Wife VS Everybody: Preman Pensiun
Tak ada yang baru dalam kehidupan ranjang kami. Atau, biar kuperjelas, tak ada yang baru bagi istriku.
Bicara soal ranjang, ia layak diberi gelar kehormatan sebagai preman profesional. Threesome, eksibisionisme, sexting, sextape, raped, submasif, bondage; banyak peran pernah ia lakoni. Tak ada lagi barang baru yang bisa kujajakan padanya. Kendati begitu, semua kenakalan dan keliarannya tinggal masa lalu. Memori itu sudah lama tanggal. Terkubur dalam setelah kami menikah.
Kini? Ia hanyalah preman yang telah pensiun. Wanita setiaku. Seorang istri penyayang. Juga ibu bagi dua orang bocah yang menggemaskan.
Istriku, Linda, kini menginjak usia 30 tahun. Sebelum kami menikah, Linda sudah memiliki seorang anak laki-laki bernama Andi. Yah, Linda pernah hamil 8 tahun yang lalu. Sayangnya, bagai maling di tengah malam, lelaki yang menghamilinya lari menghilang entah ke mana.
Aku bertemu dengan Linda tiga tahun lalu di Kota J. Sekilas info, kami berkenalan di pertengahan bulan Agustus tahun 2019. PDKT hingga bulan September. Kemudian, dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, kupersunting ia di akhir Oktober (bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda). Betapa singkat, padat dan nasionalis.
Banyak orang, terutama pihak keluarga dan teman-teman mempertanyakan keputusanku yang dinilai dadakan. Terutama ibuku yang agak enggan karena status Linda yang adalah ibu satu anak. Di satu sisi, usia Linda yang lebih tua dua tahun dariku, dirasanya kurang ideal.
Maklum saja, ibuku adalah wanita konservatif. Lagipula aku adalah anak sematawayangnya. Tentu ia mau yang terbaik untukku.
Awalnya memang agak sulit meyakinkan orang tuaku, tetapi setelah beberapa kali dilakukan ‘lobi politik’, ibuku akhirnya luluh dan memberi restu.
Di pihak Linda justru berjalan tanpa hambatan. Keluarganya sama sekali tak mempersulitku. Mulanya aku gugup, karena kupikir ayahnya bakal memasang sikap keras kepala terhadapku. Tapi justru sebaliknya, ia memberi ekspresi legah, seolah beban dipundaknya telah terangkat.
Andi, putra Linda, juga menerima baik diriku. Meski belum pernah memiliki anak, aku memperlakukannya sebaik mungkin. Bagaimanapun, untuk bisa menaklukan sang induk, aku perlu mendapat hati anaknya dulu. Dan seolah alam merestui, akhirnya kami menikah untuk pertama kalinya.
Ada alasan kenapa aku menikahi Linda kendati ia telah beranak satu. Alasannya sangat sederhana: ia tipeku. Sangat! Linda adalah idealku. Ia cantik. Ia seksi. Ia tahu apa yang aku inginkan darinya. Dan seolah kami sudah lama kenal, ia paham hal-hal yang tidak aku sukai.
Aku dan Linda bercinta di hari pertama kami berkenalan. Bagai sinyal wifi dan perangkat yang aktif, kami terhubung di tempat pertama. Dan rasanya enak. Aku ketagihan.
Bagaimana tidak ketagihan? Biar kujabarkan penampilan istriku: Linda memiliki kulit sawo matang. Tidak putih, namun manis dan eksotis. Wajah oval dengan dagu lancip, mirip artis Korea kebanyakan. Bibirnya penuh, hidung mancung, bulu mata lentik dengan pandangan jernih. Rambutnya panjang lurus—dibelah tengah dan terurai; menampakkan keningnya yang lebar. Singkatnya, ia cantik.
Kubilang cantik bukan karena dia istriku. Tapi memang kenyataannya demikian. Terutama karena wajahnya yang entah bagaimana membawa aura sensual. Tidak sedikit dari teman-temanku yang sering memuji kecantikan Linda.
Namun, hal yang paling memikat dari Linda bukan hanya wajahnya. Tapi juga tubuhnya yang molek. Ukuran payudara istriku adalah 36D—setelah melahirkan ukurannya naik 38D.
Aku tak tahu bagaimana mengukur pinggang dan bokong. Yang pastinya ia memiliki ukuran tubuh proposional. Hal ini ditunjang dengan tingginya yakni, 166 cm.
Tentu, penampilan bukan satu-satunya tolak ukur kenapa aku amat menyukainya. Linda memiliki pembawaan, sikap, sifat, dan terutama kecocokan denganku. Kami dapat merasakan chemistry satu sama lain—Ia memiliki hobi, selera buku, seni, serta pandangan politik yang klop denganku.
Kami cepat akrab sehingga mudah untuk saling berbagi. Dari hal-hal ringan seperti film kesukaan, hingga bagian paling privat yakni urusan ranjang.
Di sinilah aku benar-benar dibawa Linda menelusuri petak demi petak kisah masa lalunya yang menyedihkan, tapi juga menggairahkan.
Sesuatu yang sudah sepakat kami lupakan, namun terkadang mengusik pikiran dan isi celanaku.