Aji Nyawijining Asmoro

Pada zaman teknologi seperti sekarang, semakin sedikit orang yang mempercayai tentang ilmu gaib. Banyak diantaranya yang beranggapan itu cuma tahayul. Tapi, percaya atau tidak hal tersebut masihlah ada. Seperti yang baru saja kudapatkan, sebut saja nama ilmu ini aji nyawijining asmoro.

“Anakku, kuwariskan ini padamu..” Kata lirih sesosok pria tua yang berdiri tepat di hadapanku, sambil menyerahkan sebuah kotak kecil digenggamannya.

“Anda siapa..?” Tanyaku bingung, melihat muka datar tanpa ekspresi mengenakan baju lusuh miliknya.

“Aku leluhurmu, terimalah..” Dan sekejap setelahnya semua menghilang dalam gelap.

Terbangun ditempat yang terasa sangat familiar, ruang kecil dikelilingi tembok persegi 4×4 meter. Kugaruk kepalaku yang masih pusing ini, sembari menerka apa yang sebenarnya terjadi. Mataku menerawang sekitar hingga kulihat diatas meja, notifikasi hpku menyala segera kuambil dan membukanya.

“Nyet, klo gak kuat mabok g ush sok minum bnyak deh.. Sue lu.. Kerja bakti gua ma yg laen nggotong mayat lu keatas..T_T” sebuah chat masuk dari sitonggos yang sekaligus mengingatkanku kalau semalam emang kita ngabisin malem mingguan dengan minum bareng dihalaman belakang.

“Iya sorry, my bad..” Bales gua seadanya.

Oiya, sampe lupa perkenalan. Panggil aja gua sibho, umur 21 tahun, asli Jawa dan sekarang baru mulai kuliah disalah satu kuliah terbuka di Bogor. Sebenarnya tempat yang aku tinggali sekarang kepunyaan pamanku, dia baru saja pensiun dan membuat beberapa tempat kost. Salah satunya ya yang aku tinggali ini.

“Dah, bho kamu nempatin kost punya paman aja yang di cixxxxxx gak usah buang-buang duit. Bantu jagain ja, klo ada apa-apa bilang paman ato mbok sum..” Seingetku paman bilang kek gitu dulu. Ni kost juga baru jadi pas gua daftar kuliah, ada 12 kamar, 6 lantai satu, 6 lagi lantai dua dan belum diisi semuanya. Mau dijadiin kost cewek sih, orang gua yang ngusulin.

“cowok tuh ga isa ngerawat properti om, mending jadiin kost cewek..” kata-kata bijak gua dulu.

“Sekarang mandi dulu dah biar seger, bis tu cari makan..” ucapku dalam hati sambil mengumpulkan nyawa dan niat tentunya. Tapi sewaktu aku mau berdiri kok ada yang sedikit aneh ya, kakiku nginjak sesuatu.

“Kayaknya nggak asing, apa nih..” Pikirku, melihat kotak perhiasan kecil usang yang barusan kuinjak.

“Bodo amatlah, yang penting mandi dulu sekarang.. Laper gua..” Ucapku sambil meluncur ke kamar mandi dipojok ruangan.

“Ting.. Tong.. Ting.. Tong..” Bunyi bel depan terdengar.

“Siapa sih, kalau si mbok pasti bukan.. Dia mah tinggal nyelonong masuk aja..” Pikirku. Sehabis mandi, merapikan baju yang ku pakai lalu menuju kebawah melihat siapakah gerangan.

Kuhampiri pintu gerbang depan, sekilas melihat tamu yang datang.

“Buset, yang dateng bidadari-bidadari..” kenapa gua bilang gitu, karena fokus pertama yang gua liat dari dua cewek itu adalah dadanya melebihi kapasitas yang diharuskan.. Guede-guede, kalau cewek nggak ada dadanya bukan bidadari-bidadari, jadinya biri-biri. Haha, becanda.

“Permisi mas..” Kata salah satu cewek.

“Iya, gimana mbak ada yang bisa saya bantu..” ucap gua sesopan mungkin.

“Gini mas, saya ma temen saya mau nyari kost.. Ini kostnya baru ya, tak liat belum ada yang ngisi..”

“Owh, iya mbak.. Mbaknya mau cari kost ya, silahkan mbak kalau mau liat-liat.. Perkenalkan saya Sibho, keponakan yang punya kost.. Yang ikut bantu-bantu disini juga..” Tegasku.

“Kalau boleh tau siapa nama mbak-mbaknya..?” Tanyaku sopan.

