Roda Kehidupan

Roda itu bernama kehidupan. Saat kita berada diatas kadang berputar sangat cepat, namun ketika kita berada dibawah roda itu terlalu lambat berputar kembali. Kamu tau kenapa? Karena kehidupan tak semudah mengayuh sepeda untuk tetap stabil berjalan di atas aspal yg halus.

Sebelumnya ane mohon maaf dan mohon izin kepada jajaran moderator dan satpam sub rum ini untuk memberanikan diri menuliskan sebuah catatan sederhana seorang lelaki biasa yg hidup di daerah lembah Bukit Tidar. Dan teruntuk semua suhu-suhu dan agan-agan dimari, mohon bimbingan dan semangatnya selama ane posting cerita ini. Karena tanpa kalian, rum ini tak akan seramai ini. Dan ketahuilah jadi SR itu menyiksa.

“Uhuk… Uhuk…” Gimana keren kan pembukaan dari gue? Hahaha

Gue harap jika nantinya cerita ini banyak yg ngebaca “keep silent” karena kota gue sangat sempit, ok? Namun jika pada akhirnya nanti cerita ini sepi pengunjung, tak masalah karena gue nulis ini untuk catatan dan memory buat gue untuk melukiskan tentang kehidupan gue yg seperti roda. Terserah kalian semua mau berpendapat cerita ini true story atau fiktif belaka, urusan gue hanya menulis sebuah roda kehidupan.

Gue sadar tulisan gue masih acak-acakan, lendir-lendir pun jarang membasahi cerita ini, sebab kehidupan ini tak melulu harus tentang lendir. Cerita ini dimulai saat gue masih duduk di bangku SMP. Semua nama tokoh dan tempat-tempat instansi sengaja gue samarkan atau gue ganti demi kebaikan kita semua.

Ah… kurasa cukup, rokok gue tinggal berapa isepan lagi. Semoga berkenan di hati kalian semua. “Fiiiuuuhhhh…”

1. Aku dan Kalian

Magelang, Mei 2003

“Duapuluh delapan! Modar koe!” Kataku bungah seraya membanting kartu di atas meja.

Tiba-tiba…

“Taaarrrr…” Konsentrasiku buyar ketika sebut saja Bu Wati melemparkan penghapus papan tulis ke arahku pada jam pelajaran terakhir di hari sabtu yg seharusnya indah ini, iya… Seharusnya.

“ADIIIITTT… SEDANG APA KAMU??” Suara lantang dari seorang guru ke muridnya pertanda keadaan sedang genting.

“Eeemmm… Maaf Bu, iii…ini sedang ngerjain tugasnya.” Jawabku terbata-bata.

Entah Bu Wati percaya atau tidak yg jelas aku selamat dari cerkaman maut sang macan. Ah sudahlah lupakan tentang permainan kartu bernama samgong dengan Prapto barusan.

Telah menjadi kebiasaanku saat pelajaran paling membosankan seantero jagad pendidikan yg dikenal dengan nama FISIKA ini aku selalu sibuk sendiri untuk menghilangkan kepenatan yg mendalam entah dengan ngobrolin kakak-kakak kelas yg cantik hingga seperti tadi, main kartu. Harusnya sih menang aku tadi jika Bu Wati gk mendadak masuk kelas. Jam kosong yg tadi dijanjikan pun musnah sudah.

Oiya, kenalkan namaku Adit Setyo Abadi, nama terkeren yg pernah diberikan orang tua kepada anaknya walau kata temen-temen nama itu adalah hasil jiplakan toko onderdil motor di kotaku, hmmm. Di sebelahku ada Prapto, seorang pemuda asal Jogja yg entah kenapa memilih sekolah di kota kecil ini. Beranjak di bangku depan, ada Novi. Dialah perempuan tergokil diantara perempuan lain di kelas ini. Cantik sih, sayang rada galak. Merekalah sahabat-sahabatku. Sahabat tempat aku mengadu, mengadu dikala perut keroncongan dan tugas sekolah yg membebani setiap siswa manapun di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

“Teeeeetttt… Teeeettt… Teeeeet…” Suara bel yg paling ditunggu-tunggu itu akhirnya terdengar di setiap sudut sekolah SMP 002 ini.

“Let’s Pray Together… Start!” ucap salah satu teman sekelasku yg ditunjuk untuk memimpin doa pulang. “Finish!” tak sampai 20 detik ia menyudai berdoa kami.

“Aaaah… Akhirnya…” Ucap Novi riang.

“Udah keluar Nov?? Lega banget,” sambung Prapto usil, seraya memasukkan buku ke tasnya.

“Eh kurang ajar koe!” Seru Novi. “Kalian mau langsung pulang atau kemana?” Sambung Novi berharap.

“Terserah… Yg penting banyak ceweknya!” Sahut prapto.

“Ah.. Biasa koe Prap!” Balas Novi dengan nada tinggi.

“Ho’oh setuju… Yang banyak ceweknya!” Ucapku antusias.

Dan setelah berdiskusi panjang, akhirnya kami memilih jalan masing-masing, yaitu… Pulang! Keputusan yg diambil setelah tak ada titik temu diantara kita bertiga.

“Ya udahlah pulang aja kita!” Oceh Novi kecewa.

“….”

“Aku pake motor babe nih, mau bareng gk Prap?” Tawarku ke Prapto karena jalan pulangnya searah.

