Kesan Menjaga Rumah Tante
Tanteku menyuruh aku menjaga rumahnya karena tanteku mau pergi beberapa hari ke Surabaya ikut suaminya kunker.
Tanteku bukan takut rumahnya digondol maling, melainkan di rumahnya ada kakak dari suaminya. Kakak dari suaminya ini belum terlalu tua, tapi sudah suka pelupa.
Ia pergi ke pasar, tetapi di tengah jalan tiba-tiba ia bisa pulang lagi, karena di pikirannya ia merasa kompor belum dimatikan apinya, tetapi sesampai di rumah ternyata kompor nggak apa-apa.
Ada lagi peristiwa yang lain. Ia pergi ke rumah sakit. Di tengah jangan, ia bilang stop kontak setrika belum dicabut, balik ke rumah, ternyata sudah.
Tengah malam ia terbangun. Katanya pintu rumah belum dikunci. Ternyata sudah.
Daripada kakak iparnya ini sendirian di rumah nanti ia tidak tenang, tanteku menyuruh aku menemaninya.
Maka itu pekerjaanku di rumah tanteku hanya main games, nonton televisi, terus capek, lalu tidur-tiduran.
Makanan sudah disiapkan oleh tanteku di kulkas. Kalau mau makan, tinggal dipanaskan saja, atau kalau kurang, bisa beli secara online.
Kakak ipar dari tanteku ini tidak menikah. Ia punya rumah, tetapi jarang di tempati. Hidupnya selalu berpindah-pindah dari rumah saudaranya yang satu berpindah ke rumah saudaranya yang lain. Dan berhubung ia baik, saudaranya atau keponakannya dengan senang hati mau menerimanya untuk tinggal di rumah mereka.
Ia tidak susah untuk diajak ngobrol. Karena ia juga sudah lama kenal dengan aku, sehingga akupun gampang mengajaknya ngobrol apa saja.
Kadang-kadang aku suka membayangkan ia setua ini masih perawan, aku suka terangsang membayangkannya. Berhubung aku berkesempatan menginap beberapa hari di rumah tanteku, aku berencana memperkosanya.
“Tante cantik…” kataku. “Kenapa tidak menikah sih…?”
“Terserah aku, mau menikah atau tidak…!” jawabnya ketus kali ini. Mungkin ia tersinggung ditanya masalah pribadinya. “Untuk apa kamu ngurus aku…?”
“Weee… siapa yang mau ngurus Tante…” jawabku mengejek. “Untung nggak, rugi iya, capek-capekin aja…”
Handphoneku berbunyi. Rupanya dari tanteku. Tanteku mengabarkan aku bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Tanteku tinggal sendirian di hotel.
“Kalau tau gitu, Tante gak mau ikut, Miko…” kata tanteku terdengar suaranya kecewa di seberang sana. “Sesampai di sini Ommu langsung sibuk dengan pekerjaannya… bagaimana dong, Ko… kalau deket, mau deh Tante nyuruh kamu kesini temani Tante sementara…”
“Sabar aja Tante… istirahat dulu, nikmati… jangan mikirin belanja…”
“Oke deh, Ko… inget ya sama orang tua yang satu itu, jangan dilepasin pergi kemana-mana sendiri…”
“He..he… barang anti ya, Tante…”
“Iya… sudah ya, Ko… cupp… cupp… sayang…”
Selesai telepon, aku melihat Tante Mala sedang duduk menggunting kuku kakinya dengan menaikkan satu kakinya ke tempat duduk di kursi yang didudukinya. Pahanya terpelongoh, sehingga bisa kulihat sampai ke celana dalam yang dipakainya.
Fuii..iihhh…
“Iya…” jawab Tante Mala, suaranya mulai bersahabat lagi.
Aku segera pergi ke dapur mengambil bangku pendek membawanya ke depan tempat duduk Tante Mala. Aku duduk di bangku pendek itu mengambil gunting kuku dari tangan Tante Mala.
“Hati-hati ya, Ko…” kata Tante Mala. “Gunting kukunya tumpul, Tante belum beli lagi… lupa terus kalo ke pasar…”
Kutaruh telapak kaki Tante Mala di pahaku, lalu mulai menggunting kuku kakinya.
Ctekk… ctekk… ctekk… ctekk… sambil menggunting, aku terangsang karena kaki Tante Mala mulus dan indah. Kuku kakinya rapi, tidak ada yang somplak, dan tumit kakinya juga mulus, tidak ada yang retak-retak.
Sekitar 15 menit pekerjaanku menggunting kuku kaki Tante Mala sudah selesai.
“Sudah rapi kan, Tante?” tanyaku.
“He.. he.. iya… terima kasih ya, Ko…”
“Yang tadi itu, aku maaf ya Tante,” kataku.
“Jangan marah sama Tante ya, Ko…”
“Nggak dong, Tante…” jawabku, lalu kucium kaki Tante Mala.
