Desa Waringin. (Terjebak kawin kontrak)
27 Oktober 2021 aku mendapatkan kepercayaan dari atasan untuk diangkat menjadi asisten di sebuah PT kelapa sawit. Dan hari 15 November aku harus berangkat ke Palembang, di perkebunan kelapa sawit yang ada di sana.
Aku ditugaskan bersama dua orang teman yang menjadi kepala mandor dan bagian pengawasan di bawah kepimpinan ku.
Perkenalkan namaku Adit, kini aku berusia 27 tahun. Dan aku masih lajang. Tinggi badanku 175cm dan berat badan ku 65kg. tidak terlalu gendut untuk orang yang memiliki tinggi badan sepertiku. Aku di Lampung, dan ini kalo pertama aku harus meninggalkan Lampung. Yah mau bagaimana lagi, tugas dan pekerjaan sudah menjadi tanggung jawab yang harus di kerjakan.
“Udah siap semua?” Aku bertanya pada Rudi dan juga Adi, mereka yang akan menemani ku di sana, walau tugas kami berbeda tapi kamu mendapatkan lokasi kerja yang sama, jadi selama dua tahun ke depan mereka yang akan menemani ku. Tentu saja aku bersyukur, karena saat aku pergi dari kampung ku. Aku di temani oleh dua orang yang sudah menjadi teman seperjuangan sejak kami masuk di PT ini.
“Udah semu, dit, tinggal nunggu pak Roni aja kayaknya.” Jawab Adi.
Pak Roni adalah atasan ku, yang posisinya aku gantikan karena dia naik jabatan, dan pak Roni adalah kerabat dekat ayahku, jadi kalian tahu lah. Kenapa di umur yang masih mudah aku bisa mendapatkan jabatan ini, tentu saja kekuatan orang dalam.
“Nggak ada yang ketinggalan lagi kan?”
“Aman. Lo gimana rud?” Tanya Adi pada Rudi.
“Aman semua. Paling nanti yang kurang beli di sana aja?”
“Beli Mulu lu mah, hobi bet belanja.” Tukas adi
“Ya gimana, bawa barang banyak bikin ribet.” Jawab Rudi.
“Iya sih, gue aja cuma bawa sekedarnya aja. Kayaknya kalo bawa barang banyak malah repot.” Keluh Adi.
Kami memang tidak membawa banyak bawaan. Hanya laptop, dan satu koper untuk masing-masing orang.
“Berkas-berkas, udah aman kan?” Tanyaku lagi untuk jaga-jaga.
“Aman….” Jawab Adi sembari mengacungkan jempolnya.
Tak lama berselang pak Roni datang menjemput kami, dia tersenyum lebar saat turun dari mobilnya.
“Wah-wah, pemuda yang penuh semangat. om kira kalian malah belum siap-siap!” Ujarnya sembari menyalami kami satu persatu.
“Udah dong om. Kedisiplinan nomor satu!” Jawab Rudi.
“Nah gitu. Om suka pemuda semangat seperti kalian.” Jawa. Pak Roni sembari tertawa. “jadi gimana, udah siap?”
“Udah dong om!” Balasku.
“Bagus, kalo gitu kita pergi sekarang aja.”
Kami setuju dan segera bergegas memasukkan barang bawaan kami ke bagasi mobil. Lalu setelahnya kami meluncur ke bandara.
“Kalian jangan kaget ya sama lokasi kerja kalian.” Ujar pak Rudi di tengah-tengah perjalanan.
Aku yang mendengar itu lantas mengerutkan kening. “Kaget kenapa om?” Tanyaku heran.
“Ya gitu. Perkebunan di Palembang itu lokasinya cukup plosok. Pelosok banget malah. Jauh dari keramaian.”
“Lah bukannya perkebunan emang selalu di pelosok ya om?” Tanya Rudi.
“Iya emang…. Tapi gimana ya jelasinnya. Perkebunan yang kalian tempati nanti tuh jauh dari kota, bahkan untuk ke kota kecilnya aja butuh waktu sekitar 6 jam, terus untuk ke desa terdekat itu lumayan jauh juga. Yah hampir tiga jam lah.”
