LA GRANDE STORIA
La Grande Storia 1 : Paragraf kedua.
“Pasti.., jalan dulu yah.”, jawabku sambil mengusap kepalanya lembut.
“Ishhh.., apa lo liatin gue gitu?”, Cendol pun tersenyum tersipu menerima perlakuanku dan bertanya padaku saat aku belum juga beranjak dari hadapannya.
“Ummmmm, Ndol mik cucu dong bhehehe..”, cengirku tanpa dosa.
“Anjay lo!”, teriak Cendol sambil menepok jidatnya dengan telapak tangannya.
“Dikit..”, rajukku.
“Masuk, tutup pintu”, perintah Cendol.
Akupun segera masuk ke dalam kam dan menutup pintu.
Sesaat setelah menutup pintu dan berbalik ke arah Cendol aku lihat dia sedang melepas kancing kemejanya.
Seksi!
Toket sekelnya kini hanya berbalut bra hitam, pemandangan surga terpampang di hadapanku.
Aku berjalan mendekati Cendol, dan dalam posisi berhadapan tanganku segera menuju punggungnya untuk mekepas kaitan bra nya.
Plass!
Sepasang toket ranum menggantung indah, aku memandangnya takjub.
Merasa aku gak segera bertindak, Cendol merengkuh kepalaku membenamkan ke dadanya.
“Kelamaaan…”, sewot Cendol.
“Mmmmhhhhh…”, kukecup lembut puting kanannya.
“Ughhhhh..”, lenguh Cendol sambil meremas rambutku.
Lalu aku kulum puting pink itu bergantian dengan lahap.
Tanganku yang gemas ikut beraksi meremas lembut kedua toketnya.
“Ummmmhhh, udah Puk. Elo mesti gawe”, cegah Cendol dengan senakin meremas rambutku.
“Mmmmmhh, bentar ahhh srrrppphhhh..”, lenguhku sambil menggelitik puring Cendol dengan lidahku.
“Ihhhh, Kerupuk! Udahh.., liath ituhh jam berapahh?”, cegah Cendol sambil berusaha meekepaskan kulumanku di putingnya.
Tsk kuhiraukan Cendol, kini kusedot kuat bongkahan toket kirinyadengan kuat.
“Ummmmmmmnnhhhh, ahhh!”, sambil kulepas sedotanku.
Terlihat merah bekas cupanganku disana.
“Bhehehe..”, cengirku ke arah Cendol.
“Kampret lo! nakal banget si lo, tuh kan merah”, sungut Cendol.
Ku raih lehernya dan kulumat lembut bibirnya.
“Mmmmmhhhhh..”, desah kami berdua.
“Udahh, ntar lo minta lebih. Sekarang lo gawe yang bener”, kata Cendol setelah melepas lumatanku.
“Iyeee bawelllll….”, jawabku.
“Huuh, dasar Kerupuk jelek”, sungut Cendol.
Setelah berpamitan untuk yang kedua kalinya pada Cendol, akupun segera bergegas dari hadapannya untuk pergi ke kedai.
Yap, hari ini aku menjemput Cendol dari kampus karena mobilnya sedang diservis.
Dia tadi brangkat ke kampus naik taksi karena aku belum bangun saat brangkat ngampus.
Alesan ga nganter? Belum bangun vroh, ngebo tidurnya. Bhehehe.
Kupacu motorku ke kedai 2 di bilangan Jakal.
Selama perjalanan pikiranku tak lepas dari sosok Cendol.
Yuhuu, setelah berbagai macam jalan yang berliku kadang ‘basah’ saat ini aku dan Cendol resmi pacaran mblo. Bhehehe.
Ini semacam paragraf kedua dalam perjalanan hubunganku dengannya.
Asli, sebenernya ga nyangka kalo aku bisa dapetin Cendol.
Manusia acakadut seperti aku bisa dapet cewek kayak Cendol yang cantik tapi (kadang) galak bhehehe.
Milan yang bejo apa Denny yang khilaf coba?
Tak terasa aku sudah nyampe kedai, begitu masuk kulihat Eno dan Febi sedang bersiap.
“Widiww, rajin yah…”, sapaku ke mereka berdua.
“Eh mas Milan…”, jawab Eno.
“Yadong mas, kita gitu loh..”, timpal Febi.
