One Push Button

Tahun 5049. Tahun ini adalah tahun-tahun kematian. Bumi sudah dipenuhi oleh polusi, radiasi dan juga banyak makhluk hidup bermutasi. Bumi menjadi kering, sumber air menipis, banyak terjadi perang hanya gara-gara memperebutkan sebuah sumur. Namun sebagaimana pepatah kuno mengatakan bahwa dunia ini hancur karena wanita maka dunia juga akan berjaya karena wanita. Peperangan yang lebih mengerikan adalah memperebutkan seorang wanita.

Lebih dari milyaran wanita telah terkena polusi dan kromosom mereka rusak sehingga ovum mereka tidak bisa dibuahi. Ini adalah awal dari kepunahan manusia. Awalnya adalah ditemukannya sebuah bakteri yang bermutasi akibat kadar polusi udara dan air yang sangat tinggi. Bakteri ini merusak tubuh manusia khususnya pada organ reproduksi. Namun para laki-laki tidak terpengaruh oleh bakteri ini, berbeda dengan wanita. Mereka yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan rusak jaringan sel telurnya. Maka dari itulah sekalipun ada wanita, tapi mereka tak bisa dibuahi. Mereka tidak mandul, tapi sel telurnya menolak sperma bahkan membunuh sperma para laki-laki. Kelainan genetik ini terus berlanjut dan membuat wanita menjadi makhluk yang paling langka.

Wanita-wanita yang memiliki ketahanan terhadap bakteri dan steril dijadikan sebuah harta yang tak ternilai. Namun, seiring perkembangan jaman negara-negara adidaya mulai memperebutkan wanita-wanita yang sehat yang bisa bereproduksi. Seiring peperangan itu, jumlah manusia makin sedikit, ditambah lagi dengan berbagai bencana alam maka manusia diambang kepunahan.

Aku adalah salah satu saksi yang ada di akhir zaman ini. Namaku Farid, seorang ilmuwan. Boleh dibilang seorang ilmuwan karena memang pekerjaanku meneliti. Banyak alat-alat yang telah kuciptakan. Aku adalah salah satu korban dari buruknya kondisi bumi saat ini. Sejak berumur tujuh belas tahun aku meneliti dan meneliti. Aku bekerja di sebuah pabrik elektronika terbesar di dunia bernama Syntethic. Pabrik ini sekarang sudah ditinggal pemiliknya, semuanya di PHK. Hanya aku satu-satunya yang tersisa dan satu orang asistenku. Tak bisa disebut orang sebenarnya.

Aku membuatnya lima tahun yang lalu. Teknologi sudah berkembang pesat sekarang ini. Prototype robot dijual dengan bebas. Tinggal kita yang memodifikasinya lalu mengisinya dengan AI yang lebih cerdas. Asistenku ini bernama Elvi-001. Dia generasi pertama yang aku kembangkan sendiri. Dan aku tak pernah punya pikiran untuk membuat yang berikutnya karena fungsinya sudah lebih dari cukup.

Elvi-001 aku menyebutnya demikian. Aku iseng melihat sejarah pada tahun 2014 di mana ada sebuah kompetensi yang memperebutkan gelar sebagai seorang Putri Indonesia. Aku tertarik dengan wajah dan body dari Elvira Davinamira, sehingga wujud dari Elvi-001 adalah dirinya. Aku tak tahu persis bagaimana bentuk body dari Elvira pasti sangat seksi, robotku? Kalau dibilang dia adalah robot seksi tidak juga karena sekalipun bentuk tubuhnya proporsional dan sangat “entotable” (darimana juga kata-kata ini aku dapatkan) dia tetaplah sebuah mesin. Dia mengurus segala kebutuhanku, memasak, nyuci baju, membantuku dalam penelitian, hingga untuk teman tidur. Bicara mengenai teman tidur, dia aku tanamkan AI seorang pelacur. Sebut saja demikian. Tubuhnya kubuat sebagus mungkin seperti sex doll, dan dia akan merespon seluruh rangsangan yang aku berikan. Bagaimana caranya? Terlalu kompleks dan rumit. Manusia saja butuh satu dekade untuk menemukan sex doll. Dan manusia butuh berabad-abad untuk melakukan penelitian tentang “how to make a realistic android for sex”. Tentu saja, android sebagai asisten, sebagai maid dan juga sebagai partner sex, itu ide yang cemerlang bagi seorang jomblo sepertiku. Mereka mendengarkan, mereka menurut dan tentu saja memberikan kepuasan dalam masalah sex. Secara teknis, aku masih perjaka.

“Elvi?!” panggilku.

“Ya, aku di sini,” jawabnya segera setelah aku panggil.

“Tolong bantu aku untuk merapikan mejaku!” perintahku.

Segera robot yang hanya memakai celemek ini membantuku membereskan mejaku yang berantakan. Sebentar lagi aku menyelesaikan formula mesin waktuku. Aku jadi satu-satunya harapan manusia, mungkin. Mesin waktu bisa kutemukan.

“Sudah doktor,” jawab Elvi.

Aku melihat mejaku udah tertata rapi. Hmmm.. tak kusangka dia bisa melakukannya dengan cepat. Kalau dilihat-lihat tubuh Elvi ini benar-benar seperti manusia pada umumnya. Tidak tampak seperti robot. Aku membuat kulitnya dari bahan kulit sintetis. Dan di dalam kulitnya mengalir jaringan air hangat yang suhunya stabil antara 36 sampai 37 derajat Celcius. Hal ini akan membuatnya seperti suhu manusia normal pada umumnya. Dia punya lidah, rongga mulutnya memang tidak seperti rongga mulut manusia, tetapi merupakan lubang silikon yang bisa mengeluarkan ludah. Ludahnya sendiri sebenarnya adalah sebuah cairan pelumas yang biasa digunakan untuk bersenggama. Hal ini sama juga yang terjadi pada artificial vaginanya. Tahu sendiri bagaimana bentuk sex doll itu. Di dalamnya ya tidak ada apa-apa, cuma sebuah rongga yang bisa memijat penis dan mengeluarkan cairan pelumas.

Elvi bisa horni, tapi ia perlu dipancing. Karena dia setengah maid, setengah asisten dan setengah robot sex tentunya dia akan terangsang ketika aku yang memulainya. Misalnya seperti yang aku lakukan sebentar lagi.

Aku meminum air dari hasil air suling. Air sekarang sulit didapat. Curah hujan berkurang drastis. Air ini adalah air yang diolah dari menangkap embun, mengambil air laut, air sungai kemudian disuling sehingga bersih dan bisa diminum. Aku melihat Elvi yang berdiri menunggu perintahku. Sialan, sekalipun dia robot, tapi bentuknya benar-benar mirip manusia sehingga sangat realistis. Aku menghampirinya dari belakang kemudian kulepas semua bajuku. Penisku sudah tegang sekali aku pun memeluknya dari belakang sambil menelusupkan kedua tanganku meremas payudaranya. Sebagai sex doll ia akan merespon.

