Istri Kedua
Kata bapak mertuaku, rumahnya cukup untuk kami tinggal berlima, karena ia hanya punya 2 orang anak, yaitu istriku dan adik istriku.
Rumahnya 2 lantai. Di lantai bawah terdapat 2 kamar tidur dan di lantai atas juga terdapat 2 kamar tidur.
Kami tinggal pilih mau pakai kamar tidur yang mana. Lalu memilih kamar tidur yang terletak di lantai 2, bersebelahan dengan kamar tidur adik istriku selalu kosong, karena ia kuliah sambil bekerja, tempat kerjanya jauh. Ia memilih tinggal di kost.
Sementara itu bapak dan ibu mertuaku tidak pernah mau mencampuri urusan keluarga kami. Kami sudah dewasa dan kalau kami sudah berani menikah, kami harus berani bertanggung jawab, begitu kata mereka. Jangan dikit-dikit cerai… dikit-dikit cerai… cerai… cerai… cerai…
Malam itu istriku menyuruh aku turun mengambil air minum di dapur. Tidak kulihat jam, tetapi bisa kukira-kira, sudah hampir tengah malam. “Ahhh… Aii…yahh… ooohh… ohhhh…. Aii… yahhh…”
Suara apa itu, tanyaku dalam hati. Kalau kucing lagi birahi, suaranya bukan begitu.
Aku baru teringat kalau bapak mertuaku baru tadi sore pulang dari luar kota.
Langsung surut langkahku menuju ke dapur dan gelas kosong di tanganku hampir terlepas dari tanganku yang gemetar ketika kulihat ke arah pintu kamar mertuaku yang tidak tertutup rapat.
Entah siapa yang ceroboh, setahuku setiap malam tertutup rapat. Bisa jadi malam ini merupakan malam keberuntunganku bisa melihat drama porno secara live.
Apalagi lampu di ruang tengah sudah dimatikan oleh ibu mertuaku jika ia mau masuk ke kamar tidur, sehingga bayanganku tidak terlihat oleh mereka dari dalam. Sedangkan dari tempatku berdiri aku bisa melihat dengan jelas ibu mertuaku yang sedang menggoyang bokongnya naik-turun di atas tubuh suaminya yang berbaring terlentang di kasur, dan dalam keadaan telanjang bulat.
“Ahhh… ahhh… ahhh… ohh, Aii…yaa..aahhh…” rintih ibu mertuaku menarik tangan suaminya ke payudaranya yang menggelantung di dadanya dan bergoyang pontang panting ketika ia bergerak naik-turun memacu penis suaminya. “Remas Ayah, ouuggh…. remaassss…” suaranya menggila.
Kelihatannya nafsu ibu mertuaku lebih besar dari suaminya, padahal suaminya belum tergolong manula. Usia bapak mertuaku baru 47 tahun, hanya beda 2 tahun dengan istrinya. Ibu mertuaku berumur 45 tahun.
Mungkin lagi banyak pikiran mungkin. Mengelola sebuah perusahaan yang baru didirikan tidaklah mudah. Karena boss bapak mertuaku memberikan kekuasaan untuk mengelola sebuah perusahaannya yang baru di luar kota.
Oleh karena itu, ibu mertuaku mengambil inisiatif turun dari tubuh suaminya dan dengan menggunakan mulutnya ia menghisap penis suaminya yang menurut aku lebih besar dari penisku.
Rasanya begitu nikmat ibu mertuaku menjilat penis suaminya yang sebenarnya berlumuran lendir biarahinya sendiri. Erotis sekali aku melihatnya.
Selain gairah bapak mertuaku meluap lagi, gairahku juga ikut memuncak. Apalagi ibu mertuaku nungging, dan bapak mertuaku bangun menyodok lubang vagina istrinya dari belakang… eh, bukan… bukan, ternyata bapak mertuaku menyodok lubang anus istrinya.
Wuawwwhh…
Blepppp…. batang penis ayah mertuaku tenggelam ke lubang anus bininya. Aku menelan ludah. Istriku lagi menstruasi pula.
Usia istriku baru 23 tahun, sedangkan usiaku 26 tahun. Meskipun usianya baru 23 tahun, masalah di ranjang ia tidak pernah mengecewakan aku. Perawakannya boleh saja mungil, tinggi hanya 160 sentimeter, dan buah dadanya juga kecil hanya segenggaman telapak tanganku. Tetapi sedotan mulutnya serta getar-getar ritmis di rahimnya tidak pernah membuat aku puas menyetubuhinya hanya satu kali dalam semalam.
