Mendadak Nikmat
Mendadak Nikmat
AKU baru saja mau tidur sewaktu pintu kontrakanku diketuk oleh seseorang dengan tergesa-gesa.
“Dek Pendi..ii… Dek…! Dek Pendi…!!”
Suara itu terdengar seperti suara Mbak Aisha, tetangga sebelah kiri kontrakanku. Lalu aku segera bangun membuka pintu.
Ternyata benar Mbak Aisha. “Mmm… mmm… mmm…” Mbak Aisha berkata tergagap.
“Ada apa, Mbak…? Jangan gugup…” kataku.
“Mmm… mmmm… anu, Dek Pendi… mmm… Fadilah… Fadilah muntah-muntah, badannya panas…” jawab Mbak Aisha panik.
Hanya memakai celana pendek dan kaos oblong aku segera ke rumah Mbak Aisha dengan Mbak Aisha.
Fadilah yang sedang sakit terbaring lemas di kasur yang digeletakkan di lantai hanya ditutupi dengan kain batik.
“Jadi… Fadilah mau dibawa ke dokter nih, Mbak…?” tanyaku.
“Nggak tau deh, Dek Pendi… Mbak bingung…” Mbak Aisha menarik aku keluar dari rumahnya lalu berbisik padaku, “…Mbak nggak punya duit, Dek Pendi…”
“Baiklah Mbak, kalau begitu aku yang ngurus, tapi sudah malam begini, mana ada dokter yang masih buka, Mbak… apa nggak lebih baik kita bawa Fadilah ke rumah sakit saja?” kataku.
“Terserah Dek Pendi saja baiknya bagaimana…” jawab Mbak Aisha.
“Ayo Mbak, kita bergerak cepat, aku ambil handphone dulu sama dompet…” kataku balik ke kontrakanku.
Aku segera meraih handphone dan dompetku yang mungkin hanya berisi 200 ribu kurang, secepatnya aku mengunci pintu kontrakanku, lalu pergi ke rumah Mbak Aisha.
Suami Mbak Aisha, Mas Lamin pekerjaannya adalah sebagai sopir bus AKAP.
Mas Lamin jarang kelihatan di rumahnya, tetapi tetap saja ia pulang ke rumah, cuma harinya tidak menentu.
Aku yang tinggal di kontrakan ini sudah setengah tahun, bertemu dengan Mas Lamin hanya 4 kali.
Aku segera masuk ke rumah Mbak Aisha dan, ohhh….
Langkahku tidak bisa mundur lagi. Kalau hari biasa, bisa jadi aku tidak bisa melihat pemandangan seperti ini. Tetapi mungkin karena panik, Mbak Aisha memakaikan celana panjang pada Fadilah dalam keadaan Fadilah telanjang bulat!
Fadilah sudah dewasa, berumur 22 tahun. Sehari-hari pekerjaan Fadilah di rumah saja membantu ibunya berjualan gado-gado di depan kontrakan.
Bayangkan, bagaimana berdegupnya jantungku saat melihat tubuh Fadilah yang telanjang.
Aku tidak tau Fadilah sudah punya pacar atau belum. Yang jelas, aku bisa melihat tubuh telanjang Fadilah semuanya.
Payudara Fadilah masih segar dan kencang bagaikan 2 buah bola karet yang bulet dan besarnya seperti nasi kotak atau nasi yang dibungkus dengan kertas putih untuk teman makan ayam goreng.
Di pucak bulatan itu terdapat puting susunya yang berwarna coklat dan besarnya kira-kira setengah buku jari kelingking orang dewasa.
Belum lagi di bagian bawah perutnya. Aku bisa melihat bulu kemaluan Fadilah yang tipis hitam berada di bagian atas gundukan selangkangannya dan juga vagina Fadilah.
Karena Mbak Aisha belum selesai memakaikan celana pada Fadilah, untuk melihat lebih jelas tubuh telanjang Fadilah, buru-buru aku berkata pada Mbak Aisha, “Mari aku bantu, Mbak.”
Fadilah berwajah biasa-biasa saja, kulitnya berwarna coklat sama dengan warna kulit ibunya, tetapi penisku jadi tegang dibuatnya.
“Kalau begitu Mbak pesan mobil ya, Dek Pendi…?” kata Mbak Aisha meninggalkan aku yang sedang berjongkok di samping pembaringan Fadilah, sedangkan Fadilah sudah memakai celana, tetapi belum dipakaikan baju.
Aku mengerti maksud Mbak Aisha. Mbak Aisha meninggalkan Fadilah padaku supaya aku memakaikan baju pada Fadilah.
“Aku mau dibawa kemana sih, Bang…?” tanya Fadilah padaku setelah Mbak Aisha ke luar ke depan rumah membawa hapenya.
“Ke rumah sakit…” jawabku.
“Nggak mau ah, Bang. Nanti aku disuntik dan nggak boleh pulang…”
“Abang akan menjaga kamu sampai kamu sehat, kamu tenang saja. Ok…?” jawabku.
Tiba-tiba Fadilah bangun memeluk aku. Aku kelabakan, dan sekaligus senang.
Kelabakan karena aku khawatir Mbak Aisha sudah memesan mobil lalu masuk ke rumah melihat Fadilah memeluk aku dalam keadaan telanjang dada.
Senang, karena kemudian aku bisa memeluk Fadilah yang masih gadis dan merasakan bulatan teteknya mendekap di dadaku dan aku bisa mengusap-usap punggungnya yang telanjang.
“Pakai bajumu dulu, sebentar lagi mobil datang.” kataku.
Fadilah menurut. Ia duduk di kasur, aku memandang teteknya.
“Emmm…” gumannya malu. “Tetek aku jelek ya, Bang…?”
“Siapa bilang…?” tanyaku. “Bagus kok… Abang suka tetek yang mungil… boleh Abang cium…?”
