PARASITE (ver. 46)
– Cerita ini hanyalah fiksi belaka,
Cerita ini?
Hmm? Dari mana harus dimulai? Mungkin, sebagaimana semua perkenalan, kita mulai saja dari yang paling awal, memperkenalkan siapa diriku.
Oh, annyonghaseyo, namaku adalah Kim Ki-woo. Usiaku? Hmm, katakan saja seharusnya sudah usia untuk berkuliah sekitar tahun kedua atau ketiga. Aku tinggal bersama keluargaku yaitu Abeoji; Kim Ki-taek, Eomma; Chung-sook, dan adik perempuanku yang usianya setahun di bawahku, Kim Ki-jung. Walau kami tinggal di Seoul, ibu kota Republik Korea, atau biasa kalian sebut Korea Selatan, jangan bayangkan kami hidup enak sebagaimana orang-orang yang tinggal di apartemen tinggi di Gangnam-dong, Cheongdam-dong, atau Apgeujong-dong. Tidak, kehidupan seperti itu jauh dari yang bisa kami jangkau. Kami hidup berdesakan di salah satu wilayah pemukiman kumuh, atau ghetto, di sebelah utara Seoul, pada rumah yang disebut sebagai banjiha atau apartemen semi-basemen.
Kehidupan kami? Yah, pastinya tidak seglamor sebagai bayangan orang ketika nama “Korea Selatan” disebut. Kami merupakan salah satu keluarga termiskin, bahkan aku dan Ki-jung terpaksa putus kuliah karena faktor biaya. Jangankan untuk pendidikan, bahkan untuk makan sehari-hari saja kami kesulitan. Kami terus menerus mencari kerja serabutan, apa saja supaya bisa mendapatkan beberapa ribu won untuk kami makan, juga menyalakan handphone. Yah, karena handphone ini menjadi penyambung hidup bagi kami. Dari handphone-ku dan Ki-jung, kami mendapatkan informasi kalau-kalau ada yang perlu bantuan tenaga kasar. Walau sering mendapatkan pekerjaan serabutan, namun kecilnya bayaran membuat uang yang kami terima sudah habis pada hari itu juga. Contohnya seperti hari ini…
Aku berkali-kali memencet tombol pada handphone-ku, berusaha untuk mencari password WiFi dari ahjumma yang tinggal di atas. Beberapa kali ahjumma itu teledor membiarkan WiFi-nya menyala, dan dengan keahlian Ki-jung adikku, kami bisa mendapatkan password untuk WiFi. Lumayan untuk menyalakan internet selama beberapa hari selagi kami masih belum punya uang lagi. Namun pagi ini, handphone-ku sama sekali tak bisa tersambung pada WiFi si ahjumma.
“Ki-jung-a!” panggilku.
“Ada apa?”
Pintu kamar mandi terbuka dan Ki-jung keluar dengan rambut yang masih basah. Aku terdiam sejenak, mencium wangi sabun murahan yang membungkus badan Ki-jung. Aku selalu suka melihatnya setelah mandi, karena Ki-jung selalu terlihat lebih cantik. Yah, dia memang cantik, mungkin karena itulah sahabatku, Min-hyuk, suka berada bersamanya. Itu membuatku agak cemburu.
“Password WiFi ahjumma yang di atas itu apa ya?” tanyaku.
“Udah coba 123456789?”
“Udah, tapi nggak bisa”
“Coba dibalik”
“Udah juga, tapi tetep nggak bisa”
Eomma, yang mendengar ini dari ruang keluarga, tampak agak cemas. Wajar saja, setiap kali kami meninggalkan nomor kontak untuk pencari pekerjaan, pasti menggunakan nomorku atau Ki-jung. Bila paket internet kami mati, maka kami tak akan tahu bila mereka menghubungi. Setiap pesan yang tidak bisa masuk artinya kesempatan kami mendapatkan uang akan hilang disambar oleh orang lain yang juga mengincar hal sama bagai burung nasar. Beginilah realita keras dari kehidupan kami.
“Jadi kalian nggak bisa chatting?” tanya Eomma.
“Nggak bisa, Eomma”
Eomma yang cemas lalu membangunkan Abeoji yang sedang tiduran di depannya.
“Kim Ki-taek, jangan tiduran saja. Bantu anakmu mikir, tuh”
Abeoji bangun dengan malas-malasan, dan duduk setengah mengantuk di hadapan ibuku.
“Handphone nggak ada paket, terus WiFi sekarang ikutan mati. Kamu punya rencana nggak, buat ngatasinnya?”
Abeoji langsung bangun dan mencari makanan di dapur. Tidak ada makanan apa-apa, hanya roti yang sudah basi dan berjamur, tapi seperti Abeoji sering bilang, tinggal kupas saja bagian yang berjamur, masih bisa dimakan.
“Ki-woo-ya, coba cari terus sinyal WiFi-nya, angkat tanganmu. Di sini bukan cuma si ahjumma saja yang memasang WiFi, jadi cari perlahan di setiap sudut ruangan”
Aku mengikuti perintah Abeoji dan mengangkat tanganku setinggi yang kubisa, karena langit-langit beton rumah ini yang rendah hanya menyisakan beberapa sentimeter saja ruang di atas kepalaku. Pelan-pelan aku menyusuri seluruh sudut rumah, inci demi inci, dan hanya agak tertegun saat melihat adikku, Ki-jung, tengah berada di depan cermin dan menyisir rambutnya. Aku menelan ludah setiap kali Ki-jung menggerakkan sisirnya dari pangkal ke ujung rambut.
Yah, di rumah sekecil ini, kontak dengan para anggota keluarga menjadi amat dekat, jadi mungkin itu hal yang wajar saja. Hanya saja dengan semakin matangnya Ki-jung sebagai seorang wanita, terkadang melihatnya sehabis mandi, atau setelah dia tidur, membuat darahku pun mau tak mau ikut berdesir, jantung berdetak kencang, dan sesuatu pun tampak mulai bangun di bawah sana.