“Enggak-enggak… Prapto nemenin aku nunggu angkot!” Potong Novi cepat.

Mendengar pernyataan Novi, Prapto hanya menaikkan bahu serta menggaruk-garuk kepalanya mengisyaratkan ia sedang kebingungan.

Dengan iming-iming segelas jus segar, akhirnya Prapto setuju ajakan Novi untuk menunggu angkot di siang yg panas ini, dasar Prapto.

Kamipun berpisah di depan kelas. Terlihat mereka berjalan sambil bergurau satu sama lain meninggalkanku. Novi memang usil, kakinya selalu berusaha menjegal Prapto agar terjatuh. Kenapa gk pacaran aja sih mereka! Sangat iri sebenarnya melihat Prapto sedekat itu dengan Novi.

Sambil berjalan menuju tempat parkir warung depan sekolah, aku melihat beberapa kakak kelas yg sedang asik diskusi di bawah pohon beringin. Entah bener-bener membahas pelajaran atau mereka hanya diskusi bentuk celana dalam yg baik untuk mereka.

Kak Arum, Kak Dina, dan Kak Siska. Ketiga cewek primadona sekolah yg selalu menjadi bahan imajinasi liar setiap siswa di sekolah, kecuali pria tampan ini tentunya.

Ah sudahlah… Aku menyudahi pikiran-pikiran kotorku dan memtutuskan untuk berjalan kembali ke tempat parkir. Yamaha Vega merah milik Ayah menjadi motor andalanku di akhir pekan ini.

Setiap akhir pekan aku memang sering memakai motor kesayangan Ayah untuk berangkat ke sekolah, itu karena Ayah libur bekerja setiap akhir pekannya.

Susah payah aku menggenjot motor ini hingga akhirnya, “Greeeng… Greeeng…” Suara mesin motor 110cc ini bekerja sebagaimana mestinya.

Dengan mantap aku berjalan pelan meninggalkan sekolah. Rasa lelah dan haus setelah menggenjot motor tadi membuatku ingin sekedar minum. Sempat aku berfikir untuk nyamperin Novi dan Prapto di warung jus dekat sekolah. Tapi aku tak mau mengganggu mereka yg mungkin sedang asik di warung tersebut, pikirku.

“Oke.. Mari kita beli es kelapa muda, siapa tau ketemu dia lagi!” Gumamku sendirian di atas motor.

Es kelapa muda Alun-alun depan masjid agung adalah tempat favoritku. Selain rasa dan harga yg tak ada tandingannya, suasana di tempat itu sangat sejuk. Hembusan angin sepoi-sepoi khas Magelang mampu membawa setiap insan manusia ke alam bawah sadar mereka. Sangat rileks dan santai.

Hampir setiap sabtu, tiap pulang sekolah aku selalu mampir di warung es tsb. Selain berbagai alasan tadi, tempat itu merupakan tempat yg paling aman utk menghabiskan rokok tanpa ketahuan guru ataupun keluarga.

Setelah memarkir motor, aku langsung menuju ke ibu penjual es tersebut.

“Mak… Satu ya, biasa!” Ucapku santai.

Sembari menunggu pesanan datang, aku duduk di bangku paling pojok tempat biasa aku duduki. Kuambil rokok dan korek yg aku simpan di tas.

“Sssssttttt… Buuulll…” Kepulan asap rokok Star Mild yg harum itu kini telah melayang-layang indah di udara.

Sabtu lalu, aku dan Prapto sama-sama menghabiskan dua gelas es kelapa muda favoritku ini. Untunglah sekarang hanya aku sendiri, jadi tak terlalu banyak mengeluarkan uang. Haha si Prapto emang gk modal.

“Ibu, Satu ya… dibungkus ya bu…”

Terdengar suara merdu nan halus masuk ke gendang telinga lalu merasuk relung hati. Suara yg tak asing buatku.

Aku menoleh, dan.. Hmmm.. Perempuan cantik berambut panjang terlihat mengenakan seragam pramuka dibalut jaket ungu. Dengan tinggi kira-kira 160cm dan bentuk tubuh yg proporsional membuat siapapun pasti kagum dengan sosok itu.

Beberapa detik pandangan kami bertemu, terlihat jelas bibir tipisnya yg basah tersenyum, matanya yg indah memandangku sepersekian detik. Sekarang aku bingung dan mulai salah tingkah.

“Asu ayu tenan!” (Anjing cantik banget). Ucapku dalam hati.

Beberapa minggu ini aku sering melihatnya membeli minuman yg sama sepertiku. Jodoh kali ya? Pede.

Itulah alasan utama kenapa aku berada di warung ini tiap pekannya. Namun sayang sekali ia selalu membungkus minumannya seolah menutup peluangku untuk sekedar memandang wajah cantiknya.

Tak lama kemudian, segelas es kelapa muda telah sampai di depanku. Dengan lagak yg aku manis-maniskan, aku minum es ini pelan sambil berharap ia memandangku.

Namun alih-alih memandangku, nengok aja enggak. Aku malah melihatnya berjalan pergi menjauh dengan plastik hitam di tangan kanannya. Jauh.. Dan semakin jauh. Bodoh banget aku, kenapa gk samperin aja tadi!

“Ah ntahlah!” Kuhabiskan minuman ini dengan cepat dan lekas membayarnya.