“Tak kenal maka tak sayang, kenalan dulu biar bisa saling sayang..” Batinku, haha.

“Saya Fitri mas, kalau temen saya namanya Ida..”

“Owh yang baju hijau Fitri, yang biru Ida..” Ucapku sambil menjabat tangan keduanya dan mempersilahkan mereka masuk.

“Silahkan lihat-lihat mbak, ini ada dua lantai.. Niatnya mau cari lantai bawah atau atas mbak..”

“Kebetulan kita pulangnya malem mas, mungkin lantai bawah aja takut ngganggu..” Kata Fitri.

“Emang kuliah atau kerja, tak liat kita kayaknya seumuran..”

“Kerja mas, sambil ngumpulin buat kuliah juga..” Jawab Fitri.

“Owh, kerjanya barengan jg mbak Fitri sama mba Ida..?”

“Iya mas, saya ma Ida kerja dimall mexxxxx jadi SPG disana..”

“Gitu, yg penting hasil mba.. Ya udah silahkan dilihat-lihat dulu aja semoga cocok..” Ucapku.

“Iya mas..” Timpal Fitri.

“Wah mantap, semoga pada kost disini dah.. Bosen tiap hari liatnya mbok sum mulu.. kalo jadi kan lumayan, tambah pemandangan.. Yang namanya Fitri cantik, keknya easy going, proporsional, kulit putih keturunan sunda.. Kalau si Ida kulit sawo matang, tapi jangan tanya bodynya.. Syuper, ibarat ayam si Ida nih ayam broiler (pedaging/montok).. Pendiem sih, tapi justru yang pendiem gini bisa jadi ganas dimedan tempur.. Kalo ditusuk nggak kebayang njeritnya kayak apa ntar..” Batinku.

“Gimana mba Fit, mba Ida, cocok..?” Tanyaku, selang beberapa lama.

“Kayaknya cocok mas, lokasi, fasilitas sama harganya juga.. Kalau boleh minta nomer mas Sibho aja buat pembayarannya, sekalian nanti saya telfon pas kita mau pindahin barang kita kesini mas..” ucap Fitri.

“Ini nomor saya mba, klo ada apa silahkan hubungi aja.. Semoga mba Fitri ma mba Ida betah nanti kalau jadi kost disini..”

“Makasih mas, kalau gitu kita pamit dulu.. Nanti dikabarin..”

“Oke, siap mbaknya..”

.

Dua minggu setelah masuknya Fitri dan Ida ke sarang kimcil (sebut saja nama kost-kost’an ini). Sore ini aku lewati dengan bermain game favoritku, ditemani secangkir kopi panas diteras depan.

“Sue, kalah mulu.. udah dapetnya tim noob.. Sinyal pake ilang-ilangan lagi, bangke..” gerutu dalam hati, sembari meminum kopi sebagai obat pelipur lara hati. Selang beberapa lama terdengar suara motor berhenti diikuti klakson yang cukup nyaring, secara otomatis mengalihkan perhatianku dari ponsel yang sedang aku mainkan.

“Tin.. Tin.. Pesanan atas nama Fitri..” ucap abang ojol setelah ia turun dari motornya.

“Nganter makanan ya bang, udah dibayar belom itu..” tanyaku menghampiri.

“Belum bang, tagih tunai..” jawabnya singkat.

“Owh, coba dichat aja bang.. Masih didalam paling..” timpalku kembali duduk, melihat abang ojol mulai mengutak-atik hp dan menunggu setelahnya.

Tak sampai tiga menit Fitri pun keluar, terlihat rambutnya masih basah mengenakan pakaian santai yang bisa dibilang membuat mata ini tak lelah tuk selalu memandangnya. Kaos dengan warna dominan hijau favoritnya, terlihat kekecilan menahan dua buah beban yang ia miliki. Celana pendek garis-garis hijau dan putih yang mungkin sekitar dua puluh senti diatas lutut yang ia pakai pun makin menyempurnakan penampilannya, karena secara langsung mengeksplore paha mulus putih miliknya.

“Dari tadi ya bang, jadi totalnya berapa..?” tanya Fitri ke abang ojol.

“Empat puluh dua rebu neng..” balas abang ojol, sembari tersenyum malu dan curi-curi pandang melihat paha Fitri yang bak keramik porselen baru.

“Ini bang uangnya, ambil aja kembaliannya.. Makasih ya bang..” ucap Fitri, sambil menyodorkan uang lima puluh ribu.

“Makasih banyak neng..” abang ojol memasukkan uang dan mulai mengotak-atik lagi hpnya, mungkin buat nyelesaiin orderan atau biar bisa terima order lagi dan setelahnya abang ojol pun pergi.

