Underestimated
Berbekal kata kata perpisahan dari tetangga yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri itulah dengan mantap ia menjajakkan kakinya di kota besar ini. Kota metropolitan yang menjadi ibukota Negara ini, ia tujui dengan cara yang berbeda dengan pendatang lainnya. Ia mengendarai vespa hijau berjenis Veloce keluaran tahun ’75 dari kota dimana ia dibesarkan. Selama 5 hari 5 malam, ia mengendarai teman hidupnya yang merupakan barang berharga baginya karena itu adalah pembelian sang mendiang ibunya untuk sampai di kota ini. Maksud ia untuk datang ke kota ini adalah untuk menyambung hidup dengan menerima permintaan atasan tempat ia bekerja untuk pindah ke kantor pusat perusahaan di kota ini.
Arga Lanang Wibawa, seorang yang menganggap dirinya hidup di dunia ini sendiri semenjak ditinggal ibunya. Apalagi ditambah dengan lika liku hidup setelah ia ditinggal oleh ibunya. Ayah yang selama ini ia anggap sebagai ayahnya sendiri adalah tak lain ayah tiri yang hanya menganggap ibunya sebagai persinggahannya saja. Dan dengan gampangnya beliau meninggalkan ibunya dan membawa semua harta yang telah dikumpulkan bersama ibu Arga. Sudah berbagai rintangan hidup yang ia jalani sampai ia bisa meluluskan kuliahnya dengan biaya nya sendiri dan bisa mendapatkan pekerjaan yang sudah cukup dibilang mantap dalam usianya yang masih menginjakkan umur 25 ini. Dengan berat hati pula ia meninggalkan kota tersebut yang telah ia diami semenjak diajak oleh ayahnya tersebut untuk tinggal di kota ini.
Sekarang, Arga telah berada di depan rumah dengan alamat yang dikasih oleh mendiang ibunya sebelum ia meninggalkan Arga untuk selama lamanya saat ia masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar dimana kejadian itu terjadi 12 tahun yang silam.
“Nak, gimanapun ayah kamu, kamu jangan marah sama dia ya. ingat kata ibu baik baik ya nak. Dan jika kamu ingin menemuinya ini alamatnya. Dan maaf ibu gak bisa bahagiakan kamu dengan semestinya. Jaga diri kamu baik baik ya Arga. Ibu sayang Arga.”
Namun, ia tak mendapati orang yang di tujunya tersebut. Arga menyadari akan susahnya mencari alamat orang yang sudah ia pegang sejak 12 tahun silam. Sekarang ia tidak ada pilihan untuk kembali hidup seperti sebelumnya. Yaitu dengan mengontrak rumah atau mungkin kos sambil mencari keberadaan ayah tirinya tersebut.
“Kamu dari pekanbaru nak?”
“Iya bu.”
“Tinggal dimana?”
“Aku baru aja nyampe di Jakarta bu.”
“Emang kamu gak ada saudara disini.”
Arga hanya menggeleng menjawab pertanyaan seorang penjual nasi goreng di kawasan tak jauh dari alamat pemberian ibunya. Sudah seharian Arga mengendarai vespa kesayangannya untuk mencari alamat yang ia pegang selama ini. Sampai sampai lupa akan makan.
“Trus kamu mau tinggal dimana?”
“Aku akan nginap di musholla pertamina dulu buk. Besok saya nyari kontrakan saja. Udah malam juga.”
“Atau kamu tinggal sama ibu saja.”
“Maaf buk. Apa ibuk tidak takut sama saya? Gimana kalau saya orang jahat.”
“Ga mungkin juga orang jahat bakalan ngasih makan kucing jalanan kan.”
“Hmmm.. aku suka sama kucing bu. Terima kasih atas tawarannya bu. Saya juga minta maaf gak bisa menerima kebaikan ibu, soalnya dari sini kantor saya terlalu jauh bu.”
“Kamu udah bekerja?”
“Iya bu, saya dipindah tugaskan ke sini. Senin depan saya sudah mulai masuk bu.”
“Ya udah, kamu harus sering sering ke sini ya.”
“Iya bu. Makasih banyak ya bu.”
Arga kemudian mengendarai vespa kesayangannya meninggalkan ibu penjual nasi goreng yang kebetulan juga berasal dari provinsi Riau namun tidak berasal dari kota yang sama dengan Arga. Sekarang Arga sudah mencapai pertamina dimana ia hendak mencoba menginap mengakhiri hari hidup itu. Arga langsung meminta izin kepada koordinator SPBU melalui telpon, ia mendapatkan nomor HP tersebut dari pegawai SPBU yang memang masih bertugas.
Disaat ia memarkirkan vespanya, ia melihat ke arah pengisian SPBU ada sedikit kegaduhan yang terjadi. Arga langsung menghampiri kegaduhan tersebut.
“Kenapa pak?”
“Ini dek. Mbak ini sepertinya mabuk. Bahaya dia nyetir sendiri. Emosinya aja gak ke kontrol, sampai sampai ribut sama si Robi”
“Hmmm… aku kirain kenapa pak. Aku ke sana dulu ya pak.”
Arga pergi meninggalkan keributan yang sudah mereda itu dengan tujuan menghindari hal hal yang diluar kuasanya. Bukannya Arga tidak mempunyai simpati atas gadis yang mengendarai lancer evo 4 tersebut. Namun, ia menghindari saja hal hal yang memang tidak harus ada ia didalamnya. Apalagi yang berhubungan dengan minuman keras, telah ia benci sejak dahulu. Setelah ia keluar dari toilet SPBU tersebut ia terkejut akan wanita yang mabuk tadi sudah berada di depannya seperti menanti giliran memakai toilet ini.
“Lama amat sih”
“Maaf mbak, ini kan WC cowok. Cewek disana tuh.”
“Udah lah ya. disana gelap juga tuh. Awassss, gue udah kebelet nih.”
Kembali untuk kedua kalinya Arga menghindari akan hal yang ia takutkan tadi. Arga juga tidak mengambil pusing akan hal apa yang akan dilakukan oleh wanita tersebut. Arga langsung merebahkan dirinya di mushalla yang hanya berukuran 5 x 3 meter tersebut. Sesaat ia hendak menutup matanya, ia dikejutkan dengan kehadiran wanita tadi yang sudah masuk ke mushala tersebut.
“Lo tidur disini?” Arga pun menjawab hanya dengan anggukan.