“Udah mak… Pinten (Berapa)?” Kataku.

“Seribu aja buat kamu leee…” Jawab Si Emak.

“Eh Mak, itu tadi cewek siapa? Kok sering aku lihat disini?” Tanyaku penasaran sambil merogoh kantong celana.

“Iyo… Setiap sabtu selalu kesini kok.. Ciee naksir ni ye…” Goda Emak.

“Hehehe…” Aku tersenyum malu.

“Nih Mak… Udah, kembaliannya ambil aja buat besok Sabtu!”

“Ini Namanya nitip Dit bukan buat Emak!”

“Hehe… Udah ya Mak, aku pulang dulu!”

“Ati-ati!” Jawab Si Emak cepat.

Sesampainya dirumah aku langsung rebahan dan tentu saja tak henti-hentinya memikirkan cewek tadi. Siapa sih namanya? sekolah dimana? Rumahnya mana? udah punya cowok belum ya? Pertanyaan yg selalu muncul di otakku. Aku mulai berfikir keras gimana caranya utk berkenalan dengannya.

“ADIITT MAKAN DULU!” teriakan khas seorang ibu menyuruh anaknya makan yg membuyarkan lamunanku.

“IYAA BUUU… NANTI…”

Sambil memandang poster Paolo Maldini berjersey AC Milan yg aku tempel di sudut kamar, aku masih melamamun dan memikirkan lagi bagaimana caranya mencari moment yg pas agar bisa kenalan dengan bidadari surga yg gemar minum es kelapa muda si emak.

Malam telah datang, malam minggu buat aku sama sperti malam-malam biasa. Hanya bedanya bisa tongkrong hingga larut malam bareng kawan-kawan sekampung.

Seperti biasa, di pos kamling tempat biasa kami tongkrong telah dimulai permainan gaple oleh kawan-kawanku. Dari hanya main gaple biasa hingga pada akhirnya taruhan. Mulai dari seribu hingga puluhan ribu. Hahaha.. Biasa lah anak muda kampung. Sebagai pemuda yg berbudi pekerti baik, tentu saja aku selalu ikut kegiatan rutin ini. Malam ini milik Kipli, dia berhasil merampas uang milik kami. Sialan si Kipli padahal seumur hidup belum pernah menang tuh anak. Jangan-jangan merdukun, curiga aku.

“Pliiii… Beli rokok lah, menang ini!” Kicau Tomi ke Kipli.

“Anggurnya juga lho Pli!” Imbuh Gatot.

“Buruan Pli!” Hardikku.

Setelah kesepakatan bersama, dengan kembali patungan lima ribuan dan ditambah duit hasil kemenangan Kipli kami pun berpesta.

Beberapa botol anggur putih telah habis kami minum. Sebenarnya kegiatan ini rutin kami lakukan tiap malam minggunya. Siapa saja pemenangnya, dialah yg harus mengeluarkan uang lebih untuk pesta kecil-kecilan ini.

Setelah merasa tinggi dan pening di kepala, kamipun lantas pulang ke rumah masing-masing agar tak ketahuan Pak RT. Bisa panjang urusannya nanti.

Malam pun berubah menjadi siang, hari minggu yg indah selalu aku habiskan untuk tidur panjang. Pusing-pusing akibat pesta semalam masih sedikit terasa saat aku beranjak dari kasur yg empuk ini. Kulihat jam didinding,

waktu telah menunjukkan pukul dua siang.

“Sarapan…” Gumamku sambil berjalan ke dapur.

“Bu… Masak apaan?” Tanyaku melihat Ibuku sedang asik nonton tv.

“Sup… Itu ada ayam, satu aja ambilnya, Ayahmu belum makan!”

Dengan lahap aku makan masakan Ibu yg memang selalu enak. Entah wahyu dari mana yg membuat masakan Ibuku seenak ini. Bahkan juru masak kerajaan Fir’aun pun akan kalah jika beradu masak dengan seorang perempuan bernama Susi Komariyah, Ibuku tercinta.

Selesai makan, tanpa harus mencuci piring bekas makanku, aku langsung menuju kamar dan menguncinya.

“Kreek… Krekk…” Kubuka jendela agar cahaya sore bisa masuk ke kamar yg cukup rapi bagi seorang lelaki sepertiku. Kusulut rokok yg aku simpan di atas lemari. Ada sekitar lima hisapan sore ini setelah aku mematikan dan menyimpannya lagi. Takut ketahuan bos.

Tak terasa, waktu semakin sore. Adzan Maghrib telah terdengar. Usai mandi, tak lupa aku melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Ayah dan Ibu selalu menceramahiku agar taat kepada Sang Khalik.

“Mumpung masih muda Diiiit…” Begitulah kalimat andalan Ibu saat menceramahiku.

Yaaa.. yaaa.. Mumpung masih muda dan aku suka selengekan dan kerap melupakan nasehat kedua orang tuaku ini.

Waktu pun semakin malam, suasana mulai sepi. Hanya ada aku dan lamunanku tentang perempuan cantik, tempo hari. Senyumnya yg manis saat memesan minuman masih terngiang jelas di pikiranku. Ingin aku ‘skip’ hari senin besok dan langsung menjadi hari sabtu, berharap agar bisa melihat lagi perempuan cantik dalam lamunanku ini tentunya.