“Kenapa?” tanya Ki-jung saat melihatku menatapnya.
“Oh, nggak, nggak apa-apa”
“Horny ya liat aku?”
“Ih, siapa? Kegeeran ah, kamu”
“Halah, ngakunya kegeeran, tapi kalau aku tidur atau mandi kamu sering ngintipin, kan?”
“Enggak, enak aja, siapa lagi mau ngintipin kamu”
“Kalau enggak koq yang di bawah ampe ngejendol gitu?”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, lalu memutuskan kembali mencari sinyal WiFi. Yang Ki-jung katakan memang tidak sepenuhnya salah. Aku memang kadang mencari-cari kesempatan untuk bisa mengintip saat Ki-jung sedang tidur atau mandi, terutama saat-saat kami beranjak remaja.
Aku sendiri sebenarnya tak asing dengan seks, karena beberapa kali pernah melakukannya dengan teman sekelasku, seperti Lee Seo-yeon, Sung Ji-an, atau Kim Hyun-young, seniorku di kelas 9, namun boleh dibilang dari Ki-jung lah pertama kali aku mendapatkan pengalaman seksual saat akil balik. Bukan, tentu saja bukan dengan menyetubuhinya, karena itu akan sangat aneh. Aku hanya bermasturbasi sambil mencium celana dalam bekas dia pakai hingga muncrat. Gilanya, Ki-jung bukannya tidak tahu soal ini, namun dia memilih mendiamkannya. Malah sering dia yang menggodaku. Abeoji dan Eomma pun tak pernah berkomentar soal ini. Sepertinya mereka merasa bahwa inilah konsekuensi tinggal di rumah sesempit ini.
Pelan-pelan, aku masuk ke kamar mandi dan di sudut kanan atas, satu bar pun menyala, naik ke dua bar.
“Dapat! Ketemu!”
“Eh, beneran? Ada sinyal, Oppa?” tanya Ki-jung yang langsung datang sambil membawa handphone-nya.
“Iya, di sebelah sini. Coba lihat deh ini, dari Coffee Land 2G. Itu kedai kopi yang baru buka dekat sini, kan?”
“Koq aku nggak dapet ya?” Ki-jung turut pula mengangkat handphone-nya untuk mencari sinyal.
“Naik ke WC sini lho”
WC di kamar mandiku memang agak aneh, karena klosetnya terletak di semacam panggung, sehingga orang yang mau buang air harus naik dari tangga ubin yang cukup curam. Aku naik ke atas panggung, disusul oleh Ki-jung. Karena tempatnya yang sempit (sebenarnya hanya bisa satu orang yang ada di atas sini), Ki-jung memepetku hingga aku bisa mencium baunya yang segar karena habis mandi.
Mengenai Ki-jung, apa yang bisa kukatakan ya? Adikku sebenarnya cantik, banyak pria yang suka padanya, termasuk aku. Kulitnya sebenarnya mulus, tapi karena jarang perawatan sehingga terlihat agak kusam. Kemudian tubuhnya pun bagus, walau toketnya tidak terlalu besar. Inilah tubuh yang selalu menjadi pelipurku saat hormon remajaku memuncak.
“Awas, tititnya jangan ngaceng” bisik Ki-jung saat berada di dekatku.
“Bawel ah. Gak mungkin ngaceng lah, orang ama toket rata gitu”
“Eh, gini-gini yang pegang selalu ketagihan lho. Kamu juga kan dulu, beraninya aja megang toketku pas malem-malem pas aku tidur. Pegang sini sekarang kalau berani”
“Eh, malah nantangin nih”
Tapi momen kedekatan adik-kakak ini tak kami lanjutkan, karena Eomma melongokkan kepala ke dalam kamar mandi.
“Dapet sinyalnya?”
“Dapet, Eomma”
“Coba periksa deh, ada pesan masuk apa nggak. Soalnya Pizza Generation bilangnya mau ngehubungin”
Aku lalu mencari-cari pesan di aplikasi KakaoTalk-ku.
“Oh iya, ada nih dari Pizza Generation”
“Ya, balas kalau mereka nawarin kerjaan, bilang aja kita bisa gitu”
“Baik, Eomma”
Eomma pun pergi, dan aku membalas pesan dari Pizza Generation yang ingin kami melakukan pekerjaan melipat kotak pizza sebanyak 200 boks. Setelah memencet tombol “kirim”, aku merasakan ada sesuatu yang empuk menekan siku kananku. Aku menoleh dan kulihat Ki-jung telah menempelkan toketnya di sana.
“Empuk, kan?”
Aku tak bisa berkata apa-apa, bahkan ketika Ki-jung meraih tanganku lalu menempelkannya telapaknya di atas dadanya yang benar-benar pas segenggaman itu. Kurasakan napasnya agak memburu, begitu pula detak jantungku.
“Tuh, tititnya berdiri”
Kulihat ke bawah dan celanaku mulai menggembung seperti balon. Aku tak begitu peduli. Kudekatkan wajahku pada Ki-jung, dan kulihat matanya yang sayu dan nanar. Dan…
TUING!
Tanda pesan masuk berbunyi. Pizza Generation setuju memberikan orderan pekerjaan itu pada kami. Aku dan Ki-jung segera saling menjauh sambil berdehem. Aku langsung memberi tahu Eomma, karena rencananya sekarang juga mereka akan memberikan dus-dus kotak pizza yang harus kami lipat. Ki-jung sendiri tampak memeletkan lidahnya padaku dengan pandangan mata jahil.
=====================
Kami semua pun bekerja bersama untuk melipat semua boks pizza. Namun tetap saja, 200 adalah jumlah yang banyak, walau sudah dibagi untuk kami berempat. Apalagi Pizza Generation memberikan instruksi spesifik mengenai bagaimana boks pizza harus dilipat. Ditambah lagi, dengan bodohnya, kami sudah menyanggupi akan selesai mengerjakannya sore ini. Kami tak menyangka bahwa pekerjaan melipat boks pizza yang terdengar gampang itu ternyata memakan banyak waktu.
