S i r i k

S I R I K

TETANGGA saya, Ibu Tika dan Ibu Siwi, bukan rahasia lagi di lingkungan RT saya, kalau keduanya suka sirik satu sama lain.

Hari ini Ibu Tika membeli mebel, esoknya Ibu Siwi juga membeli mebel, model dan warnanya sama. Tidak lama kemudian Ibu Siwi mengecat rumah, eh… esok harinya Ibu Tika mengecat rumah juga. Merek dan warna catnya pun tidak beda banyak.

Ibu Tika membeli mesin cuci, dapat dipastikan tiga atau empat hari kemudian Ibu Siwi pasti membeli mesin cuci, merek dan warnanya sama pula. Kasarnya, mungkin hanya celana dalam dan BH mereka yang berbeda.

Suatu petang, saya melihat Ibu Siwi keluar dari mini market membawa 2 kantong besar belanjaan. Pasti ia akan mencari becak untuk mengantarnya pulang ke rumah. Dan ketika ia berdiri di tepi jalan menunggu becak yang kosong lewat, saya mendekati dengan sepeda motor saya.

“Mau ikut saya pulang, Bu Siwi?” tanya saya membuka helm yang menutupi kepala dan wajah saya.

“Ooo… boleh… boleh…! Dik Arfan habis dari mana?”

“Dari rumah Bulik ngantar kue bikinan mama,” jawab saya, padahal saya dari lapangan bola nonton pertandingan sepak bola antar kampung.

Bu Siwi naik di belakang sepeda motor saya. Tubuhnya wangi parfum, semriwing menerpa hidung saya.

Saya menghidupkan sepeda motor. Jarak mini market dengan rumah Bu Siwi tidak sampai 1 kilometer. Hanya sekitar 10 menit, saya sudah sampai di depan pagar rumah Bu Siwi.

“Mampir dulu Dik Arfan…” tawar Bu Siwi.

“Terima kasih, Bu.” Lalu saya berbisik pada Bu Siwi. “Dengar-dengar, Bu Tika dengan suaminya mau tur ke luar negeri ya, Bu?”

“Koq Dik Arfan tau?”

“Semalam saya mendengar Pak Leman bertanya cara membuat paspor pada Papa,”

“Dik Arfan dengar nggak, Pak Leman mau tur ke negara mana?” keluar rasa sirik Bu Siwi.

“Wah, nggak tau tuh, Bu Siwi..”

“Tanyain dong dengan papanya Dik Arfan,” kata Bu Siwi dengan semangat.

“Nggak berani, Bu…! Papa nanti bilang saya pengen campuri urusan orang lain,” jawab saya.

“Nanti… Ibu kasih Dik Arfan hadiah deh…” balas Bu Siwi memegangi pergelangan tangan saya.

“Nggak berani, Bu Siwi..! Bener…” jawab saya.

“Dik Arfan tanyain Mama kalau gitu!” kata Bu Siwi.

“Mama orangnya cuek gitu, kayak Bu Siwi gak kenal dengan Mama aja.”

“Ayo dong, bantuin Ibu…!” tangan Bu Siwi yang hangat dan jari jemarinya yang dicat merah itu meremas pergelangan tangan saya. “Dik Arfan mau hadiah apa, bilang deh sama Ibu.”

“Mahasiswa tidak boleh terima gratifikasi, Bu Siwi…” saya membiarkan tangan Bu Siwi memegangi terus pergelangan tangan saya.

Ia tidak begitu cantik. Dibandingkan Ibu Tika, cantik Ibu Tika. Tapi panggulnya lebar, pantatnya semok dan pahanya yang terbungkus celana panjang jins ketat itu padat. Buah dadanya meskipun sudah kendor, tapi masih menawarkan gairah buat mata laki-laki muda seperti saya yang tidak suka buah dada yang berdiri kaku.

“Nggaklah, Dik Arfan…!”

“Tapi saya nggak janji ya, Bu Siwi…”

“Jangan gitu dong, Dik Arfan. Kapan Dik Arfan bisa beri kabar pada Ibu?”

“Nanti saya kabari Ibu di rumah…”

“Ibu tunggu, ya.”

“Iyaa.. aa…”

“Nih, Dik Arfan…!” Ibu Siwi memasukan sesuatu ke kantong celana saya.

Saya buru-buru menangkap punggung tangannya. “Jangan, Bu Siwi…! Saya nggak mau terima uang muka…” kata saya.

Saya tolak pemberian Ibu Siwi. Selekasnya saya menghidupkan sepeda motor saya, lalu pergi.

ooo0ooo

Pagi-pagi Ibu Siwi sudah telepon ke rumah. Untung saya yang angkat telepon, bukan Mama. “Bagaimana kabarnya Dik Arfan?” tanya Ibu Siwi.

“Bu Siwi, nanti kita siangan ketemu di mall saja ya, bisa?” jawab saya.

Ibu Siwi tidak menolak ajakan saya. Dia betul-betul menunggu saya di foodcourt. Saya pun mulai dengan rencana saya, mengajak Ibu Siwi nonton bioskop. Ia tidak menolak saya yang membelikan tiket.

Saya menggandeng tangan Ibu Siwi sewaktu masuk ke dalam gedung bioskop dan mencari tempat duduk. Tentu saja saya tidak memilih kursi yang di depan atau di tengah. Saya memilih kursi baris kedua dari belakang. Dan karena bukan hari libur, gedung bioskop rada sepi.