“Laper fit, kayaknya enak tuh..” candaku, tersenyum senormal-normalnya.

“Iya bang bho.. Niatnya sih mau cari makan didepan, tapi kok mager ya kalau sendiri.. Oh iya, bang bho mau..?”

“Makasih fit, barusan juga udah makan.. Hari ini kamu ma ida nggak barengan kerjanya..?” Balas dan tanyaku.

“Tiap hari rabu doang kita beda shift bang, kalau gitu aku masuk dulu bang bho..” ucap Fitri tersenyum.

“Iya Fit..” jawabku berfikir sembari memutar-mutarkan cincin dijari yang baru kupakai dua minggu’an ini.

“Apa aku coba sekarang aja ya, siapa tau beneran bisa.. Bodo amat dah, iseng-iseng berhadiah ini..” kalimat yang terlintas dipikiranku.

Aku ikuti Fitri dari belakang dan membaca syarat kata dalam batin. Mencoba sekonsentrasi mungkin, meski sedikit terganggu dengan bayangan naik turun pantat Fitri yang tak sengaja kulihat sebelumnya.

“Fitri..” aku tepuk pundaknya dari belakang.

“Brukk..!!” suara makanan yang dipegang Fitri terjatuh.

“Aduh maaf Fit, ngagetin ya..” ucapku sambil mengambil makanan yang jatuh tersebut. Berharap Fitri tak curiga, takutnya ajian ini gagal.

“…..” Fitri hanya terdiam, badannya sedikit gemetar diikuti dengan tatapan kosong dimatanya.

“Kenapa Fit..?” tanyaku.

#FB

“Ini apaan ya, perasaan gua ga pernah punya ginian..” ucapku sambil melihat kotak perhiasan kecil usang yang tak sengaja ku injak tadi. Penasaran karena terlihat sangat familiar tanpa babibu lagi kubuka kotak tersebut. Ternyata terdapat sebuah cincin didalamnya, berhias sebuah permata merah serta ukiran aksara jawa disekelilingnya.

“Bagus juga nih, tapi punya siapa ya.. Hmm, gua pake aja dah..” seketika kepalaku terasa sangat berat seperti mau pecah. Ibarat otakku mmc, ini seperti dipaksa menampung begitu banyak file baru.

“Hehehe.. Hahaha, ternyata seperti itu to..!!” tawaku pecah, begitu menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Cincin ini merupakan warisan leluhur dalam mimpiku tadi, dan ini adalah wadah ilmu aji Nyawijining Asmoro.

“…” Cincin ini merupakan wadah yang bisa menyalurkan energi, diaktifkan dengan syarat baca’an, nama target dan sentuhan kepada target. Dimana energi tersebut berfungsi mengubah pola kepribadian target, menjadi seperti yang diinginkan dan lebih menariknya lagi batas minimalnya lima kali lipat lebih besar dari yang diinginkan pengguna.

#Lanjut

Kulihat ia dari depan, kedua mataku bertemu dengan tatapan kosong miliknya dan tak lama kutepuk pundaknya.

“Fit, lu gapapa..!??” Tanyaku polos.

“Eh..” jawab Fitri tersentak sekenanya, matanya menatap mataku seaakan malu dan memalingkan pandangan matanya kearah lain.

“Napa Fit..?”

“Ngg.. ngg.. nggaak papa.. mas bho..” tertatih, kedua tangannya tanpa sadar menutupi bagian intim miliknya. Seakan melindungi, tapi lebih tepatnya seperti menahan agar sesuatu yang diinginkan tidak terjadi.

“Waini, lampu hijau.. Ternyata ajian ini beneran ampuh..” dalam batin, mengingat memori yang aku dapatkan dulu.

“Beneran gapapa..?” Sedikit meremas pundaknya.

“Eunghhh.. g g.. gak papa.. Emmh massh.. bho..” terlihat mukanya makin memerah, menahan sesuatu yang takkan bisa seterusnya ia tahan.

“Mukamu merah banget Fit, jangan-jangan gejala demam nih..” tanganku mengelus pipi dan berakhir dikeningnya.

“Emmmph..” Fitri diam, hanya nafas tak beraturan darinya yang jelas terdengar. Bola matanya menatap semakin keatas dan air liur sedikit keluar dari celah ujung bibir tipisnya.

“Udah Fit, masuk kekamarmu dulu aja yuk.. Takut kamu kenapa-napa..” diikuti anggukan Fitri.