Hoaaaammm… Tak terasa jarum pendek di jam dinding telah berhenti di angka 11. Mata ini pun tak bisa lagi menahan rasa kantuk yg mendalam. Akhirnya kumatikan lampu yg menerangi satiap sudut kamar ini. Mulailah aku memejamkan mata dan berharap perempuan kelapa muda itu hadir di mimpiku.

2. Kaliurang Sore Itu

Kak Siska : Sekali ini aja ya Dit… Plisss!

Aku: Iya kaaaak… Santai aja lagi…

Hari senin ini tak seperti biasanya, aku bolos sekolah. Jujur ini baru kedua kalinya aku bolos selama duduk di kelas dua, sebelumnya pernah juga dulu bersama Novi dan Prapto di awal tahun pelajaran baru beberapa bulan lalu.

Pagi ini dengan secara tiba-tiba Kak Siska meneleponku melalui hape Ayah dan memintaku untuk menemaninya jalan-jalan ke Jogja, katanya sih untuk refreshing sebelum Ujian Akhir Nasional yg akan dihadapinya beberapa minggu lagi. Gk begitu masalah sih buatku, toh hari senin ini juga hari kejepit kok, karena hari selasa besok tanggal merah. Pasti banyak juga anak-anak yg gk masuk. Ok! Aku bolos hari ini, gk enak kalo harus nolak ajakan Kak Siska yg selama ini bersikap baik kepadaku.

Tentang Kak Siska, dia adalah kakak kelasku. Wajahnya cantik, bener-bener cantik. Aku ingat saat pertama kali kenal dengannya. Saat itu gk sengaja aku lihat Kak Siska ngerokok di belakang perpustakaan sekolah. Keren ya Kak Siska, masih SMP udah ngerokok di sekolah, cewek pula. Ntah karena dorongan apa dulu aku memutuskan untuk nyamperin dan ngerokok bareng di tempat itu. Padahal waktu itu aku lagi disuruh guru biologi ngambil buku paket di perpus. Tanpa pikir panjang aku duduk di sebelahnya, lalu nimbrung dan minta sebatang rokok darinya. “Aku temenin ya… Nanti kalo ketahuan, biar aku aja yg ngaku!” Itulah kalimat pertama yg aku ucapkan kepada kakak kelas yg sedikit naughty ini.

“Ayok Dit…” Ucap seorang cewek di dalam mobil yg berhenti tepat di depanku dengan kaca yg jendela yg terbuka.

“Wuiiih… Pake mobil Kak?” Kataku sedikit kaget.

“Masuk gih!”

“Iya Kak…” Ucapku seraya membuka pintu mobil sedan berwarna pink bergaris hitam milik Kak Siska.

“Helmmu taruh di belakang aja…”

“Hehe, Iya…” Kataku sedikit kikuk karena membawa helm segala, hehe.

“Wah… Mobilnya kok gk pernah dibawa ke sekolah Kak?” Tanyaku membuka obrolan.

“Gk enak aja sama temen-temen kalo bawa mobil ke sekolah, nanti dikira pamer!” Jawabnya sambil membelokkan stir mobilnya ke arah kanan.

Oh… Mungkin itu juga alasan Novi tak pernah menggunakan mobil ke sekolah, takut dikira pamer, batinku. Padahal Novi itu kaya banget sumpah.

“Diem aja sih Dit? Aku ganti baju dulu ya di pom bensin depan…” Kata Kak Siska memecah lamunanku.

“Iya Kak… Aku juga sekalian!” Ucapku santai.

Kamipun berhenti di pom bensin untuk mengganti seragam menjadi pakaian bebas, gk enak juga kan kalo jalan-jalan kayak gini pake seragam sekolah?

Kali ini aku sengaja memakai kaos oblong warna hitam dan membawa jaket adidas biru biar keren aja sih. Tak lama berselang, Kak Siska telah keluar dari toilet dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja.

Seperti yg sudah-sudah, Kak Siska terlihat sangat menggoda iman setiap lelaki yg melihatnya. Jika disekolah ia menggunakan seragam yg kelewat ketatnya, hari ini ia mengenakan kaos model sabrina warna hitam bercorak garis-garis dengan kedua pundaknya yg kelihatan seksi. Tak sampai disitu, untuk celananya Kak Siska memakai hotpants jins yg amat ketat dan pendek. Pahanya terlihat indah seakan meminta untuk diraba. Si Joni pun mulai bangun meronta-ronta.

Sesekali aku mencuri pandang ke Kak Siska, haduuuhh… Ampun deh! Gawat, nangis deh si joni kalo gini caranya.

“Diit… Liatin apaan sih?” Seru Kak Siska cengengesan.

“Eh enggak Kak… Ini tumben jalanan sepi gini,” jawabku sedikit malu.

Perjalanan ke Jogja kali ini sangat lancar. Kak Siska dengan santai memacu mobilnya pelan. Sambil mendengarkan lagu-lagu Jazz yg sebenarnya aku gk ngerti, kamipun larut dalam obrolan ringan seputar tempat wisata dan berbagai jenis kuliner di Jogja.

“Kak… Kita kemana nih?” Tanyaku.

“Emmm… Ngopi di Mall Mallioboro dulu aja kali ya sambil istirahat bentar,” jawab Kak Siska. Dulu belum musim sianida, jadi aman lah. Takut kalo joni minum tu racun.