Aku mengangguk, memang sudah biasa perkebunan milik perusahaan itu biasanya terletak jauh dari desa, karena sejauh mata memandang isinya hanya kebun sawit saja. Jadi aku tidak heran, bahkan sudah terbiasa.
“Terus akses masuk ke desa tuh cuma bisa di lewati mobil truk sama mobil Jeep. Medannya itu loh. Om di sana setahun aja nggak pernah ke kota kalo nggak ada rapat, atau pertemuan. Pinggang yang jadi korban soalnya.”
“Waduh. Repot juga ya om.” Jawab Adi.
“Makanya itu saran om, nanti begitu kalian sampai di kota, kalian belanja kebutuhan yang perlu kalian pakai, karena om yakin. Begitu masuk ke area, kalian bakal males untuk keluar.”
“Kalo itu sih aman om, cuma masalahnya, jaringan sama listrik gimana om? Kan nggak mungkin kita kesulitan listrik di sana?” Tanyaku, karena bagaimanapun juga, jaringan itu perlu untuk keperluan mengirim laporan dan pekerjaan. Tidak mungkin kan kami harus repot mencari sinyal.
“Kalo itu jangan khawatir. Jaringan internet udah ada khusus untuk kalian, kalo listri ya cuma pakai disel aja. Itupun hidupnya cuma jam 6 sampai jam 12 malam. Tapi di rumah dinas adit Nanti ada genset untuk keperluan darurat.” Jelas om Roni.
“Wah, nggak kebayang gimana panasnya kalo siang.” Ujar Adi.
“Ye, itu mah Udah jadi resiko, jangan ngeluh.” Jawab Rudi.
Om Roni terkekeh pelan, mungkin maklum karena selama ini kami berkerja di dalam ruangan yang bisa dibilang sejuk karena AC.
“Tenang aja, walau gitu, om yakin kalian bakal betah di sana. Om juga udah siapkan sesuatu untuk kalian biar kalian nggak banyak ngeluh.” Ujar om Roni.
Beliau memang selalu baik di nata bawahannya, tak heran jika dia bisa dengan cepat naik jabatan. Selain baik kinerja beliau juga sangat bagus.
Lima belas menit perjalanan kami sampai di bandara, om Roni berpamitan setelahnya dan setelah mengucapkan terimakasih kami segera duduk di bangku tunggu sampai keberangkatan kami tiba.
“Nggak kebayang hidup di pelosok gitu…” Keluh Adi.
“Jangan terlalu ngeluh, nikmati aja, apalagi gaji dan tunjangan kita udah terjamin.”
“Iya sih, cuma kalo susah jaringan, bisa kangen gue sama emak.”
“Kan tadi pak Roni bilang, untuk jaringan aman di rumah Adit. Jadi nggak masalah lah.”
“Iya sih.”
Aku yang mendengar keluhan Adi hanya terkekeh kecil. Lalu menepuk pundaknya. “Semangat ah! Banyak loh yang pengen ada di posisi kalian, apalagi bener kata Rudi. Gaji kita kan naik hampir tiga kali lipat dari sebelumnya, jadi coba aja dulu.”
“Nah bener tuh kata Adit. Belum lagi. Pak Roni bilang udah nyiapin sesuatu untuk kita, jadi aman lah. Kita lihat dulu aja apa yang udah disiapkan pak Roni. Siapa tau kita di kasih mobil Jeep atau motor cross, kan seru tuh. Bisa off-road tiap Minggu.” Ujar Rudi dengan menggebu-gebu.
“Ye! Itu mah hobi lu. Gue mana suka yang gituan.” Balas Adi.
“Makanya coba, siapa tau jadi ketagihan, ya kan dit?”
Aku hanya mengangguk Saja. Hingga Tak terasa waktu keberangkatan kami tiba. Kami bergegas masuk ke dalam pesawat, dan selama penerbangan aku hanya melihat pemandangan di luar jendela, sedangkan Adi dan Rudi memilih tidur.
===
Begitu sampai di bandara, kami langsung di jemput oleh sopir suruhan pak Roni. Beliau dengan sigap membantu kami memasukkan koper dan juga barang bawaan kami ke dalam bagasi, setelahnya kami melanjutkan perjalan ke lokasi.
“Kita mampir dulu ya pak, ada beberapa barang yang mau di beli.” Ucapku pada sopir yang bernama Supri.