Fadilah melapangkan dadanya menyerahkan payudaranya kucium. Kucium puncaknya yang berputing itu, ahhh…
Fadilah beruntung sudah tengah malam Mbak Aisha masih bisa dengan cepat dan lancar mendapatkan mobil dan disuruh menunggu sekitar 10 menit.
Sewaktu mobil datang, aku yang memapah Fadilah ke mobil, sedangkan Mbak Aisha yang hanya memakai daster tipis memakai mantel untuk menahan dingin, sekaligus melindungi payudaranya yang tidak memakai BH.
Aku mencari rumah sakit yang paling dekat dan malam itu ruang UGD rumah sakit itu sepi sehingga Fadilah bisa segera ditolong oleh dokter jaga.
Mbak Aisha menempel terus padaku.
Dan setelah Fadilah diperiksa sekitar setengah jam oleh dokter jaga, keputusannya Fadilah harus dirawat. Bisa jadi Fadilah kena DBD atau gejala typus, karena kedua penyakit ini gejalanya hampir sama, tetapi beda. Lalu Fadilah dipasang selang infus oleh dokter jaga.
Aku segera pergi mengurus administrasi rawat inap, sedangkan Mbak Aisha menjaga Fadilah.
Sekali lagi Fadilah beruntung, ia bisa segera masuk ke ruang rawat inap tanpa membayar DP dengan jaminan KTP dan kartu kerjaku.
Ruang rawat inapnya terletak di lantai 7 dan tidak memiliki kelas, karena ruang rawatnya adalah sebuah bangsal besar yang dibagi-bagi menjadi banyak ruangan. Satu pasien, satu ruangan. Kamar mandi berada di luar ruangan pasien.
Dan kembali aku disuguhkan pemandangan yang indah di tengah malam itu oleh seorang perawat yang mendorong tempat tidur Fadilah ke ruangan rawat inap.
Perawat yang tingginya sekitar 165 sentimeter ini cantik dan memiliki bongkahan pantat yang montok.
Ia mengenakan celana panjang ketat berwarna hijau muda, sehingga dengan demikian celana dalam yang dipakainya menjiblak dengan jelas di celananya panjangnya.
Bukan berbentuk segitiga sama sisi seperti ini ( / ) melainkan bagian sebelah kanan mencong ke dalam.
Semoga siksaan ini cepat berlalu, batinku dan Fadilah cepat sembuh. Itu permohonanku.
Aku tidak langsung pulang setelah Fadilah berada di ruang rawat inap, karena selain aku masih harus menemani Mbak Aisha, aku juga harus memantau kondisi Fadilah.
Fadilah sedang tidur, lalu Mbak Aisha meminjam hapeku untuk menelepon suaminya. Mbak Aisha telepon di luar ruangan, sedangkan aku menarik bangku duduk di depan pembaringan Fadilah.
Fadilah membuka mata dan ia memandang aku dengan tersenyum. “Terima kasih ya, Bang… he.. he..” katanya memegang tanganku.
Kugenggam tangan Fadilah dengan kedua tanganku, lalu kucium tangan Fadilah. “Sudah, jangan banyak ngomong dulu, nanti kamu muntah lagi…” kataku.
“Aku sudah sehat kok, Bang…”
“Mau cepat ketemu dengan pacarmu, ya…” godaku.
“Ah, Abang… mana ada yang mau sama aku sih, aku jelek begini…”
“Abang…!” jawabku.
“Di kantor Abang banyak cewek yang cantik-cantik…”
“Cantik itu relatif…” kataku. “Tergantung yang menilainya… Abang yakin kamu akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita melihat kamu membantu Ibu setiap hari…”
Entah bagaimana aku berani menunduk mencium bibir Fadilah. Fadilah menangkap bibirku dan diciumnya bibirku dengan haus.
Aku tidak memikirkan ia sedang dirawat. Aku meremas-remas teteknya hingga napasnya memburu.
“A… aku mau… mau keluar, Bang… oo… ooh…” desahnya.
Mbak Aisha masuk ke kamar sudah bisa tersenyum melihat Fadilah sudah mau ngobrol denganku.
Lalu aku meninggalkan mereka berdua turun ke bawah mencari kantin yang masih buka untuk minum kopi dan makan sesuatu serta membeli air minum untuk Mbak Aisha dan Fadilah.
Di kantin saya makan mie instan rebus ditemani segelas kopi hitam pahit.
Kembali ke ruangan aku membelikan roti dan air minum untuk Mbak Aisha sedangkan untuk Fadilah aku belikan air minum saja.
Jam 5 pagi setelah kami melihat kondisi Fadilah sudah mulai membaik, kami pulang karena Mbak Aisha juga mau mengambil pakaian Fadilah untuk dibawa ke rumah sakit.
Tidak seorangpun tetangga yang tau Fadilah masuk rumah sakit, tetapi hari itu aku tidak tenang bekerja.
Pulang dari kerjaan, aku langsung mandi dan menukar pakaian pergi ke rumah sakit.
Setiba aku di kamar rawat inap Fadilah, selain aku bertemu dengan Mbak Aisha, Mas Lamin juga sudah berada di situ.
Aku dan Mas Lamin ngobrol banyak dan tentu saja tidak ketinggalan dengan ucapan terima kasihnya padaku yang telah menolong putrinya.
Sampai jam 9 malam aku baru minta izin pulang dengan Mas Lamin, tetapi Mas Lamin tidak mengizinkan aku pulang sendirian, ia menitipkan Mbak Aisha padaku.
Turun dari mobil online yang membawa kami pulang kulihat angka jam yang tertera di hapeku 22:12. Aku sudah mengantuk sekali saat itu.
Tetapi membuat aku segar kembali mendengar suara emas Mbak Aisha berbisik di telingaku. Suaranya mendayu dan mesra, “Dek Pendi, tidur di rumahku, ya…”
Suaranya tidak seperti kemarin malam mengetuk pintu rumahku dan bicaranya sampai tergagap-gagap.
