DOSA-DOSA BERKARAT
Sambil menunggu rilis remake ‘Badai Nafsu’ dan ‘Riwayat Sesat’ yang masih dalam progress. Cerita ini hasil keisengan ane yang lain. Cerita ini hanya saya bagi dalam tiga bagian. Tidak usah berjilid-jilid, takut tidak kelar… ahaha. Ntar capek-capek nulis panjang, para suhu dah bosen. Tiga bagian sajah, yang di posting tiap 2 minggu.
Selamat membaca.
DOSA-DOSA BERKARAT
Bagian ke I
….
Napas Bu Jubaedah mulai terengah oleh desakan hasrat birahi yang memuncak. Wanita setengah baya itu sudah tidak sabar untuk merasakan kenikmatan vaginanya disodok penis coklat panjang milik mang Ikin. Tubuh kerempeng pria berusia 50 tahun itu bersandar santai di atas sofa, ketika bu Jubaedah merangkak menaiki tubuhnya. Pantat besar nan bulat wanita itu mengayun dan menggesek di penis mang Ikin dalam posisi mengangkang. Vaginanya sudah sangat basah, ke dua tangannya bertumpu ke sandaran sofa di samping kiri-kanan kepala mang Ikin. Kedua bongkah payudaranya yang besar, menggelembung, tertahan beha dan belahan leher dasternya yang tertari ke bawah.
Vagina gemuk berjembut lebat itu telah merekah, bersiap menelan penis mang Ikin yang berdiri tegak dibantu tangan pria itu sendiri.
“Maaang … sssh,” desis Bu Jubaedah merasakan geli-geli nikmat dari gesekan helm penis mang Ikin di klitorisnya.
“Ayok, Buk…,” mang Ikin mengangkat pantatnya untuk mulai menyerang.
“Jangan cepat-cepat, Maaang … udah sepuluh tahun anuku nggak dianu, eh,” erang Bu Jubaedah dengan pipi merona merah karena malu. Sambil memejamkan mata, pelan-pelan ia menurunkan pantat besarnya.
Namun, tiba-tiba ….
“Keparat! Bajingan!” terdengar bentakan menggelegar.
Tiba-tiba tubuh kurus mang Ikin terangkat oleh kedua tangan seseorang yang kemudian dibantingnya ke atas lantai. Saking kagetnya, Bu Jubaedah sampai terjengkang juga ke atas lantai.
Bu Jubaedah dan mang Ikin hampir semaput melihat sesosok tubuh tegap bertolak pinggang dengan wajah murka.
“He-Herry?” jerit Bu Jubaedah, rasa sakit karena jatuh bukan apa-apa dibanding kekagetannya dengan kedatangan tiba-tiba pemuda itu.
“Aki-aki bangsat! Pergi kau sebelum kuseret ke jalan!” bentak pemuda yang bernama Herry itu dengan sangat marah, menendang pantat mang Ikin yang tengah merangkak bangun.
“A-ampun, Deeen! Mamang yang ….”
“Enyah!” potong Herry dengan wajah merah padam. Menendangi baju dan celana pria tua itu dengan jijik.
Tanpa berkata-kata, dengan terburu-buru, mang Ikin cepat memakai kembali celana dan bajunya, lalu tanpa menoleh lagi. Pria tua itu kabur terbirit-birit keluar rumah. Mendorong gerobak sayurnya tanpa berminat lagi untuk berkeliling menjajakan sayuran. Mungkin selanjutnya, tukang sayur itu akan mencari rute lain dalam berdagang sayur.
Herry menutup pintu yang terbuka lebar, kemudian membalikan tubuhnya dengan wajah sangar. Menatap Bu Jubaedah, ibunya, yang tengah sibuk membetulkan dasternya kembali dengan tubuh gemetar dan wajah pucat. Tidak berani ia menatap wajah anaknya itu. Entah alasan macam apa yang nanti ia katakan kepadanya. Rasa panik, malu, dan takut melanda pikirannya.
Ketika Bu Jubaedah mendongak. Herry sudah duduk bersandar di sofa, persis tepat seperti posisi mang Ikin duduk barusan. Tatapan pemuda itu begitu tajam menusuk.
“N-nak … ibu mohon maaf. I-ibu khi-khilaf. Kamu tahu sendiri ibu ….”
“Minta maaflah sama ayah!” tukas Herry dengan nada tajam.
Air mata mulai menetes dari sepasang mata wanita setengah baya itu.
“Memalukan!” wajah Herry terlihat sangat marah. “ayah di dalam kamar tidak berdaya, Bu. Dia sakit! Tega sekali kau!” ledaknya tanpa tertahan.
Air mata Bu Jubaedah mengucur deras, “ibu khilaf, Nak!”
“Khilaf?” dengus Herry sinis, “karena 10 tahun lebih ayah tidak ada kemampuan untuk mengewemu? Dan kau jadinya merendahkan diri untuk melonte?”
Mata Bu Jubaedah terbelalak kaget mendengar kata-kata yang sangat kasar dari anaknya itu.
“Jaga mulutmu!” bentak Bu Jubaedah dengan wajah merah padam.
“Pelacur! Lonte murahan! Memekmu dibayar sayuran ya, atau gratisan?” balas Herry tanpa tedeng aling-aling.
Gemetar tubuh Bu Jubaedah mendengar caci-maki dari Herry. Hatinya tidak percaya anaknya sendiri tega mengeluarkan kata-kata sekejam itu kepadanya.
“Tutup mulutmu!” jerit Bu Jubaedah sambil bangkit dengan tubuh gemetar menahan marah. Tangannya melayang hendak menampar. Namun Herry lebih cepat, tangannya menangkis tamparan ibunya, sementara tangan yang lain balas menampar.
“Plak!”
“Akh!” tubuh Bu Jubaedah terpelanting jatuh terduduk, hampir menimpa meja kaca.
“Kau … kau anak durhaka! Anak anjing! Pergi kau … pergiiii!” jerit Bu Jubaedah dengan hati sakit.
“Pergi?” seringai Herry dengan wajah mengejek, “apa kau lupa? Rumah ini milikku, kucicil sendiri!” katanya sambil kembali duduk di sofa bertumpang kaki.
“Baik! Aku yang akan pergi!” kata Bu Jubaedah dengan hati sangat marah. Ia bangkit dengan cepat. Pipinya terasa berdenyut sakit. Jelas tamparan Herry sangat keras, tapi yang lebih sakit lagi tentulah hatinya.
“Diam di situ!” bentak Herry dengan suara keras.
Tapi Bu Jubaedah tidak perduli, ia tetap melangkah menuju kamarnya dengan maksud memberesi pakaiannya dan pergi dari rumah anak durhaka itu.
“Kubilang diam di situ!” bentak Herry dengan marah, dengan cepat dia mencegat langkah ibunya. Menarik tangannya dengan kasar. Tubuh Bu Jubaedah terhuyung lalu kembali jatuh ke lantai. Tidak bisa dibayangkan sakitnya 3 kali jatuh ke lantai yang keras itu.
“Aku ingin pergi dari rumah ini, anak durhaka! Kau bukan lagi anakku!” jerit Bu Jubaedah sambil menangis. Dia mencoba bangun, namun Herry mendupaknya pundaknya hingga terjengkang kembali.
“Bagus, kalau memang aku bukan anakmu lagi! Tapi kau tidak kuperbolehkan pergi dari rumah ini,” geram Herry sambil bertolak pinggang.
“Aku tidak akan sudi tinggal di rumah laknat ini!” bentak Bu Jubaedah sengit.
“Oke! Silahkan pergi. Tapi saat kau keluar rumah ini, dalam keadaan telanjang. Semua pakaianmu dibeli pakai uangku! Tidak kuijinkan kau membawa sehelai benangpun keluar rumah ini!”
“Anak anjing haram jadah!” Bu Jubaedah menghamburkan makiannya dengan sangat marah.
“Dan tentu, saat kau keluar rumah, segera kuumumkan persetubuhanmu dengan si Ikin tukang sayur itu. Akan kugusur dia. Biar kau diarak keliling kampung dan dirajam warga!” lanjut Herry dengan kejam.
Bu Jubaedah ternganga ngeri. Sungguh ia tidak mengerti, anaknya itu kerasukan iblis darimana sampai tega mempunya niat sekejam itu. Ia kehabisan kata-kata. Napasnya memburu menahan amarah yang teramat sangat. Ia mengingat-ingat, apakah ia mempunyai kesalahan apa terhadap anaknya itu? Seingatnya, ia membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang, mengajarinya sopan santun. Bahkan dulu ketika ayahnya yang penaik darah itu memarahi dan memukulnya, ia sendiri yang melindunginya. Lalu apa kesalahannya? Air matanya kembali berderai turun.
“Kau … kau kenapa sekejam itu, Nak? I-ibu … tadi itu sungguh ibu khilaf. Ibu berani bersumpah, itu pertama kali ibu hampir melakukannya. Sukurlah kamu datang, hingga ibu tidak keterlanjuran. I-ibu mohon maaf, kalau … kalau kejadian itu yang membuatmu marah. Biar ibu mengaku kepada ayahmu dan memohon maaf kepadanya!” isak Bu Jubaedah sesenggukan.
“Percuma!” sahut Herry datar, “ayah tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa mendengar, paling juga jantungnya berhenti karena kaget!” lanjutnya dengan acuh tak acuh. Kembali duduk di sofa, bertumpang kaki.
“Yasudah! Jadi kau mau ibu bagaimana?” kata Bu Jubaedah dengan hati pasrah.
“Lepaskan bajumu!” kata Herry pendek.
“Hah?” Bu Jubaedah terbelalak kaget. Ia seperti baru mendengar gelegar guntur.
“Lepaskan bajumu!” ulang Herry kalem.
“Anak setan! Kerasukan iblis darimana kau?” jerit Bu Jubaedah dengan amarah yang kembali membuncah, “aku pergi. Baju yang dibeli dari uangmu ini, nanti akan kuganti. Aku akan minta ke Anton dan mengadukanmu, anak anjing haram jadah!” katanya lagi sambil bangkit berdiri. Tubuhnya gemetar hebat oleh rasa marah yang teramat sangat.
“Bukankah kau tahu sendiri Anton sedang tugas seminggu keluar kota! Pergilah, aku akan menelepon Pak Erte untuk menangkapmu dan si Ikin sekalian!” kata Herry sambil mengambil handphone dari saku celananya.
“He-Herry jangan, Nak!” Bu Jubaedah melangkah cepat mencoba merebut gawai itu dari genggaman Herry. Namun pemuda itu dengan kejam mendorong kembali tubuh ibunya yang terhuyung-huyung mundur hampir jatuh.
“Ja-jangan, Nak. Ibu mohon … sebenarnya apa maumu? Kau ini kerasukan apa? Sadarlah, Nak,” isak Bu Jubaedah dengan hati sangat sedih.