“Ok…”

Kalo cuma ngopi sih biar aku yg bayar, nanti kalo makan dan sebagainya ditanggung Kak Siska, haha.

Tak lama kemudian sampailah kami di depan mall Mallioboro, Kak Siska memarkirkan mobil yg kami tumpangi di basement yg lokasinya berada di lantai dasar mall.

Setelah memarkir mobil, kami berjalan pelan menyusuri konter-konter pakaian yg baru saja membuka lapaknya di dalam mall yg cukup besar ini menuju sebuah coffe shop.

“Mas, Late dua ya!” Kataku kepada barista salah satu coffe shop yg berada di mall ini.

“Enam puluh ribu mas… Atas nama siapa ya?

“Hahhhh???!?!? Kopi kayak gini aja satunya tiga puluh ribu??” Gerutuku dalam hati. Njiiir sial amat pagi ini. Ludes deh uang jajanku seminggu.

“Mas… Mas…” Ucap sang kasir.

“Iya mas… Ini, atas nama Adit,” kataku lesu sambil menyodorkan uang yg disebutkannya tadi.

Aku menyeret kakiku ke sofa luar dimana Kak Siska telah duduk.

Kulihat Kak Siska sedang membuka hape miliknya. Ntah ngapain gk tau. Kayak ngetik sms, aku gk peduli juga. Masih lemes aku gara-gara dipalak kasir sialan itu.

Kusulut rokok yg aku bawa, laku kuhisap dalam-dalam sambil memandang Kak Siska yg masih asik dengan hapenya. Aku masih ingat betul hapenya siemens c45, baru beberapa orang yg punya hape saat itu.

Selang beberapa saat kemudian, pesanan kami pun datang. Perlahan kuminum kopi yg teramat mahal ini, rasanya enak juga! Pantes mahal banget.

Nampak di depanku Kak Siska juga mengangkat cangkir dan perlahan meminumnya. Kamipun berbincang santai sambil melihat-lihat kendaraan yg berlalu-lalang di depan mall ini.

“Eh Dit, bagi rokok dong lupa beli aku tadi.” Kata Kak Siska tiba-tiba.

“Nih…”

“Thanks…” Ucap Kak Siska yg lalu menyulut rokok telah ada di jarinya.

“Kak… Sering ya kesini?”

“Ya gk sering-sering banget sih… Kenapa?”

“Gk papa kok, asik aja tempatnya!”

“Mau yg lebih asik lagi?” Goda Kak Siska dengan senyuman dan tatapan nakalnya. Semua cowok pasti konak aku jamin hanya karena melihat pandangan matanya ini.

“Mauuu… Ayuk kak ajak aku kak sekarang!” Si Joni tiba-tiba nyaut di dalem celana.

“Hehehe…” Aku hanya tersenyum nahan konak.

“Eh Dit… Dulu waktu kamu liat aku ngerokok di belakang perpus, kamu nilai aku gimana sih?”

“Emmm… Sempurna” Jawabku asal.

“Ihh serius Adiiiit!” Timpal Kak Siska.

“Emmm… Dulu aku pikir keren aja Kak…”

“Keren gimana maksudnya?”

“Secara cewek gitu, ngerokok di sekolah pula! Aku ngerasa suka aja dan pengen kenal gitu…” Ucapku polos.

“Oh…”

“Jadi alasan kamu duduk di sampingku untuk ngelindungin dan ngorbanin diri kamu sendiri dulu itu cuma akal-akalannya kamu aja?” Ucapnya curiga.

“Hahahaa…” Akupun tertawa dan kepalaku ditoyor oleh Kak Siska.

“Dasar!” Haha, yaudah yuk capcus!” Ajak Kak Siska seraya manarik tanganku.

“Kemana nih Kak?” Wah jangan-jangan ke hotel. Yuk kak, si joni nyeloteh lagi.

“Temenin aku cari baju ya… Tapi jangan disini, aku pengen ke Bringharjo!” Kata Kak Siska.

“Oke…” Kataku singkat dan jonipun lemas seketika.

Lalu kami berjalan meninggalkan coffe shop ini, mobil Kak Siska juga masih diparkir di basement mall karena letak Pasar Bringharjo tak begitu jauh dari tempat kami ngopi tadi.

Kak Siska berjalan di samping kiriku menyusuri pedagang kaki lima yg berada di trotoar. Sesekali aku merasakan tangannya yg entah disengaja atau tidak menempel di tanganku, seolah ia berkata “gandeng aku, gandeng!”

Tak lama kemudian sampailah kami di Pasar Bringharjo. Cukup lama juga aku tak mengunjungi tempat ini, seingatku terakhir saat SD bersama Ibu.

Kami berputar-putar di sekitar barat pasar yg khusus menjual pakaian. Ada beberapa pakaian yg menurutku cocok dipakai Kak Siska, namun ia masih merasa kurang srek dengan pakain yg aku nilai.

Setelah lama berputar-putar, akhirnya Kak Siska menemukan baju yg menurutnya bagus, Kak Siska membeli sebuah baju model terusan bermotif batik yg sangat indah berwarna kuning emas dipadu hitam. Dasar cewek, tadi minta saran sekarang malah mutusin sendiri. Eh tapi keren kok bajunya. Aku membayangkan Kak Siska memakainya pasti sangat anggun.