Tentu saja aku tidak menolak ajakannya, karena menolak berarti rugi, menjauhkan berkah batin yang akan dihidangkan oleh Mbak Aisha padaku.
Buru-buru aku masuk ke kontrakan Mbak Aisha, kemudian Mbak Aisha mengunci pintu.
Penampakan di dalam kontrakan Mbak Aisha tetap sama seperti pertama kali aku masuk kemarin tengah malam.
Tempat tidur terhampar di lantai, kemudian Mbak Aisha pergi ke kamar mandi.
Hanya sebentar Mbak Aisha, wanita bertubuh agak gemuk berumur sekitar 44 tahun itu masuk ke kamar mandi dan ia keluar dari kamar mandi berbalut handuk.
Aku segera melucuti handuk yang menutupi tubuh Mbak Aisha di depan tempat tidur, sehingga sebentar saja Mbak Aisha yang tidak memakai BH dan celana dalam itu telanjang bulat sudah di depanku.
Aku membuang handuk Mbak Aisha ke lantai, memeluk Mbak Aisha lalu mencium bibirnya.
Perut Mbak Aisha memang agak sedikit berlemak dan turun, namun sama sekali tak mengurangi nilai keindahan tubuhnya. Apalagi jika memandang teteknya yang montok.
Mbak Aisha membalas ciumanku dengan liar.
Aku tak tahu sudah berapa lama bibir itu tak merasakan ciuman laki-laki sampai ia seliar itu, yang jelas ciuman Mbak Aisha sangat panas dan buas. Berkali-kali wanita itu nyaris menggigit bibirku, lidahnya yang basah meliuk-liuk dalam rongga mulutku.
Aku dibikin semakin bernapsu saja, tanganku menjalar di sekujur tubuhnya, berhenti di kemontokan pantatnya dan kemudian meremas-remas penuh birahi.
“Ohh.. ergh..” lenguh Mbak Aisha di sela-sela ciuman panas kami.
Dengan beberapa gerakan, wanita itu menjatuhkan tubuh telanjangnya di atas tempat tidur, aku memburunya dan segera menikmati kemontokan buah dadanya. Kuremas-remas dua buah dada montok itu, kemudian kuciumi dan terakhir kukulum puting susunya yang sebesar ibu jari dengan sekali-kali memainkannya di antara gigi-gigiku.
Mbak Aisha menggelinjang-gelinjang keenakan, napasnya semakin terdengar resah gelisah, berkali-kali ia mengeluarkan kata-kata jorok yang justru membuatku semakin bernapsu.
“Ngentot, enak banget Dek Pendii..iihh…!” jeritnya, “Ayo Dek Pendi… Mbak sudah pingin sekali nih…!”
Aku yang juga sudah sangat bernapsu dan segera menjawab keinginan Mbak Aisha. Dengan bantuan Mbak Aisha, aku menelanjangi diriku sehingga tak tersisa satupun busana di tubuhku.
Ukuran penisku biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tetapi sewaktu kulihat di daerah bukit kemaluan Mbak Aisha, di atas bukit itu ditumbuhi rambut-rambut liar, dengan belahan memeknya yang tebal berwarna coklat, mulutku segera menerkamnya.
“Aaahhhh… Dek Pendii..iihh…” rintih Mbak Aisha.
Memek Mbak Aisha berbau amis menyengat.
“Kayaknya sudah lama Mbak nggak ngentot…” kataku.
“Iyah… mau ngentot gimana, Dek Pendi… suami hanya pulang sebentar, Fadilah juga tidur bersama kita…”
“Fadilah sudah punya pacar ya, Mbak…”
“Sudah, dulu tinggal gak jauh dari sini, baru pacaran 3 bulan, bapaknya meninggal… ya, sudah… ia disuruh pulang ke kampung nerusin usaha orangtuanya…” jawab Mbak Aisha.
Aku pun segera menyiapkan senjataku, mengarahkan ujung penisku tepat di depan liang vagina Mbak Aisha.
“Aku masukin ya, Mbak…?” kataku.
“Nggak jadi dijilat? Bau ya… he… he… Mbak cuci dulu apa…?”
“Nggak usah, Mbak…”
Perlahan tapi pasti aku menekan penisku masuk ke lubang memek Mbak Aisha yang terasa sempit.
Sedikit-demi sedikit penisku tenggelam dalam kehangatan liang Mbak Aisha yang basah dan terasa nikmat.
Ketika hampir seluruh batang penisku yang berukuran hanya sekitar 15-an sentimeter itu memasuki liang vagina Mbak Aisha, aku mencabutnya kembali. Kemudian kembali memasukkannya perlahan.
“Enghh.. gila kamu Dek, kalau begini sebentar saja Mbak sudah keluar, enak banget…” kata Mbak Aisha.
Kini kutambah rangsangan dengan meremas dan memilin puting susunya yang besar.
“Ohh.. ohh.. benar-benar enak Dee…eeekk…” desah Mbak Aisha memejamkan matanya.
Pada penetrasi berikutnya, aku menggenjot lubang memek Mbak Aisha dengan gerakan penuh tenaga dan penuh semangat sehingga kedua tetek Mbak Aisha terguncang-guncang tak terkendali sembari ia menjerit-jerit karena dinding memeknya benar-benar kubesot-besot, kugesek-gesek dengan penisku yang keras sekeras tongkat satpam.
“AAAAHHHH… AAAHHHH… OOOGGGHHH… OOOGHHHH… AAAAHHH…. AAAHHHH… AAAHHHH… AHHH…. plokk… plokk… plokk… AAAHHH… OOOHHH… AAAHHH… plok.. plokk… plok… AAAGGGHH… AAAHHH…. AAAHHH… AAAHHH…”
Aku cuma takut jeritan itu kedengaran oleh tetangganya.
Aku mencabut penisku dari dalam lubang vagina Mbak Aisha yang basah dan menyodorkannya ke mulut Mbak Aisha.