“Mauku? Sudah kukatakan lepas bajumu,” sahut Herry menyeringai kejam.
“Kau … kau benar-benar gila, Herry!” Bu Jubaedah kehabisan kata-kata.
“Dengar kau, Lonte!”
Bu Jubadah hampir pingsan mendengar sebutan itu dari mulut Herry.
“Bukankah kau lama tidak ngewe? Kangen kontol masuk ke dalam memekmu? Nih kuberi kontol yang kujamin lebih hebat dari kontol loyo si Ikin keparat itu!” lanjut Herry sambil membuka celananya dengan cepat. Kemudian memegang dan mengelus-elus penisnya dengan bangga.
Sungguh, kalau bisa, Bu Jubaedah lebih baik pingsan saat itu juga.
“Ya Tuhaaan! Sadarlah, Nak! Betapa dosanya kau menyakiti ibumu ini!” isak Bu Jubaedah sambil melengos.
“Alaaah, jangan pura-pura! Kemari! Buka bajumu, cepat!” bentak Herry dengan mata melotot.
“Kau benar-benar sinting, Herry!” kata Bu Jubaedah hendak berlari kabur. Tapi kembali Herry lebih cepat, mencegatnya dan mendesaknya ke sudut dinding.
“Minta dipukul kau rupanya!” geram Herry dengan wajah beringas.
“Ya, pukul! Pukul aku! Bunuh sekalian biar kau puas, anak setan!” teriak Bu Jubaedah menantang.
“Dasar pelacur! Kau kira aku cuma mengancam?” bentak Herry sambil menjambak rambut ibunya, kemudian menamparnya keras-keras.
Bu Jubaedah menjerit kesakitan, tubuhnya melorot ambruk, bersimpuh sambil menangis.
Herry benar-benar sudah gelap mata. Dia tidak melepaskan jambakannya, bahkan menariknya hinggal tubuh Bu Jubaedah tergusur.
“Kalau kau tidak menurut, sekarang juga kau akan kugusur keluar, kuumumkan ke warga kelakuanmu dan si Ikin!”
“Ja-jangan, Herry! Jangan! Ibu mohon!” kata wanita setengah baya itu ketakutan.
“Lalu kenapa kau tidak menurut?”
“Baiklah, mm-maumu ibu harus bagaimana?” isak Bu Jubaedah sambil menundukkan wajahnya. Dalam keadaan bersimpuh seperti itu, jelas ia tidak berani melihat penis Herry yang tengah teracung di depan mukanya.
“Sudah kukatakan, buka bajumu. Susah amat sih!” geram Herry jengkel.
“Jangan, Nak! Sadarlah! Ingat, aku ini ibumu!” kata Bu Jubaedah dengan suara hampir berbisik.
“Ibu apa? Bukankah kau sendiri yang bilang aku bukan lagi anakmu? Yang jelas aku ingin ngewe, dan kau juga ingin diewe. Jelas bukan?”
“Kau sinting!” isak Bu Jubaedah.
“Oooh! Kau ingin kusiksa dulu baru mau menurut?” raung Herry sambil mengepalkan tinjunya.
“Ja-jangan. Baiklah … baiklah!” Bu Jubaedah mengangguk-angguk dengan posisi badan masih meringkuk. Ia jelas dalam keadaan tersudut dan tidak mempunyai pilihan lain.
“Bagus! Tapi ingat, aku tidak mengancam. Pilihanmu hanyalah kusiksa atau kuteriakan ke warga atau melayaniku!” kata Herry sambil melangkah mundur, kemudian duduk kembali ke sofa.
Dengan diiringi derai air mata, perlahan-lahan Bu Jubaedah membuka dasternya.kemudian meringkuk sambil terisak-isak. Saat itu ia memang sudah tidak mengenakan celana dalam saking paniknya tadi atas kedatangan Herry yang mendadak.
“Buka kutangmu!” bentak Herry kembali.
“Herry, ibu mohon!” rengek Bu Jubaedah tanpa berani melihat ke arah Herry. Karena jelas anak itu sedang dalam keadaan setengah telanjang.
“Pelacur sialan!” geram Herry melemparkan asbak beling.
“Prang!”
Asbak itu pecah berkeping-keping membentur dinding tembok, untung saja tidak menghantam tubuh Bu Jubaedah.
Dengan ketakutan dan sangat terpaksa, Bu Jubaedah terpaksa membuka behanya. Kedua tangannya dengan cepat mencoba menutupi dua bongkah payudaranya yang besar.
“Kemari!” teriak Herry kembali.
Bu Jubaedah menggeleng keras-keras sambil terus menangis.
“Keparat!” maki Herry marah. Dengan langkah cepat, dia menghampiri ibunya yang tengah meringkuk di sudut ruangan. Menjambak rambutnya dan menyeretnya ke sofa. Bu Jubaedah menjerit-jerit kesakitan dan terpaksa mengikuti pemuda itu dengan setengah merangkak.
Herry menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, dengan tangan masih menjambak rambut, wajah ibunya itu dipaksa mendekat ke penisnya yang sudah tegak perkasa. Mata Bu Jubaedah terpejam erat.
“Hsap!” perintah Herry, menekan wajah ibunya hingga bibirnya menyentuh kepala penisnya.
Bu Jubaedah terus menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Benar-benar lonte sialan!” Herry dengan kejam kembali menampar.
“Plak!”
“Auh!” Bu Jubaedah berteriak. Saat berteriak itulah, mulutnya terbuka. Kesempatan pemuda itu untuk menyumpalkan penisnya ke dalam mulut ibunya.
Bu Jubaedah tampak gelagapan. Mulutnya menggembung penuh tersumpal penis besar berurat milik anaknya.
“Hisap! Jilat! Atau kau akan kusiksa!” bisik Herry dengan suara serak.
Di bawah ancaman anaknya yang kerasukan iblis, Bu Jubaedah mau tidak mau terpaksa menurut. Dengan hati terhina luar biasa, wanita setengah baya itu ingin sekali sebenarnya menggigit putus penis besar itu. Namun apa mau dikata, rasa panik dan ketakutannya lebih besar. Dengan hati jijik dan tanpa membuka matanya, ia mulai menghisap-hisap dengan badan gemetar.
“Ough!” Herry mengerang. Menikmati hisapan dan jilatan ibunya pada batang penisnya. Sesekali, dengan tangannya yang masih menjambak rambut ibunya, dia menarik maju-mundur, seperti mengocok. Kadang-kadang gigi ibunya menggaruk batang penisnya yang dia rasakan sensasi nikmat luar biasa. Tangan yang lain menggerayangi dan meremas-remas sebelah payudara besar dan empuk milik ibunya itu.
Bu Jubaedah seperti sedang dalam keadaan mimpi yang sangat-sangat buruk. Ia samasekali tidak terangsang. Yang ada, malahan ia berharap bisa pingsan sampai mati. Sungguh ia tidak bisa mempercayai keadaannya sekarang. Diam-diam hatinya sangat menyesal terbujuk rayuan mang Ikin si tukang sayur genit yang bininya sudah dua itu. Semula ia sedikit pun tidak mempunyai pikiran untuk berselingkuh. Hanya saja kebetulan pagi itu yang berbelanja sayuran hanya tinggal ia sendiri. Sabtu pagi itu memang di lingkungan gang rumahnya sepi dari aktivitas warga. Karena jum’at sore, hampir sebagian besar warganya ikut acara gathering selama 2 malam satu hari ke Lembang. Ia bukannya tidak mau ikut, tapi mengingat keadaan suaminya yang bisa dikatakan mendekati koma karena penyakit stroke sudah hampir 10 tahun, tidak memungkinkan dirinya untuk bertamasya.
Godaan-godaan penuh rayuan dari tukang sayur itu, mau tidak mau masuk juga ke dalam pikirannya. 10 tahun ia tidak mendapatkan nafkah batin. Untuk perempuan seumurannya yang sedang dalam puber kedua, tidak terpenuhinya kebutuhan batinnya itu, sedikitnya tentu menyiksanya juga. Celah itulah yang dimanfaatkan oleh mang Ikin untuk merayu perempuan montok tersebut.
“Sungguh, Neng. Kalau saya mempunyai istri secantik dan tubuh sebagus Neng mah, mamang akan bahagia banget,” kata mang Ikin ketika itu.
“Oalaaah, sudah tua begini darimana cantik sama bagusnya, Mang. Ada-ada saja,” kata Bu Jubaedah sambil tersenyum. Kemudian membungkukkan tubuhnya memilah tumpukan sayur di rak bawah dari gerobak sayur tersebut.
Celakanya, di balik gerobak sebelah sana, dengan tanpa sengaja Bu Jubaedah melihat sembulan dari celana komprang mang Ikin yang memang seperti sengaja tangannya mengelus-elus sembulan itu.
“Mamang ih!” seru Bu Jubaedah sedikit marah dengan wajah merona merah. Dadanya tiba-tiba saja berdebar-debar tak karuan. Bagaimana tidak, bertahun-tahun ia menekan hasratnya dengan berbagai cara. Namun dengan satu kali melihat sembulan samar saja, hasrat itu tiba-tiba menggeliat.
Mang Ikin melihat kilat mata aneh dari perempuan itu. Dia memang sudah sangat lihai melihat pertanda perempuan yang mulai birahi. Kesempatannya untuk menikmati tubuh montok itu terbuka lebar.
Setelah celingak-celinguk memastikan lingkungan itu sepi, kecuali sesekali pengendara motor melintas dan jelas tidak memperhatikan mereka. Mang Ikin bergerak memutari gerobak sayurnya, tiba di samping Bu Jubaedah, dengan berani dia memegang tangan, meremasnya dengan lembut. Itu adalah salah satu triknya. Remasan rembut di tangan seorang perempuan adalah langkah pertama untuk memancing hasrat.
Benar saja, dirasakannya telapak tangan perempuan itu gemetar dan berkeringat.
“Ayo, Neng. Mumpung keadaan memungkinkan, dijamin Neng Juju puas,” bisik mang Ikin sambil menghembuskan napas panasnya di tengkuk perempuan itu.
“Mamang jangan, lepaskan. Malu nanti ada orang yang lihat,” kata Bu Jubaedah sambil menarik tangannya. Ia menoleh ke sekelilingnya, takut ada orang yang dikenalnya melihat mereka berdiri rapat berdampingan di samping gerobak sayur.
Mang Ikin tersenyum makin yakin bahwa perempuan itu sudah masuk ke jeratan mautnya. Napas Bu Jubaedah terlihat sedikit terengah, tubuhnya gemetaran.
“Aku tt-tidak jadi membeli sayur deh, Mang,” kata perempuan itu dengan suara aneh, ia tidak tahan diterpa gelombang hasrat yang berdebur-debur. Ia membalikan tubuhnya dan menghambur masuk ke dalam rumahnya. Namun entah sengaja atau tidak, pintu rumah tidak tertutup sepenuhnya.
