Nukilan Kehidupan
Ayem kambeekk…
Huehehehe…
Ijinkanlah nubie kembali menyumbangkan hasil corat-coret nubie di forum tercinta ini…
Tolong jangan ada yang tanya soal kelanjutan cerita nubie yang sebelumnya ya, soalnya masih dalam tahap pengerjaan, yang bahkan 1 chapter pun belum kelar…
Kan kan malah curcol jadinya…
Karena stuck dengan itu, makanya nubie coba buat refreshing dengan menulis cerita ini, jadi soal cerita yang sebelumnya, jangan ditanyain dulu ya, aku mohon…
Cerita ini yang pastinya beda banget genrenya sama cerita nubie yang sebelumnya, kali ini nubie coba untuk membuatnya lebih ‘ringan’…
Soal apdetnya, nggak bisa mastiin, yang jelas tetep mengikuti rules di subforum ini, kalau misalnya kelewat dari rules yang udah ada, ya anggep aja sedang diistirahatkan, hehehe…
Cerita ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari fantasi nubie…
Eh
Lhoh, jadi yang bener kisah nyata apa fantasi sih?
Hmm, yaa yang mana aja boleh lah, nggak penting juga kan ya?
Yang jelas, dilihat aja dari judulnya, Nukilan Hidup…
Baiklah, mari kita mulai…
Sebuah Akhir Untuk Sebuah Awal
Aku berjalan pelan menuju parkiran dimana motor 110 cc ku masih setia menunggu disana. Masih dengan kemeja putih dan celana panjang abu-abu yang membungkus tubuhku. Dasi abu-abu yang tadi melingkar di leherku sudah ku lepas dan ku masukkan ke dalam tas, bersama dengan beberapa lembar piagam dan ijazah kelulusan.
Tempat ini sudah sepi, teman-temanku sudah pulang dari tadi. Aku sendiri, baru saja dari kantin yang menjadi langgananku selama 3 tahun ini. Sekedar untuk berpamitan, dan melunasi kewajiban-kewajibanku yang tertunda. Yup, aku berlangganan di kantin itu karena cuma disitu aku bisa ‘membayar kapan-kapan’.
Aku sudah sampai di motor hitam-oranye ku. Ku naiki joknya yang sudah berkurang tingkat keempukannya. Sudah kumasukkan kunci ke lubangnya. Tapi aku masih belum ingin beranjak dari tempat ini.
Ku edarkan lagi pandanganku ke sekitar. Melihat gedung-gedung kelas yang berjejer, aula yang dari tadi pagi dipakai untuk acara wisuda kelulusan angkatanku, kantin Mbok Ida yang sering jadi tempat ‘persembunyian’ anak-anak, lapangan basket merangkap lapangan tenis dan futsal, papan wall climbing yang menjulang tinggi tempatku menghabiskan hampir setiap sore selepas pulang sekolah, pepohonan rimbun yang tersusun tak begitu rapi, parkiran ini, dan masih banyak lagi.
Tak terasa, ini adalah hari terakhirku. Setelah melewati 3 tahun yang penuh dengan cerita standar khas anak SMA, akhirnya tiba juga di penghujung perjalanan. Masuk dengan susah payah waktu itu, dan lulus dengan nilai 28,00 dari 3 mata pelajaran.
Bangga?
Nggak juga.
Kenapa?
Karena angka 28,00 itu nggak murni. Yaah kalian tahulah apa yang aku maksud. Kalau masih nggak tahu juga, mungkin masa SMA kalian kurang bahagia. Tapi ya sudahlah, yang penting kedua orang tuaku bangga dengan nilaiku ini. Nilai yang mungkin di sekolah lain bisa masuk ranking paralel.
Tapi di sekolahku?
Boro-boro. Jangankan paralel, di kelasku sendiri aja nggak masuk 10 besar.
Mau bagaimana lagi, aku memang masuk di kelas unggulan, yang berisi 38 siswa berotak super encer, dan 2 onggok pemuda yang berotak setengah encer. Aku adalah salah satu dari 2 orang itu.
Lalu siapa yang satunya lagi?
Namanya Fandi, dan dia teman sebangkuku. Bisa kalian bayangkan betapa beratnya hidup kami di kelas itu? Sebenarnya nggak berat-berat banget sih, karena meskipun rata-rata teman sekelasku itu berotak encer dan tidak sedikit dari mereka yang kutu buku dan bermata empat, mereka adalah teman yang sangat baik, penuh empati, terutama pada kami kaum-kaum fakir ilmu ini.
Tapi sikap baik mereka mendadak berubah drastis ketika pengumuman NEM, dimana aku dan Fandi mendapat nilai yang tidak diharapkan. Bukan jelek, ya itu tadi, malah melebihi teman-temanku yang seharusnya lebih layak mendapatkan nilai segitu. Mereka melirik curiga padaku dan Fandi, seolah dalam benak mereka mempertanyakan, ‘Ni anak ngedukun dimana? Kok bisa dapet nilai segitu?’