Wanita itu menjilati ujung penisku dengan lidahnya seakan ia membersihkannya dari cairan vaginanya sendiri yang berbau amis itu, kemudian dengan sangat lahap ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya.
Bibir seksi Mbak Aisha terlihat menyedot-nyedot penisku seakan ingin menyedot spermaku keluar. Ia kemudian mengocok penisku dalam mulutnya hingga birahiku mencapai puncaknya.
Kemudian aku memuntahkan spermaku ke dalam mulut Mbak Aisha.
Crroooootttt…. crroott… crroottt… crootttt… crrroott… croott.. croott…
Wanita itu tidak segan-segan menelan seluruh spermaku.
“Sungguh nikmat, Mbak…” kataku mencium bibir Mbak Aisha.
“Terima kasih, Dek Pendi… Mbak juga merasa nikmat dan seneng banget malam ini dipuasin Dek Pendi,” sahut Mbak Aisha. “Jika sampe Mbak dientot sama Dek Pendi sampe Mbak hamil, Mbak rela Dek Pendi…”
Penisku loyo mungkin tidak sampai 10 menit, lalu tegang lagi. Karena lubang memek Mbak Aisha kuentot sampai bolong besar belum kempes, sehingga sambil berciuman dengan gampang aku dorong masuk penisku ke lubang memek Mbak Aisha lagi.
Bluusssss….
Mbak Aisha kembali berteriak memecah kesunyian malam saat lubang di selangkangannya itu kutikam-tikam secara bertubi-tubi dengan penisku yang keras sehingga kedua teteknya pontang panting lagi.
“AAAAHHHH… AAAHHHH… OOOGGGHHH… OOOGHHHH… AAAAHHH…. AAAHHHH… AAAHHHH… AHHH….”
Aku tidak ingin ganti gaya, karena ngentot dengan gaya primitif begini rasanya lebih nikmat. Gesekan penisku ke biji itiel Mbak Aisha juga lebih mengena.
Aku mencabut penisku. Sejurus kemudian aku sudah berada di hadapan bibir kemaluan Mbak Aisha yang baru saja aku nikmati.
Sebelum kujilat terlebih dahulu kubelai bibir itu dari ujung bawah hingga klitorisnya. Kusingkap rambut-rambut kemaluannya yang menjalari bibir itu.
Aku kemudian asyik menjilati dan menciumi bibir mayora maupun bibir minora di memek Mbak Aisha.
Dengan nakal aku memasukkan jari telunjuk dan tengahku ke dalam lubang memek itu dan kemudian mengobok-obok liang becek itu.
Aku sendiri yang sudah terangsang berat segera menunaikan tugasku lagi dengan kembali memasukkan penisku ke lubang sanggama Mbak Aisha.
Di persetubuhan kali ini aku memuntahkan spermaku di dalam vagina Mbak Aisha.
Malam masih begitu panjang. Kami masih menikmati dua persetubuhan lagi sebelum kelelahan dan mengantuk.
Mbak Aisha merasa begitu puas dan lega, aku sendiri bahagia melihatnya.
“Mas Pendi, aku mau ngomong… yuk, kita kesana…” ajaknya menarik tanganku.
Mbak Juriah yang memakai kerudung, baju dinas kemeja dan celana panjang berwarna biru muda itu menarik aku ke samping pabrik.
“Aku perlu duit, Mas.” kata Mbak Juriah dengan hati-hati. “Aku ada cincin, dulu aku beli 5 juta, Mas Pendi bayarin aku 2,5 juta aja…”
Melihat cincin emas itu, aku langsung teringat dengan Fadilah yang masih nginap di rumah sakit.
Di tabunganku aku mempunyai uang sebanyak 7 juta, jika aku membeli cincin dari Mbak Juriah ini untuk Fadilah rasanya aku sanggup, karena sudah ada Mas Lamin yang akan menanggung biaya rumah sakit Fadilah.
“Mana aku punya duit sebanyak itu, Mbak?” kataku pada wanita yang sudah berumur 35 tahun dan bertubuh ibu-ibu ini. Teteknya tidak seberapa besar tapi sudah kendor terlihat dari depan baju kemaja dinasnya yang ketat.
“Satu juta deh, cincin ini boleh kamu bawa, kamu jual…”
“Untuk apa sih, Mbak… Mbak pinjem duit kayaknya mendesak banget…”
“Untuk bantu adik laki-laki aku di kampung, Mas… adikku menghamili anak orang… sudah damai sih tapi orangtuanya minta duit 5 juta…”
“Kalau gitu aku usahakan ya, Mbak… tapi aku nggak janji dapet lho, ya… Mbak mau pakai kapan…?”
“Besok siang ya, Mas Pendi… ini cincinnya…” cincin bulat tanpa permata itu dimasukkan Mbak Juriah ke dalam kantong kemejaku.
“Kalau aku dapet… wikwik ya, Mbak…”
“Mmmm…” Mbak Juriah menunjukkan wajah cemberutnya padaku.
Lalu aku keluarkan dompetku. “Nih… 600, Mbak pegang dulu…”
“He.. he…” Mbak Juriah tertawa lebar sambil menjulurkan tangannya mengambil duit itu di tanganku.
Lalu aku memanjangkan tanganku memegang teteknya. Mbak Juriah tidak menepis tanganku.
Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu pergi mengintip ke arah pabrik.
Setelah itu Mbak Juriah kembali ke depanku. “Sudah jelek, Mas…” kata Mbak Juriah membuka kancing kemejanya sebanyak 3 buah, lalu mengeluarkan teteknya dari bagian atas BH-nya. “Sudah kayak gini, Mas… jangan ya, Mas…”
Payudara yang sudah lembek itu tetap kuhisap putingnya. “Mmm… ada susunya…” kataku.
“Ya Mas, anakku kan masih netek…”
“Wikwik…?” tanyaku.
“Masa berdiri di sini sih, Mas?”
“Nungging… dari belakang…” jawabku.