Beratnya pekerjaan ini masih ditambah lagi dengan halangan berupa kegiatan fogging untuk membasmi serangga-serangga yang muncul pada musim panas. Walau kami ingin supaya jendelanya ditutup, justru Abeoji yang menyuruh supaya tetap dibuka, supaya asap fogging-nya masuk ke rumah dan membasmi serangga di dalam. Jujur saja, kami memang punya masalah dengan serangga, terutama kecoak, namun kami tak punya uang untuk membayar pembasmi hama membersihkan rumah kami. Jadi, fogging ini solusi bagus, karena asapnya pasti akan jatuh dan masuk ke dalam rumah kami yang memang berupa semibasemen dengan jendela kami berada sejajar dengan jalanan. Hanya saja, andai fogging itu dilaksanakan tidak bersamaan saat kami harus mengerjakan pesanan ini.
Kontan saja asap fogging langsung memenuhi rumah, yang membuat kami langsung batuk-batuk dan kesulitan bernapas akibat baunya yang seperti thinner menusuk, juga asapnya yang menghalangi pandangan kami. Di tengah-tengah suasana itu, kami berjuang setengah mati untuk terus melipat. Hanya Abeoji yang tampaknya tak terganggu dengan hal ini, karena dia terus bekerja sambil mempraktikkan tutorial melipat boks pizza dengan cepat yang ku-download dari YouTube. Aku, Eomma, dan Ki-jung lebih memilih untuk melipat semua boks jatah kami sesuai instruksi dari Pizza Generation, walau risikonya kami akan bekerja lebih lama.
Luar biasanya, walau dengan semua halangan itu, kami bisa selesai tepat waktu ketika Bu Manajer dari Pizza Generation datang untuk mengambil hasil pesanannya. Sayangnya, itu bukan akhir dari masalah kami, karena Bu Manajer tampak tidak puas.
“Apa masalahnya?” tanya Eomma
“Kalian sudah diberi sampel, tinggal dilihat, tinggal ikuti garis lipatannya. Lalu kenapa bisa ada bekas lipatan di sebelah sini?”
Bu Manajer menunjukkan salah satu bagian tutup boks, yang memang ada lipatan, padahal tak terdapat template garis lipatan di situ.
“Lalu boksnya lepas gini, nggak ngunci. Koq bisa? Ini sih sama aja nggak dilipat kalau begini caranya. Satu dari empat boks kayak gini semua lho” gerutu Bu Manajer.
Tak perlu waktu lama bagi kami untuk tahu siapa yang salah, karena memang hanya Abeoji saja yang melipat secara berbeda, akibat mengikuti instruksi cepat dari YouTube. Usut punya usut, saat mengikutinya, Abeoji tidak sadar bahwa boks pizza di video berbentuk segi empat, bukan segi delapan sebagaimana milik Pizza Generation, jadi wajar saja kalau muncul lipatan-lipatan yang tidak pada tempatnya dan membuat hasil akhirnya jelek.
“Sudahlah, kupotong saja upah kalian 10 persen” kata Bu Manajer dengan kesal.
Mendengar ini, Eomma kesal dan mendebatnya hingga ke luar rumah, dengan dilihat oleh banyak orang. Bagi Eomma, upahnya saja tidak banyak, apalagi kalau dipotong 10 persen. Namun Bu Manajer bersikeras bahwa kalau dilihat total hasil yang salah, maka dia sudah amat berbaik hati “hanya” memotong 10 persen.
Hampir saja terjadi pertengkaran besar, kalau
aku dan Ki-jung tidak menenangkannya. Langsung kukatakan padanya bahwa Bu Manajer ini masih kesal akibat salah seorang pegawai lepasnya, yang seharusnya mengerjakan ini, tiba-tiba kabur, tepat saat mereka akan menerima serangkaian pesanan besar.
“Dari mana kamu tahu soal ini?” tanya Bu Manajer.
“Dia temannya adikku” kataku sambil menunjuk Ki-jung.
“Dia memang agak aneh,” kata Ki-jung, “reputasinya nggak bagus, dan ini bukan yang pertama”
Bu Manajer hanya mendengus saja. Perkataanku dan Ki-jung ini memang benar adanya, sepertinya memang begitulah sikap si “orang” ini.
“Begini saja, Sajangnim, bagaimana kalau sebagai permintaan maaf, tak masalah bila potong 10 persen, ditambah…”
“Ditambah apa?”
“Kau juga bisa dapat pegawai baru” kataku malu-malu.
“Maksudnya?”
“Aku… Aku akan membantumu dalam mengerjakan pesanan itu”
Bu Manajer tampak terkejut mendengarnya.
“Kamu? Akal bulus ya? Nanti kamu kabur lagi seperti teman adikmu itu”
“Tenanglah, Sajangnim, aku janji tidak akan seperti dia”
“Benar, Oppa-ku ini orangnya rajin, jauh lah kalau dibandingin sama temanku itu” tambah Ki-jung.
Tampak kalau si Bu Manajer masih agak ragu.
“Hei, Noona, kita bener-bener perlu pegawai tambahan, lho!” kata karyawannya yang ikut bersamanya untuk membantu mengambil boks pizza yang telah kami lipat.
“Sudahlah, pekerjakan saja Oppa-ku, dijamin Anda tak akan menyesal”
“Aku bisa interview besok, Sajangnim, beri tahu saja jam berapa”
“Jamkkanman, biar kupikirkan dulu” kata Bu Manajer tampak agak kewalahan.
“Tapi tolong dibayar dulu” kataku.
Dia mendengus, lalu mengeluarkan uang dari tas pinggangnya.
“Nih, uangnya. Besok kamu ke store ya, jam 10 pagi, dan jangan sampai telat” kata Bu Manajer.