“Oh, iya den. Aden mau belanja apa biar bapak antar.”
“Pakaian sama alat-alat mandi sih pak.”
“Oh kalo itu ke supermarket simpang aja ya den.”
“Iya pak.” Jawabku.
Setelahnya pak Supri membawa kami ke sebuah minimarket yang cukup besar, aku dan kedua temanku segera berbelanja, dan tak lupa membeli cemilan untuk di perjalanan nanti.
“Pak Supri rokoknya apa ya?” Tanya ku pada kedua temanku.
“Wah kurang tau gue. Tadi gue liat sih rokok kretek gitu.”
Aku mengangguk, lalu tak ambil pusing aku membeli 2 bungkus rokok dji Sam Soe dan satu bal rokok sempurna. Yah jangan heran kenapa banyak, karena itu untuk kebutuhan kami satu bulan di sana.
“Ayo pak.” Ucapku pada pak Supri yang kulihat tengah menunggu kami sembari merokok.
“Udah den?”
“Udah pak,” jawabku sembari masuk ke kursi depan. “Ini buat bapak,”
“Wah, nggak usah repot-repot den. Bapak masih ada rokok.”
“Nggak papa pak, buat temen nyupir. kata pak Roni perjalanan ke perkebunan itu 6 jam ya pak?” Tanyaku sembari meletakkan rokok yang ku beli di dasbor mobil.
“Iya den. Tapi kayaknya kalo ini lebih dari 6 jam. Soalnya macet, ada mobil terguling di pertengahan jalan. Maklum hujan, jadi jalannya nggak karuan.”
“Jadi berapa lama perjalanan kita pak?” Tanya Adi di belakang.
“Kalo macetnya udah berkurang, ya kemungkinan 10 jam pak.”
“Waduh, apa kabar pinggang 10 jam di dalam mobil.”
“Hehe ya gimana pak, maklum soalnya musim hujan gini beberapa akses jalan banyak yang rusak.”
“Kita masuk pake mobil ini pak?” Tanyaku pada pak Supri.
“Oh nggak den, nanti kita ganti mobil. Kalo pake mobil ini malah makin lama.” Jelas pak Supri.
Aku terdiam, sembari melihat kondisi sekitar. Benar-benar perjuangan, ujarku dalam hati, aku melirik jam yang ada di ponselku. Sudah jam 10 pagi. Berarti perkiraan jam 8 malam baru sampai.
Ya sudahlah. Jalani saja karena bagaimanapun juga sudah menjadi tanggung jawab.
===
Perjalanan kami lanjutkan hingga dua jam berlalu kami sampai di perbatasan desa. pak Supri membelokkan mobil yang kami kendarai di sebuah warung. Lalu setelah terparkir pak Supri menatapku sejenak.
“Kita makan siang dulu ya den. Soalnya perjalanan setelah ini bakal lama banget, butuh energi.” Kelekar pak Supri.
“Oh iya pak kebetulan saya juga sudah lapar.”
Pak Supri turun mendahului, aku segera menoleh kebelakang, ku lihat kedua temanku tengah tertidur pulas. Aku segera membangunkan mereka.
“Kalian mau makan nggak? Udah jam 12 nih.” Ujarku.
Rudi langsung bangun saat aku menepuk kakinya, sedangkan Adi hanya bergumam sebentar lalu membalikkan tubuhnya ke kiri. Aku yang malas langsung menyuruh Rudi untuk membangunkan sahabatku satu itu. Setelahnya aku turun.
Melihat sekeliling, dan sedikit asing dengan apa yang aku lihat.
Warung yang disinggahi pak Supri terletak di pinggir jalan pindah yang di kelilingi kebun karet, dan yang membuatku asing, di setiap sudut kebun karet ada beberapa alat yang mirip seperti bor manual dan cairan coklat yang hampir menutupi tanah.
Melihat itu aku penasaran dan bertanya ke pak Supri. “Pak itu apa?”
“Oh itu tambang minyak den.”
“Tambang? Milik pemerintah kah?”
“Bukan, itu milik pribadi.”
“Serius?”
“Iya den, di sini memang terkenal sama tambang minyak mentahnya, makanya banyak sultan di sini.”