Mang Ikin kembali tersenyum, setelah menengok ke sekelilingnya, dia mendorong gerobak sayurnya masuk ke dalam halaman rumah Bu Jubaedah.
Di dalam rumah, Bu Jubaedah dengan bersandar di sofa mencoba meredakan deburan napasnya dengan posisi badan menghadap ke pintu. Ia memaki-maki hatinya ketika tiba-tiba ia seperti berharap mang Ikin menyusulnya ke dalam rumah. Dan harapannya terkabulkan.
Pria tua itu sudah menyelinap masuk sambil menutup pintu, tersenyum-tersenyum menghampirinya. Menaruh topi anyamannya sembarangan.
“Ma … mamang, jangan. Ga bolehhh …,” kata Bu Jubaedah terbata-bata ketika pria tua itu memeluknya dan menekannya ke samping sofa.
Mang Ikin menjawabnya dengan ciuman di leher berkulit kuning langsat itu dengan bernafsu, sementara tangannya sudah menyerang ke dua bongkah kenyal dan empuk dari balik dasternya.
Bu Jubaedah bersandar pasrah dan lemas diguncang oleh hasrat birahinya yang menggebu-gebu.
“Su-suamiku, Mang. Jangan, ohhhh,” rintih Bu Jubaedah memejamkan matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Merasakan remasan dan nakalnya jari-jari pria tua itu yang sudah menyelinap ke balik celana dalamnya. Ia mengejang ketika jari-jari kasar itu menyentuh dan mengusap bagian paling sensitifnya di belahan vaginanya. Pikiran terang kini telah tertutup oleh amukan hasrat yang terpendam bertahun-tahun. Akal sehatnya jebol oleh banjir lahar birahi yang panas dan membakar. Lupa di kamar sebelah ada suaminya yang terkapar tak berdaya hanya hidup dari selang infusan. Lupa bahwa keadaan masih pagi, dimana segala kemungkinan bisa terjadi. Bu Jubaedah melupakan semuanya, digilas habis oleh cumbuan maut seorang ahli seperti mang Ikin.
Enttah kapan memelorotkannya, tahu-tahu Bu Jubaedah sudah tidak mengenakan celana dalam lagi, tangan pria itu sudah sangat aktif menggesek dan menggaruk di belahan vaginanya yang dirasakannya sudah merembes cairan hangat tak tertahankan. Begitu juga dengan belahan daster dan cup behanya, sudah tertarik turun. Pria tua itu sibuk mengenyot dan menghisap puting payudaranya yang sudah mengencang keras.
Hingga kejadian tadi. Begitu cepat tak terduga. Dan kini. Kini mulutnya tersumpal penis besar dari Herry, anaknya. Bu Jubaedah merasa dirinya sudah gila. Akibat bayangan tadi yang dipikirkannya, hasrat yang tenggelam ke dasar ketakutan, lambat-laun timbul kembali. Ia bertahan sekuat tenaga, mencoba untuk menjaga kewarasan dan akal sehatnya. Napasnya mulai memburu. Kewarasannya mulai timbul-tenggelam ketika merasakan jari-jari Herry menelusuri lubang pantatnya. Menggaruk-garuk kasar di sana.
Ia ingin mencegah, namun apa daya mulutnya masih tersumpal penis yang terasa berdenyut-denyut panas di dalam mulutnya. Hasratnya kembali meronta-ronta ketika jari-jari itu menyelinap ke belahan vaginanya. Kembali menggaruk dan menggesek.
“Naik sini!” kata Herry beberapa saat kemudian, menyandarkan kembali tubuhnya ke sofa.
Dengan napas masih memburu, Bu Jubaedah mendongak menatap wajah Herry penuh permohonan agar menghentikan perbuatan tabu tersebut.
“Sudah kubilang, naik ya naik, Lonte!” bentak Herry tanpa rasa kasihan, menjambak rambut ibunya untuk naik ke atas sofa.
Bu Jubaedah meringis kesakitan. mau tidak mau ia terpaksa merangkak naik. Dengan posisi mengangkang mirip posisi ketika hendak bersetubuh dengan mang Ikin. Namun kini ia menahan diri pinggulnya agar tidak turun. Ia masih berharap Herry sadar. Namun apa mau dikata, sambil mendengus, pemuda itu mencengkram pinggul ibunya, memaksanya turun dengan nafsu yang sudah naik ke ubun-ubun.
Jari-jari pemuda itu menguakkan belahan vagina gemuk ibunya, lalu dibantu jempolnya, helm penisnya digesek-gesekkan untuk mencari letak lubang vagina tersebut. Ketika sudah ditemukan, dia menekan pinggul ibunya untuk menekan ke bawah, dibantu dengan pantatnya didorong ke atas.
“Prrrt!”
“Akhh-shakhittt!” Bu Jubaedah menggigit bibirnya sambil memejamkan mata. Ada bulir-bulir air mata jatuh menetes ke pipinya yang terlihat sedikit merah lebam hasil tamparan tanpa belas kasihan dari anaknya.
“Ahsshhh, anjing! Enak sekali memekmu, Lonte!” geram Herry sambil meremas kuat-kuat dua bongkah besar daging empuk yang menggantung di depan wajahnya.
“Setan haram jadah kau, Herry!” Bu Jubaedah balas memaki dengan air mata bercucuran. Ke dua tangannya menjambak rambut anaknya dan menghantamkannya ke sofa berkali-kali.
Namun pemuda itu tidak peduli, terus pantatnya mendorong lebih dalam hingga seluruh batang penisnya tenggelam ke dalam vagina ibunya. Dia merasakan nikmat teramat sangat, ketika dinding-dinding vagina itu seperti menjepit dan meremas batang penisnya.
Tubuh Bu Jubaedah gemetaran, tangannya masih menjambak rambut Herry. Merasakan sensasi luar biasa, antara sakit perih dan nikmat yang didambakannya selama bertahun-tahun. Vaginanya terasa penuh sesak, sesesak napasnya, sesaknya sampai ke ulu hati. Ia merasakan batang pejal itu berdenyut-denyut panas. Geli dan ngilu. Terpaksa ia harus menggigit bibirnya keras-keras agar rintihannya tidak sampai keluar dari mulutnya.
Dengan kasar, Herry menarik payudara ibunya agar merapat ke wajahnya. Dengan rakus, dia menggigit daging kenyal itu sambil sesekali menghisap, menggigit putingnya yang mengeras.
Kedua tangan pemuda itu pindah, mencengkram dua bongkah pantat Bu Jubaedah, memaksanya untuk bergerak naik turun. Agak sulit juga. Penisnya terasa tercengkram kuat-kuat, namun perlahan dia berhasil menaik turunkan pantat bulat itu.
Bu Jubaedah bertahan mencoba untuk menjaga kewarasannya agar tidak terangsang. Namun itu seperti menahan suapan makanan yang sudah di depan mulutnya dalam keadaan sangat lapar. Cairan pelumas vaginanya secara alamiah merembes, membantu gesekan batang penis ke dinding vagina lebih lancar.
Seluruh tubuh Bu Jubaedah gemetaran, meremang seluruh bulu-bulunya merasakan kenikmatan tiadatara dari sodokan-sodokan penis anaknya. Ditambah gigitan-gigitan kasar Herry di payudaranya. Napas wanita setengah baya itu mulai memburu.
Herry melepaskan cengkramannya di pantat ibunya. Bu Jubaedah yang sudah merasa kepalang tanggung, melanjutkan genjotannya di atas tubuh anaknya itu. Ia sudah gelap mata dikuasai nafsu berahi. Pantat bulat dan besar itu bergerak naik turun dengan cepat, kadang mengayun ke depan dan belakang, kadang pula bergerak memutar. Sungguh nikmatnya tak terkatakan. Tubuhnya mulai berkeringat, napasnya terengah-engah. Kedua tangannya yang tadi menjambak rambut Herry, kini sudah pindah bertumpu ke sandaran sofa untuk menahan berat tubuhnya agar bisa leluasa menggoyangkan pantatnya.
“Cplok-cplok-cplok!” terdengar suara khas dari beradunya dua selangkangan mereka berdua.
Kedua tangan Herry memeluk punggung ibunya, dengan jari-jarinya meremas rambut ikalnya. Mulutnya sudah menjelajah ke bagian leher, juga menghisap dan menggigit. Ketika dia sudah sampai ke bibir dan hendak menciumnya. Bu Jubaedah menghindar.
Herry menyeringai, menarik rambut ibunya ke bawah. Kepala Bu Jubaedah mendongak, mulutnya setengah terbuka. Secepat kilat, mulut Herry menyerbu, menikmati bibir-bibir lunak dan basah itu.
Kurang lebih dua puluh menit berlalu tanpa terasa. Vagina Bu Jubaedah sudah sangat basah, batang penis Herry sudah dilumuri cairan kental berwarna putih. Tanda ibunya sudah orgasme awal. Bosan dengan posisi tersebut. Dengan tanpa peringatan, dia menarik pantat ibunya tinggi-tinggi.
Terdengar suara “Plop!” ketika penisnya terlepas dari vagina Bu Jubaedah.
“Akh!” tanpa sadar Bu Jubaedah mengerang kecewa. Lalu merapatkan kembali mulutnya dengan hati malu.
Herry segera berdiri, mengelap penisnya yang berkilat dilumuri cairan putih dari vagina ibunya.
Bu Jubaedah meringkuk bingung, ia tadi sudah mencapai puncak kenikmatan pertamanya. Namun ia masih dahaga untuk meraih kenikmatan selanjutnya.
“Nungging, Lonte!” bentak Herry.
Dengan ragu-ragu Bu Jubaedah bergerak dalam posisi seperti tadi, Herry segera meletakan penisnya ke vagina ibunya yang sudah merekah, gemuk menggantung dan menggairahkan.
Dalam satu sodokan keras, penis pemuda itu sudah tenggelam kembali ke dalam vagina ibunya. Menyodoknya dengan kasar dan cepat. Tubuh Bu Jubaedah menjengking, merasakan sensasi nikmat lainnya.
“Plak-plok! Plak-plok!” berkali-kali Herry menampar dua bongkah pantat ibunya dengan keras. Hasilnya, pantat Bu Jubaedah tampak merah-merah, terlihat bekas jari-jari tercetak di pantatnya. Antara sakit dan nikmat bercampur dan bersatu-padu. Lama-lama Bu Jubaedah tidak tahan untuk tidak mengerang dan merintih.
Dengan tangan berpegangan ke bahu ibunya, Herry terus menggenjot. Bahkan suatu waktu, dia kembali menjambak rambutnya, ditariknya ke belakang hingga kepala Bu Jubaedah mendongak dengan kerenyit kesakitan terbayang di wajahnya. Keadaan saat itu, seperti Herry sedang menunggang kuda. Kuda yang montok dan menggairahkan sekali.
