Garis Waktu

Cerita ini saya tulis kerana hati sedang jenuh menggores pena, berkisah selalu tentang rumah tangga suami-istri yang pelik. Padahal, saya belum sama sekali mencicipi pahit manis bahtera hidup berumah tangga. Imajinasilah yang telah meengolah semuanya. Oleh karena itu, saya hendak tulis cerita yang barangkali pembaca setia saya tak begitu suka, tak suka karena mungkin khayal mereka lebih gemar lelaki sepuh bersenggama dengan wanita bersuami yang tubuhnya sedap nan menggoda syahwat. Tak usah khawatir, kisah yang lain tetap ‘kan saya lanjutkan.

Kisah yang saya beri judul Garis Waktu ini saya ‘kan update sesuka hati saya. Saya tulis pun kalau memang saya lagi bosan dan malas melakukan sesuatu. Pada dasarnya, cerita ini pasti berujung. Semoga pula cerita yang saya tulis ini tetap menarik perhatian pembaca sekalian. Terima kasih.

​Sejujurnya aku sangat sulit memilih jodohku, cintaku sehidup semati. Rentetan kisah masa lalu yang terlintas sejenak, tak kupikir bakal jadi begini ceritanya, membuatku hampir dibuat tidak percaya beberapa wanita anggun sedang mengantre, ingin segera dipinang olehku. Ibuku yang cacat bicara turun tangan. Nyatanya ia sudah mempersiapkan segalanya, jodohku. Awalnya kumenolak karena zaman bukan lagi Siti Nurbaya. Saat kutengok wanita itu biar ibu puas, ternyata aku justru malah suka pilihan ibu. Ibu memang tidak pernah salah pilih. Pasang surut hidup yang kualami kalau tidak ada ibu, mungkin aku sudah rapuh, menyerah akan datangnya masalah yang bertubi-tubi. Aku yang hampir selalu berontak atas pilihannya, kerap dibuat diam, ternyata ibu benar. Begitulah ibu, rangkaian cerita masa laluku seperti dongeng indah yang ‘kan kukenang sepanjang hayat. membuatku menangis tiada habisnya saat ia wafat.

“Ibu mencopot peci hitamku…”
“Di atas kursi yang telah kupersiapkan khusus untuknya, Ia mengelus rambut hitam nan ikal milikku”
“Tak jelas lagi nada bicaranya, aku tahu ia ingin selalu mengatakan “rambutmu itu bagus, gak usah diubah-ubah lagi….”
“Lantas aku segera memeluk, menangis, dan mencium telapak tangannya yang halus. Tak lupa kucium kening beruratnya yang tak pernah lelah ia gunakan untuk berpikir tentangku”.

“Bu…. terima kasih ya….”, setetes air mataku berjatuhan membasahi dahi ibu…

Sebuah Awalan

“Ayo siapa berikutnya yang berani pidato di depan?”
“Masa cuma Surya doang yang berani…..”
“Hmm……..”
“kalo gak ada yang mau, yasudah bapak tunjuk saja mendingan ya…”, seperti penjahat, guru bahasa Indonesiaku itu mengancam kami siswa putih-biru yang sedang diajarnya. Bak harimau yang siap menerkam mangsa, kedua mata pak supendi yang melihat ke segala arah sudut kelas kami sedang mencari-cari siswa yang harus membacakan pidato buatan sendiri di depan, di hadapan kami siswa-siswa yang masih terduduk takut menanti giliran. Suasana jadi hening sejenak. Karena takut ditunjuk pak supendi, membuat beberapa dari kami terlihat sibuk sendiri. Ada yang mengecek isi tasnya, ada yang mengecek ponselnya, ada yang mengobrol. Malahan, ada yang menatap langit-langit kelas dan menundukkan kepalanya layaknya orang yang sedang berzikir. Sementara Aku sendiri ‘coba-coba’ melihat sekilas ke arah pak supendi.

“Iyaa kamu Tian, kamu yang ke depan…”, pak supendi menunjuk seseorang, layaknya bung karno sedang berpidato.

“Ahhh orang itu diriku, sialan…”
“lagi-lagi aku…” akhirnya, pak supendi dapatkan mangsanya. Menyesal melihatnya walau sebentar. Mangsa itu ialah diriku sendiri, siswa yang kerap ditunjuknya untuk disuruh-suruh. Apapun materi bahasa Indonesianya, entah itu baca surat, dongeng, puisi, dan sebagainya tidak pernah pak supendi tidak menunjukku. Oleh karena itu, Aku jadi begitu populer di matanya. Padahal, aku bukan ketua kelas, tak juga pintar. Di sisi lain ketenaranku itu membuat kawan-kawanku, calon buruan selanjutnya, selalu bisa bernafas lega.

“Ahh.. jangan saya dong pak…”
“saya mulu masa…”, ekspresiku berubah tak mengenakkan, perasaanku terkesan jadi amat benci dengan pak supendi. Lagi-lagi ia memilihku. Jurus seribu alasan aku keluarkan, menolak membacakan pidato buatanku sendiri.