“Bu Tika turnya ke negara mana, Dik Arfan? Dik Arfan sudah dapat kabar, belom?” tanya Ibu Siwi tak sabar.

Memang begitulah manusia yang suka sirik dengan tetangganya Sudah tidak punya kesabaran dan rasa malu lagi. “Tenang Bu Siwi, kita baru juga duduk.” jawab saya.

“Dik Arfan, nich permen,” saya mengambil satu permen pengharum mulut yang disodorkan ibu 2 anak ini. Satu duduk di SMP dan satu lagi duduk di SD. “Ibu baru teringat beli minuman. Dik Arfan haus nggak?”

“O,.. nggak Bu.Terima kasih.”

Saya menyentuh tangan Ibu Siwi ketika film dudah diputar. “Bu Siwi janjikan saya hadiah apa kalau saya memberitahukan Bu Tika tur ke negara mana?” tanya saya.

Ibu Siwi memandang saya. “Dik Arfan maunya apa? Baju… celana jins?”

Saya menyentuh bibir Ibu Siwi yang berbalut lipstik merah dengan jari telunjuk saya. “Saya mau ini!” jawab saya berani. “Bagaimana Bu Siwi?”

“Wahh, Dik Arfan! Kalau mau cium Ibu kemarin aja, nggak usah sampai di bioskop!” jawab Bu Siwi.

“Lalu, boleh?” saya mendekatkan bibir saya.

Mata Ibu Siwi terpejam. Saya merangkul pundak Ibu Siwi, lalu mencium bibirnya. Film yang tampil dilayar seartistik apapun sudah tidak saya perhatikan lagi ketika bibir Ibu Siwi berhasil saya kulum. Saya lalu memegang buah dadanya dari luar kaosnya. Ibu Siwi melepaskan sedotan bibir saya.

“Jangan, Dik Arfan! Kita di bioskop, Ibu takut kelihatan, siapa tahu kita lagi sial…” ujar Bu Siwi.

“Kalau gitu, saya keluar saja!” kata saya.

“Dik Arfan marah sama Ibu?”

“Kenapa saya harus marah? Ibu takut saya bikin sial, buat apa saya di sini?” jawab saya. “Ibu Tika tur ke KL.” kata saya kemudian mengangkat pantat saya dari bangku bioskop.

Ibu Siwi cepat-cepat memegang pergelangan tangan saya. “Jangan pergi, Dik Arfan. Maafkan Ibu.”

Saya duduk lagi. Kepala Ibu Siwi yang dihiasi rambut hitam sebahu itu merebah di bahu saya. Tangan kanannya menarik tangan kanan saya ke dadanya yang terbungkus kaos ketat warna merah. “Pegang saja Dik Arfan kalau mau tetek Ibu!” kata Ibu Siwi menempelkan telapak tangan saya ke gundukan di dadanya.

Telapak tangan saya meremas tetek Ibu Siwi. Cup BH-nya lumayan keras. Lalu Ibu Siwi mengangkat kaosnya. “KL itu mana sih, Dik Arfan?” tanya Bu Siwi sambil mengeluarkan teteknya dari BH-nya.

Saya tidak segera memberikannya jawaban. Tetek Ibu Siwi yang wangi parfum itu saya isap putingnya yang kecil, sedangkan sebelahnya saya remas-remas. “Ooo… Dik Arfann…. sshh.. ooo…” desah Ibu Siwi, “Pulang yuk, Dik Arfan. Di rumah aja, di rumah Ibu lagi gak ada orang,”

Tangan saya merambah pahanya yang terbungkus celana jins. Ibu Siwi membuka kancing celana jinsnya dan menurunkan ritsletingnya. Kemudian celana jins dan celana dalamnya yang kecil diturunkan sampai di batas dengkulnya.

Tangan saya maju menyentuh bulu kemaluan Ibu Siwi yang lebat dan ia menuntun tangan saya ke vaginanya. “Sudah basah sekali ya, Dik Arfan?” tanya Ibu Siwi.

Saya mencium bibirnya, sekalian saya menekan jari tengah dan jari telunjuk saya ke lubang vaginanya yang sangat basah. Setelah kedua jari saya masuk sampai ke dalam lubang memek Ibu Siwi, jari jempol saya mengurut kelentitnya. Sedotan bibir Ibu Siwi ke bibir saya menjadi sangat kuat. Setelah beberapa saat, meledak erangannya.

“Ibb…ibuuu….. keluuaarrrr…. Diiikkkkk….. oooooo…. oooo….. oooo….” kedua jari saya yang masih terbenam di dalam lubang memek Ibu Siwi, seperti diremas oleh dinding memek Ibu Siwi. Kemudian Ibu Siwi bersandar lemas di kursi.

Saya melepaskan dua jari saya yang basah dari lubang memek Ibu Siwi. “Ambil saja tissu di tas Ibu, Dik Arfan. Lalu, bagaimana dengan punya Dik Arfan?”

“Saya nggak apa-apa, Bu. Bisa lain kali. Bukankah Ibu lagi menunggu jawaban dari saya. KL itu Kuala Lumpur, Bu Siwi.” kata saya.

“Wuuhh… Ibu nyangka ke Amerika!! Ke Kuala Lumpur saja sok begitu!” gerutu Ibu Siwi sambil membereskan celananya.

“Saya keluar dulu ya, Bu!”

“Dik Arfan… Dik Arfan… jangan tinggalkan Ibu!”

Saya tidak menanggapi Ibu Siwi. Saya terus melangkah pergi.