Aku berjalan memapah Fitri yang terlihat lemas menuju kamarnya. Nafasnya yang kian memburu semakin berat terdengar disampingku. Sampai didepan kamar kubuka pintu dan kami berdua pun masuk.

“Wangi amat, dah kek kuburan baru..” kata yang terlintas dibenakku, melihat sekeliling kamarnya yang berbanding terbalik dengan kamar milikku.

Kududukkan ia diatas kasur dipojok kiri kamar yang berhadapan dengan kamar mandi dalam. Kasur dengan bad cover warna hijau bermotif kodok ini mungkin akan menjadi saksi bisu kebinalan Fitri nanti. Tak lupa aku berbalik, berjalan menuju pintu tuk segera menguncinya.

“Yang sakit mana Fit..?” Ucapku disampingnya, tangan kananku merangkul dan mengelus lembut bahu Fitri.

“Heessh..” tanpa ada kata hanya nafasnya saja yang memberikan jawaban.

“Yang ini sakit nggak..?” Tangan kiriku mulai berani mengelus paha kiri Fitri. Aslinya pengen langsung ngeremes big boobsnya, cuma nikmatin momen dulu aja. Step by step.

“Emph..” lenguh Fitri, tangannya menahan tangan kiriku.

“Kenapa..?” Bisikku lirih ditelinganya.

“Aaku.. g gak.. kuat.. mass bho..” ucapnya lemah, tangannya memandu tanganku menjelajah area yang seharusnya tak setiap orang boleh menyentuhnya.

“Walah, dah sange ni anak.. Niat gua pengen main santai, yah apa boleh buat.. Gas keun kalo gitu, hehe..” batinku.

Senja mulai menghilang ditelan sang malam, mendung sore itu tak kuasa lagi menanggung beban. Tetes air hujan turun tanpa terhalang, disertai angin yang cukup kencang. Semakin dingin udara terasa, tapi itu mungkin tak semua. Dua insan dalam sarang kimcil justru merasa bahwa, hawa kian memanas disekitarnya.

“Engmmphh.. akhahh.. emmash.. bhoh.. cyuphh..” Desahnya ketika bibir dan lidah kami saling bertautan. Dalam pangkuanku ia mulai menggila, menyalurkan birahi tak tertahan yang ntah datang darimana. Memeluk serta menciumku sejadinya, memainkan lidahnya seganas yang Fitri bisa.

“Ininyah.. mmphm.. dilepas yah.. mmpit..” bisikku sebisa mungkin, sembari tanganku merayap dibalik baju belakangnya. Menyarankan tuk melepas bra yang ia kenakan.

“Mmmph.. slurrrph..” desis Fitri, disertai anggukan singkat sebagai tanda persetujuan.

“Napa musti branya doang, bugilin sekalian aja dah.. Ribet..” pikirku.

“Klik..” tanda kaitan bra Fitri yang terlepas, ntah berapa ukurannya. Baru sadar dari tadi belum kumainkan gumpalan besar lemak itu.

“Puhaa.. sabar ya fit, ininya dilepas dulu..” mendorong halus Fitri supaya ia berhenti sebentar. Ku lepas bra sekaligus kaos yang ia kenakan.

Meski sedikit cemberut ia menuruti apa yang aku katakan dan kemudian terpampanglah dua buah gunung kembar miliknya. Besar, kian mengencang dan puting berwarna kecoklatan yang terlihat kontras dengan putihnya kulit tubuh Fitri. Kutidurkan ia, hingga sekarang berada diatasnya. Langsung kuremas kedua buah dada itu, tak lupa lidahku bermain dengan puting kecoklatan Fitri.

“Emmp.. syurrph.. sluurphh..” suara lidahku. Kudengar Fitri melenguh tertahan, tangan kirinya melingkar erat dipunggungku.

“Lah, tangan yang satunya kemana tu..” lidahku terhenti sebentar, mata ini mencari tangan kanan Fitri.

“Buset.. udah maenin selangkangan aja, emang udah segitu gatelnya apa memek lu Fit..” senyumku, melihat ulahnya.

“Emmash.. bhoh.. nenen pittrih.. lagih..” rancaunya, menyadari berhentinya permainan lidahku.

“Gua kerjain ah, biar gantian.. Masak gua mulu yang muasin elu..” terbesit sedikit ide dalam pikiranku.

Aku kembali berdiri, melirik raut wajah bingung Fitri. Melepas semua pakaian yang kukenakan, hingga tak tersisa satu helai pun. Adek kecil yang biasanya imut ini sekarang sudah begitu perkasa, hingga yang melihatnya menelan ludah. Kemudian merebahkan diriku disamping wanita binal ini, dengan kedua tangan berada dibawah kepala. Bak sang raja yang ingin dimanjakan para selirnya.