Tubuh keduanya sudah basah oleh keringat. Napas mereka memburu seperti habis mengikuti lomba marathon. Vagina Bu Jubaedah sudah sangat becek. Sesekali, Herry menunduk, menggigit dan menciumi tengkuk ibunya yang berkeringat.
“Ohssh! Aku mau keluar, Lonte!” geram Herry dengan suara serak.
“Jj-jangan di dalam!” seru Bu Jubaedah ketakutan. Ia menggeliat hendak melepaskan dirinya. Namun Herry sudah menyodokkan penisnya dengan kencang dan dalam sambil meraung nikmat. Mencengkram kuat-kuat bahu ibunya. Bu Jubaedah sendiri, merasakan sodokan keras secara tiba-tiba itu, merasakan birahinya turut meledak.
Dua semburan cairan birahi membanjir. Dua tubuh ambruk lemas dengan napas mengap-mengap. Bertumpang-tindih di atas sofa.
Sesaat keheningan melanda ruangan itu. Selain deru napas dan deru motor yang melintas di gang depan rumah tersebut.
“Luar biasa. Nikmat sekali memekmu!” gumam Herry sambil mencabut penisnya yang sudah layu. Berdiri, kemudian melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tanpa memperdulikan ibunya yang meringkuk di atas sofa.
Tinggalah Bu Jubaedah meringkuk di atas sofa. Kembali menangis setelah kesadarannya mulai pulih. Ingin rasanya ia bunuh diri saja dengan kejadian barusan. Atau ia pergi saja. Pergi ke mana? Ada saudara sepupunya yang tinggal di wilayah yang sama. Kalau ia datang dan dinya alasannya kabur dari rumah, apa jawabannya? Atau ia menyusul Anton yang sedang dinas luar? Anton adalah anak bungsunya, adik dari Herry. Lalu apa yang akan diadukannya ke anak itu? Ya Tuhaaan. Bu Jubaedah merintih sedih. Tubuhnya sekarang terasa remuk, seperti perasaannya yang juga remuk redam, hancur berkeping-keping.
Terdengar debur air di kamar mandi. Dengan tubuh lunglai, Bu Jubaedah bangkit, mengambil daster dan pakaian dalamnya yang berserakan. Kemudian melangkah menuju ke dalam kamarnya. Di dalam sana, ia menatap merana ke arah suaminya yang terkapar tak berdaya antara hidup dan mati. Selang infus terpasang dengan tetes-tetes yang lambat.
Bu Jubaedah mengenakan kembali dasternya tanpa berminat kembali memakai dalamannya. selangkangannya serasa terganjal sesuatu. Vaginanya terasa sedikit perih. Dengan tubuh lemas, ia turut membaringkan tubuhnya di samping suaminya. Membalikkan tubuhnya dalam posisi miring, menatap wajah suaminya yang kurus dengan kelopak mata cekung dan dalam. Selang oksigen tertanam ke dalam hidungnya.
“Oh, Mas. Apa dosa kita sampai mempunyai anak selaknat Herry,” Bu Jubaedah terisak-isak. Dalam keadaan lelah lahir batin, Bu Jubaedah hampir terlelap, ketika tiba-tiba ia mendengar bentakan di pintu kamarnya.
“Heh, Lonte. Kupikir kau kabur, hampir saja foto-fotomu yang sedang kuewe kusebarkan ke warga kampung!”
Secepat kilat, Bu Jubaedah bangun. Melotot ke Herry yang tengah berdiri di pintu kamar, menyeringai sambil mengacungkan handphonenya.
“Bisakah kau berkata-kata sopan terhadap ibumu sendiri?” bentak Bu Jubaedah dengan sakit hati.
“Ha-ha-ha, kau lonteku. Terimalah nasibmu! Suruh siapa punya memek seenak itu,” kata Herry terbahak-bahak.
“Anak jadah! Anak setan! Kalau Anton ada di sini, kau tidak akan berani berkata-kata laknat seperti itu,” jerit Bu Jubaedah mengertakkan gigi saking marahnya.
“Anton? Hua-ha-ha!” tawa Herry semakin menjadi-jadi, kemudian katanya lagi, “kau dengan, Lonte! Si Anton sudah lama sering mengintipmu kalau kau mandi. Kau pikir Cuma aku saja yang ingin mengewemu? Si Anton sudah lama menginginkannya. Sayang sekali aku sudah mendahuluinya!”
“A-apa kau bilang? T-tidak mungkin!” Bu Jubaedah menjerit kembali dengan hati tak percaya.
“Terserah mau percaya atau tidak!” Herry mengangkat bahunya, “aku mau pergi. Nanti malam kita ngewe lagi. Dan jangan coba-coba berani macam-macam atau kabur. Di sini ada foto-fotomu sedang kuewe. Kalau tidak ingin tersebar, lebih baik menuruti saja semua mauku. Kujamin, kebutuhan batinmu akan selalu terpenuhi!” kata Herry sambil berbalik pergi.
Pening kepala Bu Jubaedah mendengar kata-kata Herry barusan. Anton juga? Yaaa Tuhaaan. Air matanya kembali membanjir, ia terus menangis sampai akhirnya tertidur dalam kepedihan dan keputus asaan.
Begitulah akhirnya yang terjadi selanjutnya.
Malam harinya, Bu Jubaedah di bawah ancaman dan kekejaman tanpa belas kasihan dari Herry. Ia melayani nafsu birahi anaknya itu. Hati Herry seperti sudah terbuat dari batu. Rasa sakit ibunya atas siksaan setiap kali menyetubuhinya seperti memberi kepuasan tersendiri baginya. Bahkan Bu Jubaedah sendiri, diam-diam merasakan sensasi birahi yang tidak sewajarnya atas siksaan demi siksaan anaknya itu.
Bu Jubaedah seakan sudah menjadi budak seks anaknya sendiri.
Hari-hari selanjutnya, segala perbuatan Herry menimbukan trauma yang dalam di hati Bu Jubaedah. Ia dilarang memakai pakaian dalam agar Herry lebih mudah kalau ingin menyetubuhinya. Rasa takut yang berlebihan, membuat Bu Jubaedah seperti menjadi binatang peliharaan anaknya sendiri. Membuatnya sifatnya berubah secara perlahan-lahan. Patuh dan penurut tanpa banyak kata-kata.
….
Pada suatu malam yang lain, Bu Jubaedah sedang sibuk memasak makanan malam di dapur ketika Herry entah kapan datangnya, tiba-tiba saja mengangkat dasternya. Jari-jari tangannya menyelinap ke belahan pantat ibunya. Menggesek dan menggaruk. Mulutnya menciumi tengkuk gemuk itu dengan satu tangan yang lain meraba dan meremas payudaranya yang tidak memakai BH.
Tubuh Bu Jubaedah menggelinjang sambil mengerang. Ia segera mematikan kompor walau pun masakannya masih setengah matang. Herry membalikan tubuh montok itu, mereka saling berhadapan. Bu Jubaedah bersandar setengah duduk ke samping wastafel dengan ke dua tangan bertumpu.
“Lonteku sayang, memekmu pasti sudah gatal seharian tidak disodok kontol,” kata Herry menyeringai. Kemudian memagut bibir ibunya dengan bernafsu. Keduanya berciuman dengan liar dan panas. Jari-jari tangannya sudah berkeliaran ke mana-mana.
Daster bagian atas ditariknya dengan kasar. Dua gelembung besar daging yang empuk memberojol tertahan daster. Masih terlihat merah-merah bekas gigitan dan cupangan Herry dalam persetubuhan terakhir kalinya.
Wajah Herry seperti tenggelam dalam belahan empuk payudara ibunya yang merintih-rintih menikmati cumbuan kasar anaknya itu. Puas di situ, Herry segera berjongkok. Menggulung daster itu ke atas pinggang ibunya. Bu Jubaedah segera merenggangkan kakinya. Vagina gemuk tak berbulu, membusung menantang. Herry memang menyuruhnya untuk mencukur habis bulu kemaluannya.
Dengan rakus, pemuda itu menyerbu belahan vagina Bu Jubaedah. Menghisap, menggigit dan mengunyah. Membuat wanita setengah baya itu seperti tersetrum. Tubuhnya menjengking menikmati lumatan mulut Herry di vaginanya. Rasa ngilu yang nikmat, saat lidah pemuda itu menyentuh dan menghisap klitorisnya. Membuat perasaannya melambung ke awang-awang. Kenikmatan birahi menjalar sampai ke ujung jari-jari kakinya.
“Akkhhhk! Sha-khitttsh!” Bu Jubaedah menjerit kecil sambil mendongakkan kepalanya menatap langit-langit dapur dengan mata terbeliak, ketika Herry dengan sengaja menggigit keras biji klitorisnya. Pinggulnya bergerak-gerak tak teratur, ketika Herry menusukan dua jarinya menembus lubang vaginanya yang sudah basah.
Tubuh montok Bu Jubaedah mulai gemeletar, merasakan sensasi nikmat tiada tara dari cumbuan maut anaknya. Vaginanya mulai berkedut-kedut merasakan desakan birahi yang memuncak.
“Ouhsssh!” Bu Jubaedah mengerang panjang. Satu tangannya meremas-remas payudaranya sendiri. Pinggulnya menegang dengan otot-otot perutnya berkontraksi. Ia telah mencapai orgasmenya yang pertama dengan cepat. Tubuh montok itu menggelosoh ke atas lantai dapur dengan lutut lemas.
Cairan berahi Bu Jubaedah menyembur membanjiri mulut Herry. Sambil menyeringai, Herry tanpa berniat mengelap terlebih dahulu, menyerbu bibir ibunya, menciumnya dengan rakus. Mulut keduanya belepotan lender orgasme yang menguarkan bau khas birahi.
Setelah puas berciuman, Herry berdiri, “buka celanaku, Lonte! Hisap kontolku!” bentaknya.
Dengan napas masih memburu, Bu Jubaedah menurut. Membuka ikat pinggang celana anaknya, dan memelorotkan sekaligus celana jeans juga celana dalamnya. Sebatang penis berotot mengacung perkasa.
Bu Jubaedah menggenggam batang pejal yang berdenyut-denyut hangat itu. Mendekatkan mulutnya, dan menjilat-jilat helm besar penis tersebut sebelum menelan setengahnya. Tangan yang satunya lagi menggaruk-garuk lembut kantong biji penis anaknya.
“Owh! Lonte! Pelacur anjing! Enak benarrrr …,” geram Herry meram-melek.
Bu Jubaedah mengocok penis Herry dengan mulutnya, kadang menghisap, kadang giginya turut menggaruk lembut batang pejal itu. Membuat Herry melolong keenakan.
Beberapa saat kemudian, Herry menyuruh ibunya duduk di dak wastafel. Ke dua paha gempal itu merenggang, menarik ke dua bibir vagina hingga terkuak melebar. Merah merekah dan basah.