Mbak Juriah menghadap ke tembok. Sejurus kemudian pantatnya yang berwarna coklat belang-belang seperti panuan sudah mejeng di depanku.
Aku berjongkok membuka lebar belahan pantat Mbak Juriah, lalu melihat bagian dalam belahan pantatnya yang berwarna hitam, anusnya berkerut-kerut dengan lubang anusnya yang kecil tertutup rapat, lalu aku cium…
Awww…. sedapnya…
Tetapi aku tetap menjilat anus Mbak Juriah sampai ia semakin nungging dengan kedua telapak tangan menempel di tembok, lalu terus lidahku melatah ke memeknya yang tidak kalah bau dengan anusnya.
“Oohhh… Maa..ass… sesssstth… oohh… ngentot aku dong… aku sudah gak tahan… memek aku dijilat, uee…nak banget… Maa…aass…” rintih Mbak Juriah.
Lalu akupun menekan kontolku masuk ke lubang memek Mbak Juriah yang longgar, lalu kuentot dengan cepat. Selanjutnya aku memasuki lubang anus Mbak Juriah yang sempit. Kuentot sebentar, lalu berpindah ke lubang memeknya.
Aku kemudian menyemburkan air maniku yang hangat kental itu di lubang memek Mbak Juriah.
Mbak Juriah mengeluarkan sebungkus kecil tissu dari kantong celananya. Ia tarik selembar, sisanya ia berikan padaku.
“Mbak masih ngentot dengan suami ya…?” tanyaku.
“Masih…” jawab Mbak Juriah.
Sampai pulang kerja, aku hanya duduk di depan komputer data tidak mengerjakan sesuatu.
Kemudian di depan pintu pabrik aku melihat Mbak Juriah dijemput oleh suaminya dengan sepeda motor, Mbak Juriah memeluk erat suaminya dari belakang…
—————————————————————————–
Untung aku melangkah belum sampai di depan pintu kamar Fadilah sore itu….
Di tempat tidur aku melihat Fadilah yang sedang berbaring terlentang bibirnya dicium oleh seorang pria berjenggot berusia sekitar 40-an.
Perut Fadilah diraba-raba sampai ke teteknya. Mungkin itu pacarnya, aku tidak perlu cemburu.
Aku turun duduk di loby rumah sakit menunggu pria itu pergi, karena pasti ia pergi lewat loby, tidak ada jalan yang lain.
Aku duduk belum 20 menit pria berjenggot memakai sandal jepit dari bahan ban mobil itu keluar dari lift melewatiku.
Sewaktu kulihat mobil yang telah menunggunya di depan pintu lobby; ALPHARD.
Gile…!!!
Tetapi tidak membuat aku menyerah lalu pulang. Dengan gagah berani aku masuk ke kamar Fadilah. Cincin yang rencananya akan aku berikan padanya, terpaksa kutahan; lebih baik aku kembalikan pada Mbak Juriah.
“Baa..anngg…!!” jerit Fadilah melihatku, langsung ia melemparkan buku novel yang sedang dibacanya ke samping. Jeritannya polos, tidak dibuat-buat.
Di depan tempat tidur aku menunduk bukan mencium bibirnya, melainkan kucium gundukan memeknya yang terlihat jelas dari luar celana panjangnya yang tipis dari bahan kaos.
“Ngggh… kotor, Bang…” kata Fadilah. Memang di daerah itu terasa sekali bau kencing dan bau amis busuk. “Dari semalam aku belum tukar celana, belum cebok… Ibu belum datang, semalam aku dijaga Ayah sampai siang, Ayah pulang istirahat…” kata Fadilah.
“Infus kamu kapan dicopot?”
“Tadi siang, kata perawatnya kalau besok trombosit aku sudah naik, aku sudah boleh pulang.” jawab Fadilah. “Antar aku kencing ya, Bang… sekalian bersihkan badan aku pakai tissu basah… itu di atas meja, tadi dibawa temen sama roti tuh Bang, dimakan…”
Aku tertawa dalam hati. Rotinya tidak aku makan, aku membangunkan Fadilah, lalu menuntunnya ke ke kamar mandi sambil membawa tissu basah dan pakaian ganti.
Di dalam kamar mandi setelah kukunci pintu kamar mandi, aku melepaskan pakaian Fadilah, sehingga Fadilah telanjang bulat di depanku.
Ia tidak malu atau canggung denganku, malah ia duduk kencing di kloset.
Selesai ia kencing, sisa air kencing yang masih menempel di memek Fadilah aku jilat. “OOOOOHH…. HOOOOHHH…. OOOOOO…. EMMM… BAA…. MMMM…. BAA…ANG PEN… PENDI…. OOOHHH… OOOHHH…” Fadilah merintih tertahan-tahan.
Sejenak kemudian Fadilahpun duduk di kloset mengulum kontolku.
Setelah kontolku cukup keras, ganti aku yang duduk di kloset, sedangkan Fadilah mengangkang di pangkal pahaku.
Sambil aku pegang batang kontolku tegak berdiri, Fadilah menekan lubang memeknya ke batang kontolku.
“Ohhh… Banggg… Banngg….”
Bleepp…
Kontolku lenyap ditelan lubang memek Fadilah yang sempit dan menjepit kontolku sampai perih rasanya palkonku.
Lalu sambil kedua tangannya memegang bahuku, tubuh telanjang Fadilah naik-turun di pahaku. Batang kontolku seperti diurut-urut lubang memek sempit itu.
Oohhh… oohhh… huuhh…
Setelah beberapa saat akupun ikut menyodok lubang memek Fadilah dari bawah.
Akibatnya air maniku yang pekat itupun meluncur keluar dari batang kontolku menyiram rahim Fadilah.
Crroottt… crroott… crroottt… crroottt… croott…
Fadilah duduk di pangkuanku memeluk aku dengan diam.
Sewaktu Fadilah bangun dari pahaku, selain air maniku berceceran di bulu jembutku, juga darah perawan Fadilah.