“Oh, Gamsahamnida… Gamsahamnida, Sajangnim
Aku pun berterima kasih dengan menjabat tangannya erat-erat dan entah bagaimana aku turut pula mencium tangannya. Bu Manajer tampak terkejut, namun dia tidak marah, hanya melirikku saja dengan senyum agak canggung. Aku dan Ki-jung mengucap terima kasih sambil mengantarnya kepergiannya.
“Ki-jung-a”
“Hm?”
“Temanmu yang kabur itu, apa itu karena ulahmu?”
Ki-jung hanya mengangkat bahu.
“Anggap aja aku bisa yakinin dia bahwa tetep di sini itu nggak baik buat dia”
“Gila, kamu yakinin pake apa itu orang? Seks”
“Ih, kepo. Apa kek… Yang penting karena dia pergi, kita jadi dapet pesanan ngelipat boks pizza ini, dan kamu juga bisa kerja di sana sementara, kan?”
“Iya sih, tapi apa yang kamu lakuin ama dia?”
Ki-jung hanya tersenyum jahil sambil mencubit hidungku.
“Kalau aku bilangin, ntar kamu pengen lagi, so kamu tebak sendiri ya, Oppa”
Aku hanya geleng-geleng kepala saja sambil melihat Ki-jung berjalan masuk ke rumah dengan gaya jalan seolah meledekku.
=====================
Kios Pizza Generation terletak di luar dari pemukimanku. Harganya yang murah dengan pilihan topping yang lumayan beragam membuatnya jadi favorit dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga karyawan kantor. Wajar saja kalau Pizza Generation sering mendapatkan pesanan dalam jumlah besar seperti kemarin.
Tanpa diduga, Bu Manajer, atau harus kupanggil “Bu Jung” saja, dari namanya, Jung Yeon-hee, menginginkanku bekerja hari itu juga. Di luar dugaan pula, alih-alih memanfaatkan jasaku secara gratis sebagai hukuman akibat kesalahan Abeoji, dia mempekerjakanku sebagai tenaga lepas dengan upah harian. Namun tentu saja hanya selama store ini masih menghadapi rangkaian pesanan besar, mungkin sekitar 2 atau 3 minggu ke depan.
Mengenai Bu Jung ini, tak banyak yang bisa dikatakan. Usianya sudah sekitar kepala 3, sebenarnya hanya beberapa tahun saja di atasku, tidak terlalu jauh. Dia sebenarnya cantik, tapi galak dan judesnya minta ampun, serta cenderung bersikap sebagai “tough lady”. Banyak yang bilang gara-gara sifatnya ini, maka dia tidak pernah berkencan dengan pria. Aku saja di hari pertama sudah beberapa kali kena marah oleh dia.
Walau begitu, setelah beberapa hari bekerja, dia tampak mulai tidak terlalu banyak marah-marah. Mungkin karena memang aku bekerja dengan keras dan tak mengeluh saat di pekerjaan. Aku bahkan tetap bekerja hingga agak larut, walau untuk ini, motivasiku adalah supaya bisa mendapat upah tambahan. Selain itu, hanya aku saja yang masih sering menyapa dan tersenyum kepada Bu Jung.
Lambat laun, sikapnya jadi sedikit ramah padaku. Kadang saat tak ada orang, dia sering memberiku sesuatu seperti soft-drink, permen, atau kopi. Bu Jung bahkan mulai sering mengobrol denganku saat store sudah sepi, karena aku sering pulang lebih malam dari teman-temanku yang lain, sementara Bu Jung biasanya mengerjakan laporan hingga larut malam. Adanya aku membuatnya merasa tak lagi kesepian saat malam. Dari situlah sedikit-sedikit kami mulai saling kenal, dan Bu Jung lebih banyak yang bercerita, mungkin karena memang sebelum ini dia tidak punya teman untuk bercerita atau bercengkerama. Namun semua itu biasa kami lakukan di area store, dengan etalase masih terbuka dan pintu belum dikunci, meski sudah diberikan tanda “TUTUP”.
Hari ini, setelah teman-temanku pamit untuk pulang, seperti biasa, aku masih mengatur boks pizza supaya besok pegawai shift pagi tak perlu repot-repot dan bisa langsung bekerja.
“Ki-woo” Bu Jung memanggilku.
“Ya, Sajangnim”
“Kamu pulang malam lagi?”
“Saya masih harus menata boks ini, Sajangnim, supaya shift pagi besok tidak kerepotan”
“Setiap malam kamu begitu terus ya”
“Oh, ya, hanya melakukan yang bisa dilakukan, Sajangnim”
Bu Jung mengangguk-angguk.
“Kalau sudah selesai, kamu nanti kunci pintu ama tutup store terus ke ruangan saya ya, ada yang mau dibicarakan”
“Oh, baik, Sajangnim”
“Kamu nggak masalah balik agak malam, kan?”
“Oh, nggak masalah sama sekali”
“Bagus, saya tunggu ya”
Aku melongo saja sambil melihat Bu Jung berjalan masuk ke dalam ruangannya. Tak biasanya Bu Jung mengajakku berbicara di dalam kantornya, apalagi sebelumnya menyuruhku untuk mengunci pintu dan menutup store. Pasti ada sesuatu yang penting, karena itulah secepatnya aku menyelesaikan pekerjaanku, kemudian menutup pintu, dan bergegas ke ruangan Bu Jung.
Ruangan Bu Jung sebenarnya tidak besar. Hanya sekitar 3×4 meter saja, dengan lemari arsip di satu sisi, televisi, dan meja kerja lengkap dengan komputer.
“Permisi, Sajangnim”
“Masuk, Ki-woo”
Wajah Bu Jung tampak agak syahdu, baguslah, setidaknya dia tidak akan memarahiku malam ini.
“Duduklah”
Aku langsung saja duduk di hadapannya. Ada yang agak aneh dengan Bu Jung kali ini. Tak biasanya dia menemui karyawannya dengan memakai parfum dan kancing T-Shirt tidak dikancingkan sehingga terlihat belahannya yang putih. Pipinya juga agak merona, mungkin dia baru saja minum alkohol.
