Bangke Story : Longing


Karena Rindu Tak Boleh Kecewa

Yudistira, nama tokoh pewayangan yang identik dengan kejujuran, seperti nama yang disematkan padaku sebagai doa dari kedua orang tuaku, postur tubuhku bukan seperti idaman para wanita alias tidak ideal, tinggi seratus tujuh puluh empat sentimeter dan berat enam puluh kilogram dibalut kulit sawo luar negeri aka kiwi.

Kepenatan dunia kerja belakangan ini sudah melampaui batas, sehingga konsentrasiku mudah terpecah dan emosi ikut tidak terkontrol. Tak jarang pekerjaanku terbengkalai sampai-sampai mendapat teguran dari pimpinan. Melihat hal tersebut beberapa rekan kerja menyarankan aku cuti selama tiga hari untuk pergi berlibur.

Sambil membawa map berisi ijin cuti aku menemui pimpinan kantorku, Pak Wahyudi, diijinkan masuk setelah aku mengetuk pintu.

“Yudis, silakan duduk, kebetulan saya juga ingin memanggil kamu terkait kinerjamu yang cenderung menurun.” Sambut Pak Wahyudi

“Terima kasih pak, saya kemari juga sepertinya berkaitan dengan hal tersebut. Saya sadari kinerja saya yang menurun, untuk itu saya mohon cuti.” ucapku

“hmmmm, begitu ya. Kamu yakin dengan cuti ini bisa kembali memperbaiki kinerjamu?’

“Sangat yakin pak.”

“Oke, saya setujui, tapi ingat jika tidak berpengaruh maka buatkan surat pengunduran dirimu ya Yudis.”

“anu pak, terima kasih ijinnya.” sambil nyelonong keluar ruangan membawa ijin dari beliau.

Akupun mengambil liburan tersebut untuk mengunjungi ibu kota selama tiga hari dua malam yang terasa amat singkat, diisi tidur siang di hotel berbintang dan malamnya berjoget bersama alkohol, terdengar sia-sia. Jangan coba tanyakan sex, aku bukan tipikal pria yang bisa melakukan sex dengan wanita yang baru kenal, butuh feel dan waktu yang cukup panjang untuk bisa melakukannya, yang menurutku lebih tepat jika disebut bercinta.

Hiruk pikuk terminal tiga ultimate serta banyaknya lounge membuatku agak linglung mencari tempat yang pas untuk bersantai sambil menunggu keberangkatan pesawat yang mengantarkan tuk pulang menuju timur borneo. Akhirnya jatuh pilihan pada sebuah lounge yang menawarkan pembayaran menggunakan poin operator seluler yang kebetulan aku gunakan.

Masih ada waktu yang cukup lama, kurang lebih sekitar dua jam, karena aku terbiasa datang lebih cepat daripada terlambat. Kala aku asyik menikmati hiruk pikuk ditemani secangkir kopi latte dan sesekali mencuri-curi kesempatan menghisap vaping leci kesukaanku.

Seorang gadis yang tampak sangat linglung dan grasak grusuk masuk ke lounge yang sama denganku. Ia menyenggol lenganku yang sedang memegang cangkir kopi latte sehingga tumpah.

“Mbak???!!!??” celetukku

“Ada apa sih!!” jawabnya dengan nada kesal sambil berbalik cepat ke arahku, saking cepatnya hingga tas yang ditentengnya menabrak kepalaku.

Sejenak suasana hening dan canggung

“Maaf Ko, Mas, eh Pak, Eh Bang, Om.”

Aku terbahak melihat ekspresinya, dan menawarkan padanya untuk duduk bersamaku

“Yudistira.” sambutku memperkenalkan diri

“Indriyani.. mmm anu ko eh…” jawabnya diselingi senyum manis

“Jangan panggil aku ko karena aku gelap, malah terdengar seperti ejekan, jangan juga om karena aku tidak menanggung apartemen beserta tagihan-tagihanmu, bukan bapak karena umurku belum pantas punya anak sebesar dirimu.” potongku

Dia malah tertawa

Deg… jantungku berdetak

Aku bersyukur atas kejadian itu yang membuat kami mendadak akrab.

Indriyani, gadis keturunan dengan rambut hitam sebahu, tinggi seratus enam puluh satu sentimeter berat empat puluh delapan kilogram yang masih terus merasa gendut. Suka ngebanyol walau acapkali hanya dirinya yang mengerti dan tertawa sendiri. Ternyata dia hendak ke borneo juga, tapi sebelah barat pulau borneo.

Aku tidak lagi terlalu mendengarkan banyolannya, aku terfokus pada ekspresi ketika dia bercerita, bercanda, tertawa dan semua ekspresi yang dikeluarkannya. Sungguh riang dan jujur.

Hey…. Ada apa dengan ku??

Tak terasa waktu berlalu hingga terdengar panggilan terakhir untuk pesawatku, sontak aku terburu-buru menuju garbarata, sambil setengah berlari aku menoleh ke belakang untuk menanyakan kontaknya yang bisa aku hubungi, terlihat dia memberikan isyarat dengan bentuk mulut dan jari, inilah yang membuatku menyesal dan marah pada diri sendiri.

Kenapa tidak dari tadi aku bertanya?

Kenapa baru sekarang bertanya?

Dan kenapa aku rabun jauh…….

(bersambung)