Ia belum ingin punya anak, karena katanya usianya masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Aku tidak bisa memaksanya. Padahal ayah mertuaku buru-buru ingin punya cucu. Apalagi yang lahir adalah seorang cucu laki-laki, ayah mertuaku sudah menyediakan sebidang tanah untuknya.
Paginya aku menemukan ibu mertuaku sedang menggantungkan celana dalamnya yang basah di tali jemuran hanya mengenakan handuk, sedangkan rambutnya basah habis dikeramas.
Celana dalam berwarna merah jambu itu hanya wangi sabun cuci di bagian yang tidak kena vaginanya, sedangkan bagian yang menempel di vaginanya berwarna kekuningan dan berbau masih amis ketika kucoba menciuminya.
Sejak saat itu aku sering memburu celana dalam kotor ibu mertuaku. Terutama yang kotor basah berlumuran lendir vaginanya, sehingga aku jadi tau berbagai macam bau yang dikeluarkan vagina ibu mertuaku. Tetapi untuk mengajaknya ke tempat tidur bukan perkara yang mudah. Butuh keberanian.
“Tom, kok kamu makan mie instan sih? Kan Mama bikin sarapan…” kata ibu mertuaku yang baru selesai mandi dan masih mengenakan handuk datang mendekati meja makan.
“Lagi pengen, Ma…” jawabku memandangnya yang berdiri di sampingku. “Bukan Tomo nggak suka sarapan bikinan Mama…”
“Nggak… makan aja, Mama juga suka bikin kok…” jawabnya meletakkan tangannya di pundakku. “Mama ganti pakaian dulu ya, sayang? Papamu masih tidur. Mama mau jenguk teman di rumah sakit. Nanti tolong bangunin Papamu, ya… kamu gak pergi kemana-mana kan?”
“Mau Tomo antar, Ma?”
“Nggak usah, nanti Mama dijemput. “ jawabnya mau melangkah pergi dari sampingku.
Segera kujulurkan tanganku merangkul pinggangnya yang masih berlekuk. Kucium payudaranya yang berbalut handuk. Rasanya empuk payudara ibu mertuaku di dalam handuknya.
Seandainya ia marah, entah bagaimana aku menghadapinya. Tak kupikirkan sejauh itu saat itu. Napsu memang bisa bikin orang berpikir tak wajar.
“Mmmmhh…” lenguhnya menengok ke arah pintu yang menuju ke ruang tengah. “Jam berapa sekarang, sih?” tanyanya.
“Belum jam delapan…” jawabku dengan jantung berdebar tidak kurangkul lagi pinggangnya. “Mama dijemput jam berapa?”
“Jam delapan sih, katanya…” jawab ibu mertuaku.
Kupandangi buah dadanya dengan diam. “Ah… Mama sudah tua ya Tom…” kata ibu mertuaku.
Aku memberanikan diriku menjulurkan kedua tanganku ke ikatan handuknya. Ia memandang lagi ke arah pintu. “Hati-hati…” katanya mengingatkan aku, “Apa di kamar saja, jangan di sini…” katanya.
Tetapi kedua tangannya memegang kedua sisi handuknya yang sudah kubuka ikatannya. “Ini… badan Mama… mau diapain kamu, silahkan saja…” memasrahkan tubuh telanjangnya padaku.
Perutnya agak sedikit keriput. Terdapat bekas operasi. Buah dadanya menggantung dan bulu-bulu hitam di bawah perutnya hanya sedikit. Lalu kuhisap putingnya dan kuraba memeknya dengan tanganku.
“Emmm…. ahh…” rintihnya memejamkan mata.
Entahlah kenapa aku tidak takut dengan bapak mertuaku yang bisa kapan saja bangun dari tidurnya. Mungkin tubuh telanjang istrinya yang membutakan mata hatiku.
Kuturunkan celana pendekku sampai ke batas dengkulku, lalu duduk di kursi menarik ibu mertuaku ke tubuhku dan ibu mertuaku menurut saja.
Selanjutnya ia menjatuhkan handuknya ke lantai lalu naik ke pangkal pahaku mengangkangkan pahanya.