Tapi, yaah sudahlah, semua sudah berlalu, biarkan kami berdua bahagia meskipun itu semu karena berbalut kecurangan. Tak perlu kuceritakan bagaimana aku dan Fandi berbuat curang dan mendapatkan nilai segitu tingginya, biar ini menjadi rahasia kami dan Tuhan, dan orang lain yang terlibat di dalamnya.
Sudahlah, cukup melamunnya. Sudah waktunya meninggalkan tempat ini. Pulang, menikmati sejenak kelulusan ini. Tapi aku harus mencari jalan lain, agar tidak bertemu teman-temanku yang sedang konvoi. Bisa-bisa aku diseret dan dibikin kanvas hidup oleh mereka. Aku harus menjaga seragamku tetap suci dari pylox mereka, karena seragam ini akan ku wariskan kepada adik sepupuku, begitulah pesan ayahku tadi malam.
“Pranaaa…”
Eh… Baru saja mau memutar kunci motor, terdengar suara perempuan memanggilku. Kualihkan pandanganku ke sumber suara tadi. Seorang gadis, yang dengan riang melangkahkan kakinya menghampiriku. Gadis manis dengan kulit kuning langsat khas wanita jawa, dengan kacamata yang setia bertengger menutupi matanya yang agak sipit.
Sipit?
Iya, memang agak sipit kok, tapi dia pribumi asli, setahuku sih begitu.
“Kenapa Vid?” ku tanya saat dia sudah ada di depanku.
“Kamu kapan mau berangkat ke Jogja?”
“Hmm, Senin atau Selasa depan sih mungkin. Daftar ulangnya masih hari Kamis kan?”
“Iya. Ya udah kalau gitu.”
“Lhah, udah gitu doang? Lha kamu kapan berangkatnya?”
“Aku hari Kamis aja Pran berangkatnya.”
“Lhoh, kenapa nggak sebelumnya aja? Mau naik apa emang?”
“Nggak tahu, terserah papahku aja.”
“Ooh dianter papah tho?”
“Iya. Ya udah ya, nanti ketemu di kampus aja.”
“Oke.”
Gadis itu berpaling dan meninggalkanku. Eh, maksudnya berjalan menjauh dariku, menuju ke gerbang sekolah.
Gadis itu, namanya Anita Hastavidya. Kami memanggilnya Vidya karena ada Anita-Anita lain di sekolah ini. Di angkatanku saja ada 3 orang termasuk dia, belum lagi di angkatan lain. Sebenarnya kasusnya sama sepertiku.
Oh iya, aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Arif Pranata, tapi sejak kecil dipanggil Prana karena sejak SD sampai SMA, selalu ada yang bernama sama denganku. Dan entah kebetulan atau tidak, ada 2 orang lain lagi yang bernama Arif, yang selalu satu sekolah denganku sejak SD.
Eh sebentar, ralat. Bukan sejak SD, tapi sejak TK.
Mereka adalah Arif Diaz Septian dan Arif Hendrawan. Di SD, nama kami mengisi 3 urutan pertama dalam daftar absen. Yang mendapat kehormatan untuk menyandang nama panggilan Arif adalah Arif Hendrawan, meskipun dia di nomer kedua dalam absen. Dia menolak dipanggil Hendra karena itu adalah nama ayahnya. Tidak mau pula dipanggil Wawan karena itu panggilan untuk kakaknya.
Awalnya aku berharap di SMP semuanya berubah, tapi ternyata tidak. Mereka satu sekolah lagi denganku. Dan sialnya, Arif Hendrawan yang satu kelas denganku. Maka aku kembali merelakan nama Arif disandang olehnya, dan aku kembali dipanggil Prana. Nggak masalah sih, malah lebih enak begitu menurutku.
Di SMA, aku sudah tak berharap lagi, karena aku pikir akan lebih banyak lagi yang bernama Arif. Tapi kami bertiga memang berjodoh. Meskipun tidak ada orang lain lagi yang bernama Arif, tapi kedua Arif itu kembali satu sekolah denganku. Yaah, begitulah kenapa akhirnya aku dipanggil Prana, sampai orang tua dan keluargaku juga memanggil begitu.
Sudah cukup perkenalan namaku, sekarang waktunya pulang. Keluar dari gerbang sekolah, aku celingukan ke kiri-kanan. Kira-kira dimana jalur konvoi teman-temanku. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil arah kiri. Lebih jauh sih, harus mutar kemana-mana, tapi tak masalah yang penting aku tidak bertemu mereka.
Waktu tempuh antara sekolah dan rumahku sebenarnya hanya 15 menit, tapi kali ini ku tempuh lebih dari setengah jam. Sampai di rumah, ku lihat di depan ada sebuah motor yang terparkir. Aku tahu itu motor siapa, motor paklekku.