“Ada perlu dengan saya, Sajangnim?”
“Ya, bagaimana bilangnya ya? Saya sudah dapat laporan kalau shift pagi amat terbantu dengan kamu yang udah menata boks. Karena itu pertama-tama saya mengucapkan terima kasih banyak karena sudah bekerja dengan rajin”
“Oh, iya, anniyeo, kebetulan saya tidak perlu terburu-buru pulang”
“Hhh… Andai saja kita punya lebih banyak pegawai sepertimu”
“Memangnya kenapa, Sajangnim”
Bu Jung melihatku dengan tatapan mata amat tajam, namun ada pancaran sinar iba di baliknya.
“Bagaimana bilangnya ya… Kamu aku pekerjakan selama gerai kami menghadapi pesanan yang lagi besar, kan? Nah, minggu depan pesanannya sudah akan bisa di-handle sama pegawai yang biasa. Jadi…”
Aku hanya terdiam. Kalau seperti kata Baek Z Young, “bagaikan tertembak peluru”. Namun tetap saja, semenjak awal memang begitulah kesepakatannya.
“Karena pegawai lain status kontraknya lebih kuat, jadi…”
“Oh, ne, saya paham, Sajangnim”
“Aku juga nggak mau seperti ini, karena sayang sekali kalau kehilangan pegawai serajin kamu, tapi buat saat ini pun gerai ini masih belum mampu menggaji tambahan karyawan lagi. Eotteoke, aku tidak bisa melakukan ini, apa yang harus kulakukan??”
Bu Jung memegang kepalanya dengan kedua tangannya seolah bila tidak begitu, maka kepalanya akan copot. Aku termenung, tapi entah kenapa aku berdiri dan tanganku bergerak, memegang kedua tangan Bu Jung. Pandangan mata kami bertemu, dan aku memegang tangan Bu Jung dengan tegas, namun tak sampai menyakitinya. Kurasakan denyut nadinya mulai berpacu.
“Sajangnim… Aku paham… Ini bukan salahmu”
Mata kami berdua tak terputus sama sekali, dan Bu Jung pun mendekatkan kepalanya kepadaku. Kini jantungku sendiri yang berdetak semakin kencang. Bu Jung memang tak begitu cantik seperti Ki-jung, namun juga tidak jelek, dan dia tampaknya rajin dalam merawat mukanya. Cukup untukku bisa sedikit terpesona dengannya.
Akhirnya mulut kami pun bersatu. Aku bisa mencium bau soju dari napasnya, namun entah kenapa aku tak bisa melepaskan bibirnya yang lembut dan hangat yang tengah melumat bibirku itu. Aku pun ganti melumat bibirnya, dengan dia mengeluarkan desahan kecil.
“Sajang…”
Jari telunjuk Bu Jung sudah ditempelkannya di bibirku.
“Panggil aku Yeon-hee noona, lagi pula usia kita tak terpaut terlalu jauh”
“Yeon-hee noona…”
“Temani aku malam ini, Ki-woo-ssi”
Aku langsung ganti melumat bibirnya, kali ini dengan lebih ganas. Kami lalu berpindah supaya tak terhalang oleh meja, tanpa melepaskan ciuman kami, dan aku langsung membuka baju Bu Jung, sehingga terlihatlah tubuhnya yang ramping dengan kulit putih, dengan dada ukuran 32B. Satu hal yang mungkin bisa disebut sebagai “cacat” hanyalah gelambir lemak pada perutnya, tapi entah kenapa aku suka yang seperti itu.
Tidak perlu waktu lama, kami pun sudah sama-sama bertelanjang dada, dan Bu Jung, bukan, Yeon-hee, kubaringkan di lantai beralaskan baju kami. Atas inisiatifnya sendiri, dia membuka beha-nya, tapi masih agak malu-malu saat ingin melepasnya. Pandangan matanya dipalingkan dari arahku.
“Wae?”
“Aku malu… Ini pertama kalinya kuperlihatkan pada seorang laki-laki setelah…”
Yeon-hee tak meneruskan perkataannya. Aku pun berjongkok, lalu memegang pipinya untuk menenangkannya. Kemudian dengan tanganku yang satunya, aku perlahan-lahan membuka tangan yang masih memegang beha itu, memperlihatkan toketnya yang mulus dengan urat warna hijau dan biru, dan puting warna cokelat terang yang besar.
“Gwaenchana” kataku menenangkannya.
Aku lalu kembali menciumnya, tapi kali ini dengan lebih lembut, sambil tanganku yang satunya memegang dada kanannya dan meremasnya dengan tempo yang kusesuaikan dengan ciumanku. Saat aku mencumbunya dalam, kukeraskan remasanku pada dadanya, hingga terlihat seolah dia menghirup napas panjang. Begitu pula saat kukendurkan cumbuanku, remasanku pun menjadi lebih lembut, tetapi sambil kumainkan pula putingnya. Metode “mencari channel radio”, begitu kata orang.
Dari mulut, ciumanku turun ke leher, dan kucupang leher Yeon-hee hingga dia mendesah keenakan. Lalu sambil kukecupi terus, ciumanku turun ke dadanya. Kumainkan sejenak puting Yeon-hee dengan lidahku (sambil puting satunya terus kupilin-pilin), sebelum akhirnya menyedot keseluruhan toketnya.
“Aaaah… Yes! Iyah, Ki-woo, terus… Teruuussss….”
Tiba-tiba saja kurasakan badan Yeon-hee agak menegang, kemudian bergetar kecil. Apakah Yeon-hee sudah orgasme? Apa pun itu, dia langsung ambruk di lantai dengan napas terengah-engah. Ruangan yang ber-AC pun kini terasa gerah.