“Ntaps!”, jawabku sambil mengacungkan dua jempol ke arah mereka.
Aku bergegas ke belakang buat menaruh jaket dan tas.
Kubuka hp lalu mengabari Cendol kalo udah sampe kedai.
Setelah itu tak lupa aku juga menanyakan keadaan kedai 1 yang di jaga Vivi dan Rani, syukur alhamdulillah semua lapan nam. Bhehehehe.
Aku kemudian menuju ke meja racik untuk membuat secangkir kopi dan duduk di sudut kedai yang aku jadikan sebagai meja kantor.
Ku cecap kopi itu lalu kubakar sebatang kretek, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asap pekatnya.
Ahhh, mantabh djiwa! Bhehehe.
“Mas Mil, ini laporan penjualan kemaren”, Eno tiba-tiba menghampiriku sambil membawa uang dan catatan penjualan.
“Okey, gimana kemaren? Rame kan?”, tanyaku sembari menerima sodoran Eno.
“Lumayan mas..”, jawab Eno singkat.
“Sipp lah, semangat ya En, semoga hari ini rame”, jawabku.
“Aamiin mas..”, timpal Eno seraya berlalu ke depan.
Aku lalu mencatatkan ke dalam buku pembukuan, setelah beres lalu ku masukkan laci buku pembukuan itu dan menguncinya.
Hlo to enak tenan gaweanku sekarang, bhehehe..
Ku buka hp ku dan ternyata ada pesan BBM dari mbak Dian, sepuluh menitan yang lalu.
“Lan, dimana?”
“Di kedai 2 mbak, gmn?”, segera ku balas pesan itu
“Oh, gmn?”
“aman?
“jaya di udara mbk x)))”
“haha. good”
“eh mbk posisi dmn?”
“69 Lan hahaha”
“ngggg…”
“hahah dikontrakan Lan”
“gmn”
“mo laporan duit mbk bhehehe”
“Yawis kesini aj”
“Okok”
“tp tak mampir kedai 1 dulu tapi y mbk”
“ambil duit sekalian ngecek anak2”
“Milan gaya skr ya hahah”
“boss kecil kan ya skr saya bhehehe”
“Seraaah dah haha”
“yawis tak tunggu di kontrakan ya”
“Shap mbk boss!”
Setelah ngobrol sebentar dan ngasih arahan ke Eno dan Febi aku segera meluncur ke kedai 1.
Begitu nyampe aku langsung membereskan keperluanku dan cuss menuju kontrakan mbak Dian.
Cusss..
Dan sekarang aku sudah ada di depan kontrakan mbak Dian.
“Aku udah di depan mbk”, kukirim pesan ke mbak Dian kalo aku udah sampe.
“Lgsg ke kmr ku aja Lan.”
“Oke”
Kuketuk pintu kamar yang terbuka separuh itu.
“Masuk Lan..”, kata mbak Dian dari dalam.
Kubuka sepatu lalu buka pintu, dan..
Jreengggg…
Sesosok wanita bercelana pendek dengan berbalut tanktop tidur telungkup menghadap laptop dengan beberapa buku berserakan di sekitarnya.
Tubuh yang pernah berbagi peluh juga lenguh denganku, aku tertegun sesaat berdiri di depan pintu.
Segera aku menguasai keadaan.
“Sore mbak, sibuk nih kayaknya..”, sapaku.
“Mmmhh, iya nih lagi kejar deadline skripsi”, jawab mbak Dian sambil bangun dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar mengendurkan ototnya.
“Jangan spaneng mbak, istirahat dulu. Nih tak kasih duit bhehehe..”, kataku seraya duduk dan membuka tasku ngambil duit kedai.
“Hahaha, aseeekkk..”, jawab mbak Dian smringah.
Akupun menceritakan situasi kedai dan tetek bengeknya.
Mbak Dian tentu hepi dengan progres kedai yang oke.
“Nyante kan Lan? Ngopi dulu ya pusing kepalaku dari tadi makan buku mulu..”, kata mbak Dian setelah beres bahas. bab perkedaian.
“Boleh, aku yang bikin ya…”, jawabku sambil beranjak menuju dispenser.
Segera kubuat dua cangkir kopi dan membawa ke hadapan mbak Dian.