Setelah cukup lama kami mengelilingi pasar ini, tiba-tiba terasa getaran di perutku, ada sms nih. Eh bukan sms, aku belum punya hape. Njiiirr ternyata cacing-cacing di perut udah pada demo. Kulihat Kak Siska masih asyik memandangi berbagai baju yg di pamerkan penjual-penjual di area ini.

“Kak… Makan yuk! Udah siang lho…” Ajakku.

“Oh iya, kelamaan di pasar jadi lupa! Kita makan Gudeg Wijilan aja ya…” Kata Kak Siska.

“Wuih dimana tuh… Kayaknya pernah denger,” jawabku ngikut.

“Eh kamu mau batik juga gk Dit? Aku beliin deh…”

“Gk deh Kak… Makan aja yuk!” Jawabku kelaparan.

“Yauda ayok…”

Kami pun berjalan kembali menuju basement mall dimana mobil Kak Siska diparkirkan. Udara di Jogja sangat panas siang ini, ditambah pakaian yg dipake Kak Siska membuat keringatku malah semakin bercucuran, Haduuuh. Untunglah ada AC mobil Kak Siska yg menjadi penyelamat kami menyejukkan badan.

Tak lama kemudian sampailah kami di Nasi Gudeg Wijilan. Jadi di tempat ini khusus warung-warung makan yg menjual nasi gudeg saja. Sekitar dua puluh warung makan berjejeran menghiasi jalanan ini. Kami pun memutuskan untuk singgah di warung gudeg yg sedikit ramai.

“Mas… Dua ya, sama Es Jeruk dua!” Ucap Kak Siska memesan dua porsi nasi gudeg.

Aku duduk di meja paling pojok warung ini.

Kebetulan tempat ini menyediakan area lesehan yg membuatku bisa lebih santai menyantap gudeg yg telah dipesan.

Kami duduk bersebelahan, sesekali kulihat Kak Siska menyenderkan kepalanya di tembok yg ada di belakang kami, nampak seperti sangat kelelahan.

“Capek ya Kak?” Tanyaku.

“Hehe… Gk kok, santai aja! Tadi cuma agak lelah aja mondar-mandir”

“Oh… Yaudah gih dimakan Kak!” Kataku setelah melihat pelayan meletakkan gudeg pesanan kami.

Aku pun menyantap gudeg ini dengan lahap, karena memang kelaparan. Sangat nikmat sekali masakan gudeg di tempat ini, khas Jogja banget pokoknya!

“Hwoi Kwak.. Gwimana perswiapan uwjiannyaw?” Tanyaku dengan mulut yg penuh dengan nasi.

“Haha… Ngomong apa sih Dit, ditelan dulu baru ngomong!” Balas Kak Siska.

“Hehe… Iwya Kak… Emm… Gimana persiapan ujiannya Kak? Tanyaku kali ini sepertinya sudah jelas.

“Oh… Ya biasa sih, belajar. Aku sih nyantai aja kok!” Jawab Kak Siska.

“Oh…” Jawabku singkat lalu kembali melanjutkan makan.

“Dit, kamu diem-diem banyak fans nya ya? ” Tanya Kak Siska to the point.

“Hah fans?”

“Heem… Tuh Dina aja kayaknya suka sama kamu…”

“Kak Dina?”

“Iya…”

“Biasa lah secara aku kan ganteng gini… hahaha…” Ucapku pede dan kepalaku ditoyor lagi sama Kak Siska.

“Heran aku, kamu merdukun dimana sih? Sampe Dina aja suka sama kamu?” Tanya Kak Siska tersenyum.

“Sial… Ini tuh murni dari kegantengan aku dan sifat aku yg baik suka nolong…” Kataku pongah.

“Belum tau aja sih mereka kelakuan minus kamu! Otak mesum gk ketulungan” Ucap Kak Siska santai.

“Hahaha…”

“Nih…” Ancam Kak Siska mengepalkan tangannya.

“Terus habis ini kemana kita?” Tanyaku antusias.

“Emm… Kemana ya? Gimana kalo ke Kaliurang aja! Aku pengen liat pegunungan nih…” Jawab Kak Siska halus.

“Ok Kak!” Wuih Kaliurang? mendadak si joni tertawa lepas.

Kamipun kembali melanjutkan obrolan ringan dengan manyantap gudeg yg lezat ini.

Setelah selesai menghabiskan makanan, Kak Siska membayar dua porsi gudeg ini. Untung deh Kak Siska mencegahku dengan cepat saat mau membayar. Lalu kami melanjutkan jalan-jalan ini ke Kaliurang seperti yg Kak Siska inginkan tadi.

Perjalanan dari Kota Jogja ke Kaliurang sangat menyenangkan. Sebuah gunung dengan jalan ditengah-tengahnya menggantikan gedung-gedung serta baliho yg terkesan acak-acakan. Gunung Merapi terlihat gagah berani diselimuti kabut yg ada di perutnya. Udara luar kayaknya seger.

Kubuka kaca jendela mobil Kak Siska. Benar, udara sejuk menyambut kami menghilangkan penat perkotaan yg membebani. Lalu kupakai jaket yg daritadi kutaruh jok belakang.

Kulihat Kak Siska nampak lebih segar dengan udara yg sejuk ini. Ia memakai kaca mata hitam yg membuat wajah cantiknya seakan beradu keindahan panorama yg terdapat di tempat ini. Gilak cantik banget mahkluk disampingku ini.