“Ayo! gigi! gigi! gigi!”, sorak-sorai provokasi kawan bermunculan, mendukungku, padahal sedang melindungi diri mereka sendiri. Selain itu, begitulah kawanku memanggilku. Aku yang bernama lengkap Tian Putra, malah dipanggil ‘gigi’ oleh mereka. Penyebabnya tidak lain ialah gigiku ini yang tonggos dua di depan, mirip kelinci di film kartun anak-anak itu ‘Bugs Bunny’. Layaknya dibully dan diejek panggilan itu telah membuatku merasa tak percaya diri di sekolah.

“Ayo tian maju buruan…!”
“gak ada alasan! ini tugas udah dari seminggu yang lalu bapak kasih kok…!”, perintah pak supendi, tensinya sepertinya naik, sikapku yang terus membantah halus, membuat pak supendi datang memghampiri dengan wajah mendadak seram.

“Udah maju buruan lu, gii….!”
“maju…..!”, teman-teman sekelilingku turut mendesak, mendorong-dorong pundakku seakan terus memaksa. Pada akhirnya, mereka semua kubuat senang. Aku bangkit berdiri, memberanikan diri untuk membacakan teks pidato buatanku sendiri.

“Gii! kalo lo maju ke depan, mingkem!!!”, sesaat aku baru berdiri untuk melangkahkan pijakan kaki, salah seorang kawan menyahut dari belakang. Aku berusaha tidak menoleh ke arahnya karena aku sudah tahu ia bermaksud mengejekku.

“yeaayyyy gigi maju ke depan….!”, ketika aku sudah berada di depan, mengenggam erat secarik kertas teks pidato, beberapa temanku terlihat
begitu bahagia, tersenyum senang karena aku telah menjadi tameng pelindung buat mereka. Malahan, mereka kini sedang bersiap menertawakanku, kali saja lucu aku baca pidato. Itulah yang terpendam dalam benakku, membuatku semakin grogi dan benci belajar di sekolah ini.

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Kubacakan pidato itu dengan tenang, tak berapi-api, emosi terkendali. Isinya yang kukira menggugah hati telah membuat kawan-kawan mendengarkan lagi menyimak, terlihat teman-teman yang suka meledek kekuranganku terhenyak sejenak. Pak supendi pun tertegun, tak menyangka aku yang dianggapnya siswa biasa saja dan kerap jadi ‘mainannya’ bisa seperti ini. Meskipun demikian, tetap ada saja yang masih memandang remeh diriku, tak menggubris apa yang kubacakan.

Lagipula memang itu adanya. Aku yang sedang berusaha keras jadi siswa cerdas dan pintar di SMP, sepertinya hampir tidak pernah kesampaian. Lihat saja kegiatanku sepulang sekolah selalu inkonsisten, terkadang rajin, terkadang tidak. Kalau habis mendapat nilai ulangan atau raport jelek saja mungkin bertobatnya, kala bapak memarahi dan ibu kecewa.

Parahnya, aku yang sudah dipandang jelek dan remeh oleh temanku di sekolah, malah membuat diriku rusak sendiri. Aku diam-diam mulai suka membaca majalah dewasa peninggalan tanteku, mencari-cari gambar wanita berpakaian seronok. Tidak sampai disitu, tanpa sepengetahuan ibu, aku juga diam-diam suka membeli koran ‘lampu kuning’ yang isinya kebanyakan berita cabul. Terkadang pula aku suka beli koran ‘posdesa’ untuk melihat ringkasan cerita yang ditulis dalam kolom ‘Nah ini dia’. Sampai-sampai, loper koran langgananku berkata,

“Nyebut de… bacanya….”

“hehe… iya bang”, nyengir diriku.

Masa pubertasku pun perlahan rusak. Ditambah beberapa teman sekolah mengajariku browsing internet, mengakses situs porno, membuat penis yang baru beberapa tahun disunat ini berdiri tegak melihat artis ibukota telanjang bulat di kamar mandi. Lebih kacaunya lagi, acara televisi seakan memfasilitasi kegemaranku. Setiap malam hampir ada siaran televisi yang menampilkan acara dewasa, entah itu bersifat film, talkshow, atau sinetron berbau humor cabul dimana isinya kebanyakan wanita berpakaian seksi. Menonton hal semacam itu, tentu aku harus diam-diam, menunggu ibu, bapak, dan adik laki-lakiku berumur 7 tahun tertidur.

Awalnya di sekolah dasar, aku dibilang pintar dan alim. Ibu dan bapak pun suka memuji setinggi langit. Lainnya tetap biasa saja, karena aku peringkat 2 dari 15 siswa di kelasku. Setiap habis maghrib kakek suka mengajarkanku mengaji, mengajarkanku beberapa hal tentang ilmu agama. Namun, semuanya rusak saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat aku mulai berhadapan dengan masa pubertas, saat aku sudah ditinggal mati kakekku. Di sanalah aku mulai berkenalan dengan seks, dengan onani, mewarnai jalan hidupku selanjutnya…

Gallery for Garis Waktu