O… astagaaaa…
Nekat juga Fadilah memberikan keperawanannya padaku bukan pada pria yang berjenggot naik mobil Alphard hitam tadi.
Aku segera membersihkan tubuh telanjang Fadilah dengan tissu basah tanpa bicara.
Kembali ke kamar, aku ngentot sekali lagi dengan Fadilah. Fadilah nungging di depan tempat tidur.
Ngentot kali ini air maniku yang masuk ke lubang vagina Fadilah, keluarnya sudah tidak bercampur darah.
Sekitar satu jam selesai aku ngentot dengan Fadilah, jam kunjungan sudah selesai, saat itu aku sedang menyuap Fadilah makan, Mbak Aisha datang.
“Mas Lamin sudah pergi bertugas lagi ya, Mbak…?” tanyaku.
“Belum, masih di rumah.”
Dan sewaktu berkesempatan berdua saja dengan Mbak Aisha, aku bertanya pada Mbak Aisha, “Ngentot nggak Mbak dengan Mas Lamin…?”
“He.. he… iya…” jawab Mbak Aisha tertawa malu.
Hampir jam sembilan malam, aku baru minta izin pulang dengan Fadilah dan Mbak Aisha.
Saat aku sudah berada di luar ruangan, aku baru teringat dengan cincin itu. Beri nggak – beri nggak – beri nggak… cincin ini pada Fadilah tanyaku dalam hati sambil aku duduk di bangku panjang sendirian yang terdapat di lorong rumah sakit, sedangkan di bangku panjang yang lain banyak orang berbaring tidur.
Datang seorang ibu berumur sekitar 50 tahum membawa tas bertanya padaku, “Kosong ya, Dek?”
“Ya Bu…” jawabku.
“Tunggu siapa, Dek…?”
“Adik saya, Bu…” jawabku. “Ibu…?”
“Anak… terperosot dari pohon kelapa… itunya sampai luka parah…”
“Apanya, Bu…?” tanyaku menggoda si ibu.
Si ibupun menunjuk ke celanaku. “Itu…”
“O… sampai putus ya, Bu…?”
“Nggak, cuma kulitnya lecet doang…”
“Anak Ibu umurnya berapa…?”
“Sudah 25 tahun, rencana mau menikah 3 bulan lagi… memang bukan nasibnya kali ya, Dek… sudah sering manjat pohon kelapa…”
“Masih bisa begini kan, Bu…” tanyaku meluruskan jari telunjukku.
“Masih…”
“O… nggak papa… kalau masih bisa bangun…” kataku. “Ibu yang membersihkan..?”
“Iya Dek… habis siapa, anak laki satu-satunya…”
Aku sudah mau pergi dari bangku yang kududuki sewaktu kulihat jam di hapeku menunjukkan angka 09:47, tetapi kemudian kulihat si ibu memijit-mijit betisnya, kududuk lagi dan bertanya pada si ibu, “Kenapa kakinya, Ibu…?”
“Ngilu, habis jalan turun-naik tadi beli obat di apotik…”
“Boleh aku bantu Ibu mijit?” tanyaku.
“Ya, boleh Dek…!” jawabnya cepat.
“Ibu baring kalo gitu…” suruhku.
Si ibu mendorong tasnya ke ujung bangku, lalu merebahkan tubuhnya yang dibalut daster panjang itu ke bangku.
“Maaf ya, Bu…” kataku memegang kaki si ibu yang terbalut kaos kaki, lalu mulai menekan telapak kaki si ibu dengan ibu jariku.
Setelah bagian bawah kaki selesai kupijit-pijit, aku memijit betisnya. Terus ke pahanya. Mungkin ia merasa enak dengan pijitanku celana panjangnyapun berhasil aku loloskan dari kedua kakinya.
Tak mau tanggung-tanggung lagi. Tanganku menyusup masuk ke balik daster panjang si ibu memijit pahanya sampai ke ujung pahanya.
Sewaktu tanganku terpegang bulu-bulu kemaluannya, aku tidak berpikir panjang lagi bagaimana seandainya ia menjerit, ternyata si ibu memberikan jariku masuk ke lubang memeknya yang terasa kering, terus kukocok-kocok, akhirnya si ibu mengerang, “AAAAAGGGGHHH…!!!!”
Saat itulah aku berpikir untuk kabur karena aku teringat dengan Mbak Juriah. Aku belum ke ATM mengambil duit yang aku janjikan padanya.
Si ibu mengetahui aku kabur, ia memanggil aku, “Dek….! Dek…! Dek…! Dek…!”
Aku tidak menghiraukannya dan terus berjalan pergi.
Sesampai di depan ATM yang terletak di sudut lobi rumah sakit, aku baru sadar jariku yang tadi kupakai mengocok lubang memek si ibu baunya amis…
“Hitung dulu, Mbak…” suruhku.
“Kok 2,5 juta, Mas Pendi…?” tanya Mbak Juriah bingung.
“Mana tangan, Mbak…?” tanyaku.
Mbak Juriah menyodorkan tangannya padaku. Cincinnya yang kemarin ia berikan padaku kusematkan kembali ke jari manisnya, sebab cincin itu adalah cincin kawinnya, di dalam cincin itu terdapat gravir nama suaminya.
Mbak Juriah memandangku antara bengong dan bingung tidak bisa dibedakan.
“Uang itu nggak usah dikembalikan padaku…” kataku, Mbak Juriah baru sadar dan seketika ia menghambur memeluk aku.
Mbak Juriah menangis!
Aku tau tangisan Mbak Juriah bukan tangisan pura-pura, melainkan tangisan haru.
Aku menghapus air matanya, mengecup bibirnya, lalu menarik Mbak Juriah pergi dari tempat itu.
—————————————————————————-
Sepulang aku dari pekerjaanku pada sore harinya, ternyata Fadilah sudah pulang dari rumah sakit. Aku tidak berani ke rumah Mbak Aisha karena Mas Lamin belum pulang ke posnya di agen bus.