Penisku yang tegak berdiri dipegangnya. Setelah itu diturunkannya bokongnya. Terasa ujung penisku menyentuh lubang vaginanya yang basah. Sewaktu segera pantatnya turun, blessssss…
Aku membiarkan kedua tangan ibu mertuaku bertumpu pada pundakku ketika ia menarik dan menurunkan bokongnya naik-turun. Mula-mula pelan saja.
Liang vaginanya tidak mengecewakan. Masih terasa legit saat menggesek penisku. Untuk beberapa saat aku bertahan.
Sekali-sekali aku meremas payudaranya. Lalu mulai kuhentakkan penisku dari bawah ke lubang vaginanya yang semakin becek. Setelah berkali-kali kutikam, aku tidak bisa bertahan lama lagi.
Aku segera melepaskan spermaku, sedangkan ibu mertuaku duduk terdiam di pangkuanku memeluk erat aku sembari menikmati setiap semburan spermaku yang hangat ke rahimnya.
“Puas nggak? Masih enak lubang Mama?” tanyanya.
“Iya dong…” jawabku. “Mama?”
Ia menjepit hidungku dengan jarinya dan menariknya. “Nakal…!” katanya. “Nggak puas ya dengan binimu, masih mau juga sama Mama?”
“Kalau boleh sih, dilanjutkan…” jawabku.
Ia masih mau duduk lama di pangkuanku dengan telanjang, hingga terdengar suara suaminya batuk-batuk ia baru bangkit mengangkat selangkangannya pergi dari pangkal pahaku dan kulihat air maniku yang merendam rahimnya menetes ke lantai keramik putih di dapur.
Aku jadi sungkan dengan bapak mertuaku saat aku ngobrol dengannya pagi itu, karena aku telah mencabuli istrinya. Untung tidak terlalu lama. Habis sebatang rokok ia langsung pergi mandi. Setelah itu ia mau pergi ke kantor.
Aku tidak ingin pergi kemana-mana. Aku menunggu istriku pulang dari kantor. Istriku bekerja di kantor notaris. Justru ibu mertuaku yang pulang duluan.
Ia masuk ke rumah, aku langsung menggandeng tangannya. “Ayo, mau ngapain?” tanyanya.
Kucium pipinya. “Masa mau berkali-kali…” katanya, tetapi ia melepaskan pakaiannya juga di kamar.
Aku melepaskan pakaianku juga, lalu merebahkannya di tempat tidur seraya membuka lebar pahanya. “Duh… belum dibersihkan, langsung dijilat… astaga… jorok ya, kamu…” katanya.
Mana kupedulikan kata-katanya lagi? Terus saja kujilat vaginanya. Kusedot dan kuhisap lubangnya. Kutelan lendirnya. “Ahhh… seesstt… ooouggh…” rintih ibu mertuaku saat kujejali lidahku ke lubang vaginanya.
Selanjutnya kujilat klitorisnya. Ia mulai tak tahan. Napasnya terdengar memburu. Benar saja. Sebentar kemudian kedua pahanya sudah menjepit kepalaku. Rambutku dijambaknya, lalu ia berteriak nyaring.
Hanya beberapa detik. Tubuhnya langsung lemas. “Keluar semua nggak, Ma?” tanyaku.
“Iya, ini baru namanya main seks, papamu apa…” jawabnya dengan napas terengah.
“Mau langsung dimasukin?”
Tanpa menunggu jawaban ibu mertuaku, langsung kuposisikan batang penisku di depan lubang vaginanya yang ternganga dan berwarna merah. Selanjutnya kudorong penisku.
Sleeppp… blleesss…
Kudiamkan penisku dan kucium bibir ibu mertuaku. “Tomo ingin menikahi Mama,” kataku.
“Jangan bodoh kamu…” jawabnya. “Kembali pada istrimu, ini yang terakhir…”
Benarkah ini yang terakhir? Mana mungkin? Setelah kejadian siang itu, beberapa hari kemudian kuajak lagi, ia mau juga… sampai beberapa tahun.
Apalagi istriku lagi hamil… lebih mau lagi ia ngentot denganku. Tidak hanya malam, siang pagipun kami melakukan perbuatan terlarang itu.
Zinah justru lebih nikmat.
Anehnya perselingkuhan itu sampai hari ini tidak terungkap di depan publik, apalagi oleh media masa saking pintarnya ibu mertuaku menyimpan rahasia setelah ia melakukannya.
Dari luar ia tampak biasa-biasa saja. Beda sewaktu ia di ranjang bersamaku.