Tante Mala memandangku. “He.. he..” tawanya. “Kotor, Ko…”
“Nggak papa, aku suka…” jawabku. “Soalnya kaki Tante bagus…”
“Hiiks…” tawa Tante Mala malu, lalu kucium kakinya lagi.
“Akhh… Miko…” desahnya.
Aku tidak bisa menghentikannya lagi. Dari mencium, aku menjilat jari-jari kaki Tante Mala.
“Akhhh… akkhhh… Miko… aakkh… mmmh… aaagghh… Tante belum pernah, Miko… enak, Miko… teruskan ke yang lain, Miko….”
Terus kusingsingkan daster Tante Mala, lalu kupegang di celana dalamnya yang menggelembung. “Boleh ini, Tante…” tanyaku dengan jantung berdebar.
Celana dalam Tante Mala terasa hangat dan agak lembab.
Kupandangi Tante Mala. Aku harus berhasil, kataku dalam hati.
Terus kucium bibir Tante Mala dengan buas sampai napas Tante Mala ngngos-ngngosan. Sepertinya Tante Mala tidak bisa ciuman. Bibirnya kaku, harus kudongkrak untuk memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Ia tidak melawan. Ludahnya terasa manis.
Tetek montok Tante Mala yang masih terbungkus BH dan dasterpun segera kuremas-remas dengan tanganku.
Akhirnya Tante Mala bersuara juga. Mungkin ia sudah mulai bernapsu. “Ssstth… aaahhh… aahhh… ooohh… aduh. Miko…. Tante mau, Miko…”
Aku melepaskan celana pendekku. Aku tidak memakai celana dalam. Mama paling sebel kalo aku tidak memakai celana dalam.
Aku adalah anak yang paling tidak penurut dan paling bandel di antara ketiga adikku. Mama pernah mau mengusir aku dari rumah gara-gara pernah mengambil duitnya membeli DVD porno, tetapi justru tanteku sayang sama aku. Tanteku sering membela aku.
Sampai akhirnya aku berhasil mencopot celana dalam Tante Mala. Kubimbing tangan kiri Tante Mala menggenggam penisku. Meski mula-mula enggan, tapi lama kelamaan digenggamnya juga ‘batang perkasa’-ku itu. Bahkan dipijit-pijitnya sehingga aku menggelinjang keenakan.
“Shh.. shh..!” desisku sambil mengulum lidahnya. Tangan kananku, setelah membimbing tangan meneruskan perjalanannya ke selangkangan Tante Mala.
Kusibakkan rambut-rambut tebalnya, mencari celahnya lalu menyisipkan jari telunjuk dan tengahku di situ. Kugerakkan keluar-masuk dan Tante Mala mendesis-desis, genggamannya di penisku terasa semakin mengeras.
Aku tidak tahan lagi.
“Masukin ya, Tante?” bisikku.
“Ja.. jangan, Miko..!”
“Ak.. aku nggak tahan lagi, Tante..!” ujarku.
“Di.. dijepit paha saja ya, Ko..?”
Tante Mala lalu telentang dan mengangkangkan pahanya. Pelan aku menaikinya. Tante Mala membimbing penisku di antara pahanya, lalu menjepitnya. Ia menggerak-gerakkan pahanya sehingga penisku terasa terpelintir-pelintir nikmat sekali.
Payudara besar Tante menekan dadaku juga. Tangan kiriku mengutil-ngutil puting kanannya.
Ciuman ke bibirnya kulanjutkan lagi, jemari tangan kananku juga terus berupaya memasuki vagina Tante Mala dan mengocoknya.
“Heshh.. heshh.. Ko.. mm..,” Tante Mala sulit berbicara karena mulutnya masih kukulum.
Sampai Tante tidak tahan lagi dan mengangkangkan sedikit pahanya hingga jepitan pada penisku terlepas. Cepat kutarik jemariku dari situ dan kunaikkan sedikit tubuhku sehingga sekarang ganti penisku berada di pintu gerbang nikmatnya itu.
“Hshh.. Ko, jangan dimasukkan..!”
“Tapi aku sudah nggak tahan Tante..” desisku.
“Cukup kepalanya saja, Ko.. dan jangan dikocok..!”
Kugerakkan cepat, malah agak kasar, keluar-masuk. Shiit.. hsshh.. nikmat sekali.
“Ugh.. uughh.. uagh.. Miko..! Tante mau keluar, mm.. mm..”
Sekejap kemudian tubuhku pun berkejat-kejat, dan cairan hangat muntah keluar dari ujung penisku. Kurasakan cairan hangat itu nenabrak rahim Tante Mala,
Aku kemudian terkapar kelelahan di atas tubuh Tante Mala.
“Hmmm…. kamu nakal…” kata Tante Mala manja padaku.
Selama seminggu tanteku pergi, puas aku menyetubuhi kakak iparnya yang hidup melajang itu, apakah setelah aku menyetubuhinya ia masih melajang?
S.e.l.e.s.a.i.