Sepanjang malam aku gelisah tidak bisa tidur membayangkan Mbak Juriah silih berganti dengan Fadilah dan Mbak Aisha. Ketiga wanita itu seolah membuat aku mendadak nikmat.
Beruntung besok hari Sabtu aku libur. Rencananya setelah makan siang aku akan pergi ke rumah Mbak Aisha, tetapi sebelum makan siang aku sudah mendengar suara Mbak Aisha memanggil aku.
Aku keluar dari kontrakanku menemui Mbak Aisha, lalu Mbak Aisha berkata padaku demikian, “Dek, Mbak sama Fadilah mau pulang kampung…”
“Mbak mau pulang kampung?” tanyaku seolah tidak percaya. “Berapa lama, Mbak?”
“Iya… seminggu begitulah… Mbak mau ngajak Fadilah beristirahat di kampung…”
“Mmm… sebelum Mbak pergi… mmm… boleh nggak aku… mmm… melepas rindu, Mbak…?”
“O… jangan, Dek Pendi… setelah Mbak kesini aja, ya…”
Aku tidak menyadari pria berjenggot berada di dalam rumah Mbak Aisha. Sewaktu ia mengangkat barang-barang keluar dari rumah Mbak Aisha bersama Fadilah, aku baru kaget.
Fadilah menganggap aku dan Mbak Aisha yang masih berdiri di depan rumah seolah-olah tidak ada dan aku lebih kaget lagi melihat mobil Alphard diparkir di tepi jalan.
“Mbak pergi ya, Dek Fendi…” kata Mbak Aisha menyadarkan aku.
“Boleh aku cium Mbak nggak, Mbak…?” tanyaku penasaran.
“Hanya cium saja ya, Dek Pendi…” kata Mbak Aisha.
Sewaktu Mbak Aisha melihat ke kiri ke kanan, aku segera menarik tangan Mbak Aisha. Setelah Mbak Aisha berada di dalam kontrakanku, aku memeluk Mbak Aisha, aku mencium bibirnya sambil teteknya kuremas, Mbak Aisha melawan aku sehingga aku dan Mbak Aisha jatuh ke kasur.
“Jangan Dek, jangan perkosa Mbak, Dek…” minta Mbak Aisha iba yang sedang kutindih.
Aku melepaskan Mbak Aisha lalu membiarkannya pergi dari kontrakanku tanpa berkata sepatah katakupun.
Aku kecewa… aku menyesal… meskipun seminggu bukan waktu yang terlalu lama.
Aku sedikit terhibur Senin pagi melihat Mbak Juriah berdiri di depan gerbang pabrik.
“Tunggu siapa, Mbak…?”
“He… he… tunggu, Mas…”
“Tunggu aku…?” tanyaku heran.
“Aku… mmm… mau memberi sarapan pada Mas Pendi…” kata Mbak Juriah.
Sarapan dari Mbak Juriah tidak hanya pada hari Senin pagi itu saja, tetapi Selasa pagi… Rabu pagi… aku mulai curiga… ada apa nih dengan Mbak Juriah…?
Terjawab sudah sewaktu Mbak Juriah berdiri di depan kontrakanku dengan satu anaknya yang berumur 2 tahun pada hari Sabtu siang.
Aku mengajak Mbak Juriah masuk ke kontrakanku ngobrol sambil aku bermain dengan anaknya; ngobrol biasa, tentang teman-teman di pabrik.
Lalu aku membelikan makan siang, kami makan bertiga.
Selesai makan siang, Mbak Juriah menyuruh anaknya tidur. Mbak Juriah menyodorkan teteknya pada anaknya sambil berbaring di tempat tidurku.
Tidak sampai 20 menit aku menunggu Mbak Juriah menetek anaknya. Setelah anaknya tidur, tetek Mbak Juriahpun berpindah ke mulutku.
Kami bercinta… kami bercium… kami saling meremas… sampai akhirnya tubuhku dan tubuh Mbak Juriah telanjang sudah dan dan dengan satu tusukan, blleessss…
Masuk penisku ke lubang vagina Mbak Juriah. “AAAAAHHH… MMMHH… OOOHH, MAA… AASS…” desah Mbak Juriah memeluk aku dengan erat seperti seperti seorang musafir yang kehausan di padang gurun sambil mendorong kuat-kuat selangkangannya ke penisku dan pada saat yang sama terasa lubang vagina Mbak Juriah bisa empot-empot ayam meremas batang penisku, oohhh… nikmatnya batang penisku diremas begitu…
Mana aku sanggup lagi teringat dengan Mbak Aisha dan Fadilah, sehingga keesokan siangnya pada hari Minggu aku bersetubuh lagi dengan Mbak Juriah.
Senin pagi seperti biasa Mbak Juriah menunggu aku di depan gerbang pabrik memberikan aku sarapan.
Pada sore harinya Mbak Juriah pulang kerja, dijemput oleh Mas Arifin, Mbak Juriah duduk di belakang sepeda motor Mas Arifin memeluk suaminya itu seperti tidak terjadi ada apa-apa denganku, padahal tubuh yang berada dibalik seragam kerja Mbak Juriah itu sudah kunikmati berkali-kali, termasuk air yang masih terkandung diteteknya, meski sudah tidak lancar keluarnya. Putingnya harus terus dihisap, ASI itu baru bisa lancar keluar dari tetek Mbak Juriah yang sudah kempot. Memang lembek tetek Mbak Juriah.
Sore hari aku pulang kerja, aku senang melihat pintu kontrakan Mbak Aisha sudah terbuka, tetapi kemudian membuat aku terkejut karena bukan menemukan Mbak Aisha, melainkan kontrakannya sudah dihuni oleh orang lain. Dan dari situ pula aku berkenalan dengan 2 lansia yang menghuni kontrak Mbak Aisha, Pakde Wondo dan istrinya yang kupanggil Bude Tika.