“Ahhh…dookk!” rintihnya sambil kepalanya menghadap ke belakang.

Aku mencium bibirnya. Benar-benar mirip manusia. Tapi dia tak bisa memagutku, hanya aku yang aktif menciumi bibirnya yang hangat. Dengan sedikit tarikan di tali celemeknya, ia pun langsung telanjang seutuhnya. Elvi mengerang ketika putting susunya aku tekan-tekan. Aku terus melakukannya sambil melakukan remasan-remasan kuat di kedua buah dadanya. Penisku mulai menegang menempel di pantatnya. Bahan sintetis yang paling baik ini membuat kulit Elvi benar-benar seperti kulit manusia. Aku pun menciumi lehernya.

“Ouuhhhh….,” erang Elvi.

Aku pun kemudian membalikkan tubuhnya. Melihat payudaranya membuatku ingin sekali mengenyotnya. Bagian tubuh berbentuk bola dengan sebuah pentilan kecil berwarna pink itu pun aku hisap. Memang rasanya seperti karet, tak ada enaknya menurutku, tapi hal itu cukup membuatku senang dan nyaman. Aku pernah memberikan rasa tertentu di putting susunya, namun hal itu malah membuat kulit sintetisnya cepat rusak. Dengan kulit sintetis hasil buatan Syntethic corp tentu saja akan terlihat seperti kulit sungguhan.

Aku sangat terangsang walaupun Elvi adalah sebuah robot. Namun dia yang bentuknya benar-benar seperti manusia juga tingkahnya membuatku membayangkan bahwa dia adalah seorang manusia. Aku kemudian menaikkan kaki kirinya, lalu penisku yang sudah menegang ku masukkan ke dalam celah lubang vaginanya.

SLEB!

Sungguh suatu rasa yang tak bisa kulukiskan. Sekalipun ini hanya vagina buatan, tapi rasanya sungguh nikmat berkedut-kedut meremas penisku. Aku menggendong tubuh Elvi sekarang sambil menanamkan penisku di sarangnya. Aku gendong Elvi hingga ke kamarku. Setelah sampai di kamar aku menjatuhkannya di atas tempat tidurku. Elvi menatapku dengan mata sayu. Ya, itu salah satu program yang sudah aku tanamkan di chipnya. Dia sekarang merintih-rintih seperti manusia sungguhan.

“Ohh…. Dook… aahhh!” rintihnya.

“Memek kamu sempit banget,” kataku.

“Aku adalah lonte kamu, terus….ahh.. terusss…. ehhmm….,” lenguhnya. Aku tak perlu menjelaskannya lagi bukan kalau ini juga salah satu program yang sudah aku tanamkan ke dalam chipnya.

Aku menggenjot vaginanya, tubuh Elvi bergoyang-goyang karena sodokanku, terlebih payudaranya yang kenyal dan lembut naik turun seperti kami menaiki seekor kuda yang melaju kencang. Aku kemudian memeluknya, tubuhnya hangat memberiku kenyamanan yang tidak pernah aku rasakan. Tentu saja, wanita adalah barang langka di zaman ini.

Aku terus menggenjot tubuh Elvi. Kedua tangannya dikalungkan ke leherku. Penisku nyaman banget berada di dalam artificial vaginanya. Hingga kemudian aku pun benar-benar nggak tahan untuk muncrat. Spermaku terbuang percuma di dalam sana.

“Aahh…aahhh…aahh…,” lega sekali rasanya.

Setelah melakukan hal itu aku mencabut penisku. Nafasku masih ngos-ngosan, memang sensasinya beda daripada ngocok. Terus terang untuk urusan mesum aku memang tidak jago. Terutama berhubungan badan. Ya mau cari wanita kemana lagi? Di dunia ini wanita langka. Aku hanya membaca-baca dan melihat data lama tentang wanita-wanita terutama gambar-gambar porno yang ada di internet pada jaman dulu.

KRING! KRIIING! KRIING!

Aku mendengar Intercom berbunyi. Ada yang menghubungiku. Buru-buru aku memakai bajuku karena tentu saja aku tak mau orang yang menghubungiku ini melihatku telanjang. Kulihat di layar intercom seseorang yang aku kenal. Namanya Isaac. Mau apa dia menghubungiku? Kuterima intercomnya. Di tembok kamarku ada sebuah monitor besar yang memunculkan wajah seorang laki-laki dengan rambut acak-acakan.

“Hei buddy!?” sapanya.

“What’s up bro?” tanyaku.

“Aku ada kabar nih. Kamu ingin kabar baik apa kabar buruk?” tanyanya.

“Kabar buruk aja lebih dulu,” jawabku.

“Kamu ini sama sekali tak ada asyiknya, kenapa mesti kabar buruk lebih dulu? Berpikir positif dong!” Isaac menasehatiku.

“Kasih saja nasehat itu untuk dirimu,” kataku. “Di saat manusia mau punah kamu bilang kabar baik, kabar baik dari mana?”

“Baiklah, kabar buruknya Kita dapat kabar satu-satunya wanita yang ada di bumi baru saja tewas,” katanya.

“What? Lho, koq bisa?” tanyaku.

“Julian nama wanita terakhir itu ada di Roma, ketika terjadi perebutan sang wanita menembak kepalanya sendiri. Ia mungkin dalam kondisi tertekan. Sekarang tak ada lagi yang bisa mengembang biakkan manusia,” kata Isaac. “Dan aku menarik diri dari perkataanku yang dulu, engkau benar. Satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan kita sekarang adalah kembali ke akarnya, kembali ke masa di mana semua ini belum terjadi.”

“Damn, aku salah perhitungan. Kenapa sudah terjadi?” tanyaku.

Isaac mengangkat bahunya. “Sekarang bagaimana?”

“Entahlah, kamu tanya aku, aku tanya siapa? Project mesin waktuku belum selesai,” kataku.

“Para lelaki sekarang jadi makhluk yang lebih menyedihkan. Mereka sekarang lebih tertarik kepada sesama jenisnya,” lanjut Isaac. “Kamu tahu, kalau saja aku tak membentengi diriku dengan senjata di pinggangku, mereka akan menyekapku dan menjadikan santapan para tusboler itu.”

“Oke Isaac, kabar baiknya!?” tanyaku.

“Oh, iya. Kabar baiknya…. aku masih selamat,” jawabnya.

“Sialan, kukira kabar baiknya apa,” aku tak menganggap gurauannya itu lucu.