“Yuhuuu, mari ngopiii..”, kataku.
“Makasih Lan.”, timpal mbak Dian sambil mencari rokoknya.
Setelah mencicipi kopi buatanku lalu mbak Dian menyulut rokoknya.
Akupun mengikutinya dengan menyulut kretek favoritku.
“Enak kopi buatanmu Lan..”, pujinya sesat setelah menghembuskan asap rokok pertamanya.
“Pastinya, Milan gitu..”, sombongku dengan nada becanda.
Kamipun ngobrol ringan sambil sesekali menyerutup kopi dan menghisap rokok masing-masing.
“Lan, hobi amat ama rokok gituan?”, tanya mbak Dian.
“Ini? ini rokok surga tau mbak bhehehe”, jawabku sambil memperlihatkan rokokku.
“Dih, apaan. Rokok dukun itu hahaha”, saut mbak Dian.
“Yeee, daripada punya mbak, kecil gitu apaan ga berasa”, timpalku.
“Enak aja, rokok elit ini mah”, sewot mbak Dian.
Tak terasa uda habis sebatang kami ngobrol dan kopi mulai mendingin.
Mbak Dian tiba-tiba menghentakkan kepalanya ke kiri dan kanan bergantian.
“Kenapa mbak?” , tanyaku.
“Ga tau Lan, pusing. berasa berat ini tengkuk”, jawab mbak Dian.
“Coba sini aku pijit”, tawarku.
Maaaakk, jindul lancang tenan aku ngomong gitu ke mbak Dian.
Kalo nolak jelas bakal malu aku dan mbak Dian pasti mikir aku punya niat jelek.
Mbak Dian menatapku sesaat lalu duduk bersila membelakangiku.
“Dari tadi kek..”, kata mbak Dian sambil menggelung rambut panjangnya ke atas.
“Bhehehehe.. “, aku tertawa kecil tengsin mendengar perkataan mbak Dian.
Byuhhh, leher jenjang mbak Dian terlihat tanpa penghalang.
Mulus.
Aku beringsut ke belakang tubuh mbak Dian dan mulai memijit bahu mbak Dian.
Pikirankupun melayang ke persetubuhanku dengan mbak Dian beberapa waktu lalu.
Ughhh, hal itu membuat kontolku sedikit menggeliat.
Masih tanpa kata aku terus memijit mbak Dian yang terlihat menikmati pijitanku.
“Kok diem Lan, hayo mikir mesum kan kamu?”, skak mbak Dian.
“Ehh, ngggg.., gak kok mbak”, jawabku gelagapan.
“Hahaha, yakin?”, cecar mbak Dian.
“Emmm, dikit sih mbak, inget kemaren pas bobok tumpuk bhehehe..”, jawabku dengan mencoba santai.
“Bhahaha, dasar! Eh iya gimana kabar Denny kemaren?”, tanya mbak Dian sambil terbahak.
Akupun menceritakan bagaimana aku setelah cabut dari mbak Dian sampe menemukan Cendol di pantai.
“Oh gitu, mmmmmhhh…”, kata mbak Dian begitu aku selesai cerita sambil sedikit mendesah saat tanganku memijit lembut leher dekat telinganya.
“Enak mbak?”, tanyaku.
“Geli Lan hihihihi..”, saut mbak Dian sambil mencoba melepaskan dari tanganku.
Suasana menjadi hening.
Tiba-tiba mbak Dian mebalikkan badan menghadapku, menatapku.
“Aku tau tadi kamu mikir apa Lan, pun denganku.”, kata mbak Dian pelan sambil menatapku.
Aku cuma bisa diam, deg-degan.
“Lan..”, panggil mbak Dian lirih sambil menyampingkan tali bra dan tanktopnya ke lengan atas.
“Ttt.. tt.. tapi mbak..”, aku tercekat.
Seketika bayangan wajah Cendol membayang di hadapanku.
Dilema.
Cendol dan salah satu orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Aku terpaku, diombang-ambing bimbang.
Dadaku bergemuruh, kepalaku gaduh.
“For the last Lan…”, lirih mbak Dian sambil menatapku dengan mimik wajah sendu.
Cendol, mbak boss, Cendol, mbak boss, Cendol, mbak..
Duh,
Maafin aku Ndol..