Setelah itu pulang ke kontrakanku aku segera menghubungi hape Mbak Aisha. Tidak ada jawaban dan WA-ku juga hanya centang satu. Demikian pula hape Fadilah. WA yang kukirimkan juga centang satu.
Dari sini aku bisa menarik sebuah kesimpulan bisa jadi Fadilah dinikahkan oleh ibunya dengan pria berjenggot itu, Mbak Aisha tidak ingin aku tau. Pria berjenggot itu kaya, tapi berhubung Fadilah dinikahkan paksa, aku yang kejatuhan rejeki nomplok, keperawanannya diberikan Fadilah padaku.
Jadi, aku tidak perlu resah dan gelisah terhadap 2 wanita itu, aku punya Mbak Juriah.
—————————————————————————–
Hari Sabtu pagi…
“Bantu apa, Bude…?”
“Bude mau ke pasar beli kue untuk dibawa ke arisan nanti malam. Bude mau minta tolong kamu antar Bude ke pasar, bisa nggak kamu naik sepeda motor?”
“Bisa Bude, sepeda motor siapa?”
“Sepeda motor Pakde. Pakde nggak ada di rumah, lagi pulang kampung ambil beras hasil panen…”
“O… boleh, Bude.” jawabku segera aku mengunci kontrakanku, lalu pergi ke rumah Bude Tini.
Dengan sepeda motor Pakde Wondo, aku mengantar Bude Tini ke pasar yang ditunjuk Bude Tini.
Pasar cukup ramai pagi itu. Berhubung aku tidak tau tempatnya, Bude Tini menyeret tanganku pergi ke tempat menjual kue.
Lumayan jauh tempatnya masuk ke dalam pasar, tapi aku harus mengakui kaki Bude Tini masih cukup cekatan saat berjalan.
Bude Tini membeli 3 macam kue; pastel, kue pukis dan kue serabi masing-masing 30 buah dan kantong plastik untuk membungkus.
Sesampai di rumah, aku membantu Bude Tini membungkus kue tersebut menjadi 25 kantong plastik @ 3 buah kue sambil kami ngobrol.
Dari situlah aku tau kalau Bude Tini menikah dengan Pakde Wondo belum lama, baru 5 tahun.
Pakde Wonda seorang duda mempunyai 2 orang anak, sedangkan Bude Tini seorang janda tanpa anak. Mereka berdua masih mempunyai hubungan keluarga. Bude Tini adalah anak Paklik dari Pakde Wondo.
Tujuan mereka menikah tentu saja bukan lagi untuk menikmati seks, tetapi untuk menemani Pakde Wondo menghabiskan hari tuanya.
“Tapi pernah gitu, Bude?” tanyaku.
“Ya pernah, diawal-awal menikah, tetapi sekarang sudah nggak. Kamu… sudah pernah…?”
“Belum pernah, Bude. Minta diajarin dong, Bude… biar aku bisa ngerasain bagaimana gituan gitu… he… he…”
Kue sudah dibungkus dan dimasukkan ke dalam kardus bekas mie instan siap dibawa ke tempat arisan nanti sore oleh Bude Tini. Sisanya untuk kami makan dan Bude Tini membuatkan aku segelas kopi, lalu ia duduk di sampingku bersandar di dinding.
“Maaf ya, Bude. Aku nodong langsung…” kataku menjulurkan tanganku ke dada Bude Tini. “Oh… besar, Bude… tetek Bude…” kataku mengelus-elus tetek Bude Tini dengan telapak tanganku dari luar daster panjangnya.
Pemiliknya membiarkan, buah dadanya itu langsung saja kuremas-remas dari luar daster Bude Tini sambil matanya merem melek menikmati.
Mana mungkin Bude Tini menolak aku seorang anak muda yang ingin ngeseks dengannya?
Ia segera melepaskan daster panjangnya, BH dan juga celana panjangnya. Kemudian ia nungging di tempat tidur seolah menyuruh aku memeriksa perabotnya.
Waaww…
Tapi perabot Bude Tini bukan lagi perabot yang masih mulus, sepertinya juga bukan barang ‘second’ bisa jadi Bude Tini menikah sudah lebih dari 2 kali.
Lubang anus Bude Tini sudah bolong berlubang menganga dan sela pantatnya berwarna hitam. Bibir memeknya tembem dengan lubang memek yang sudah kering.
Mau aku tidak entot nanti akan membuat Bude Tini kecewa, mau aku entot, bagaimana rasanya memek macam begitu.
Akhirnya Bude Tini aku setubuhi juga. Lubang memek Bude Tini memang sudah seret, namun berhubung goyangannya super pantatnya nikmat membuat penidku berayun-ayun di dalam lubang memeknya, meletuslah air maniku di rahim Bude Tini.
Kami segera ke kamar mandi membersihkan diri. Pada sore harinya Mbak Juriah datang ke rumahku membawa anaknya.
Mbak Juriah bekerja padaku bahwa Mas Arifin diterima bekerja sebagai TKA di negara tetangga.
Kepergian Mas Arifin tidak membuat Mbak Juriah sedih, karena masih ada aku; suami cadangannya.
Aku dan Mbak Juriah kemudian pindah kontrakan yang lebih besar dengan membawa serta kedua anaknya.
Setelah 3 bulan berlalu aku dengan Mbak Juriah hidup bersama, pada suatu hari kami jalan-jalan di mall, “Pah, itu siapa…?” tanya Mbak Juriah padaku sambil jarinya menunjuk. “Cobs Papa perhatikan baik-baik, Fadilah dengan Mbak Aisha, bukan?”
Fadilah sedang hamil dan tidak tampak pria berjanggut itu di antara kedua wanita tersebut.
Jadi, siapa yang menghamili Fadilah? (2024)
TERIMA KASIH untuk para pendukung cerita ini; Mas Pendi, Mbak Aisha, Fadilah, Mbak Juriah dan Bude Tini.
Tanpa kalian cerita ini tidak akan sampai ke tangan pembaca.