“Assalamualaikum. Kulonuwun.”
“Waalaikumsalam. Wes mulih tho Le?” ibuku menyambut kedatanganku dan langsung ku jabat dan ku cium tangannya. (Udah pulang tho Nak?)
“Sampun Buk.” (Udah Buk.)
“Yo wes kono, salim karo paklek bulekmu.” (Ya udah sana, salaman sama paklek dan bulekmu.)
“Nggih Buk.” (Iya Buk.)
Aku menghampiri paklek dan bulekku. Mereka tersenyum senang melihat kedatanganku. Bukan senang karena aku pulang membawa nilai yang membanggakan, tapi senang karena seragamku bersih, bebas warna-warni pylox dan tanda tangan teman-temanku yang seolah sudah jadi tradisi.
Kami berbasa-basi sejenak, kemudian makan siang bersama. Bapakku belum pulang, adikku juga, jadi kami hanya makan berempat. Sambil makan kami masih meneruskan basa-basi yang tadi. Mereka lebih banyak menanyai rencanaku setelah lulus SMA ini. Sebenarnya mereka sudah tahu, tapi ya namanya basa-basi, mengulang pembicaraan yang sudah-sudah jadi hal yang lumrah.
Apalagi memang aku diterima di salah satu kampus terbaik negeri ini lewat jalur UM, yang saat itu diadakan sebelum jalur SPMB. Keberhasilanku masuk ke kampus itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi keluarga besarku, karena di desaku, tidak banyak yang bisa melanjutkan kuliah. Banyak faktor yang membuat jadi seperti itu, mereka sendiri yang lebih memilih untuk langsung bekerja dengan bekal seadanya, ada juga yang terbentur masalah biaya, ada juga yang langsung menikah dan ikut dengan suaminya, dan mungkin ada sebab lain yang aku tak tahu.
Jujur saja bisa masuk ke kampus itu aku sendiripun tak menyangka. Tak pernah terlintas di benakku bisa masuk ke kampus sebonafit itu, bahkan untuk mencoba tidak. Aku merasa, otakku tak akan sampai untuk bisa masuk kesana.
Lalu bagaimana aku bisa diterima disana?
Flashback ke beberapa bulan sebelumnya
Semua ini adalah salah temanku yang menjerumuskanku. Siapa lagi kalau bukan Fandi. Awalnya dia memintaku mengantarkannya ke warnet untuk daftar ke kampus itu via online. Aku sih oke-oke saja. Sampai disitu aku masih belum kepikiran mau ikut mendaftar. Aku hanya melihat saja ketika dia mulai membuka website pendaftarannya dan mulai mengisi data-data diri yang diperlukan.
“Pran, kowe yo daftar pisan ae yo?” (Pran, kamu daftar sekalian aja ya?)
“Wegah ah, angel cuk.” (Nggak mau ah, susah cuk.)
“Halah rapopo, ra sah dipikir, penting mlaku-mlaku nang Jogja.” (Halah nggak apa-apa, nggak usah dipikir, yang penting jalan-jalan di Jogja.)
“Lha emang tes e nang endi?” (Lha emang tesnya dimana?)
“Nang Jogja. Piye? Melu wae yo?” (Di Jogja. Gimana? Ikut aja ya?)
“Ora ah, nyapo emen? Nek mung arep mlaku-mlaku, suk mben tak kancani wes pas tes e.” (Nggak ah, ngapain amat? Kalau cuma mau jalan-jalan, entar aku temenin deh waktu tes.)
“Heh daftar wae blok, nggo bukti nang wong tuamu, sopo ngerti sangumu ditambahi.” (Heh, daftar aja blok (******), buat bukti ke orang tuamu, siapa tahu uang sakumu ditambah.)
“Wah, brilian juga idemu cuk, wokeeh, aku daftar.”
Terbujuk oleh rayuan setan si Fandi, akupun ikut mendaftar. Ku isi data-data yang diminta, dan waktu mengisi pilihan jurusan yang ingin diambil, karena aku memang tidak benar-benar berniat untuk masuk ke kampus itu, aku dengan asal memilih jurusan. Setelah mencetak kartu untuk ujian masuk itu, kamipun pulang.
Bulan depannya, aku dan Fandi berangkat ke Jogja naik bus. Bus ekonomi yang jadi penguasa jalanan di Jatim-Jateng-Jogja. Kalian pasti tahu kan?
Kami mendapat ijin dari sekolah karena mengikuti tes itu, bersama dengan puluhan siswa lainnya. Hmm, ternyata benar juga si Fandi menyuruh aku daftar, karena dengan bukti kartu peserta itu, aku tak perlu repot mencari alasan untuk tak masuk sekolah dan menemaninya ke Jogja.