“Ohh… Emang nggak di larang ya pak?”
“Ya gimana ya den… Kalo itu bapak kurang ngerti.”
Aku mengangguk kecil. Mungkin urusan pribadi masing-masing, dan akupun tak ingin banyak tanya. Yah setidaknya aku bisa mendapat pengalaman baru di sini. Bahasa yang digunakan di sinipun sangat berbeda di lingkungan sebelumnya. Sepertinya aku memang harus membiasakan diri dengan lingkungan baru ini.
Setengah jam kami menghabiskan makan siang di warung ini. Dan masakan yang ada di warung ini benar-benar membuatku terkejut. Semua yang ada di warung ini sangat enak, bahkan Rudi sampai tambah tiga kali. Tidak heran jika banyak orang bilang, masakan Palembang itu enak-enak, dan terbukti sekarang.
Setelah kenyang dan mobil kami datang, kami segera berbenah dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil Jeep yang terbilang cukup layak. Tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Yah ini lebih nyaman dan sepertinya menghabiskan waktu 8 jam di mobil ini tidak terlalu buruk.
Selama perjalanan, pemandangan yang ku tangkap hanya perkebunan sawit dan jalan yang rusak parah, ada beberapa mobil truk yang terpuruk dan satuobil truk yang tergelempang, membuat kondisi jalan benar-benar rusak.
“Ini jalan benar-benar separah ini pak?”
“Iya den, semenjak pak Roni pergi. Pekerjaan di jalan terhenti, jadi ya gini. Sekarang kondisinya.”
Aku hanya bisa membatin. Pekerjaan ku akan benar-benar menumpuk setelah ini. Ada banyak hal yang harus aku benahi. Karena bagaimana pun juga, ini adalah akses penting untuk distribusi hasil panen nantinya.
===
Tepat jam 10 malam kami sampai di lokasi tempat ku bekerja. Dua jam lebih lama dari perkiraan karena di tengah perjalan tadi kami terhalang oleh mobil terus yang terguling dan badan mobil teruk menghalangi hampir setengah jalan.
Perjalanan yang sangat melelahkan. Dan asal kalian tahu, perjalan itu bukan satu-satunya yang membuatku terkejut. Namun ada satu hal lagi yang benar-benar membuatku terkejut.
Perumahan, tidak ini bahkan tidak layak dibilang perumahan, lebih tepatnya pemukiman yang akan menjadi tempat tingalku benar-benar mengenaskan. Jika dalam benakku perumahan di sini adalah perumahan permanen seperti halnya tempat ku bekerja sebelumnya. Nyatanya itu hanya angan-angan saja, karena pada kenyataannya perumahan di ini sebagian besar terbuat dari kayu. Dan ada beberapa yang hampir roboh.
“Ini perumahan pegawai pak?” Tanyaku pada pak Supri yang tengah mengeluarkan barang bawaan kami. Jangan tanyakan dua temanku itu. Mereka tengah asik tidur dan sangat sulit di bangunkan, mungkin karena lelah.
“Iya den, ginilah keadaan permukaan pegawai di sini.”
Aku hanya menggeleng kecil. Tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi perumahan di sini.
Bahkan susunan perumahan di sini cukup berantakan. Hanya ada tiga lorong perumahan dan sayi lapangan besar di Tengah-tengah lorong. Kalau ku perkiraan, mungkin hanya ada 30 rumah yang layak huni. Sisanya hampir roboh dengan kondisi yang sudah tambal sana sini.
“Apa nggak bahaya pak?”
“Ya gimana ya den, kami juga sudah usul ke pak Roni. Cuma kata pak Roni sulit.”
Aku menghela napas panjang, aku tentu tahu apa yang dimaksud sulit oleh pak Roni, menager sebelumnya memang sulit untuk diajak kerja sama dan mungkin itulah yang membuat pak Roni tidak bisa berkutik.
“Kayaknya nanti aku coba usul ke pak Roni, kasian juga liat perumahan pegawai, yang menjadi ujung tombak perusahaan nggak ke urus gini.” Aku bergumam kecil. Lalu segera membangunkan kedua temanku itu untuk pindah ke dalam rumah sembari melanjutkan istirahat mereka.