Dengan nafsu birahi yang sudah memuncak, menggelegak sampai ke ubun-ubun, Herry menusukkan penisnya ke dalam vagina ibunya. Menggenjotnya keras-keras. Tangan keduanya saling bertumpu dan membelit.
Payudara besar Bu Jubaedah berayun-ayun mengikuti setiap genjotan Herry yang kasar dan bersemangat. Punggung pemuda itu melengkung agar dia bisa mencapai mulut ibunya untuk menciumnya. Sering dia menggigit bibir empuk hangat itu dengan keras hingga berdarah, kemudian menghisapnya dengan rakus.
Dak wastafel itu sampai bergetar menahan beban dari persetubuhan terlarang ibu dan anak tersebut.
Suara desisan, erangan, rintihan dan juga geraman, riuh ramai di ruangan dapur yang kecil itu. Ke dua kaki Bu Jubaedah sudah membelit mengancing pinggang anaknya. Pinggulnya turut bergerak mengimbangi setiap genjotan keras Herry. Beberapa kali Herry sengaja menampar pipi atau menjambak rambut ibunya dengan keras. Setiap jeritan kesakitan yang keluar dari mulut ibunya seakan menambah birahinya makin tinggi.
“Turun dari dak, nungging di meja dapur! Hosh-hosh-hosh!” geram Herry terengah-engah ketika merasakan pinggangnya mulai panas.
Dengan posisi menungging, Bu Jubaedah kembali digenjot Herry dari belakang dengan bertumpuk ke meja dapur yang berderit-derit protes sampai terdorong ke sudut dapur.
“Lonte anjing sialan! Memekmu nikmat sekali, Keparat!” racau Herry sambil menjambak dan menampar bongkahan besar pantat ibunya. Tapi tiba-tiba ….
“Ibu! Abang! Kalian sudah gila!” terdengar bentakan keras dari pintu dapur.
Mendengar bentakan dari suara yang dikenalnya itu, Bu Jubaedah seakan habis disambar petir. Jantungnya terasa berhenti mendadak. Sosok itu bukan lain Anton! Anak bungsunya.
Bu Jubaedah segera meronta ingin melepaskan diri dari Herry. Namun kebetulan saat itu kedua tangannya sedang ditelikung ke balik punggung dipegang erat oleh Herry yang hanya menyeringai mengejek mengetahui adiknya telah datang secara mendadak.
“Sory, Ton. Gue lagi nanggung. Memek lonte ini memang benar-benar legit!” kata Herry acuh, “bisa diam ga kau, Lonte?” bentak Herry ketika ibunya meronta-ronta ingin lepas. Dia menekan punggung ibunya ke atas meja dapur dengan satu tangan mencekik tengkuk. Payudara Bu Jubaedah menggelembung seperti balon yang mau pecah tergencet di atas meja.
“Jaga mulutmu, Bang! Sinting kau ya!” bentak Anton dengan tubuh gemetar saking marahnya.
Herry tidak menjawab. Dia malahan medorong keras-keras penisnya.
“Uggghhh! Nikmaaat!” raungnya dengan mata terpejam. Air maninya menyembur di dalam vagina Bu Jubaedah yang sedang mengap-mengap. Gairah birahi yang tadi melanda wanita setengah baya itu telah lenyap sedatangnya Anton.
“Bangsat sinting kau, Bang!” maki Anton yang saking tak percayanya malah terduduk lemas di pintu dapur.
“Hhhshhh! Jangan pura-pura lu, Ton! Bukannya sudah lama kau juga ingin mengewe lonte ini?” kata Herry sambil tertawa mengejek. Dia mencabut penisnya yang sudah lemas. Dengan acuh memakai kembali celananya. Air mani merembes dari belahan vagina ibunya yang merekah.
“Anjing lu!” maki Anton dengan tangan terkepal dan wajah pucat.
“Lu kira gue kaga tau kegiatan mengintip waktu lonte ini mandi? Gue tau foto-foto telanjangnya di hape lu, ha-ha-ha,” kata Herry lagi terbahak-bahak sambil melangkah menuju kamar mandi.
Sambil menangis sedih, Bu Jubaedah tanpa berkata-kata mengambil dasternya. Memakainya dan dengan wajah tertunduk ia melangkah menuju pintu dapur. Anton bergeser minggir dari pintu dapur dengan wajah masih pucat kebingungan. Dengan tanpa menoleh sedikit pun kepada Anton, Bu Jubaedah melangkah cepat menuju kamarnya. Menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Perlahan-lahan Anton berdiri. Matanya berganti-ganti antara pintu kamar mandi dan pintu kamar orangtuanya. Antara keinginan menendang pintu kamar mandi dan menantang duel abangnya dengan menggedor pintu kamar orangtuanya menuntut penjelasan dari ibunya.
Namun selanjutnya, yang dilakukannya adalah menuju kamarnya sendiri dengan hati berkecamuk oleh berbagai perasaan. Oleh rasa lelah sehabis melakukan perjalanan jauh, akhirnya Anton tertidur.
Esok harinya menjelang siang. Dia terbangun, duduk di tepi kasurnya sambil mengingat-ingat kejadian semalam. Dia merasa mimpi yang aneh. Tidak mungkin kalau Herry, abangnya itu walau pun sifatnya keras dan kasar, berani menyetubuhi … ibunya sendiri! Apalagi tega berkata sekasar itu. Tubuh Anton sedikit merinding aneh ketika mengingat tubuh ibunya yang sedang digenjot Herry.
Sialan, mimpi apa bukan sih? Kata hatinya kebingungan.
Anton segera keluar kamar, berdiri sejenak di depan pintu kamarnya. Di meja makan terhidang makanan yang agaknya sudah mendingin. Di seberang meja makan, tampak ibunya seperti sedang melamun, duduk di atas sofa dengan tatapan mata kosong menatap layar televisi.
Masih dengan hati bingung, Anton pergi ke kamar mandi. Membersihkan diri dan selanjutnya berganti pakaian. Tanpa sedikit pun ada kata-kata dari ibunya ketika dia hilir mudik. Hingga kemudian dia duduk di kursi meja makan, mengawasi sebentar ibunya sebelum dia mengambil nasi dan lauk pauk kemudian memakannya dengan lahap.
Selesai makan, dengan ragu-ragu dia menghampiri ibunya. Berdiri di samping sofa.
“Bu,” sapanya dengan perlahan.
Bu Jubaedah tidak menoleh, ia seperti tengah tenggelam dalam lamunannya, walau pun tatapannya terpaku ke layar televise.
“Bu!” Anton mengeraskan suaranya.
Bu Jubaedah seperti terlonjak kaget. Ia menoleh ke Anton dengan wajah dan sorot mata ketakutan. Tubuhnya sedikit menggigil.
Kelakuan aneh ibunya jelas membuat Anton terheran-heran.
“Ibu kenapa? Sakitkah?” tanya Anton kebingungan.
“Kk-kamu … kamu ingin tubuh ibu juga kan, Ton? Apa yang mau ibu lakukan?” kata Bu Jubaedah dengan nada sedih. Ia tidak mau menatap Anton, wajahnya menunduk dengan rasa takut.
“A-apa?” Anton tergagap dengan wajah pucat. Persis tingkah laku seorang anak yang ketahuan mencuri sesuatu.
“Bukankah Herry sudah bilang kamu suka me-mengintip ibu mandi? P-punya f-foto-foto ibu di … di hapemu?” Bu Jubaedah makin merungkut ketakutan. Dirasanya Anton sebentar lagi akan melayangkan tamparan atau bahkan tendangan terhadapnya.
“Si Herry bangsat! Apa yang sudah dilakukannya kepadamu, Bu? Akan kuhajar si Keparat itu nanti!” desis Anton dengan sangat marah.
“Jangan … jangan kalian berkelahi,” Bu Jubaedah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih sekali, “kalau kalian sampai berkelahi, ibu akan sangat sedih sekali. Kalau kamu memang ingin tubuh ibu. Lakukanlah apa yang kamu mau, tapi … tapi jangan sambil memukul ibu!”
Mengertilah Anton sekarang atas apa yang terjadi di rumahnya selama dia tidak ada. Wajahnya merah padam dengan jari-jari terkepal.
“Jahanam keparat! Si Durhaka itu akan kucari untuk kuhajar sekarang!” geramnya murka.
Melihat kemarahan Anton, Bu Jubaedah meloncat untuk meraih tangan Anton yang hendak pergi. Mencoba menahannya kuat-kuat.
“Jangan, Ton! Tolong, ibu mohon. Jangan kalian berkelahi. Ibu sudah sangat sedih. Jangan membuat ibu makin sedih!” katanya dengan air mata bercucuran.
“Ibu kenapa diam saja dengan kelakuan si Durhaka itu menyiksa ibu? Kenapa tidak meneleponku? Atau ibu bisa minta tolong ke tetangga!” tanya Anton dengan hati mendidih. Dalam keadaan dekat seperti itu, dia kini bisa melihat keadaan tubuh ibunya dengan jelas. Pipinya terlihat lebam, lehernya yang sedikit gemuk tampak tanda-tanda merah kehitaman tercetak jelas, belum lagi pangkal lengannya – Bu Jubaedah saat itu mengenakan daster tanpa lengan – samar-samar terlihat matang biru. Tiba-tiba dia teringat kejadian yang dilihatnya semalam di dapur. Jelas itu bukan mimpi, ternyata memang kejadian gila yang disaksikannya malam itu. Mendadak di hatinya timbul rasa iri, cemburu dan marah, bercampur aduk.
“Aku tidak bisa mendiamkan saja kelakuan durhaka si Herry, Bu!” kata Anton dengan wajah merah.
Bu Jubaedah kembali menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis. Tangan Anton tetap dipegangnya erat-erat, bahkan dipeluk ke dadanya.
Hati Anton berdesir dan sedikit terkejut. Dirasakannya tangannya mengenai benda lunak dan empuk dari balik daster ibunya. Apa ibu tidak mengenakan beha? Katanya dengan hati berebar-debar.
“Biarlah, biar saja yang abangmu ingin lakukan jangan sampai membuat kalian berkelahi. Asal … asal kamu jangan seperti Herry, ibu sudah senang,” isak Bu Jubaedah.
Anton menghela napasnya. Kemudian duduk di sofa di samping ibunya. Dengan penuh kasih sayang dia mengelus-elus bahunya yang masih terisak-isak menangis.
“Sudahlah, Bu. Ibu tenang saja. Ada Anton sekarang. Tidak akan kubiarkan anak durhaka itu menyiksa ibu lagi semaunya,” hibur Anton sambil memeluk tubuh montok ibunya.
Merasakan pelukan hangat penuh kasih sayang dari putera bungsunya itu. Meledaklah tangisan Bu Jubaedah. Rasa sakit hati dan kesedihan yang terbendung selama hampir seminggu, seakan jebol seketika.