Aku menatap Yeon-hee yang masih terengah-engah, lalu dengan mantap, kubuka kancing dan retsleting pada celana Yeon-hee, dan kupelorotkan bersama dengan CD-nya. Yeon-hee pun turut mengangkat pantatnya sehingga mempermudah tugasku untuk menelanjanginya. Begitu celana itu terlepas, tangannya langsung dipakai untuk menutupi memeknya.
Kami berpandangan sesaat.
“Ki-woo-ssi”
“Gwaenchana”
“Aku belum pernah…”
Aku berhenti sejenak, menatapnya, hanya untuk bangkit, lalu melepas celanaku beserta celana dalamnya, dan langsung mengacunglah kontolku di hadapan Yeon-hee yang kini malah menatapnya tanpa berkedip.
“Gwaenchana… Kita nikmati saja malam ini”
Aku pun mengusap-usap kontolku sendiri sehingga makin tegak, dan bersamaan dengan itu, Yeon-hee pun membuka tangannya, menunjukkan memeknya yang lebat oleh bulu namun sudah mengkilat karena terangsang. Aku merebahkan diri di atasnya, dan Yeon-hee langsung menyambutku dengan french kiss yang amat panas. Kami pun bergulingan di atas lantai dengan baju sebagai alas, dan kuremas toket Yeon-hee dengan kedua tanganku, kumainkan keras dan lambat bergantian.
Sementara di bawah, kontolku yang semakin menegang kugesekkan pada gundukan memek Yeon-hee, menggosok pada bulu kemaluannya, hingga kepala kontolku terasa geli. Sesekali kusundulkan kepalanya pada bibir memek Yeon-hee, membuatnya berteriak keenakan. Kemudian kuciumi leher dan seluruh tubuhnya.
“Iyah,… Terus, Ki-woo-ssi… Anniyeo… Oppa…”
“Sekarang aku ini Oppa-mu?”
“Ne… Kamu Oppa-ku… Puaskan aku, Oppa… Bawa aku ke langit ketujuh…”
“Baik, bersiaplah…”
Kuposisikan kepala kontolku pada lubang memeknya. Yeon-hee menatapku, setengah ketakutan, setengah menginginkannya. Kupegang kepalanya dengan kedua tanganku, lalu kutarik hingga mulut kami berciuman, kali ini kurasakan lidahnya tak lagi malu-malu dan mengorek mulutku dengan dalam. Pada saat itulah pelan-pelan kudorong kontolku masuk ke dalam memeknya yang sudah basah.
Yeon-hee membelalak saat kontolku perlahan-lahan menembus liang memeknya. Dia mencengkeram pundakku dengan keras, seolah ingin menanamkan kukunya di sana.
“Hffppt… A… Op.. Oppa…”
“Ssshh… Gwaenchana, gwaenchana, dajal dwel goya”
Yeon-hee mengangguk kencang, sembari menahan rasa sakit yang ditimbulkan saat kontolku bergerak menembus dan membuka liangnya. Sejenak kurasakan kepalanya terhalang sesuatu. Kutarik sedikit kontolku, lalu dengan sekuat tenaga kuhantamkan dalam-dalam, membuat Yeon-hee langsung berteriak melengking. Tangannya ditegangkan pada badanku seolah ingin mendorongku menjauh, tapi aku bertahan.
Napas Yeon-hee memburu, keringatnya bercucuran, dan mulutnya seolah meracau. Kudiamkan sejenak hingga dia tak lagi mendorongku dengan kuat, kemudian perlahan-lahan kugoyangkan pinggulku dan kontolku pun bergerak di dalam leher rahimnya. Untuk mengalihkannya dari rasa sakit, aku mengenyot toketnya yang putingnya kini telah menegang sempurna. Erangan kesakitan Yeon-hee kini berubah menjadi desahan kenikmatan.
Setelah dia mulai menikmati, kugerakkan kakinya hingga menumpu pada pundakku. Kugenjot perlahan dalam posisi itu dan Yeon-hee mulai mengerang lebih kencang, memintaku untuk jangan berhenti.
“Huft… Terus, Oppa… Memekku terasa penuh… Sssh… Kontolmu nikmat sekali, Oppa”
Aku mencondongkan tubuhku ke depan sambil kakinya kudorong hingga menempel pada toketnya, membuat pinggulnya naik, sehingga bisa kugenjot dalam posisi lebih tinggi. Sekali lagi aku merasakan kontolku menghangat seperti disiram oleh air, dan semakin lama air pun memancar keluar setiap kali kugenjot lebih dalam.
“Kau suka, Yeon-hee?”
“A-Aku suka sekali, Oppa… Terus… Sssh… Aaaahh…”
“Aku mau keluar, Yeon-hee”
“Iya, Oppa, tahan, aku juga…”
Gerakan kontolku kini kupelankan, namun kudorong dengan lebih keras sehingga Yeon-hee berteriak dan air kembali menciprat keluar dari lubangnya yang masih tersumpal kontolku. Pada saat itulah kurasakan ada sedikit sentakan pada memek Yeon-hee, seperti ada yang mendorong cairan di dalam rahimnya untuk keluar, tapi lebih besar daripada yang tadi. Yah, Yeon-hee akan mendapatkan orgasme besarnya. Aku ingin menarik kontolku keluar, tapi kedua kaki Yeon-hee saling mengunci, menahan pinggulku sehingga aku tak bisa bergerak keluar. Aku tak bisa berpikir, dorongan dari kantung zakarku sudah kurasakan semakin berpacu deras ke ujung kontolku, dan aku sudah tak tahan lagi…
“Aaaaaaaahhhhh…. Aku keluar, Yeon-hee!!!”
Rasanya agak aneh, seperti mani di dalam kontolku mendorong semakin dalam, lalu memek Yeon-hee menonjok kontolku ke luar. Air pun bermuncratan amat deras dari lubang memek Yeon-hee, yang karena masih tersumpal kontolku, akhirnya memancar ke mana-mana, terutama ke seluruh tubuh Yeon-hee yang memang berposisi di bawah.