Dan seperti yang aku bilang tadi, karena tidak ada niat untuk bisa masuk di kampus itu, aku berangkat hanya berbekal beberapa baju ganti di dalam tasku. Sedangkan Fandi ku lihat tassnya cukup penuh. Entah berapa potong baju yang dia bawa, aku tak peduli.
Perjalanan yang kami tempuh memakan waktu sekitar 5 jam. Kami sampai di terminal Giwangan sekitar jam 12 malam. Di Jogja, aku dan Fandi akan menginap di rumah kontrakan saudaraku, yang juga kuliah di kota ini, tapi di kampus yang terletak di ring road selatan. Kontrakan mas sepupuku ini juga tak jauh dari terminal Giwangan. Kami berdua dijemput olehnya.
Sampai di kontrakan masku, kami langsung istirahat karena selama di bus tadi tidak bisa tidur. Kombinasi dari berbagai aroma semerbak yang entah darimana sumbernya, ditambah lagi dengan supir yang mengemudikan bus layaknya di lintasan F1, membuat perutku dan Fandi terasa sedikit mual. Aku dan Fandi memang belum terbiasa naik bus ini, jadi wajar saja kami seperti itu.
Keesokan harinya, tak ada yang kami lakukan. Masku masuk kuliah, begitu juga dengan teman-teman kontrakannya yang belum begitu ku kenal. Setelah masku pulang kuliah, dia mengajak kami jalan-jalan. Aku mengiyakan, tapi Fandi tidak ikut karena beralasan tidak enak badan, meskipun wajahnya terlihat segar-segar saja. Tapi kami tak memaksanya, mungkin dia ingin menjaga kondisi agar tes besok dalam keadaan fit.
Sesorean itu aku diajak masku putar-putar keliling Jogja, tak lupa nongkrong di angkringan menikmati kopi arang di daerah stasiun tugu. Tak sampai jam 8 malam kami sudah pulang. Bukan apa-apa, aku juga harus menjaga kondisiku agar fit untuk tes besok. Meskipun tidak berniat masuk ke kampus itu, tapi setidaknya aku tidak asal-asalan mengerjakannya, supaya tidak membuat malu nama sekolahku.
Sesampainya kami di kontrakan, ku lihat ternyata Fandi sedang belajar. Banyak sekali rupanya buku yang dia bawa, pantas saja tasnya kelihatan penuh begitu. Aku hanya geleng-geleng kepala saja, tapi aku mendukungnya dan mendoakannya agar bisa lolos dari tes besok. Sementara aku, bukannya langsung beristirahat tapi malah main PS diajak oleh teman kontrakan masku. Aku bermain sampai larut, entah jam berapa pokoknya aku ketiduran waktu menunggu giliran main.
Keesokan harinya, aku bangun jam setengah 7. Setelah mandi dan bersiap-siap, kami berangkat. Aku mendapat pinjaman motor dan helm dari teman kontrakan masku yang semalam mengajakku main game. Tes masih jam 8, jadi kami santai saja berangkatnya.
Masalah timbul karena kami baru menyadari, kami belum tahu tempat tes kami dimana. Akhirnya kami harus berputar-putar dan bertanya sana-sini. Akibatnya, kami sampai di gedung itu jam 8 lewat. Sedikit sih lewatnya, tapi tetap saja kelewat. Kami langsung berlarian menuju ke ruangan tempat kami tes. Selain kami, ternyata ada beberapa orang lain lagi yang bernasib sama.
Sampai di depan ruang tes dengan cucuran keringat membasahi tubuh kami, kami sudah ditunggu oleh pengawas tes yang memasang wajah galaknya. Bapak itu beracak pinggang menatap kami satu persatu.
“Kalian ini sebenarnya niat masuk kesini apa enggak hah? Tes aja udah telat!” maki pengawas tes itu, yang membuat anak-anak yang sudah di dalam mengerjakan tes melihat ke arah kami.
Aku celingak celinguk karena tidak ada yang menyahut. Jancuk, ternyata aku yang berdiri paling depan diantara mereka. Selain aku dan Fandi, ternyata ada 3 orang lagi yang juga telat. Mereka seperti sudah membuat kesepakatan tak tertulis dan tak terucap untuk berlindung di balik punggungku. Fak! Terpaksa aku yang menjawab kalau kayak gini.
“Maaf Pak, kami tadi nyasar nyari gedungnya, tadi salah masuk gedung Pak,” ucapku beralasan, dan tentu saja berbohong.
“Makanya sebelum tes itu dilihat dulu ruangannya, biar nggak telat!” dia masih saja memarahi kami, bukannya menyuruh masuk. Wuasyu!
“Iya Pak, maaf. Kami dari luar kota soalnya, baru sampai tadi malam jadi nggak sempat melihat kemari. Boleh kami masuk Pak?”
“Hah, ya sudah sana masuk, tapi nggak ada waktu tambahan buat kalian!”
“Baik Pak, terima kasih.”