Anton membiarkan ibunya menumpahkan tangisannya sehingga air matanya membasahi kaos yang dpakainya. Bu Jubaedah memeluk tubuh Anton dengan erat. Ia seperti mendapat sandaran untuk beban yang dipikulnya berhari-hari. Sandaran yang nyaman, hangat penuh kasih sayang dan perlindungan.
“Katakan kepada Anton, Bu. Apa yang dilakukan si Herry kepada ibu,” pinta Anton dengan lembut ketika tangis ibunya mereda.
Bu Jubaedah menarik napas di sela sesenggukkannya.
“Tapi sebelumnya, kamu berjanjilah tidak akan berkelahi dengan abangmu sendiri,” kata Bu Jubaedah sambil mendongak menatap wajah Anton yang tengah menunduk balik menatapnya.
Hati Anton bergemuruh ketika sepasang bibir merah basah itu berada dalam satu hembusan napas dari wajahnya. Hembusan hangat dari napas ibunya terasa menyentuh lehernya.
Sejujurnya, Anton justru memimpikan dia bisa memeluk ibunya seperti ini. Mimpi dari keinginan dalam waktu yang panjang. Bertahun-tahun. Dari semenjak dia masih duduk di bangku SMP, ketika hormon seksualnya sudah mulai berkembang. Ibunya lah yang menjadi fantasi pertamanya. Sejak melihat ibunya keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk yang membungkus tubuh montoknya, dengan sembulan payudaranya yang membusung terbebat balutan handuk. Itulah kali pertama penisnya meregang kaku! Dari situlah rutinitas fantasi seksnya dimulai. Bahkan sampai malam tadi, dia merasa yakin kegiatannya bertahun-tahun tidak seorang pun tahu. Tapi ternyata Herry mengetahui dan membongkarnya, bahkan mendahului dirinya menikmati tubuh montok impiannya itu. Dasar anjing durhaka! Maki Anton dalam hatinya.
“Berjanjilah, Ton,” desak Bu Jubaedah ketika Anton malah bengong setengah melamun.
“I-iya, Bu,” Anton tergagap, “hanya selanjutnya ibu tidak perlu khawatir lagim Anton akan menjaga ibu dari Herry.” Lanjutnya dengan tersenyum getir.
“Terima kasih, Nak,” kata Bu Jubaedah dengan terharu, air matanya kembali menetes. Ia mempererat pelukannya. Membuat napas Anton sedikit memburu ketika merasakan benda empuk dan hangat menekan pinggangnya.
Dengan tanpa melepaskan pelukannya di tubuh Anton, Bu Jubaedah mulai bercerita, dengan melewatkan adegan ia dan mang Ikin yang hampir bersetubuh kalau tidak digagalkan oleh Herry. Bagaimana pun, ia malu harus membongkar aib atas kekhilafan dirinya tidak bisa menahan hasrat birahinya yang bertahun-tahun tidak mendapat penyaluran.
“Benar-benar anak biadab si Herry,” kertak Anton dengan marah.
“Sudahlah, Nak. Tidak apa-apa. Sekali lagi ibu mohon kamu jangan sampai membuat ibu makin sedih dengan kalian berkelahi,” kata Bu Jubaedah dengan hati khawatir, melihat kemarahan Anton timbul kembali, “kamu harus tahu. Herry dulu, ketika kecil, mungkin kamu tidak ingat. Dia seringkali dipukul ayahmu. Mungkin … mungkin karena trauma waktu kecilnya itu membuat dia jadi temperamen dan keras. Tapi sesungguhnya dia anak yang baik.”
“Tapi tidak seharusnya dia melampiaskannya kepada ibu. Kenapa tidak kepada ayah saja langsung,” protes Anton tidak terima.
“Ibu juga tidak mengerti, Nak. Tapi maafkan lah dia. Semoga nanti dia mengerti bahwa perlakuannya kepada ibu itu salah,” sahut Bu Jubaedah sedih.
“Ibu tidak perlu khawatir, sekarang ada Anton. Dia tidak akan berani lagi berbuat macam-macam kepada ibu. Dan soal rumah ini, ibu juga tahu Anton turut menyicil, bahkan beberapa bulan belakangan ini cicilan rumah ini Anton yang menutupnya. Jadi sebenarnya rumah ini Anton lebih berhak daripada dia,” hibur Anton menenangkan, sambil mengelus-elus bahu ibunya. Sambil sebetulnya dia di dalam hatinya sudah bertekad untuk memberi pelajaran ke Herry. Dia yakin bisa menundukkan Herry apabila suatu ketika mereka sampai harus berduel.
“Oh iya, Anton membawa oleh-oleh dari luar kota buat ibu. Semoga saja ibu suka,” kata Anton kemudian, mengalihkan pembicaraan.
Beberapa saat kemudian, Anton mengambil koper dan membongkar isinya. Memberi ibunya beberapa bungkusan.
“Apa ini, Ton?” tanya Bu Jubaedah dengan hati senang menerima bungkusan tersebut.
“Beberapa baju, ada gamis, daster, kebaya. Cobalah, semoga saja pas ukurannya,” kata Anton sambil tersenyum.
Bu Jubaedah segera berdiri, membuka satu bungkusan yang ternyata kebaya. Dengan hati senang ia menarik dasternya.
“Ibu! Jangan di sini!” teriak Anton kaget. Detak jantungnya seakan mendadak berhenti ketika daster yang diangkat itu sampai ke pangkal paha ibunya. Sekilas dia melihat bukit kecil yang gundul memnyembul membusung.
Bu Jubaedah turut menjerit kecil. Berlari menuju kamarnya dengan malu dan hati menyumpah-nyumpah. Ternyata rasa traumanya masih membekas jelas. Beberapa hari yang lalu, Herry membelikannya lingerie yang sangat tipis dan memaksanya untuk memakainya di depan mata anak durhaka itu.
Untuk meredakan debaran hatinya sambil menghembuskan napas, Anton mengambil handphonenya, mencari kontak Herry dan mengirimkan chat WA penuh ancaman. Dia tidak akan puas kalau belum melampiaskan kemarahannya ke abangnya itu.
Sesaat kemudian, Bu Jubaedah sudah keluar dari kamar mengenakan kebaya yang dibelikan oleh Anton. Dengan sedikit malu, ia memamerkan kebaya tersebut ke hadapan anak bungsunya itu.
“Pas sekali. Terima kasih banyak, Nak,” katanya terharu dengan mata berkaca-kaca.
Anton tersenyum senang. Sorot matanya penuh kekaguman melihat tubuh montok itu tercetak dalam balutan kain kebaya yang ketat. Walau pun rambutnya tidak disanggul dan dibiarkan terurai begitu saja. Wajah manisnya terlihat bahagia dan senang sekali. Hanya sayang, bercak-bercak merah kehitaman dan lebam-lebam di kulit kuning langsat itu menodai kecantikan alami wanita setengah baya tersebut.
“Ibu cantik sekali,” puji Anton sejujurnya dengan kagum.
“Oalahhh, sudah tua begini cantiknya darimana, Nak,” sahut Bu Jubaedah tersenyum senang. Bagaimana pun, wanita mana yang tidak senang dipuji kecantikannya.
“Kata siapa sudah tua? Kalau Anton gandeng ibu, orang yang tidak kenal pasti bisa menyangka kita seumuran, malah mungkin disangka pacar Anton,” kata Anton spontan. Lalu dia jadi kikuk sendiri dengan kata-katanya barusan.
Wajah Bu Jubaedah sendiri merona merah, ia pura-pura sibuk mengaduk-aduk bungkusan lain dengan sedikit membungkuk. Yang justru malah membuat mata Anton melotot. Dalam balutan ketat kebaya itu, sembulan separuh kedua payudara ibunya membusung menantang.
“Apa ibu harus mencoba semua pakaian ini?” tanya Bu Jubaedah mencoba memecah kekakuan sementara waktu itu.
“Kalau ibu ga capek, coba aja. Mungkin bisa seharian,” jawab Anton. Keduanya tertawa bersama-sama. Bu Jubaedah merasa hatinya menjadi ringan. Rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa sebahagia ini.
“Terima kasih banyak, Nak. Terima kasih,” kata Bu Jubaedah berulang-ulang.
“Cuma tanda sayang Anton ke ibu saja. Sudah selayaknya Anton membahagiakan ibu,” sahut Anton dengan hati senang.
“Jadi ibu cobain semua ini baju?” ulang Bu Jubaedah sambil melirik.
“Cobain dah, kalo capek sama pegel-pegel tinggal manggil Mpok Ijah buat mijet,” jawab Anton kembali tertawa.
“Kenapa bukan kamu saja yang pijetin ibu?” kata Bu Jubaedah dengan suara pelan dan malu-malu. Kemudian pura-pura mengaduk-aduk tumpukan baju yang sudah dibongkarnya dari setiap bungkusan.
Anton terhenyak. Tidak bisa berkata-kata.
“Kamu tentu yang capek dan pegal-pegal habis dari perjalanan jauh. Biar ibu saja yang urut kamu nanti malam,” kata Bu Jubaedah memecah keheningan sejenak yang melanda mereka.
“I-iya, Bu ….” Sahut Anton dengan suara tergagap.
Bu Jubaedah kemudian berdiri dengan setumpuk baju baru yang sudah terlipat rapi. Sambil melangkah menuju kamar, ia melirik Anton dengan senyum dan rona merah malu-malu di wajahnya.
Anton terbengong-bengong. Dia bingung sendiri. Lirikan dan senyum malu-malu ibunya barusan apa artinya? Tanyanya di dalam hati. Dia jadi terkenang lirikan dan senyum malu-malu dari Puput teman SMA-nya yang dicomblangin si Qiwel, sahabat dekatnya, waktu dulu. Persis sama.
Anton menghela napas. Menuruti kata hatinya, ingin dia menyerbu ikut masuk ke dalam kamar menuntut penjelasan arti dari lirikan dan senyum malu-malu itu dari ibunya. Tapi mengingat di kamar itu tergeletak tak berdaya ayahnya. Akal sehatnya kembali mengingatkannya. Walau pun dia segan untuk keluar rumah, namun apabila dia masih berada di dalam rumah sekarang, tentu akan ada kekikukan di antara mereka berdua. Ahirnya dia memutuskan untuk main ke tetangga masih di lingkungan sekitarnya. Anton tidak ingin terlalu jauh hingga tidak bisa leluasa mengawasi rumahnya. Khawatir Herry mengambil kesempatan dia sedang tidak berada di rumah lalu melakukan hal-hal yang tidak beres lagi ke ibunya. Walau pun di hatinya, sesungguhnya dia berharap Herry datang saja, agar dirinya mempunyai alasan menghajar habis-habisan abangnya itu.