Setibanya kami di tempat yg bernama Taman Nasional Gunung Merapi, kami disambut dengan beberapa orang yg menawarkan kamar buat kami. Yeyyy si Joni melompat bahagia. Namun sayang Kak Siska menolaknya halus, dan saat itu juga Joni murung lagi.

Setelah melewati gerbang masuk, kami lantas berjalan kaki menaiki anak tangga. Tak lama berjalan, Kak Siska menghentikan langkahnya di samping pohon cemara yg tak begitu tinggi.

“Dit… Duduk sini aja deh…”

“Iya Kak…” Jawabku sambil menganggukan kepala.

“Sejuk banget ya disini…” Kata Kak Siska

“Iya Kak… Rileks banget…”

“Eh Dit… Besok kalo aku udah lulus, jangan panggil aku Kak lagi ya…”

“Lho kenapa?”

“Kan aku udah bukan Kakak Kelas kamu lagi…” Jawabnya lalu menyenderkan kepalanya di pundakku.

“Iya deh…”

“Aku pinjem pundakmu ya Dit… Bentar kok,” ucapnya kemudian.

“Dit… Kamu pernah jatuh cinta gk sih?” Tanya Kak Siska lagi.

“Ya pernah dong… Aku kan juga manusia normal!”

“Sakit gk sih jatuh cinta itu?” Tanya Kak Siska masih menyenderkan kepalanya di pundakku, kemudian tangannya menyusup di sela badanku. Wuih ada yg kenyal-kenyal nempel nih.

“Emm… Ya kadang sakit sih, tp kadang seneng juga…” Jawabku sok bijak.

“Kalo kamu mencintai seseorang tapi cintamu tak terbalas gimana?”

“Emmm… Gimana ya, ya sedih sih, kecewa pastinya! Tapi mau gimana lagi, cinta itu tak bisa dipaksakan. Emang Kak Siska lagi jatuh cinta ya?”

“……”

“Kak… Kak…” Panggilku ke Kak Siska.

“…..”

Kulihat ternyata Kak Siska telah tertidur di pundakku. Tak enak hati jika harus membangunkan tidurnya. Lama juga lho dia tertidur di pundakku. Ada sekitar satu jam aku hanya diam membiarkannya tertidur pulas, pegal juga sih sebenernya.

Sambil merokok, kulihat awan gelap datang menyelimuti langit biru, entah kenapa cuaca yg tadinya cerah perlahan namun pasti berubah menjadi gelap. Khawatir akan datangnya hujan, aku pun memberanikan diri untuk membangunkan kakak kelas yg cantik ini dari tidurnya.

“Kak…” Panggilku pelan. “Kak… Bangun Kak… Mau ujan nih…”

Tak ada reaksi apapun dari Kak Siska, namun sesaat kemudian perlahan ia membuka mata indahnya, lalu menoleh ke wajahku dan tersenyum manis dengan raut wajah yg sayu namun tetap cantik.

“Maaf ya Dit… Jadi ketiduran…” Kata Kak Siska tersenyum manis.

“Hehe… Turun yuk! Nanti hujan lho…”

Khawatir akan datangnya hujan, kami berkemas dan beranjak turun. Sialnya, gerimis yg lumayan deras menyambut kami di pintu keluar Taman Nasional Gunung Merapi ini.

Kamipun memutuskan mampir berteduh di sebuah warung didepan pintu masuk yg tadi kami lewati.

“Bu, tempe mendoan kaliyan teh panase kalih nggeh… (Bu tempe sama teh panas dua ya…)” Kataku pada ibu pemilik warung.

Hujan menambah suhu pegunungan di Kaliurang menjadi semakin dingin. Kulihat Kak Siska menggigil menahan dingin dengan pakaian minimnya yg sedikit basah. Kami duduk di kursi bambu, sambil menikmati tempe mendoan dan teh panas.

“Dingin Kak?” Tanyaku basa basi.

Kak Siska hanya mengangguk.

“Bajunya basah lho Kak…”

Melihatnya seperti itu, reflek naluri seorang pria sebagai pelindung wanita pun muncul seketika.

Kulepas jaket yg kupakai dan meletakkannya ke tubuh Kak Siska lalu kurengkuh bahunya pelan mencoba memberikan pelukan yg hangat, padahal aku sendiri merasa kedinginan.

“…..” Ia tersenyum manis. “Kamu kok baik sama aku sih Dit?”

“Hehe, lha gimana lagi Kak? Gk tega aku liat Kak Siska kedinginan gini…”

Hujan semakin bertambah deras menerpa atap seng warung ibu-ibu yg kita tempati ini diselingi gemuruh petir yg semakin membuat bising.'”

Angin gunung yang kencang menambah cuaca menjadi semakin dingin. Padahal jarum pendek di jam tanganku belum menyentuh angka lima. Namun suasana sudah gelap seperti hari yg menyambut malam.

Tak mungkin kami berlari ke tempat parkir dalam hujan yg sederas ini.

“Kok gk reda-reda ya hujannya?” Tanya Kak Siska dalam gemuruh petir.

“Nanti juga reda kok. Badai aja berlalu, apa lagi hujan! Hehe,” candaku.

“Hehehe…”

“Kemana lagi nih kita Kak?”