Kami diam sejenak. Merenungi nasib dari umat manusia sekarang ini. Tampaknya aku harus percepat proyek mesin waktuku sebelum terlambat.

“Aku tinggal dulu,” kataku.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang? Bagaimana dengan proyekmu?” tanya Isaac.

“Aku tak tahu,” jawabku.

“Kamu tahu sendiri proyek kloning tidak ada yang berhasil. Kalau toh berhasil selalu menghasilkan manusia cacat. Terlebih gen yang dihasilkan tidak baik, akhirnya banyak yang meninggalkan cara kloning. Lalu kamu punya solusi untuk pergi ke masa lalu. Tapi semua orang menganggapmu gila, kamu terlalu banyak berfantasi. Dan sekarang kamu bilang tidak tahu?” kata Isaac. Ia sepertinya tidak sabar sekarang.

“Ketahuilah, aku sudah bekerja sebaik-baiknya,” kataku.

Elvi kemudian berdiri, Isaac melihatnya.

“Kamu masih bercinta dengan robotmu itu?” tanya Isaac.

“Kenapa?” tanyaku dengan nada getir.

“Ya ya ya, boleh aku main ke tempatmu aku mau pakai dia,” katanya.

“Terserah,” kataku.

Ia kemudian memutuskan hubungan. Aku kemudian ambruk di atas ranjang lalu bersembunyi di balik selimut. Hari ini lelah, aku ingin tidur terlebih dulu mengumpulkan tenaga untuk esok. Kulihat Elvi sedang membersihkan rumah, dia memang robot yang baik dan rajin. Aku sudah mensetel agar dia bisa mengisi dayanya sendiri.

“Elvi, kalau nanti Isaac datang suruh masuk saja dan layani dia!” perintahku.

“Siap dok,” jawabnya.

Isaac sudah sering main ke tempatku, bahkan dia bisa seharian bermain bersama Elvi sampai ia benar-benar kelelahan. Ia rela membayarku dengan uang hanya untuk bisa menikmati tubuh Elvi. Mungkin kalau keadaan berubah aku bisa kaya mendapatkan uang dengan cara seperti ini. Tapi itu tak kulakukan. Harga diriku sebagai seorang ilmuwan akan hancur kalau aku melakukannya.

Aku sudah terlelap. Di dalam mimpi aku melihat Elvira. Di dalam mimpiku dia terlihat seperti nyata. Gaunnya berwarna coklat berkibar tertiup angin. Aku dan Elvira berada di pantai, aku tak pernah tahu pantai apa ini. Dia tersenyum kepadaku kemudian menggandengku. Kami berlari di sepanjang pantai. Suara debur ombak, desiran angin, semuanya seperti nyata. Elvira terus menggandengku sambil berlari hingga kami berhenti ketika di depan kami ada sebuah pemandangan yang sangat kontras.

Pasir pantai berwarna merah, tiba-tiba air laut surut, awan hitam bergulung-gulung datang. Tak berapa lama kemudian angin bertiup semakin kencang. Kemudian datanglah angin yang sangat kencang. Elvira memegang tanganku erat-erat.

“Farid! Farid! Kamu harus menolong kami! Fariiiidd!?” Elvira menjerit.

Aku tersentak dan bangun dari tidurku. Mimpi buruk. Kulihat jam beker di meja dekat tempat tidurku menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku tak melihat Elvi. Kemana dia?

Dengan bertelanjang kaki, aku turun dari tempat tidur. Begitu sampai di luar kamar aku melihat Isaac sedang menggenjot tubuh Elvi. Buah dada Elvi bergoyang-goyang karena perlakuan Isaac. Aku hanya menggeleng-geleng saja.

“Ohh… ohh… ahhh… ahh… Hei Farid, pagi?!” sapanya.

Aku tak menjawabnya dan segera menuju ke ruang laboratoriumku. Kulihat Elvi meringis nikmat. Dia kemudian dipagut oleh Isaac. Tubuh mereka bergoyang-goyang di atas sofaku yang empuk. Kulihat ruanganku sudah rapi, tak ada masalah asalkan ruanganku rapi. Entah sudah berapa lama Isaac ngentot dengan Elvi, kalau dari mulai aku tidur berarti sudah cukup lama. Kuhabiskan waktuku di laboratorium untuk menyelesaikan mesin waktu yang aku ciptakan.

Hari demi hari berlalu. Manusia sudah mulai putus asa. Peperangan telah berhenti. Mereka tak tahu berperang demi apa sekarang. Dalam keputus-asaan itu mungkin hanya aku saja yang masih memiliki harapan. Isaac mulai stress tingkat tinggi. Dia tiap hari hanya bercinta dan bercinta saja dengan Elvi. Hampir tiap hari aku melihat dia tidur di kamar dengan Elvi yang menemaninya. Dan sudah sebulan ini aku tak bercinta dengan Elvi. Rasanya juga aku sudah tidak bernafsu lagi bercinta dengan robot. Tapi sekalipun melayani Isaac, Elvi juga mengurusi rumah sehingga semuanya tampak bersih.

Di akhir zaman, uang sudah tak ada gunanya lagi. Stasiun tv mulai tutup, alat komunikasi digratiskan, semuanya digunakan untuk keperluan akhir zaman. Tak ada lagi bayi menangis, tak ada lagi anak kecil bermain. Semuanya telah musnah. Bayi terakhir lahir sepuluh tahun yang lalu. Setelah itu tak ada lagi bayi yang lahir di bumi ini. Manusia benar-benar telah menuai apa yang mereka tanam. Peperangan, polusi, eksploitasi besar-besaran hingga mereka sekarang hanya bisa mengigit jari mereka. Populasi penduduk Eropa menurun drastis sepuluh tahun terakhir. China yang dulunya berpenduduk paling banyak pun sekarang sudah punah. Orang-orang mulai gila semuanya, mereka bahkan rela bercinta dengan hewan hanya ingin mendapatkan keturunan yang mana semua itu tak akan ada hasilnya.

Proyekku sudah selesai. Tidak, belum selesai kalau aku tidak mencobanya. Mesin waktu yang aku buat ini berbentuk seperti kapsul. Di dalamnya ada kumparan besar, sebuah batteray penyimpan energi yang cukup besar ada di dalamnya. Hal ini memungkinkanku untuk menempuh perjalanan yang cukup panjang. Padahal aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa. Secara rasional manusia tidak akan bisa melawan waktu. Namun secara teori manusia butuh sebuah vessel untuk bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Teori mesin waktu ini adalah aku hanya membutuhkan sebuah persamaan untuk bisa mengubah kapsul ini menjadi partikel yang lebih ringan daripada cahaya. Setelah itu aku tinggal masuk ke dalam ruang wrap. Di sana nanti aku bisa berjalan menjelajah waktu. Tapi aku ragu satu hal. Soal energi.