Di tempat yang lain, di waktu yang sama. Herry baru saja membaca chat penuh ancaman dari Anton, adiknya. Hatinya sedikit keder. Ancaman Anton jelas bukan basa-basi. Dengan tubuh sang adik sedikit lebih besar darinya, bukan tidak mungkin kalau mereka duel, dia yang berada di pihak yang kalah. Jelas akan sangat memalukan. Belum lagi, tentu para tetangga akan bertanya-tanya sebab mereka berkelahi.
“Heh? Ngapa lu bengong, Cyn? ada tagihan pinjol?” mendadak ada tepukan ringan di bahunya. Diikuti tawa renyah di depannya.
Herry menoleh sambil nyengir. Anggi, temannya tertawa bersama Annisa. Keduanya adalah teman akrabnya dalam perusahaan yang sama. Bahkan Annisa level jabatannya dua tingkat lebih tinggi darinya. Maklum saja, suami Annisa adalah direktur tempat perusahaanya bekerja.
“Tau kamu, Ry. Makanan ini kan aku yang bayar. Kenapa kamu yang bingung,” imbuh Annisa tertawa renyah.
Anggi melihat handphonenya yang menyala, menandakan ada chat yang masuk. Membacanya sebentar, kemudian berdiri.
“Gue tinggal bentar ya, Cyn. Si Lusi dah dateng, dia kebingungan nyari parkiran,” kata Anggi sambil berlalu dengan langkah gemulai.
“Nis,” panggil Herry sepeninggal Anggi, “bos kan lagi ke luar negeri. Gimana kalo aku nginep di rumahmu, sekalian bantu jagain rumah gitu dah ya,” lanjutnya sambil nyengir.
“E-eh, udah berani mati kamu ya,” sahut Annisa membelalakan matanya yang sudah bulat, “perumahanku mah aman dari maling. Jangan-jangan kamu yang jadi malingnya,” tawa renyah Annisa berderai sampai belitan hijabnya jatuh ke depan.
“Kalo kamu rela buat dirampok sih, ya ga apa-apa,” balas Herry nyengir.
“Nah-nah, makin berani aja. Apa kamu mau dapet surat PHK berani-beraninya ngerampok bini bos sendiri?” Annisa memasang muka seram. Wajah secantik Annisa mana bisa disebut seram. Yang ada malah menambah kecantikannya.
“Ampuuun, Juragan. Jangan pecat hamba yang bisa merana kehilangan atasan secantik anda,” sahut Herry dengan tampang memelas.
“Ujung-ujungnya ngerayu dah. Be-te-we, kenapa kamu berani-beraninya minta nginep di rumahku? Diusir emak ya?” tanya Annisa dengan pandang menyelidik.
“Aku lagi berantem ma Anton. Males aja pulang ke rumah,” jawab Herry jujur, “daripada nekat nginep di kontrakan si Anggi, bisa-bisa aku diperkosa,” lanjutnya terbahak-bahak.
“Ealah, jago yang pernah ngerubuhin begal dua orang masa keder ma satu bencong!” Annisa terkikik geli.
“Beda situasinya, Juragan. Kalo si Bencong nerkam lagi ga waspada. Hancur sudah,” Herry ikut terbahak.
“Apa kabarnya Anton? Betah kerjanya? Sayang dia ga mau bareng kerja di perusahaan yang sama ya,” tanya Annisa. Ia jelas kenal dengan Anton adiknya Herry. Awal perkenalan mereka bertiga, ketika mobilnya yang dikendarai bersama suaminya dicegat empat begal di tengah malam di suatu jalan yang sepi.
Untunglah saat itu Herry dan Anton sedang lewat mengendarai motor berboncengan. Dengan berani mengarah ke nekat, mereka berdua berduel dengan empat begal. Dengan keberuntungan berpihak di mereka berdua. Dua begal kabur, yang dua lagi berhasil diringkus. Sementara kedua kakak beradik itu hanya sedikit mempunyai luka-luka sabetan, kecuali helm yang hancur dipakai senjata ketika mereka berduel dengan empat begal tersebut.
Dan yang lucu dan membuat Annisa sebal. Saat kejadian pembegalan, suaminya malah kabur ketakutan, meninggalkan dirinya di dalam mobil meringkuk ketakutan. Untunglah ada dua pahlawan kakak beradik itu yang menolongnya.
Dan itulah awal perkenalan mereka. Sebagai ucapan terima kasih, kebetulan juga dua kakak beradik itu tidak mempunyai pekerjaan. Ferdian, suami Annisa menawarkan pekerjaan kepada mereka yang tentu diterima dengan senang hati. Sementara Herry bekerja di perusahaan tempat Annisa bekerja sebagai manager, Anton memilih bekerja di perusahaan Ferdian yang lainnya.
“Trus gara-gara kenapa kamu ribut ma Anton? Paling kamu yang rese ya? Anton kan pendiem, bisa cari gara-gara gimana,” tanya Annisa kembali.
“Ahhh, Cuma masalah sepele. Cuman aku lagi males aja pulang. Tidur di kantor aja deh, minta ijin ma nyonya majikan, boleh yak?”
“Ga usah lah, kamu nginep aja di rumah. Sekalian bantu Parmi ngasuh Reyhan, oke?”
“Alamaaak, mamanya kek gitu yang minta diasuh,” kata Herry sambil menepuk jidatnya.
“Ahhh, sompret!”
Keduanya pun lalu tertawa-tawa.
***
Perumahan elit yang terletak di selatan Jakarta di mana Annisa tinggal tampak sunyi ketika waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Maklum, tidak sembarang orang bisa lalu lalang di perumahan tersebut.
Rumah mewah yang luas terdiri dari dua lantai itu, dengan lima kamar tidur dan 2 kamar pembantu, hanya dihuni oleh beberapa orang saja. Selain Annisa dan Ferdian juga Reyhan anaknya yang masih berusia 2 tahun. Ada beberapa pengurus rumah, 3 orang pembantu, dan 1 orang tukang kebun juga 2 orang satpam rumah yang tugasnya bergantian.
Herry memang sudah tidak asing dengan rumah mewah itu, beberapa kali dia dan Anton berkunjung ke rumah bos mereka itu untuk sekedar silaturahmi. Tapi untuk menginap, baru kali pertama itu Herry merasakannya. Dia menempati kamar di lantai 2, selantai dengan kamar tidur utama milik Annisa. Hanya dipisahkan oleh ruang keluarga yang luasnya dua kali rumahnya.
Malam itu, Reyhan sedikit rewel. Di ruang keluarga, Herry sedang asik menonton film di saluran berbayar di televisi berlayar lebar. Kerewelan Reyhan membuat Annisa kewalahan, bahkan Parmi yang khusus mengasuh anak tersebut turut kerepotan.
“Kegerahan kayaknya, Nis. Sini kugendong deh,” kata Herry sambil mengambil Reyhan dari pangkuan Annisa yang sedang sibuk membujuk anak tersebut. Reyhan tidak terlalu asing dengan Herry. Walau pun awalnya sedikit meronta, tapi Herry segera menggendongnya dan dibawa lari-lari kecil menuruni tangga rumah. Keluar melalui pintu belakang, dengan masih berlari-lari kecil ke kebun dan taman yang luas sambil menirukan suara kuda pacu. Mengelilingi kolam renang sambil pura-pura melompat terjun.
Reyhan mulai tertawa-tawa senang.
“Nah, kalau ternyata kamu punya keahlian menghibur anak, gimana kalau aku kasih kerjaan tambahan buat menghibur Reyhan kalau rewel kaya tadi lagi?” seru Annisa dari atas balkon sambil tertawa.
“Wih, jangan salah. Ini ilmu yang tidak sembarang orang bisa, Nyonya. Tarifnya tentu beda,” balas Herry dari bawah balkon. Sedikit memicingkan mata mengintip pemandangan tidak sengaja, baju tidur Annisa sedikit melambai oleh tiupan angin malam. Mempertontonkan kaki jenjang berkulit mulus hampir ke pangkal paha.
Annisa menyadari tatapan nanar Herry. Dengan wajah merona merah, cepat ia melipat baju tidurnya sambil mengacungkan kepalannya ke arah Herry yang melengos sambil nyengir. Dia menengok Reyhan dalam gendongannya. Ternyata anak itu sudah tertidur dengan lelap.
“Aman!” Herry mengacungkan jempol memberi isarat ke arah Annisa yang masih berdiri mengawasinya dari balkon yang balas memberi isyarat agar anak itu dibawa kembali ke dalam rumah.
Di tangga yang menuju lantai dua sudah menunggu Parmi yang tersenyum, menyambut Reyhan ke pelukannya. Tanpa sengaja, Herry yang sedikit terlambat menarik tangannya, sejenak tergencet payudara Parmi. Merasakan daging empuk walau pun sebentar, hati Herry lumayan berdesir. Pembantu itu walau pun sudah berusia 35 tahun, memiliki wajah yang manis walau pun sedikit gemuk. Mengikuti pembantu itu menaiki tangga, memberi kesempatan Herry untuk melihat pantat gemuk Parmi yang bergoyang setiap menaiki anak tangga.
Sialan, gerutu Herry di dalam hatinya. Ingin sekali rasanya dia menampar pantat gemuk itu keras-keras. Ahhh, dia jadi rindu kepada ibunya. Hmmm, tidak ada aku di rumah, apa si Lonte itu sudah digarap si Anton? Pikirnya dengan hati cemburu. Dia sudah sangat tahu kegiatan Anton mengintip ibunya dalam waktu yang lama. Apa sekarang anak itu mempunyai keberanian seperti dirinya memperkosa si Lonte montok itu? Penisnya terasa mengeras.
Sesampainya di lantai dua, Parmi yang tidak menyadari diawasi dengan tatapan mesum Herry, membawa Reyhan ke dalam kamar utama diikuti Annisa yang tersenyum penuh terima kasih kepada Herry yang hanya mengacungkan jempol, lalu kembali membaringkan tubuhnya di atas karpet, melanjutkan tontonannya. Setelah berlari-lari tadi, dia merasa kegerahan dan berkeringat, kaosnya kemudian dibuka. Dengan hanya mengenakan singlet, dia kembali berbaring.
Beberapa saat kemudian, Parmi keluar kamar, melintas ke ruangan dimana Herry sedang berbaring, perempuan itu melirik sesuatu yang membuat wajahnya memerah, lalu turun terburu-buru. Kebetulan Herry turut melihat arah lirikan Parmi, yang bukan lain ke celananya yang terlihat menggelembung dalam keadaan telentang seperti itu. Herry mesam-mesem. Penisnya memang masih mengeras. Sempat terpikir dia nanti menyusul Parmi ke bawah, namun kegiatan seksnya yang agak lain itu tentu akan membuat seisi rumah gempar. Mau tidak mau, dia terpaksa memendam hasratnya.
“Ih! Dasar mesum!”