Akhirnya kuncian pada kaki Yeon-hee melemas, dan kami pun merosot, jatuh rebah pada lantai sambil berusaha mengatur napas kami. Baunya, jangan ditanya, seperti mandi dengan soju, hanya saja dengan aroma yang lebih gurih, menusuk namun memabukkan.
Aku melihat ke arah memek Yeon-hee, dan ada noda darah di sana, begitu pula pada kontolku, yang bercampur dengan air dari memek Yeon-hee, air sama yang kini mengalir pelan dari dalam memeknya ke lantai, bening, kuning, putih, merah, semua menjadi satu.
“Kamu rupanya benar masih perawan, Yeon-hee?”
“Ne…”
“Kamu menyesal?”
“Anni…”
“Wae?”
“Karena aku melakukannya untukmu, Oppa”
“Tapi, bukankah aku akan keluar besok?”
“Ne… Gwaenchana… Anggap saja ini hadiah perpisahanku”
Kami terdiam, melihat lampu dan alarm api yang ada di langit-langit, seolah itu adalah bulan dan bintang, dan kami berbaring telanjang di rerumputan, bukan di lantai yang dingin hanya dialasi baju yang basah.
“Oppa…”
“Ne?”
“Apa rencanamu setelah ini?”
“Aku? Molla…”
Yeon-hee menyamping hingga menghadap ke arahku. Aku pun menoleh ke arahnya. Pada saat ini dia bukanlah Bu Jung yang galak, hanya Yeon-hee. Tangannya pun ditempelkannya di pipiku, memberi sebuah perasaan hangat yang tak asing, lalu dengan jempolnya, dia pun mengusap-usapnya.
“Kau pria yang baik, Oppa, apa pun itu, kau pasti akan menemukan jalan, hanya saja mungkin belum bersama kami di sini”
“Gomawo”
Yeon-hee kemudian memelukku. Aku merasakan kehangatan dari pelukannya, seolah ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Perasaan yang hanya akan tersampaikan lewat sentuhan fisik. Cukup lama aku merasa nyaman dalam pelukannya.
“Oppa”
“Ne?”
“Kontolmu gerak-gerak lagi, nih”
Aku melihat ke bawah, dan kaki Yeon-hee sudah menumpu hingga pahanya berada di atas kontolku yang kembali mengeras.
“Oh iya, tahu saja dia ada wanita cantik”
“Oppa…” katanya sambil memukul pelan pundakku dan dengan nada manja, “kamu sengaja menggodaku, ya?”
“Lho, kenyataan, koq”
Yeon-hee memindahkan pahanya dari atas kontolku, tapi ganti tangannya yang kini memainkan dan meremas-remas kontol yang masih seperempat tegang ini. Aku hanya mendiamkannya saja, dan aku yakin dia merasakan saat kontolku semakin mengeras di tangannya.
“Lucu…”
Aku tersenyum mendengarnya mengatakan itu. Saat aku hendak bangun, tiba-tiba Yeon-hee mencegahnya dengan menahan tubuhku untuk tetap berbaring di lantai. Sambil tetap memegang kontolku dengan agak erat, dia merangkak ke atas tubuhku sehingga kini posisi memeknya tepat berada di atas wajahku. Memek penuh rambut lebat yang baunya memabukkanku. Kulihat kini lubangnya agak menganga, berkat aksi kontolku tadi, dan cairannya selalu basah hingga seperti menetes, dan aku pun menjulurkan lidahku seolah siap menerima tetesan karunia itu.
Tiba-tiba aku tersentak saat Yeon-hee memasukkan kontolku ke dalam mulutnya yang hangat kemudian menyedotnya amat dalam, seperti orang yang tengah menyedot menggunakan sedotan. Rasanya geli, enak, tapi sekaligus ngilu dan nyeri hingga menusuk amat dalam, sampai-sampai aku tak tahu bagian mana yang merasakan tusukan itu. Seolah ada sesuatu yang dipaksa masuk dari lubang kencing, turun melalui bagian dalam kontol, kemudian menyebar hingga ke seluruh selangkangan, setelah itu ditarik bersamaan membuat semua syarafku berasa meledak. Pantatku terangkat entah berapa tinggi saat dia melakukannya, dan rasanya amat menusuk bahkan hingga ke ubun-ubun.
“Enak, Oppa?”
Aku tidak bisa menjawab, hanya mencoba mengatur napasku. Pada saat itulah Yeon-hee menurunkan pantatnya sehingga memeknya tepat duduk di mukaku. Secara refleks mulutku membuka sehingga memek itu tepat berada di lingkaran mulutku, tapi ini membuatku tak bisa melakukan apa-apa selain mencoba mencucuk memek itu dengan lidahku, dan dalam keadaan mulutmu terberangus dan tak bisa dikatupkan, jelas bukan sesuatu yang mudah. Diperparah lagi dengan ujung hidungku yang beberapa kali menyentuh anusnya, bau pesing, apek, dan anyir menyeruak di tengah gurihnya aroma memeknya, tapi walau megap-megap berusaha mencari napas, aku semakin kesetanan. Kucucup sebisaku hingga kurasakan bulu kemaluannya basah kuyup oleh ludahku, yang kini meluber keluar dari mulutku.
“Aaaahh… Terus, Oppa! Puaskan aku!”
Yeon-hee kemudian agak mengangkat pantatnya, sehingga kini kepalaku tak lagi terpancang di lantai, dan membuatku lebih bebas dalam mengeksplorasi wilayah itu secara oral. Kusedot-sedot memeknya, bulu jembutnya, lalu kujilat berulang-ulang dari memek ke anus, dari memek ke anus, sebelum kemudian kusodok klitorisnya menggunakan ujung lidahku. Aksiku semakin kesetanan karena Yeon-hee terus memainkan kontolku dengan mulutnya, entah apa yang dilakukannya di sana, aku tak tahu, aku tak peduli. Yang kuinginkan sekarang hanyalah melahap memek dan anus Yeon-hee sebisaku. Dalam sekejap ludahku sudah melapisi seluruh bagian selangkangan Yeon-hee hingga ke semua sisi pantatnya. Ada bekas gigitanku juga di sana yang gemas pada pantat Yeon-hee. Aku merasakan mulutku seperti disiram sesuatu yang berbau dan berasa mirip santan anyir, dan itu membuat pikiranku semakin gelap, segala tindakanku kini hanya digerakkan oleh nafsu.