Aku kembali melirik ke belakang, dan orang-orang yang berlindung di balik punggungku itu tersenyum lega, selega menuntaskan hajat yang tertahan berhari-hari. Kamipun masuk dan menuju ke kursi masing-masing. Aku masih ngedumel sendiri, jengkel pada mereka. Sudah dibantuin, bukannya terima kasih malah langsung nyelonong. Padahal kurang baik apa aku? Kenal aja enggak, tapi mau bantuin mereka.
Huft, akhirnya aku mengerjakan soal-soal yang diberikan itu setengah hati, di 10 menit pertama. Tapi lama-lama aku fokus juga mengerjakannya. Tes hari ini ada 2 sesi. Yang pertama adalah tes kompetensi yang isinya soal dari beberapa mata pelajaran. Dan yang kedua nanti semacam psikotes. Di sesi pertama ini, soalnya sulit-sulit. Banyak soal yang menuntut harus diselesaikan dengan rumus-rumus rumit yang aku tidak hafal. Tapi aku tak kurang akal, aku buat rumus sendiri untuk memecahkannya. Ku otak-atik angka-angka di soal itu sampai ketemu jawabannya, dan dengan senyum bahagia aku mengisi di lembar jawab.
Sesi pertama berhasil ku lewati dengan lancar dan selamat. Hasilnya? Entahlah, aku tak peduli, yang penting terisi semua. Masa dari sekian nomer tidak ada yang benar? Kan nggak mungkin. Kamipun diberikan waktu satu jam untuk beristirahat, dan mempersiapkan diri untuk tes di sesi kedua.
“Pran, piye mau tes e? Iso ora?” (Pran, gimana tadi tesnya? Bisa nggak?)
“Woo jelas, ra iso, hahaha.” (Woo jelas, nggak bisa, hahaha.)
“Cah gemblung, ra iso kok bangga. Terus, pirang nomer sing ora mbok isi?” (Bocah gila, nggak bisa kok bangga. Terus, berapa nomer yang nggak kamu isi?)
“Yo tak isi kabeh lah, eman-eman lembar jawab e nek dikosongi.” (Ya aku isi semua lah, sayang lembar jawabanya kalaiu dikosongi.)
“Heh, lha engko nek nilaimu minus piye?” (Heh, lha entar kalau nilaimu minus gimana?)
“Hah, minus piye tho?” (Hah, minus gimana sih?)
“Lhoh, kowe ki ngerti sistem penilaian e pora tho?” (Lhoh, kami ini ngerti sistem penilaiannya nggak sih?)
“Hah? Sistem penilaian? Maksudmu?”
“Iyo, sistem penilaian e tes iku. +4 -1.” (Iya, sistem penilaian tes itu, +4 -1.)
“Lhoh, tenane? Kok kowe ora kondo cuk?” (Lhoh, yang bener? Kok kamu nggak bilang cuk?)
“Lha yo tak pikir kowe wes ngerti tho su!” (Lha ya aku pikir kamu udah ngeri tho su!)
Matih!!! Aku bener-bener nggak tahu kalau sistem penilaiannya seperti itu. Dan salahku juga nggak mencari tahu, atau menanyakan ke Fandi. Aku pikir itu penilaiannya biasa, benar ya benar, salah ya salah. Tapi ternyata bukan. Kalau benar, tiap nomer dikalikan 4, dan kalau salah minus 1.
Masalahnya, dari berpuluh nomer yang aku kerjakan tadi, lebih dari separuhnya aku kerjakan ngawur bin asal-asalan. Yang aku kerjakan serius aja belum tentu benar, apalagi yang ngawur. Memang sih aku tidak berniat masuk kesini, tapi kalau hasil tesnya memalukan, mau ditaruh mana mukaku nanti? Apalagi kemarin Pak Bandi, wali kelasku, sempat bilang, kalau soal tes ini dikasih, beliau minta untuk dibawa ke sekolah, agar bisa dibahas sama-sama. Dan masalahnya, soalnya memang benar-benar diberikan ke kami. Alamaak.
“Hahahahaha…” aku cuma bisa tertawa lebar dan keras, membuat anak-anak yang lain memandang ke arahku.
“Heh cuk, kok malah ngguyu sih?” (Heh cuk, kok malah ketawa sih?)
“Ngguyoni awakku dewe Fan, nek sampai soal iki dibahas karo Pak Bandi, modyar aku, hahaha.” (Ngetawain diriku sendiri Fan. Kalau sampai soal ini dibahas sama Pak Bandi, mati aku, hahaha.)
“Buahahaha, nasibmu Pran.”
Anak-anak di sekitar kami masih menatap dengan heran. Mungkin mereka bingung kenapa kami bisa sesantai ini, padahal mereka sendiri mukanya pada stres. Aku tak peduli, entah seperti apapun nanti hasilnya, aku pasrah saja.