Sebuah bantal sofa melayang ke selangkangannya. Reflek Herry meringkuk. Walau pun bantal itu sangat empuk, namun senjata mustikanya harus dijaga jangan sampai cidera.
“Sory, Nyonya. Suruh siapa tadi ngasih tontonan gratis!” jawab Herry sambil bangun. Menggeser tubuhnya bersandar ke tepi Sofa dengan kaki tertekuk, menyembunyikan sembulan penisnya yang masih juga belum mau layu.
“Besok kamu antar aku ke kantor cabang yang di Mampang, Her. Kayaknya laporan keuangan mereka ada yang tidak beres. Ferdian sudah lama mencurigainya. Hanya belum bertindak saja,” kata Annisa sambil mengikat rambutnya yang sebahu. Kemudian duduk di sofa dengan kaki bersilang.
“Siap, Nyonya Bos! Be-te-we, Bos Ferdian tumben ga ngajak si Anggi? Biasanya kemana-mana si Anggi kayak bayangannya Pak Bos,” sahut Herry tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
“Ferdian ditemani Ardi,” sahut Annisa pendek.
“Ardi yang dari divisi produksi yang badannya kayak Rambo itu?” tanya Herry kembali, “nah, kalau Ardi baru cocok jadi pengawal daripada si Bencong,” lanjutnya terbahak.
Annisa tidak menjawab, ia diam-diam menatap tubuh Herry yang tak menyadari sedang ditatap. Tubuhnya yang saat itu hanya mengenakan singlet tidak bisa disebut kekar, namun tegap berisi dengan kulit kecoklatan. Mata Annisa tanpa dapat ditahan sedikit melirik ke sesuatu yang menggelembung tadi yang membuatnya melempar bantal sofa. Dengan kaki tertekuk, celana itu tetap masih terlihat menggembung. Tanpa terasa, ia menarik napas panjang.
“Kalau misalnya Ferdian mengajak kamu. Kamu mau?” tanya Annisa dengan nada hati-hati.
“Diajak jalan-jalan bisnis ke Eropa gratis? Hanya orang gila yang ga mau mah atuh, Nyonya,” jawab Herry sambil menoleh. Matanya sedikit mengejap. Annisa saat itu duduk bersandar di sofa dengan kaki disilangkan. Betisnya yang putih mulus menyembul dari gaun tidur yang tersingkap.
“Ferdian sebenarnya beberapa kali hendak mengajak kamu buat menemaninya kalau dia akan melakukan perjalanan dinas,” kata Annisa tanpa diduga.
“Lho? Kok aku ga tau? Pasti keduluan terus sama si Bencong sialan itu,” gerutu Herry dengan hati menyesal.
“Aku yang melarangnya!” sahut Annisa dengan sedikit melamun.
“Lho?” Herry menoleh dengan wajah tercengang.
Annisa mengangguk-angguk sambil menghela napas dalam, “kamu, juga Anton, beberapa kali Ferdian hendak membawa salah satu dari kalian berdua. Untung aku mengetahuinya!”
Mulut Herry bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, namun tidak jadi. Akhirnya dia hanya menggaruk-garuk kepalanya tidak mengerti.
“Sekarang aku tanya, kalau seandainya Ferdian jadi mengajak kamu di perjalanan bisnisnya. Aku pastikan, dia tidak akan menyewa dua kamar yang terpisah, dia pasti akan menyewa satu kamar untuk berdua. Apa yang kamu lakukan?”
Herry memutar tubuhnya sambil memeluk lututnya, menatap Annisa dengan pikiran menduga-duga.
Annisa kembali menghela napas dalam, “aku ingin jujur kepadamu, Cuma kuharap kamu janji menjaga rahasia ini!”
Herry menuggu dengan hati berdebar-debar.
“Berjanjilah!” desak Annisa dengan wajah serius.
“Oke! Oke, Nyonya Besar. Rahasiamu kujamin aman,” jawab Herry sambil membuat gerakan menutup mulut.
“Katakan juga kepada Anton agar menjaga jarak apabila Ferdian suatu saat nanti mencoba mendekati dirinya!”
“Ho-oh, oke. Jadi rahasia apa gerangan?” tanya Herry tidak sabar.
“Ferdian gay!” jawab Annisa pendek. Matanya menerawang setengah melamun.
Herry hampir terjengkang mendengar jawaban Annisa.
“Serius?”
Annisa mengangguk.
“Tt-tapi … kok bisa? Reyhan?”
“Biarpun Ferdian gay, tapi dia kan ga mandul!” sahut Annisa tersenyum pahit.
“Oooh ….” Herry kehabisan kata-kata. Yang bisa dilakukannya hanya garuk-garuk kepala.
“Oh apa?” Annisa melirik tajam.
“Anu … sayang banget ya. Ganteng-ganteng gitu doyan yang batangan,” sahut Herry nyengir.
“Kan orang bilang, cowok ganteng pacarnya pria tampan,” tukas Annisa sambil mencibir.
“Coba kalau aku seganteng Ferdian,” gumam Herry menerawang.
“Pasti nyari cowok-cowok tampan buat dipacarin,” potong Annisa terkikik geli.
“Kaga lahhh, buat modusin cewek-cewek cakep tentunya, ha-ha-ha,” tawa Herry pecah.
“Asal kamu tahu, Her. Perempuan itu tidak semua suka yang ganteng atau tampan. Walau pun memang sudah kodrat manusia suka yang bagus-bagus, suka belum tentu ke hati-hatinya. Kalau kagum iya lah. Ada hal lain yang bisa menundukan hati seorang perempuan selain wajah dan penampilan,” kata Annisa dengan suara lembut.
“Tapi tetap saja wajah dan penampilan adalah hal pertama yang membuat seorang cowok percaya diri untuk mendekati cewek,” tukas Herry tidak setuju.
“Hmmm, mungkin,” Annisa mengangguk kemudian menggeleng, “mungkin untuk jangka pendek, tapi dalam jangka panjang belum tentu, seorang pria yang bisa memberikan rasa nyaman dan amanlah yang membuat seorang perempuan bahagia.”
Sesaat keheningan melanda ruang keluarga yang luas dan mewah itu. Kecuali suara rentetan senjata dan dentuman bom dari film action di televisi. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Ngomong-ngomong, kamu tahu Ferdian gay sebelum atau sesudah menikah?” tanya Herry kemudian dengan nada hati-hati.
“Sesudah,” sahut Annisa pendek.
“Malam pertama?”
Annisa menghela napas panjang, “yaaa bisa. Entah mungkin dia memakai obat atau tidak. Dalam sebulan kegiatan ‘gituan’ sih tidak ada masalah,” kata Annisa dengan pipi merona merah.
“Bisa jadi pake obat ngaceng kayaknya,” Ucap Herry spontan sambil mengangguk-angguk, “terus, kamu akhirnya tahu Ferdian gay sejak kapan?”
“Sejak dia tahu aku hamil,” ujar Annisa menggigit bibirnya, kemudian lanjutnya, “Ferdian … dia menjadi dingin. Pertama kukira karena kehamilanku membuat dia kehilangan selera. Namun berbulan-bulan diacuhkan, lama-lama aku curiga, kupikir dia mempunyai pacar gelap. Malam-malam aku periksa HP-nya. Dia memang mempunyai pacar gelap, si Anggi! Saling kirim foto telanjang!”
“Gila! Si Bencong itu?” Herry menjengit jijik.
Annisa mengangguk, “malam itu Ferdian kumaki habis-habisan. Dia mengaku sambil menangis! Memohon untuk merahasiakan sifat seksnya yang menyimpang. Saat itu aku benar-benar sangat sakit hati sekali. Tapi aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Ahhh, kalu saja kamu tahu hidupku kayak cerita sinetron, Her,” desah Annisa sambil menghembuskan napasnya. “Aku bisa saja meminta cerai, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ferdian sangat baik kepada keluargaku, ditambah mama memang matrialistis. Aku tidak berdaya samasekali!”
“Kasihan sekali kamu, Nissa!” kata Herry dengan tulus. Meraih tangan Annisa dan menggenggamnya dengan hangat, “hatimu memang sangat baik, bahkan si Anggi saja bisa akrab begitu!”
“Aku sudah masa bodoh, Her. Biarlah saja, suka-suka dia. Aku sekarang sedang mempersiapkan masa depan Reyhan agar kegilaan Ferdian tidak menurun kepadanya! Bahkan tidak kubiarkan Ferdian menyentuh anak itu sekalipun!”
Tiba-tiba terdengar tangisan Reyhan dari kamar. Annisa bangkit untuk masuk ke dalam kamar, ketika keluar lagi ia sudah membawa Reyhan.
“Aku mau membuatkan susu buat Reyhan, kamu mau kubawakan minuman?” tawar Annisa sambil melangkah menuju tangga.
“Tidak usah, biar aku ambil sendiri,” sahut Herry sambil turut berdiri, “sini anak ganteng, Om yang gendong,” katanya sambil meminta Reyhan untuk digendongnya. Kemudian mengikuti langkah Annisa menuruni anak tangga.
Melalui kamar pembantu, keduanya berhenti mendadak ketika melewati pintu kamar tersebut.
“Memekmu enak sekali, Mi … hosh-hosh-hosh!” terdengar geraman syahwat dari dalam.
“Owhhh, jangan keras-keras, Pak. Nanti kedengeran,” terdengar suara Parmi dengan nada khawatir.
Herry dan Annisa saling pandang, wajah Annisa berubah merah yang segera bergegas menuju ke dapur.
“Suara yang laki-laki bukannya Pak Burhan, bapaknya Parmi?” bisik Herry dengan wajah tercengang.
Annisa mengangguk dalam diam sambil mengambil membuat susu.
“Kamu sudah tahu?” tanya Herry makin bingung. Jari Annisa membuat gerakan agar Herry tidak banyak omong. Beberapa saat kemudian, mereka berdua dengan langkah hati-hati kembali melewati kamar tersebut yang kini hanya mendengar desahan dan erangan saja.
“Rumah ini memang sudah menjadi rumah mesum terkutuk, Her. Biarkan saja, selama pekerjaan mereka memuaskan,” kata Annisa sambil mengangkat bahunya tidak perduli, “dan kalau kau ingin tahu, kamar yang kamu tempati sekarang itu, adalah tempat Ferdian membawa pacarnya tidur!”
“Hah? Tega sekali kau, Nis!” erang Herry dengan wajah memelas, “aku tidur di sini aja deh! Serem, jangan sampe aku ketularan hawa gay kalau tidur di kamar sialan itu! Kasihan nanti para cewek kan!”
“Di kamarku ranjangnya luas kok,” sahut Annisa lirih, melirik Herry dengan tatapan aneh. Kemudian berlalu dengan rona merah di wajahnya. Herry tertegun. Penisnya kembali mengeras.
***
Bersambung ke Bagian II