“Emmm… Sewa kamar bentar yuk Dit, mandi-mandi dulu kita, biar gk sakit. Sekalian istirahat bentar…” Ucap Kak Siska. Fix ini kode keras! Yes akhirnya. Si Joni gembira lari-lari salto penuh kemenagan.

“Hehe…”

“Malah senyum-senyum, gimana? Mau gk?” Tanya Kak Siska tersenyum penuh makna.

“Emmm…. Tapi…”

“Apaan?”

“Yauda yok!”

“….” Kak Siska hanya tersenyum licik.

Jujur rada takut juga sebenarnya mengiyakan ajakan kakak kelas yg aduhai ini. Meski otakku mesum parah, tapi untuk urusan mendaki gunung dan berpetualang ke goa aku belum pernah melakukannya. Jangan-jangan aku nanti diperkosa. Haduh bisa enak nih, dan Si Joni udah meraung-raung aja daritadi.

“Masih ada yg kosong Mas?” Tanya Kak Siska ke pegawai penginapan yg nampak asri.

“Oh ada Mbak…” Balasnya ramah dengan senyuman. Mungkin heran juga mas-masnya ngeliat sepasang ABG nanyain kamar. “Mari saya antar…” Imbuhnya kemudian.

Kamipun mengikuti di belakangnya, tak lama pegawai itu berhenti di depan sebuah kamar yg cukup nyaman. Kamipun dipersilahkan masuk. Ada kasur spring bed, kursi kayu, dan tv 21 in di dalamnya. Wangi juga nih kamar.

“Maaf bayarnya sekarang atau nanti Mas?” Tanya Kak Siska.

“Sekarang Mbak…”

“Yauda ini mas…” Ucap Kak Siska mengeluarkan selembar uang seratus ribu.

“Makasih Mbak, Selamat beristirahat…”

Petugas itupun meninggalkan kami dan menutup pintu kamar. Kak Siska duduk di atas kasur dan menyalakan tv dengan remot yg ada di sampingnya. Aku duduk di kursi kayu lalu membuka soft drink yg ada di atas meja daritadi, mungkin fasilitas tambahan pikirku.

“Sini Dit duduk sini…” Ucap Kak Siska sambil menepuk kasur.

“Basah Kak bajuku…”

“Copot aja sih, susah amat…”

“…..”

Lantas akupun melepas bajuku dan duduk disamping Kak Siska. Tanganku tak sengaja menyenggol pahanya yg putih mulus.

“Kamu kenapa gugup gitu?” Tanya Kak Siska.

“Enggak kok…”

Tiba-tiba Kak Siska udah nyender aja di badanku. Bajunya sedikit basah.

“Bajunya basah lho, ganti batik yg tadi beli aja Kak!”

“Iya habis ini, copotin dong Dit…” Ucapnya santai. Iya santai, akunya yg gugup.

“Emmm….”

“Ah kelamaan!” Potong Kak Siska lalu melepaskan baju tipisnya.

Njiirrr…. makin konak aja aku. Saat ini Kak Siska hanya menggunakan bra warna hitam dan celana hot pants yg teramat pendek. Terlihat bentuk tubuhnya yg indah. Perutnya nyaris tak ada lipatan lemaknya, belahan dadanya nampak seperti aliran sungai yg melintasi dua gunung merapi dan merbabu. Dan aku gk tau mesti ngapain sekarang.

“Kak…”

“Iya Dit…” Jawab Kak Siska pelan sedikit mendesah. Ah sial makin konak aja aku.

Mukaku pun menjadi merah saat ini, dan aku merasa darahku mulai berdesir. Jantungku berdegup lebih keras dari biasanya. Si Joni makin tak terkendali meronta-ronta di dalam celana.

Tangan kiri Kak Siska yang telah merangkulku menjelajahi tanganku, naik pelan-pelan ke lengan dan sampailah di leherku. Lalu tangan kanannya tiba-tiba mulai masuk kedalam celanaku.

Dengan perlahan namun pasti tangan Kak Siska menyentuh si Joni yang saat ini telah mengeras. Akupun memejamkan mataku. Mendapat perlakuan seperti itu, Si Joni makin tak terkendali. Maklum ini kali kedua kali si Joni dipegang orang lain, pertama dokter sunat dan kedua Kak Siska. Dengan lembut tangan Kak Siska mulai bergerak naik turun menggenggam si joni. Bibir tipisnya saat ini telah bergeriliya di leherku.

“Ah…” Desahku pelan.

Tak lama kemudian aku dibimbingnya untuk berdiri, akupun mengikuti keinginannya. Kak Siska saat ini duduk di depanku. Wajahnya tepat berada di depan Si Joni. Tangan Kak Siska bergerak melepaskan kancing celanaku. Wajahnya pun bergeriliya di perutku dan terasa lidahnya menjilat perutku naik turun.

“Ah Kak…”

Lalu dengan giginya Kak Siska mulai memelorotkan celana dalamku dengan pelan-pelan ke bawah. Tangannya membantu dengan menarik tali celana dalamku yg berada di pantatku untuk turun kebawah.

“Slruuupp…” Terdengar suara Kak Siska yang telah menelan habis Si Joni kedalam mulutnya. Saat ini Joni telah berada ke dimensi lain.

Tak lama si Joni pun dilepaskannya “Pluuukk… “

“Diiiit…” Ucap Kak Siska memandangku dari bawah.

“Iya Kak…”

Bersambung…….