Tahu maksud dari apa yang kuinginkan, ia dengan segera berbalik menyerangku. Tak disangka ternyata Fitri sangat pintar memuaskan pria, service darinya sungguh efektif dan efisien. Bibir serta lidah tipisnya mulai memainkan putingku, tangan kanannya memanjakan sibho jr dan tak lupa tangan kirinya masih bermain diselangkangannya sendiri. Nggak bisa kubayangkan segatel dan sebecek apa memek Fitri sekarang.

“Mmmph.. mmph.. slurp.. slurrph.. spochh..” giliran sibho jr dan kedua bijiku mendapatkan oral service Fitri. Namun hanya sekejap, tak sampai dua menit Fitri menghentikan kulumannya.

“Mash bho, memek fittrih da ga kuat..” ungkapnya, berdiri melepas celana pendek dan celana dalamnya. Terlihat bulu tipis menghiasi diatas organ intim milik Fitri.

“Aquwh masukin sekarang mash bho..” jari telunjuk dan jari tengah melebarkan memeknya agar lebih mudah dimasuki sibho jr.

“Ackhhhahhhh..” jerit nikmat fitri tertahan, ketika lubang surgawinya dimasuki sibho jr. Bahkan tanpa seijinku dahulu, mungkin udah terlalu bernafsu.

“Ahh.. slap.. ahhh.. ah ah ah.. slap.. slaph.. aahh..” langsung Fitri menaik turunkan dan kadang menggoyang pantatnya dengan rpm tinggi. Terlihat tangan kanan menopang tubuhnya didadaku, sedang tangan kirinya meremas dadanya sendiri. Mencoba mencari puncak kenikmatan secepat yang bisa ia dapatkan.

“Mmmph.. achh.. mmek pit.. ugh.. enakh.. mash bho.. ahh.. ahh ah..” kata tak jelas serta desah keluar. Tak cuma kata, bahkan air liurnya juga sedikit keluar dari ujung bibir manisnya.

“Saash.. saasshh.. grrghh.. jledarr.. sash..” suara hujan angin disertai petir kembali terdengar, meski sebelumnya sempat mereda sebentar. Dua ronde telah terlewati, berbagai gaya telah kulakui dan ntah Fitri orgasme berapa kali. Kulihat hampir pukul sepuluh malam, dari jam dinding disisi ruangan. Aku masih mengistirahatkan diri dengan pelukan sang bidadari.

“Mas bho, lagi.. cup.. cuph..” singkat, padat dan jelas bisik Fitri ditelingaku. Tangan kirinya membelai sibho jr, sedang bibirnya mulai mengecup lembut dadaku.

“Apanya yang lagi Fit..” godaku, meremas sebelah pantatnya yang begitu kenyal.

“Emmgh.. cuph.. mash bho gitu deh.. emmph.. ayok ah mas, dah gatel lagi nih.. cuph.. memek Fitri.. mmphm..” tak lagi malu, kata-kata vulgar kini mulai sering terdengar dari mulutnya.

Jam dinding terus berdetak, mengiringi hujaman sibho jr ke lubang kewanitaan Fitri yang mulai memerah. Kasur hijau bermotif kodok ini pun mulai semakin kusut dan basah, imbas permainan liar kami. Tusukan demi tusukan dilancarkan, berakibat desah yang tak tertahankan.

“Elagih.. yanhg dalemp.. maahs.. bho..” rancau Fitri, pantatnya mengimbangi tiap tusukanku.

“Slaaph.. slap.. plakk.. slap slaaphh..” pas doggy gini, suka banget aku nampar pantatnya yang putih, mulus dan kenyal.

“Eghh.. ah ahh.. enakh.. terush mas.. ah akhh.. bho..” tangan kanan memegang ujung kasur, sedang yang kiri sibuk meremas teteknya sendiri. Buah dada yang satu terlihat bergoncang, lidah Fitri keluar seakan ikut merasakan kenikmatan yang diterimanya.

Sepuluh menit berselang selepas ronde ketiga, dentuman petir kian menyambar menyemarakkan suasana. Peluh menetes dari tubuh, buah kerja keras kami berdua. Hingga sesuatu hal mengejutkan terjadi.

“Tok.. tok.. tok.. Fit, lu ada didalem nggak..!?” ketuk seseorang, dengan suara yang sangat familiar.

Next to Part. 2B