Tak lama kemudian tes sesi kedua dimulai. Kali ini aku mengerjakan semuanya dengan serius. Bukan apa-apa, aku memang menyukai soal-soal seperti ini, karena berguna sekali untuk melatih nalarku. Waktu yang diberikan untuk mengerjakan tes itu 2,5 jam. Tapi masih tersisa 1 jam aku sudah menyelesaikan semuanya. Pengawas sebenarnya bilang kalau sudah selesai boleh meninggalkan tempat, tapi aku ingin bersantai dulu disini, lumayan ngadem di bawah AC, soalnya di luar lumayan panas.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Yang lain masih terlihat serius mengerjakannya. Ada yang menatap langit-langit ruangan ini, berharap keajaiban tiba-tiba muncul jawaban disana. Tapi pandanganku kemudian terpaku pada seseorang yang duduknya selisih 2 kursi dari tempatku, di baris depanku.
Seorang anak lelaki bertubuh tambun dan berkacamata. Pakaianya rapi dan rambutnya klimis. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Dia baru saja mengangkat tangan untuk meminta kertas buram, untuk coretan. Setelah diberikan oleh pengawas, dia mencorat-coret kertas itu. Dan yang lebih menarik perhatianku lagi, anak itu berkali-kali menyeka keringat yang membasahi keningnya.
Lhah, di ruangan ini kan AC-nya lumayan dingin, kok dia bisa keringatan seperti itu? Lagi pula, buat apa dia meminta kertas buram untuk coretan? Kalau di sesi pertama tadi, kami semua memang membutuhkannya untuk mengerjakan matematika dan fisika. Tapi sekarang, buat apa?
Saking penasarannya aku sampai membuka lagi soal yang sudah kututup dari tadi. Aku mencari-cari soal mana yang kiranya butuh hitung-hitungan. Sepertinya tidak ada. Eh sebentar, apa mungkin ini ya? Aku lihat memang ada soal deret angka. Tapi soal itu kan menggunakan logika berpikir dan hitungan sederhana saja, bukan untuk dihitung dengan rumus ciptaan Einsten dan kawan-kawannya.
Aku sampai garuk-garuk kepala, geli sendiri dengan orang itu. Dan ku perhatikan di sekitarku, tidak ada yang seperti dia sampai meminta kertas buram lagi. Wah, benar-benar jenius mas yang satu itu. Berpikir di luar nalar, out of the box, hahaha.
“Mas, sudah selesai mengerjakan?” tiba-tiba seorang pengawas menegurku karena aku cekikikan sendiri melihat si tambun berkacamata itu.
“Eh, sudah Pak.”
“Ya udah, silahkan meninggalkan ruangan. Soal dan jawabannya ditinggal disitu saja.”
Berbeda dengan sesi pertama tadi, di sesi kedua ini soal yang diberikan memang tidak boleh dibawa pulang. Sepertinya soal itu masih akan digunakan untuk tes-tes selanjutnya.
“Baik Pak.”
Semua orang melihat melihatku dengan heran, termasuk Fandi. Mungkin mereka sedang kagum kepadaku, kecuali Fandi yang mungkin mengira aku mengerjakan soal-soal ini ngawur lagi seperti tadi. Akupun tersenyum bangga dan melangkah pongah keluar dari ruangan ini. Aku menunggu Fandi keluar, untuk mengajaknya makan siang. Perutku sudah lapar sekali.
Setelah Fandi keluar, kamipun segera meninggalkan gedung ini, mencari warung makan terdekat. Dia terus menanyaiku bagaimana kau bisa mengerjakan soal secepat itu. Dengan senyum bangga dan ekspresi sombong, aku menjawab, “Kamu belum tahu aja Fan, aku ini kan sebenarnya jenius.” Ucapan yang langsung mendapat balasan berupa jitakan di kepalaku.
Sebulan setelah tes di Jogja itu, tiba saatnya pengumuman hasilnya. Pengumuman itu dimuat di website resmi kampus, dan katanya akan dikabarkan melalui SMS juga. Aku tak ada niat untuk melihatnya, bahkan tadi Fandi sudah mengajakku untuk ke warnet tapi ku tolak. Aku merasa percuma saja, sebab peluangku untuk lolos cukup kecil.
Darimana aku tahu?
Karena setelah pulang dari Jogja, beberapa hari kemudian Pak Bandi benar-benar membahas soal-soal itu. Aku masih ingat sekali, soal mana yang benar-benar aku kerjakan dengan serius, dan mana yang bercanda. Eh, maksudnya asal-asalan, alias ngawur.
Eits tunggu dulu, aku mau bikin pembelaan soal ini. Aku memang mengerjakannya ngawur, tapi bukan ngawur sengawur-ngawurnya. Ngawurku terstruktur, menggunakan pemikiran yang sistematis yang logis dan bisa diterima dengan akal sehat. Ngawur karena benar, kalau kata Presiden Jancukers.