===
Begitu aku dan kedua teman ku turun dan berjalan ke arah rumah dinas, aku sempat terbelalak saat melihat sosok wanita yang berdiri di depan halaman menyambut kedatangan kami.
Bukan cuma aku, tapi kedua teman ku pun sama, kami terbelalak bersamaan dengan apa yang kami lihat di hadapan kami sekarang.
“Selamat datang den….” Sapa wanita itu.
“Ini tolong bawakan ya Bu.” Ujar pak Supri sembari memberikan satu koper ke wanita itu.
Aku tak menjawab ucapan sang ibu karena fokusku tertuju pada satu arah.
Payudara.
Yah! Benda yang menjadi pusat perhatian kami bertiga adalah dada dari wanita itu. Bagaimana tidak, wanita yang ku taksir usianya ada di 35 ke atas dengan kulit sawo matang dan tinggi sekitar 155cm itu benar-benar menarik perhatian kami, terutama bagian payudara dari wanita itu.
Dia yang memakai daster longgar saja masih menampakkan lekukan payudara yang super besar, Bahakan bisa ku bilang sangat besar dan sedikit kendur, tapi tak mengurangi keindahannya sedikitpun.
Aku tidak tahu berapa ukuran payudara itu. Bahkan jika ku bandingkan dengan mbak asih tetangga belakang rumah ku yang memiliki ukuran bra 48D saja kalah dengan porsi payudara wanita ini.
Dua benda itu bahkan terlihat mancung mendorong daster kebesaran ke arah depan, terlebih saat dia berbalik dan membawa masuk koper kami. Kini pusat perhatian kami teralihkan ke arah gumpalan besar di bawah pinggangnya. Lagi dan lagi, pantat wanita itu tak kalah besar dari payudaranya. Membuat fokus kami seketika berantakan saat itu juga.
“Gila! Apa jadinya kalo wajah gue di tampar sama tuh toket, bisa mampus gue. Belum lagi pantat tuh cewek, kalo nimpahin penis gue apa kabar. Bisa langsung crot gue!” Gumam gue dalam hati.
“Den… Mari masuk, kamarnya udah bibi siapkan.” Ujar wanita itu membuat lamunanku pecah.
Aku segera membenahi posisi berdiri ku. Herdeham sebentar untuk menghilangkan kegugupanku.
“Oh iya, bi makasih…” Jawabku terbata, berusaha sekuat tenaga agar sepasang mataku tak tertuju pada payudara dari wanita itu.
“Namanya bi Sri, den. Istri saya, yang akan kerja sama Aden untuk urusan rumah sama makanan Aden selama di sini.” Ujar pak Supri. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah pak Supri.
“Asisten rumah tangga saya pak?”
Pak Supri mengangguk.
Anjir! Apa gue tahan nggak nyentuh tuh bibik, secara dia itu selera gue banget, tipikal wanita setengah baya yang tobrut. Gendut berisi dengan tetek dan pantat super gede. Membayangkannya aja gue udah mupeng sekarang.
“Iya den. Dulu bibi juga yang kerja sama pak Roni.” Sahut bi Sri.
Oke, tahan tahan, jangan keluarkan senyum nafsu gue sekarang, nggak baik. Apapun yang terjadi gue harus jaga image, gue atasan di sini, dan nggak boleh tercoreng hanya karena godaan ini.
Bi Sri berjalan mendekatiku. Lalu mengulurkan tangannya, aku dengan ragu segera menyambut uluran tangan itu dan kami bersalaman.
“Maaf ya den, kalo misal kerjaan bibi kurang bener kasih tau aja, soalnya Baru ganti majikan.” Ujarnya.
Aku mengangguk ragu dengan tatapan yang masih terfokus pada payudara bi Sri. Membayangkan seberapa besar payudara wanita itu. Lawong masi tertutup daster saja sudah mengacung seolah ingin menunjukkan diri jika dia adalah aset yang luar biasa dari tubuh wanita itu.
“Eh… Ohh.. iyaa bi… Nggak papa santai aja, aku nggak terlalu ribet kok orangnya.” Jawabku gugup.
“Ya udah yuk den, masuk dulu, istirahat, bibi yakin Aden sama temennya pasti capek banget. Mari den, pak.” Sambut bibi itu sembari mempersilahkan masuk.