“Oppa… Sudah, lepasin dulu…”
Aku melepaskan pantatnya yang kini sudah basah kuyup belepotan oleh ludahku beserta cairan entah apa saja. Dengan agak gemetaran, mungkin karena beberapa kali orgasme, dia memutar tubuhnya, kemudian duduk di atas kontolku, menghimpitnya dengan bibir vaginanya. Aku bisa merasakan rambut kemaluannya menggelitik seluruh badan kontolku yang kini tegang sempurna.
“Kuberikan ini sebagai kado istimewa untuk perpisahan kita, Oppa”
“Apa semua yang resign kamu beri seperti ini?”
Yeon-hee menggeleng.
“Anni… Cuma kamu, karena kamu istimewa”
“Benarkah?”
Dia mengangguk. Lalu pelan2 dia naik dan memegang kontolku, menegakkannya, lalu diposisikannya tepat pada mulut memeknya yang sudah basah. Digesek-gesekkannya dulu sejenak agar kepalanya licin, kemudian, blessss… Diturunkannya pinggulnya hingga kini kontolku menancap masuk ke dalam memeknya yang sudah tak sesusah tadi. Bagaimanapun, tetap saja dia sedikit memekik, mungkin karena masih agak perih.
“Gimana?”
“Gwaenchana, gwaenchana… Aku bisa tahan”
Setelah mulai agak terbiasa, dia pun mulai menggerakkan pinggulnya. Aku menarik napas, karena rasanya seperti kontolku diremas kencang lalu diperah. Kurasakan memeknya seperti berdenyut, mengeras, kemudian melembut bergantian hingga serasa seperti memijat kontolku.
Kulihat ke arah Yeon-hee yang merem-melek meresapi rasa yang timbul pada memeknya, dan toketnya yang tak begitu besar itu berguncang, dengan putingnya yang tegak bagaikan tugu. Aku ingin sekali meremas toket itu, namun tidak bisa, karena Yeon-hee menggunakan kedua tanganku sebagai tumpuannya. Kubantu Yeon-hee dengan menggerakkan pinggulku secara sinkron dengan goyangannya sehingga kontolku bisa menusuk lebih dalam, dan ini setiap kali membuat Yeon-hee memekik.
Entah berapa lama kami berada pada posisi ini, aku hanya memperhatikan keringat yang kini membasahi tubuh dan wajah Yeon-hee. Dia lalu mengubah posisi dengan tumbang pada badanku, lalu mencumbuiku, sambil pinggulnya terus menerus mengocok kontolku. Aku pun kini bisa meremas dan memainkan toketnya yang terasa menggemaskan di tanganku. Kuremas, kupilin, dan bahkan kutarik putingnya hingga Yeon-hee mengerang kesakitan, namun sekaligus memperganas kocokan pinggulnya pada kontolku.
Lambat laun, suara jam, suara jalanan, atau apa pun itu tak lagi terdengar di telinga kami. Hanya ada suara erangan dan desahan keluar dari mulut Yeon-hee, helaan napas yang memburu, serta tepukan pinggul kami yang bersatu ditambah kecipak kontol yang sedang menumbuk memek basah. Semua indra kami serasa mati, atau mungkin sudah tak lagi bisa merasakan dunia di luar kami berdua. Kami bagaikan patung dua orang bersetubuh di tengah kosmos yang kosong, aku dan Yeon-hee. Semua sel-sel syaraf kami seolah meledak dengan kenikmatan yang serasa menggedor seluruh tubuh, dan semakin lama gelombang itu menjadi semakin besar.
“Aaasssh… Aaaahhh… Isshhh… Oppa… A-ku… ma-u… ke-lu-ar… Aaaahhh…”
“Dalam… atau luar…Hhhh”
“Ja-ngan dicabut, Oppa… Si-ram aku dengh-aaan mani hangatmu…”
“Yeon-hee…”
“Aaahh.. Op-paaaaa…”
Yeon-hee menekan erat pinggulnya padaku saat orgasmenya yang terbesar meledak, dan tak sampai satu detik kemudian, karena cengkeraman memeknya yang orgasme itu, kontolku pun akhirnya kembali menembakkan sperma ke dalam rahimnya. Segalanya menjadi gelap, dan jantung kami pun serasa berhenti, serta untuk sesaat semuanya terasa sunyi, seolah menghormati gelombang orgasme yang tengah melanda kami berdua.
Baru setelah gelombang itu mereda, kami pun mulai menjadi diri kami lagi. Cahaya kembali terang, dan semuanya pun kembali terdengar seperti sebuah dunia yang normal. Hanya saja kini kami sedang telanjang, dan Yeon-hee berbaring di atas tubuhku dengan lemas. Aku pun merasa seolah semua tulang pada tubuhku hilang, bahkan aku pun tak mampu mempertahankan peganganku pada punggung Yeon-hee yang basah oleh keringat deras. Kedua tanganku hanya terkulai saja di lantai, yang kini mulai terasa dingin.
“Terima kasih, Oppa”
Yeon-hee mencium bibirku, kali ini tidak dengan nafsu, melainkan sesuatu yang terasa lebih intim. Aku membalas ciumannya, juga mengecup keningnya sebelum akhirnya dia menyandarkan kepalanya pada dadaku, dan jari-jarinya pun digenggamkannya pada telapak tanganku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi biarlah kunikmati saja malam ini, karena pada malam ini, hanya ada kami, aku dan Yeon-hee, yang kelelahan setelah melampiaskan birahi kami.