Tentu saja aku sekarang ragu. Bagaimana caranya agar aku tahu mesin ini berjalan dengan sempurna? Tak ada cara lain, aku harus mencobanya.

Hari itu aku untuk pertama kalinya mandi yang bersih. Aku bahkan meminta Elvi untuk mencukur rambutku yang sudah mulai gondrong. Setelah itu aku memakai baju yang paling tidak cocok untuk jaman di mana aku akan datang. Jaman itu ada di tahun 2015. Tujuanku tentu saja mencari Elvira Devinamira. Kenapa harus dia? Karena aku suka dia. Dan aku ingin dia menyelamatkan bumi ini dari kepunahan. Atau mungkin tidak.

“Kamu mau berangkat?” tanya Isaac.

“Yeah,” jawabku.

“Kamu yakin akan berhasil?” tanyanya.

“Aku tak tahu. Aku gambling. Aku bisa mati di dalam mesin itu, bisa juga aku hidup. Tak ada yang mencobanya. Aku juga tak yakin energinya akan cukup untuk perjalanan kembali ke sini. Di jaman itu belum ada batteray seperti yang aku punyai,” jelasku.

“Oh, bro. Ini namanya misi bunuh diri!” katanya.

“Aku tak punya cara lain,” jawabku.

Isaac menghela nafas. Aku berjalan menuju ke pintu mesin berbentuk kapsul itu. Aku kemudian masuk. Aku memakai jaket warna coklat, kemeja, celana jeans dan sepatu kets. Kukira di jaman itu model ini masih wajar. Elvi membantuku menutup pintu mesin. Aku berusaha duduk dengan nyaman di dalam mesin ini, sejatinya aku tak pernah merasa nyaman. Perasaan galau pun melandaku, apakah aku akan sanggup untuk bisa melewati ini semua? Aku mengantongi foto Elvira, kuambil foto itu sejenak, kutatap wajahnya. Aku harus sanggup. Kemudian aku simpan kembali.

“Semuanya, do’akan aku!” kataku.

“Bro, aku ingin kamu lakukan satu hal,” kata Isaac.

“Apa?” tanyaku.

“Kalau kamu kembali, jangan di tahun ini,” katanya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Pergilah 200 tahun dari tahun ini. Pastikan semua manusia sudah punah,” jawabnya.

“Maksudmu?” tanyaku lagi.

“Kalau kamu kembali di tahun ini sambil membawa Elvira, aku yakin banyak orang yang akan mengincarnya. Kamu tak mau itu semua terjadi bukan?”

“Aku mengerti,” aku mengangguk. “Itu artinya aku tak akan melihatmu lagi.”

Isaac hanya tersenyum. Senyuman penuh makna. Ia tahu hal ini. “Aku ada Elvi, semuanya tak akan masalah.”

“Elvi, jaga dia baik-baik!” perintahku.

“Tak masalah, dok,” jawab Elvi robot setiaku.

Aku kemudian menyalakan mesin ini. Aku belum menamai mesin ini. Ah, tak masalah. Kunamai saja “Prototype One”. Tidak, tidak, tidak. Aku namai OPB saja. Apa itu OPB? One Push Button. Karena hanya dengan satu tombol saja mesin ini bisa aktif. Ya, aku baru saja menekan tombolnya. There is a button, one push button to change everything

“Silakan sebutkan tujuan Anda!” kata mesin ini. OPB maksudku.

“OPB, aku menamaimu OPB. Itu tak masalah?” tanyaku.

“Tak masalah, dok,” jawabnya.

“Antarkan aku ke tahun 2015, bulan dan tanggalnya sama seperti bulan dan tanggal sekarang. Bisa?” tanyaku.

“Perjalanan kita hanya bisa untuk pulang dan pergi. Energinya hanya cukup untuk itu,” jelas OPB.

“Lakukan!” kataku.

“Ready to Engage. Three….. Two…. One! Engage!” OPB memberikan warning. Seketika itu seluruh mesin bergetar hebat. Tiba-tiba aku seperti dihempaskan hingga seluruh punggungku menempel di kursi.

Isaac dan Elvi sudah tidak kelihatan. Kini OPB berada di ruangan gelap dan di depanku ada semacam lorong seperti lubang cacing. Ini wrap room. Aku melihat indikator tahunnya menurun. Dari tahun 5.000-an menjad 4.000-an, 3.000-an, dan kemudian sampai di tahun 2015. Tiba-tiba semuanya serba terang benderang. OPB terjun bebas. Kami ada di udara!

“OPB, kamu bisa tahu keberadaan Elvira?” tanyaku. “Di jaman ini ada internet. Pasti kamu bisa melacaknya. Antarkan aku ke sana!”

“Diterima!” katanya.

Mesin OPB pun melesat seperti pesawat menuju ke sebuah tempat. Kecepatannya sangat luar biasa. Mungkin orang-orang yang melihatnya akan menganggap ini adalah UFO. OPB pun mendarat di sebuah pulau. OPB mendarat dengan tidak mulus. Mesin ini menghantam pasir kemudian terseret sampai ke daratan. Sedangkan aku? Sangat pusing. Karena hantaman tadi akhirnya aku pun pingsan.

“Aw!” erangku sambil memegangi kepalaku. Saat itulah aku tersadar kalau berada di dalam sebuah kamar. “Di mana aku?”

Kamar ini ada sebuah ranjang. Kulihat sebuah jam dinding. Temboknya terbuat dari kayu. Suara deburan ombak menandakan aku ada di tepi pantai sepertinya. Aku mencoba untuk turun dari ranjang. Dengan langkah tertatih-tatih aku pun keluar dari kamar. Saat itulah aku menabrak seseorang.

“Aduh!” pekiknya.

Aku juga kaget. Aku segera menangkap dia yang hampir saja jatuh. Dengan seksama aku pun melihat siapa yang kutabrak. Seorang gadis, rambutnya panjang sedikit berombak. Dia memakai baju kaos lengan panjang dan sebuah rok pantai yang cuma ditali saja. Kulitnya sedikit gelap, yang mengesankan dia sangat eksotik. Wajah kami pun bertatapan. Aku mengenalnya.

“Elvira?” tanyaku. Aku segera membantu dia berdiri.

“Kamu ini siapa?” tanyanya. “Dan kendaraan itu, kamu ini alien atau apa?”

“Oh, maaf. Aku … aku berasal dari masa depan,” jawabku.

“Masa depan?” ia kebingungan.

“Iya, masa depan. Di masa depan manusia sudah punah. Aku ingin membawamu ke sana,” kataku.