Aku menoleh ke arah dua teman ku, lalu saat menyadari mereka terpelongo sedari tadi, aku langsung mengikuti lengan mereka.
“Masuk! Jangan bengong aja!” ujarku yang membuat mereka sadar kemudian dan tergagu lalu menyusul langkah ku masuk.
Aku segera duduk di sofa ruang tamu, sofa yang sudah lumayan lusuh di susul dua temanku dan pak Supri. Sedangkan bik Sri masuk ke ruangan yang mungkin saja itu dapur.
“Maaf ya den, kalo kondisi rumahnya nggak sebagus yang Aden pikirkan.” Ujar pak Supri. “Pak Roni sempat mau renovasi rumah dinas ini, cuma terkendala jalan yang rusak jadi nggak bisa kirim bahan material masuk.”
“Oh nggak papa kok pak saya maklum, soalnya lokasi tempat ini juga pelosok banget.” Aku mengedarkan pandangan ku menilik tiap sudut rumah ini. Rumah semi permanen, setengah beton dan setengah lagi kayu, dengan lantai kayu serta beberapa ruangan yang aku belum tahu ruangan apa.
“Oh iya, untuk dua temen saya ini dapet rumah sendiri atau gabung sama saya, pak?”
“Oh kalo untuk temen bapak, ada rumah sendiri di belakang, masih satu ruang lingkup memang sudah di siapkan khusus untuk atasan. Kalo jadi satu. Takut sempit den.”
Aku mengangguk, bener memang ruang ini saja sudah terasa sempit walau masih terisi empat orang.
Aku menoleh ke arah dua temanku. “Kalian nggak papa kan?” Tanyaku. Aku yakin mereka cukup terkejut dengan kondisi tempat kerja kami sekarang.
“Ya mau gimana lagi.” Ujar Adi sembari mengedikkan bahunya. “Mau mundur juga percuma, gue masih butuh duit tambahan buat tahun depan.” Lanjutnya sambil menoleh ke arah Rudi. “Lu gimana rud?”
“Nggak gimana-gimana, udah biasa sih sama lingkungan kayak gini.”
Rudi memang satu diantara kami yang pernah dapat tugas di pelosok, yang sejatinya tempat seperti ini bukan masalah untuknya.
“Tapi pak, kendaraan dari perusahaan untuk kami sudah di siapkan kan?” Tanya Rudi lagi.
“Oh kalo itu sudah pak, ada di garasi samping.” Jawab pak Supri.
“Wah beneran, mau liat dong pak.” Jawab Rudi semangat.
“Oh… Silahkan pak, biar bapak antar.” Pak Supri segera beranjak diikuti Rudi di belakangnya.
“Ikut woy!” Jawab Adi yang segera menyusul.
Aku menghela napas panjang, “sialan nggak ada waktu istirahat apa?” Tak urung akupun ikut menyusul mereka ke arah garasi yang ada di samping rumah.
Rudi langsung berteriak girang saat melihat motor cross 250cc di hadapannya.
“Fix KTM ini punya gue!” Jawab Rudi sembari mendekat motor besar tinggi itu.
“Iya-iya ambil aja!” Jawab Adi. “Gue ini aja?” Ujar ya memilik motor crf tepat di sebelah Rudi.
“Mantap, bisa lah kita gestrek nanti!” Seru Rudi gembira.
Dan yang tersisa dari motor yang ada di garasi hanya motor Mega pro, yang mana itu sudah menjadi bagian ku karena dua yang lain sudah di hak milik oleh mereka. Tak mengapa, aku tidak terlalu suka dengan motor, bagiku asal motor itu menyala dan tidak ada masalah sudah bagus untukku.
“Terus rumah kita yang mana pak?” Tanya Adi kemudian.
“Ada di belakang pak, mari.” Jawab pak Supri mengajak kami ke belakang, tepatnya ada sebuah rumah berukuran kecil dengan satu kamar dan ruang tamu yang langsung terhubung dengan meja kerja. Dua rumah itu memiliki bentuk yang sama dengan halaman yang terhubung dengan dapur rumah pokok, yaitu rumahku.
“Wah lumayan, ada ac-nya juga.”
“Iya, pak Roni sudah menyiapkan semuanya. Cuma ya itu. Kalo siang mungkin jarang di gunain pak.”
