seolah-olah memintaku untuk memberi pernyataan yang mendukungnya. Alhasil anak-anak kelaspun mengerubuti ku. Aku mendelik ke arah Gina, dia hanya tersenyum menghampiriku, dan membisikkan sesuatu. Aku menghela nafas sejenak.
Akhirnya aku ikut-ikutan bercerita tentang kejadian yang kami lihat kemarin. Tak butuh waktu lama, gosip itupun menyebar di berbagai kalangan di sekolah ini. Sebenarnya aku merasa bersalah karena hal ini, tapi Gina berusaha meyakinkanku bahwa apa yang kami lakukan tidak salah.
Hari ini aku pulang agak sore. Baru saja masuk ke rumah, terdengar suara ibu memanggilku di dapur. Aku berjalan menuju dapur dan ku lihat ibu sedang asyik memasak untuk makan malam kami.
“kamu mau ikut ke Semarang minggu ini?”, ibu bertanya tanpa melihat kearahku.
“Pamannya Sesyl menikah, tadi sebelum pak Joni dan Sesyl berangkat ke Semarang, pak Joni memberi kita undangan”, ibu menjelaskan padaku. Sesaat kemudian ibupun menceritakan tentang paman Sesyl tersebut. Ia adalah anak kelima dalam keluarga ayah Sesyl. Seorang tentara. Sempat ditugaskan ke Jalur Gaza sebagai pasukan perdamaian. Sehingga kami tidak pernah bertemu ataupun melihatnya. Ibu juga menceritakan bahwa mobil Jazz yang beberapa hari ini dipakai oleh pak Joni adalah mobil adiknya itu. Ya, paman Sesyl itu meminta tolong pak Joni untuk membeli mobil untuknya. Dan kemarin, paman Sesyl itu baru saja datang dari Gaza. Menjemput mobilnya sekaligus mengajak Sesyl dan ayahnya untuk pulang ke Semarang membantu persiapan pernikahannya.
Akhirnya semuanya jelas. Teka teki tentang Sesyl dan Honda Jazz merah. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling berdosa karena sudah menuduhkan hal-hal yang tidak dilakukan oleh Sesyl. Dan parahnya lagi semua itu sudah menyebar di sekolah.
Aku berlari menuju kamarku sambil terisak. Ibu yang menyadari itu segera menyusulku. Ibu duduk diranjangku dan membelai rambutku.
“kamu kenapa tiba-tiba nangis? ada yang ingin kamu ungkapkan?”
Aku hanya terisak dan langsung memeluk ibu. Beberapa menit lamanya aku hanya menangis dipelukan ibu. Setelah agak reda, akupun menceritakan semua yang terjadi beberapa hari ini kepada ibu, termasuk yang baru saja aku dan Gina lakukan di sekolah tadi. Tentu saja aku merahasiakan pergulatan nafsuku dengan Gina.
Ibu tidak marah, ia tersenyum kemudian menghapus air mataku dengan tangannya yang lembut.
“kamu tahu Rere sayang, tidak semua yang kamu lihat itu benar. Meskipun kamu melihatnya dengan mata kepala sendiri, tetapi semua tetap butuh penjelasan, kamu tidak bisa menghakimi begitu saja atas pandangan matamu”, ibu menasehatiku seperti biasa.
Aku sadar aku yang salah. Aku harus meluruskan kembali gosip yang tersebar tentang Sesyl tadi. Dan aku harus melakukan itu sebelum Sesyl kembali dari Semarang, Senin depan. Aku tidak tahu bagaimana caranya tapi aku pasti akan melakukannya untuk Sesyl. Aku janji.