“Hei, tunggu dulu. Maksudnya apa ini? Kamu mau menculikku?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Kamu boleh percaya atau tidak. Aku berasal dari masa depan. Dan umat manusia di jaman itu sedang sekarat, bahkan mungkin ketika aku ke sini sudah punah. Hanya engkau satu-satunya harapan agar kita bisa selamat.”

Elvira tertawa terbahak-bahak. “Guyonan yang bagus, aku tak percaya.”

“Tahun 2020, dunia ini akan terjadi perang dunia yang sangat hebat. Dan bersamaan dengan itu udara semakin tercemar oleh polusi. Muncullah bakteri-bakteri yang berevolusi menjadi bakteri yang mengerikan. Mereka semua menyerang manusia sehingga kebanyakan wanita akan mandul. Hingga kemudian jumlah wanita yang terserang oleh bakteri itu semakin banyak, manusia perlahan-lahan musnah dan punah,” jelasku.

“Kamu kira aku akan percaya kepadamu?” tanyanya.

“Engkau boleh ikut denganku kalau tak percaya,” jawabku. “Antarkan aku ke tempat mesinku berada. Dia bisa menjelaskan semuanya kepadamu.”

Elvira agak ragu, tapi kemudian ia menurut. Kami berjalan keluar dari sebuah pondok. Ternyata benar, kami berada di pinggiran pantai.

“Siapa namamu?” tanya Elvira.

“Namaku Farid. Kamu boleh membunuhku kalau sampai aku berbohong,” jawabku.

Ternyata tak begitu jauh dari pondok tempat dia berada aku memukan OPB. Segera aku buka pintunya.

“OPB, kamu tak apa-apa?” tanyaku.

“Kondisi mesin normal, dok. Apakah kita siap untuk berangkat?” tanya OPB.

“Jelaskan kepada Elvira apa yang terjadi!” perintahku.

OPB kemudian menjelaskan semuanya tentang keadaan bumi. Bahkan ia pun memberikan data mengenai Elvira, apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi di masa depan. Hal itu membuat Elvira kemudian percaya.

“Aku tak percaya ini, seperti itukah hasil dari akhir umat manusia?” tanyanya.

“Begitulah,” jawabku.

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyanya.

“Ikutlah denganku ke masa depan,” jawabku.

“Lalu?”

“Ikut saja, kamu akan mengerti,” tentu saja aku tak akan bilang kalau aku mengajaknya ke masa depan agar aku dan dia bisa mengembang biakkan manusia. Bisa gagal urusan.

“Baiklah,” katanya.

OPB baru saja mengantarkanku dari masa lalu. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Isaac, kami berada di bumi 200 tahun setelah kedatanganku. Dan bumi benar-benar sudah berubah. Semuanya serba hijau. Tak ada polusi. Udara sangat bersih. Dan kulihat rumahku telah ditumbuhi tanaman liar di sana sini. Kali ini aku mendarat dengan mulus. Aku melihat bangunan yang sudah ditinggalkan selama 200 tahun itu masih kokoh berdiri. Hanya beberapa temboknya sudah terlihat usang. Aku melihat di sebuah halaman ada sebuah kuburan. Apakah itu Isaac?

Aku kemudian mengajaknya untuk masuk ke dalam rumahku.

“Selamat datang kembali, dok,” sapa seseorang. Dia Elvi. Androidku.

“I..itu siapa?” pekik Elvira.

“Jangan takut dia robotku,” jawabku.

“Bagaimana kabar 200 tahun ini, Elvi?” tanyaku.

“Manusia terakhir meninggal seratus tahun yang lalu. Setelah manusia tiada bumi mengalami fase perubahan yang sangat dramastis. Rekan anda Isaac telah meninggal sepuluh tahun kemudian setelah Anda pergi,” jawabnya. Aku cukup bersedih atas kehilangan Isaac. Tapi aku tak boleh bersedih sekarang karena aku sudah membawa Elvira.

“Dia mirip sekali denganku,” gumam Elvira.

“Iya, memang dan aku membawamu ke sini untuk menolongku,” kataku.

“Apa yang bisa aku tolong?” tanya Elvira.

“Kita kawin,” jawabku.

“What??” tentu saja dia terkejut.

“Dengarlah, kita cuma lelaki dan perempuan di jaman ini. Dan aku telah memutuskan engkau adalah wanita yang pantas!” jawabku.

“Kau gila, kau itu gila. Kamu ilmuwan sinting yang terobsesi olehku,” katanya.

“Terserah kamu bilang apa. Bahkan dengan mesin waktu pun aku tak akan sanggup melawan bakteri-bakteri itu,” jawabku. “Kamu tahu, peperangan itu tetap akan terjadi. Kalau misalnya bisa dicegah, maka diriku yang lain yang telah menemukan mesin waktu akan bisa mencegahnya. Nyatanya tidak bisa. Kepunahan manusia adalah sesuatu yang absolut.”

“Antarkan aku pulang lagi, kenapa aku harus ke sini kalau cuma untuk begini?” dia menggerutu.

“Aku tak ada energi lagi,” kataku.

“Maksudnya?”

“Iya, aku akui aku terobsesi kepadamu. Aku menginginkan dirimu. Siapa yang tidak ingin memilikimu? Engkau cantik, engkau menarik, engkau seorang Putri. Aku tertarik kepadamu. Dan sekarang aku sudah membawamu ke sini. Mesin waktu itu hanya satu kali perjalanan pulang pergi. Aku tak bisa mengantarkanmu lagi. Maafkan aku,” aku menghela nafasku. Aku melihat sofaku yang sudah berusia 200 tahun. Ternyata Elvi merawatnya. Segera aku rebahkan tubuhku di sana.

Elvira tampak kebingungan. Dia sekarang seperti Dayang Sumbi yang selendangnya dicuri oleh Jaka Tarub. Tak bisa lagi pulang ke kayangan. Aku telah mencuri kesempatan dia untuk bisa kembali ke masanya. Energinya sudah habis hanya untuk sekali jalan. Dan aku tak tahu apakah ada sisa-sisa batteray itu di jaman ini.

“Kamu jahat! Kamu jahat!” Elvira langsung menyerbuku dan memukul-mukulku. Aku menangkap tangannya dan dia langsung aku peluk. Ia pun menangis dalam pelukanku.

Setelah itu aku membiarkannya mengurung diri di kamar yang sudah aku sediakan untuknya. Sedangkan aku, mulai memikirkan alternatif lain kalau misalnya Elvira tidak mau berhubungan badan denganku. Tapi semakin aku memikirkannya semakin aku pusing sendiri. Hingga aku lupa belum makan sama sekali. Pada hari ketiga aku pun pingsan.

Begitu aku sadar tampak Elvira merawatku. Sedangkan Elvi sang robot membantunya mempersiapkan makanan.