“Karena masih pake disel ya pak?” Tanyaku.
“Iya den.”
“Nggak masalah sih, ya udah gue lanjut tidur lah, udah ngantuk parah.” Jawab Adi.
“Oh silahkan pak, kamar sudah disiapkan sama istri saya sebelumnya, biar nanti koper saya yang urus.” Jawab pak Supri.
“Oke deh, gue juga mau lanjut istirahat, pegel semua badan gue.” Timpal Rudi yang kemudian masuk ke dalam kamar mereka masing-masing.
Hanya tersisah aku dan pak Supri.
Aku berjalan ke depan dan masuk ke dalam ruang tamu. Di sana susah ada suguhan kopi tiga gelas dan satu gelas teh.
“Waduh. Maaf ya pak, kopinya jadi nggak keminum.”
“Oh nggak papa den, maklum, temen Aden pasti kecapean banget.”
Aku mengangguk, lalu kemudian pak Supri memanggil Bik Sri.
“Bu… Buu… Ibu…!”
“Iya pak!” Bik Sri datang tergopoh-gopoh. Lalu berdiri di sisi sofa menatap pak Supri.
Kedatangannya dengan cara berlari membuat tatapanku teralihkan pada payudara yang gondal gandul saat wanita itu berlari. Terlihat besar dan berat. Aku meneguk ludahku sendiri karenanya.
“Ini, temen Aden udah pada tidur. Mungkin Aden juga udah capek, jadi sekalian aja titipan pak Roni keluarkan.”
Aku sudah tidak fokus lagi dengan ucapan pak Supri. Aku masih terfokus pada gundukan besar yang seolah melambai untuk ku remas-remas itu.
“Oh iya pak sebentar.”
Bik Sri kembali ke belakang yang membuatku merasa kecewa setelahnya. Tak lama bik Sri datang dengan membawa sebuah map. Kalo ini dengan penampilan yang sedikit berbeda, rambut sepunggung yang tadi sempat diurai, kini sudah di ikat hingga menampakkan leher jenjang yang begitu menggoda di mataku.
Jangan hujat aku. Wajar saja jika aku begitu tergugah oleh apa yang disajikan, bagaimana tidak. Apa yang ada di bik Sri benar-benar selera dan fetis ku, jadi hanya dengan melihat saja aku sudah konak.
“Sebelum Aden istirahat, saya ingin menyampaikan pesan yang ditinggalkan pak Roni sebelumya den, ini surat serah terima. Yang saya sendiri tidak tahu, kata pak Roni, Aden suruh langsung tandatangan aja setelah Aden sampai.”
Aku tak fokus dengan penjelasan pak Supri, karena saat ini aku tengah menghayal bagaimana jika payudara besar itu menampar-nampar wajahku dan membuatku puas saat itu juga.
“Pak….” Panggil pak Supri lagi.
Ah sial! Apakah aku ketahuan tengah membayangkan hal tidak senonoh pada istrinya?
“Oh … Iya… Bagaimana?”
“Ini surah serah terimanya tolong di tandatangani.” Ucap pas Supri sembari menyodorkan map dan pulpen itu ke arahku.
“Oh oke…” Tanpa membaca lagi aku langsung menandatangani surat itu, tepat di atas materai yang ada di sana. Aku terlalu gugup karena takut dianggap tidak senonoh, jadi langsung tandatangan tanpa pikir panjang.
Ahh sialan! Betapa malunya aku!
Setelah menandatangani surat itu aku segera mendorong kembali ke arah pak Supri. “Ini pak…”
“Maaf den… Surat itu harus di simpan sama Aden, bukan hal saya lagi soalnya…” Jawab pak Supri.
Aku terpelongo sesaat, namun berpikir positif, iya juga jika ini surat serah terima, maka yang harus memegang adalah aku.
Ah masa bodo! Aku sudah tidak fokus lagi untuk berpikir. Terlebih bukan hanya lelah yang aku rasakan sekarang, tapi juga karena komandan yang
ada di bawah sana sudah tegang sempurna, membuatku tidak fokus saja.
Sialan! Aku terlalu fokus pada bodi montok bik Sri membuat semuanya hampir berantakan saja.