Aku dan Fandi sama-sama membawa soal itu ke sekolah, lengkap dengan jawaban yang kami tandai di masing-masing soal itu. Ternyata, jumlah nomer benar milikku, lebih banyak daripada punya Fandi, tapi jumlah minusku juga lebih banyak karena aku mengisi semua nomer, sedangkan Fandi tidak. Jadi kalau ditotal, nilai Fandi masih sedikit di atasku. Tinggal bagaimana hasil tes di sesi kedua saja yang kami belum tahu.
Karena itulah hari ini Fandi semangat sekali untuk melihat pengumuman itu, sedangkan aku yang memang tidak tertarik, memilih untuk pergi dengan pacarku.
Hmm, iya, waktu itu masih pacarku, waktu itu. Nanti saja aku ceritakan soal dia.
Aku dan pacarku pergi ke sebuah kafe untuk makan siang yang tertunda, karena ini memang sudah sore sebenarnya. Disana kami berbasa-basi dan saling bertukar kata mesra yang menjijikkan khas ABG.
Kok menjijikkan?
Entahlah, mungkin saat itu terdengar indah dan menghanyutkan, tapi setelah beberapa tahun berlalu dan mengingatnya lagi, rasanya geli, menjijikkan.
Saat aku sedang bersama dengan pacarku itu, ku rasakan ponselku bergetar sekali. Hmm, cuma SMS, paling dari provider. Akupun membiarkannya saja. Tapi tak lama kemudian, ponselku kembali bergetar berulang-ulang. Kali ini ada yang telpon.
Akupun mengambil ponsel dari saku celanaku. Ku lihat di layarnya, Fandi.
“Halo Fan.”
“Jancuuuuukk… Asuuuuu… Bajingaaaaaann…”
“Lhoh lhoh lhoh, heh cuk, nyapo kowe? Kesurupan po piye?” (Lhoh lhoh lhoh, heh cuk, kenapa kamu? Kesurupan apa gimana?)
Heran. Telpon malah misuh-misuh, kenapa sih ni anak?
“Selamet yo cuuuk… kowe lolos masuk kampus biru cuuuk…” (Selamat ya cuuuk… Kamu lolos masuk kampus biru cuuuk…)
“Hah? Tenanan cuk?” (Hah? Yang bener cuk?)
“Iyo su. Emang kowe gak di-SMS po?” (Iya su. Emang kamu nggak di-SMS?)
“Embuh, urung tak delok.” (Entah, belum ku lihat.)
“Yo wes nekno, selamet yo.” (Ya udah kalau gitu, selamat ya.)
“Iyo… Eh Fan, lhoh, heh…”
Tuuut… Tuuut… Tuuut…
Lhah, udah ditutup telponnya, padahal aku belum tanya dia keterima juga apa nggak.
“Kenapa Yank?” tanya pacarku yang tadi diam memperhatikanku menerima telpon.
“Ini, si Fandi nelpon Yank, katanya aku keterima di kampus biru,” jawabku tanpa melihatnya, karena aku melihat SMS yang tadi masuk ke ponselku.
“Hah? Yang bener Yank? Waaah selamat ya sayaaang…”
Aku tak memperhatikan ucapan pacarku, karena mataku kini sedang tertuju pada sebuah SMS dari nomer tak dikenal. Ya, intinya sih sama seperti yang dibilang Fandi tadi, aku diterima di salah satu kampus terbaik di negeri ini.
Aku menatap pacarku yang kegirangan. Dia kegirangan, sementara aku sendiri malah bingung. Aku shock. Kok bisa?
Sehabis mengantarkan pacarku pulang, aku langsung ke warnet untuk melihat sendiri pengumumannya di website resmi kampus. Aku masih belum percaya. Aku harus membuktikannya sendiri. Dan ternyata benar. Aku benar-benar diterima.
Akupun segera pulang, dan mengabarkan itu semua kepada bapak dan ibukku. Betapa bahagianya mereka sampai memelukku dan menangis. Aku bisa merasakan betapa bangganya mereka kepadaku. Aku hanya diam mematung, bingung mau bersikap seperti apa. Tapi yang jelas, sekarang aku pusing.
Lhoh, kok pusing? Kenapa?
Ya. Yang terbayang sekarang adalah, aku sudah masuk diterima di salah satu kampus terbaik di negeri ini. Entah bagaimana ceritanya tapi yang jelas hasil tesku yang sebagian besar ngawur itu, mengantarkanku kesana. Masalahnya sekarang adalah, di kampus bonafit itu, bisakah aku melaluinya? Apakah otakku bisa diperas sedemikian rupa untuk bisa dikatakan layak berada disana? Aku bisa masuk, tapi mampukah aku keluarnya?