“Vira?” tanyaku.

“Tak usah berkata apa-apa. Kamu bego banget. Iya kamu ilmuwan, tapi bego,” katanya. “Kamu belum makan sama sekali.”

“Aku terus memikirkan alternatif lain kalau kamu tidak mau kawin denganku. Aku tahu ini berat bagimu. Aku tak ingin menyakitimu dan aku tak bermaksud menyakitimu. Sungguh,” kataku. “Hanya saja, ini terlalu berat. Aku tak tahu lagi alternatif yang lain. Maafkan aku.”

“Maaf? Maaf? Kamu terlalu banyak minta maaf! Sudah cukup. Sekarang isi tenagamu dulu!” katanya. Elvi kemudian datang sambil membawa sebuah nampan berisi makanan.

Sambil ditemani oleh Elvira, aku pun makan dengan lahap.

“Kamu mau makan?” tanyaku.

Elvira mengangguk. Aku kemudian menyuapinya. Ia menerima makanan dari tanganku. Entah kenapa hari itu menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupku. Setelah makan selesai aku kemudian mulai bekerja kembali.

“Kamu mau kemana?” tanyanya.

“Aku akan bekerja kembali,” jawabku.

“Tak perlu!” katanya.

“Maksudnya?”

“Kamu tak perlu mencari alternatif lain. Aku siap,” jawabnya.

“Aku tidak dengar,” kataku.

“Jahat! Aku bilang aku siap kawin denganmu,” katanya.

Aku berbalik melihat ke wajahnya. Ya, bisa aku lihat kesungguhan di matanya. Ia tersenyum kepadaku. Sesaat kemudian aku dan dia maju. Kami sama-sama berada dalam jarak yang sangat dekat. Cuma sejengkal mungkin.

“Kenapa kamu mau? Bukankah kamu tadi menolak?” tanyaku.

“Aku tak tahu, lagipula cuma kita satu-satunya manusia di bumi ini kan?” jawabnya.

Segera saja aku melumat bibirnya. Kami berpagutan panas. Ternyata Elvira sangat lihat dalam berciuman. Aku saja sampai kalah. Lidah kami saling bertemu dan saling menghisap. Ternyata seperti ini rasanya berciuman. Aku selama ini hanya berciuman dengan robot, rasanya beda. Tubuh Elvira hangat. Aku langsung melepaskan bajuku satu per satu. Elvira juga demikian. Tak usah diceritakan bagaimana kronologis hingga baju kami berantakan.

Aku memang bernafsu saat ini. Nafsuku sudah berada di ubun-ubun dan aku sangat menginginkan wanita ini. Elvira memelukku. Ada sesuatu di dalam matanya yang membuatku kebingungan.

“Kenapa?” tanyaku.

“Aku masih pertama kali melakukan ini,” jawabnya.

“Aku juga,” kataku.

“Bohong! Kamu tak canggung melihat tubuh wanita telanjang,” katanya.

“Aku sudah banyak berlatih untuk hari ini,” kataku.

“Hmmmmhhh….,” kembali aku memagutnya. Aku kemudian menciumi lehernya. Tubuhnya benar-benar berbeda dengan Elvi robotku. Dia lebih hangat, lebih halus dan tentu saja bukan robot. Aku kemudian mendorongnya hingga sampai di atas ranjang.

Elvira menggeliat ketika buah dadanya aku hisap. Aku sangat bernafsu sekali saat ini. Kukenyot putting susunya yang berwarna merah kecoklatan. Kujilat dan kumainkan seperti sebuah mainan permen dan kacang. Aku terus meremas-remas payudaranya yang sekal dan padat. Sangat berbeda ketika aku meremas payudara sintetik. Ciumanku kemudian turun ke perut, ke pusar lalu merambah rambut tipis yang ada di kemaluannya. Kulumat vaginanya yang merekah merah.

“Aaaahhkk!…oohh… nikmat sekali, aahhhh!” erangnya.

Aku mendengus sangat bernafsu sekali ini memakan vaginanya yang tembem. Kubenamkan lidahku masuk ke dalam sela-sela liang senggamanya. Kuobok-obok dengan ganas sampai aku bisa merasakan cairan kewanitaannya keluar dan membasahi lidahku. Lidahku menyapu bibir kemaluannya sapai menyentuh klitorisnya. Elvira mengerang hebat dan meremas-remas kepalaku. Aku tahu ini pasti membuatnya nikmat. Tubuhnya menggelinjang setiap kali aku menyentuh tonjolan daging yang ada di pucuk vaginanya. Paha dan selakangannya tak luput dari jilatanku. Bahkan dengan gemas aku menghisap pahanya.

“Geliii…,” rintihnya. Aku kembali ke atas memagut bibirnya.

“Kamu benar-benar menggairahkan, Vira,” kataku.

“Isep yah!” perintahku.

Aku kemudian naik ke atas tubuhnya dan menyerahkan penisku ke wajahnya. Ia mengerti tentang apa yang harus dilakukannya. Dia gengam batang penisku dan memasukkan kepalanya ke dalam mulutnya. Dijilatnya kepala penisku yang berbentuk seperti jamur ini. Ohh… nikmat sekali rasanya. Dengan ini saja aku melayang. Dia menjilati batangku dari atas sampai ke bawah. Setelah itu dia masukkan ke dalam mulutnya. Dihisap sambil gerakkan maju mundur kepalanya. Enak sekali.

“Aaahh…. oooohhh…. enak sekali isepanmu, Vira!” erangku.

Sang Putri Indonesia 2014 ini sekali lagi memberikanku felatio. Aku tak sabar ingin sekali menyodoknya. Akhirnya dengan terpaksa aku hentikan prosesi ini. Aku kemudian mempersiapkan dirinya. Kubuka pahanya lebar. Penisku sudah berada di atas bibir kemaluannya.

“Kamu siap? Vira?” tanyaku.

Ia mengangguk.

Aku kemudian memposisikan kepala penisku tepat di depan liang senggamanya. Aku tak tahu di mana letaknya, sehingga beberapa kali meleset. Akhirnya ia yang mengarahkannya. Aku perlahan-lahan mendorongnya.

“Aaahhhh…!” erangnya.

“Sakit?” tanyaku kepadanya.

“Tak apa-apa, teruskan!” pintanya. Aku diamkan sejenak merasakan sensasi berkedut-kedut memeknya yang menerima penisku. Aku tarik sebentar lalu dorong lagi perlahan-lahan. Dia makin mengerang kemudan kedua kakinya menyilang di pinggangku. Kudorong terus hingga akhirnya mentok dan penisku menyentuh mulut rahimnya.

“Aaahh… aaahhh….oohkk…. eehhhmmm…. penuh banget, sakit, perih,” katanya.

Aku turun menciumnya. Ia menghisap lidahku dan kami berpagutan lagi. Saat itulah aku mulai bergoyang maju mundur. Elvira terus merintih, hingga akhirnya rintihan itu pun berubah menjadi lenguhan. Nikmat sekali ternyata bercinta dengan wanita yang sesungguhnya. Tak henti-hentinya aku menikmati susu Elvira. Bahkan sambil bergoyang aku juga menyusu. Hal itu membuat tubuhnya melengkung. Aku terus mengaduk-aduk memeknya hingga aku sudah tak kuat lagi. Batang penisku seperti diremas-remas, kepala penisku sudah gatal ingin mengeluarkan sesuatu.

“Vira, enak banget. Aku mau keluar,” kataku.

“Keluarkan! Aku juga mau keluarr… oohh… enak banget!” katanya.

Kami keluar bersamaan. Aku menghentak-hentakkan penisku ke dalam lubangnya yang sempit. Semburan demi semburan spermaku tertanam di rahimnya. Semoga saja menjadi cikal anakku nanti. Penisku sangat becek. Becek dengan lendir dan darah keperawanannya. Setelah tak lagi berkedut-kedut aku menarik penisku. Elvira terkapar di atas ranjang. Posisi pahanya mengangkang. Kulihat bercak darah dan sperma berkumpul menjadi satu meleleh di kemaluannya. Setelah itu aku pun tidur di sebelahnya.

Bagai mimpi mungkin. Aku terbangun dari tidurku dan mendapati tubuh seorang wanita cantik tanpa busana. Tubuh bak gitar spanyol itu sekarang sedang berbaring dalam keadaan tanpa busana. Kulitnya agak gelap karena terbakar sinar mentari. Mungkin karena ia terlalu lama berada di pantai. Wajahnya nan rupawan membuatku tak kuasa untuk menciumnya. Kucium bibirnya yang lembut. Akhirnya, detik-detik itu pun kuyakini aku tidak bermimpi. Aku berhasil membawanya ke masa depan.

Aku membelai bibirnya dengan jari telunjukku. Kemudian turun ke dagu, lehernya lalu melingkari buah dadanya yang bulat. Apa dia kelelahan sampai tidak terbangun? Sepertinya tidak, ia merasakannya koq. Buktinya sekarang ia menggeliat ketika jemari tanganku sudah menyentuh bibir liang senggamanya. Perlahan-lahan jari telunjukku memasuki liang senggama yang sudah aku perawani.

Mata Elvira terbuka, “Ohhh….dook… eehhmm”

Aku kemudian memagutnya, tangannya langsung menangkap kepalaku. Kami berpagutan dan tanganku aktif bekerja mengobok-obok vaginanya. Sepertinya tempo dan ritme hubungan ini makin membuat kami panas. Elvira menggelinjang-gelinjang ketika ia sudah sampai kepada puncak orgasmenya hanya karena perbuatan tanganku. Dia membenamkan wajahnya ke dadaku.

“Kamu sudah tak sakit lagi?” tanyaku.

Ia menggeleng.

“Aku masukin lagi ya?” tanyaku.

Elvira mengangguk lemah. Aku kemudian membalikkan tubuhnya. Dari samping aku memasukkan penisku yang sudah mengeras dari tadi. Begitu masuk ternyata mudah, mungkin karena cairan orgasmenya yang tadi keluar.

Aku kemudian menggesek-gesekkan batang penisku di bibir vaginanya. Aku sengaja tak memasukkannya. Elvira mendesis.

“Masukkan dong!” pintanya.

“Apanya yang dimasukkan?” tanyaku.

“Itu, tititmu!” katanya.

“Titit? Kayak anak kecil aja. Yang nakal dong. Kan cuma ada kita aja,” kataku.

“Iya deh, kontol! Masukin kontol kamu dan genjot aku lagi! Pleassseee! Gatel banget!” ujarnya.

Aku kemudian memagut Elvira. “Aku cinta kamu Vira. Aku ingin ngentotin kamu terus. Kita ada di akhir zaman, aku tak peduli asal aku bisa ngentotin kamu sampai lemes.”

“Dok… ehmm… m-mmmasssuuk…. aaahh! Sekarang sudah nggak sakit lagi. Uuhhh… penuh… kontolmu penuh!” kata Elvira.

“Aku sodok?” tanyaku.

“He-eh,” jawabnya.

Segera aku menekan-nekan penisku yang tadi telah merobek vaginanya. Kocokan penisku kupercepat sambil kedua tanganku merema kedua buah dada-nya. Dalam posisi miring seperti ini tenagaku hanya keluar separuh, karena separuh badan bertumpu di ranjang. Elvira mengerang dan menegangkan kakinya. Pahanya dirapatkan hal itu membuat penisku seperti dijepit. Tapi aku tak menghentikan sodokanku yang terus-menerus menggesek rongga vaginanya.

“Vira, sempit banget memekmu!” ujarku.

“Ohh… ahh… ahhhh…. aaahh….,” Elvira menjerit-jerit ketika kusodok. “Enak banget… enak banget… ooohh…. ehhhhmm!”

Aku memelintir-melintir putting susunya yang sudah mengeras. Kuhisap punggungnya yang mencetak kulit berwarna putih. Kucupangi punggung dan lehernya, aku tak peduli ada bekas dari perlakuanku tersebut. Aku sudah menggila, menggila ingin menggenjot terus-menerus.

“Dok, terus! Ehhmmhh….,” lenguhnya.

“Memekmu, enak banget. Sempit!” kataku.

“Ahhh…ahhh…ahhh….aahhh….kontolnya doktor enak. Oohhh… hamili aku om.. puasin aku. Biarkan aku mengandung benihmu!” ujarnya.

Aku serang terus dia dengan sodokan cepat. Akhirnya dia pun mengerang, pertanda orgasmenya sampai. Penisku serasa basah dengan semprotan-semprotannya. Aku menarik penisku. Elvira sedikit tersentak ketika kepala penisnya sudah keluar dari liang senggamanya yang sudah banjir. Aku kemudian duduk, dia aku tarik agar bangun dari tidurnya. Setelah itu aku posisikan penisku masuk lagi ke vaginanya, tapi kali ini aku memangkunya. Elvira menjerit kecil ketika penisku sudah hilang ditelan vaginanya yang berkedut-kedut.

Aku angkat lalu turunkan bokongnya, Elvira merintih lagi. Rasanya rintihannya ini sangat sensual, seksi dan menggoda. Aku jadi bersemangat menaik turunkan pantatku. Elvira pasif, mungkin ia memang kelelahan. Aku tak menyalahkannya, aku sangat bernafsu sekali. Sampai-sampai dia mencengkram punggungku sambil menempelkan payudaranya ke dadaku. Tubuh kami berhimpit erat.