Present time
Aku hanya tersenyum geli kalau ingat kejadian saat itu. Sebuah keberuntungan yang luar biasa besar menghampiriku. Disaat yang lain mendambakan untuk bisa masuk ke kampus itu, belajar mati-matian supaya bisa lolos tes, justru aku yang bermodalkan ilmu ngawur yang diterima. Sebagai informasi, dari kelasku memang hanya 2 orang yang mengikuti tes UM saat itu yaitu aku dan Fandi, dan hanya aku yang diterima.
Kenapa hanya kami berdua? Bukankah kelasku adalah kelas unggulan yang isinya orang-orang pintar? Apa yang lain tidak ikut tes?
Tidak. Sebagian dari mereka sudah diterima duluan di kampus biru lewat jalur PMDK. Sebagian lagi, sudah diterima lewat jalur yang sama tapi beda kampus.
Sehari setelah pengumuman itu, kami berdua dipanggil oleh wali kelas kami, Pak Bandi. Beliau menyampaikan selamat kepadaku, dan memberi semangat serta membesarkan hati Fandi. Aku sungguh merasa tak enak hati pada Fandi. Kalau dipikir-pikir, dia yang persiapannya lebih maksimal. Dia memilih jurusan sesuai dengan keinginan dan kelebihannya. Dia juga membawa banyak sekali buku untuk dipelajari disana. Dia juga bilang kepadaku kalau sehari sebelum tes, sebenarnya dia menolak ikut aku jalan-jalan bukan karena sakit, tapi karena ingin belajar.
Sedangkan aku, sehari sebelumnya hanya jalan-jalan. Malamnya malah main game. Tapi Fandi juga bilang, kalau di tes sesi kedua dia tidak bisa mengerjakannya dengan tenang. Mungkin itu yang menyebabkannya tidak lolos, nilai di tes sesi kedua yang jeblok.
Aku memang mengerjakan tes di sesi kedua dengan lebih serius, dan dalam kondisi yang lebih tenang. Menurut Pak Bandi, memang disitulah kuncinya untuk mengerjakan soal psikotes. Tidak diperlukan kecerdasan level tertinggi dalam mata pelajaran, tapi diperlukan ketenangan sehingga logika berpikir kita bisa berjalan dengan baik. Aku tak tahu itu benar atau tidak, sampai aku membuktikannya di kemudian hari.
Sampai sekarang, yang aku dengar Fandi belum juga mendapatkan tempat kuliah. Kemarin dia mengikuti SPMB, tapi gagal total. Saat ini dia masih mencari-cari perguruan tinggi yang masih membuka seleksi untuk gelombang terakhir. Saat aku bertanya padanya kemana kampus tujuannya, dia bilang dimanapun yang penting bisa kuliah. Aku hanya bisa memberinya semangat tapi juga meningatkannya untuk tidak sembarangan memilih. Meski dalam kondisi terjepit seperti sekarang ini, dia harus bisa memilih dengan tepat, karena itu berkaitan dengan masa depannya, dimana dia akan bekerja nantinya.
Aku sendiri saat ini sedang mempersiapkan diriku untuk pindah ke Jogja. Sebenarnya bukan dalam waktu dekat ini, tapi aku sudah mulai memilah-milah apa saja yang mau aku bawa kesana. Rencananya hari Senin nanti aku akan berangkat ke Jogja. Disana aku masih akan menginap di kontrakan masku, meskipun aku sebenarnya sudah mendapatkan kost-kostan.
Aku mendapatkan kost-kostan sejak beberapa bulan lalu, sejak ada kepastian kalau aku diterima di kampus biru. Aku mengabari masku, dan dia langsung mencarikan kost untukku. Beruntungnya masku punya teman yang kenal dengan seorang pengelola kost-kostan di daerah kampus biru, jadi dengan mudah dia bisa mendapatkan kamar untuku. Kata masku, kost-kostan itu termasuk baru, belum banyak penghuninya. Dan beruntungnya lagi, lokasinya sangat dekat dengan kampusku, di daerah lembah kampus.
Masih ada 2 hari sebelum aku berangkat ke Jogja. Aku ingin menikmati waktuku di rumah. Bercengkrama dengan kedua orang tuaku dan adikku. Cukup banyak petuah dari bapak dan ibukku, terutama pesan mereka jika aku sudah mulai tinggal di kota orang. Mereka takutnya aku tidak betah tinggal disana. Padahal selama ini, meskipun aku tinggal dengan orang tuaku sejak lahir, tapi aku sering juga bepergian ke berbagai tempat, yaah meskipun paling lama cuma 2 minggu sih.
Tapi entahlah, seperti apa nantinya kalau aku sudah benar-benar tinggal disana. Apakah aku akan terserang homesick? Semoga saja tidak. Aku penasaran, membayangkan seperti apa kehidupan di kota itu nantinya, seperti apa teman-teman baru dan lingkunan kampusku, dan yang paling membuatku pusing, seperti apa nanti kuliah yang akan aku jalani selama beberapa tahun ke depan. Apakah otakku kuat? Yaah, semoga saja.