“Aku keluar lagi… oohhhh!” jeritnya. Sambil memelukku erat. Kurasakan kedutan-kedutan di vaginanya lagi. Aku istirahatkan dia sebentar sambil menikmati payudaranya. Toketnya yang padat itu sekarang aku hisapi putingnya.

“Kamu suka sekali dengan susuku,” katanya.

Aku masih belum puas, kemudian aku baringkan lagi Elvira. Dia melenguh karena aku tak menarik penisku dari vaginanya. Aku kemudian sekali lagi menggerakkan pinggulku.

“Ohhh…. aaahhh…,” suara Elvira kembali mendesah.

Aku genjot lagi dia, Elvira mengunci pinggangku sekarang dan aku makin kesetanan menggenjotnya. Kupagut bibirnya dan kurasakan aku hampir keluar. Sebuah desakan demi desakan dari bawah perutku serasa ingin memancar saja. Aku sudah tak kuat lagi.

“Vira, aku keluuuuaaaaaarrr!” jeritku sambil menghujamkan sedalam-dalamnya penisku.

Semburan-semburan kenikmatan itu pun mengakhiri pergumulanku dengannya pagi itu. Sungguh sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan akan senikmat ini persenggamaan dengan Elvira. Aku yakinkan bahwa spermaku sudah membasahi dinding rahimnya, sengaja aku bertahan lama tidak mencabut dulu. Kulihat bagaimana wajah Elvira yang kelelahan karena perlakuanku. Kami seperti penganten baru hari itu. Tak pernah aku rasakan rasa senikmat ini dalam bercinta. Setelah penisku mengecil baru aku mencabutnya.

Setelah peristiwa pertama kali itu, aku pun hampir tiap hari bercinta dengan Elvira. Ah… khayalan jadi kenyataan. Aku bahkan bercinta tak kenal tempat. Tujuanku memang satu yaitu membuahi dia sehingga kami memiliki anak.

Pagi itu aku melihatnya sedang duduk di beranda. Aku kemudian menciumi lehernya. Hanya seperti itu saja bisa membuatnya terangsang dan aku pun segera menaikkan kaosnya. Dalam sekejap ia sudah telanjang. Aku baringkan Elvira miring. Penisku suda siap untuk masuk ke tempatnya. Elvira hampir tiap waktu horni, mungkin karena hanya ada aku satu-satunya lelaki di rumah ini. Jadi ia benar-benar seperti terpuaskan. Sisi liarnya pun keluar semenjak itu. Aku menyodoknya dari samping. Aku sendiri tak percaya kalau aku bercinta dengan dirinya sekarang. Aku kemudian membuatnya menungging dan kemudian kusodok lagi dirinya.

“Aahhh….. enak banget truss… ayooo,….yang cepat!” pintanya.

Aku pun meneruskannya dengan sodokan-sodokan yang menghentak-hentak. Aku rasanya tak mampu lagi untuk bisa menahan diri.

“Aku mau nyampe,”kataku.

“Keluarkan saja mas, ayo!” katanya.

Aku pun keluar. Tubuhku mengejang beberapa saat sampai penisku selesai mengeluarkan semua isinya. Setelah itu aku ambruk di sebelahnya. Kurangkul dia dari belakang. Kudekap dadanya.

“Ngomong-ngomong, kenapa dulu kamu langsung mau ketika kuminta kawin?” tanyaku.

“Ehmm… karena aku waktu itu melihat kesungguhanmu, kejujuranmu. Mungkin itu yang membuatku menyetujuinya. Walaupun caramu agak kurang etis memintaku kawin,” jawabnya sambil ketawa.

“Baiklah, aku minta maaf,” kataku.

“Farid?!” katanya sambil mengusap-usap tanganku dengan lembut.

“Ya?” kataku

“Aku hamil,” katanya.

“Beneran?” tanyaku.

Ia mengangguk.

“Whoaaa, hebat. Aku senang sekali,” kataku hampir saja aku melompat.

“Sudah sesuai dengan keinginanmu bukan?” tanyanya.

“Iya. Aku sangat bahagia sekali hari ini,” jawabku.

“Aku juga. Terima kasih,” katanya.

“Dengan ini umat manusia akan bisa kembali meneruskan kehidupan,” kataku sambil memeluknya erat sekali. Seperti tak ada waktu, kami pun mengulanginya lagi hari itu. Ya, lagi dan lagi.

Angin berhembus meninggalkan dedaunan kering yang mengotori pekarangan rumahku. Hidup berdua selama bertahun-tahun dengan Elvira rupanya membuat kami seperti sebuah keluarga yang bahagia. Selama bertahun-tahun juga aku mencoba untuk memperbaiki OPB. OPB kehabisan energi namun aku berhasil mendapatkan energi baru. Ada sebuah batteray cadangan yang bisa aku gunakan setelah masuk ke markas militer. Begitu mendapatkannya aku segera pulang. Kukabarkan berita gembira itu kepadanya.

“Vira, lihatlah! Aku telah mendapatkan batteray ini!” kataku sambil menunjukkan sebuah box yang ada di atas mobil pickup.

“Buat apa itu?” tanyanya.

“Ini untuk menghidupkan kembali OPB,” jawabku. “Dengan ini kamu bisa pulang ke jamanmu.”

Tiba-tiba dia menangis.

“Kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan dari dulu? Elvira?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Tidak, aku tidak mau. Di sini ada keluargaku. Aku sudah punya anak darimu, aku ingin hidup dengan anak-anakku, melihat mereka tumbuh terlebih sekarang ini engkau adalah laki-laki yang berharga bagiku. Aku tak ingin pergi darimu. Kumohon, biarkan aku di sini, menemanimu sampai engkau pergi atau aku yang pergi.”

Mataku berkaca-kaca. Tak kukira Elvira sangat mencintaiku. Akhirnya aku pun meleleh. Aku memeluknya. “Maafkan aku.”

“Tak perlu minta maaf,” katanya. “Aku tahu kamu sangat mencintaiku, asal jangan kamu lakukan lagi hal itu. Aku tak ingin pulang. Aku ingin terus bersamamu.”

“Aku mengerti,” kataku.

“Papa! Mama?!” panggil sebuah suara. Dia adalah anak pertama kami seorang laki-laki kunamai Evan.

“Ya, Evan!” sahutku. “Kami datang!”

Aku dan Elvira kemudian segera masuk ke dalam rumah. Sekarang kami sudah dikaruniai empat orang anak. Paling tidak dengan ini kami bisa meneruskan kehidupan manusia agar tidak punah. Terima kasih Elvira.

The End