Rumble X Riot!

EPISODE I: Bagian Satu

Seharusnya aku tak masuk sekolah ini. Sekolah dengan hukum rimba, dimana yang kuat yang berkuasa. Andai saja waktu bisa kuputar, lebih baik aku homeschooling saja. Andai kedua orangtuaku di kampung sana mengerti bahwa sekolah yang direkomendasikan keponakan mereka tak semenarik yang dibicarakan.

Menarik? Tidak. Sama sekali tidak. Ada tubuh-tubuh terkapar di sepanjang koridor–babak belur dan kesakitan. Kaca-kaca jendela yang pecah, perkelahian disana-sini, teriakan lantang di seantero gedung. Mentalmu akan diuji bahkan ketika baru lewati gerbangnya saja.

“Jadi, gimana kesan-kesan lo selama seminggu disini, anak baru? Saik kan sekolah kita?”

Yang bertanya itu bernama Sarjono, teman sekelasku. Tapi dia memaksa untuk dipanggil Jon, nama kerennya. Entah bagaimana perasaan kedua orangtuanya, jika mengetahui nama yang mereka berikan seenaknya saja dirubah.

Aku menggeleng. Mendesah pelan, lalu berpangku tangan. “Aku mah ngeri, Jon. Kelas isinya ribut semua, guru ga pernah dateng. Apa yang mau dipelajarin ini? Belom was-was tiap mau keluar kelas, takut dipukulin kakak kelas. Aku teh ga bisa diginiin, Jon. Bisa stres lama-lama disini.”

Sekolah swasta ini bernama Karya Nusa. Disinilah tempat yang tepat untuk mencetak lulusan preman, tukang pukul, petinju, sampai pengawal profesional dan mafia. Jangan tanya untuk urusan akademik, karena guru-gurunya lebih memilih untuk asyik sendiri di ruangan mereka. Otomatis, pelajaran jadi terbengkalai. Satu-satunya prestasi yang bisa dibanggakan sekolah ini ada di pelajaran olahraganya. Hampir semua ekskul olahraga sekolah ini memenangi kompetisi antar sekolah.

“Eh, itu si Nia mau kemana sama Hilman? Kok berdua? Bukannya ini masih jam pelajaran ya?”

Yang lain hanya tertawa keras mendengar pertanyaanku. Entah aku yang terlalu polos, atau memang mereka yang terlalu sulit dimengerti, aku tak tahu.

“Pada mau ke kamar mandi lah! Mau tutuy, kok lo nanya?”

“Tutuy?” tanyaku, terpengarah. Bahasa apa itu?

“Tutuy, ngentot, ngewe. Masa ga tau?”

Aku hanya bisa menggeleng. Disini terlalu bebas. Amat sangat bebas. Aku yang berasal dari SMA yang biasa-biasa saja di kampung jelas kaget dengan pergantian suasana yang ekstrim ini.

“Kok bisa? Nanti kalo ketahuan gimana?”

Dan tawa mereka semakin keras, menjadi-jadi. Aku hanya bisa menunduk malu. Seharusnya aku diam saja.

“Helen, lo lagi nyantai ga?!” teriak Jon pada seorang gadis yang duduk di barisan depan. “Ajarin nih anak baru dong, biar ga kaku! Lo kan demen tuh natar anak polos!”

Hah? Natar? Aku? Salah aku apa?

Kulihat Helen berdiri, lalu sambil tersenyum dia menghampiri tempat duduk kami. Helen adalah salah satu dari sepuluh perempuan yang ada di kelas kami. Sekolah ini lebih di dominasi laki-laki, tapi tak menutup kemungkinan bagi perempuan untuk masuk sekolah ini. Khusus Helen, dia beberapa kali menarik perhatianku. Wajahnya lumayan cantik, dengan bentuk tubuh yang bagus. Dadanya membusung, tercetak jelas lewat siluet seragamnya yang ketat. Andai saja, dia mau denganku.

“Nama kamu….”

“E-Elang.”

“Oh iya, Elang. Ikut aku yuk?” ajak Helen padaku.

Belum sempat aku menjawab, Helen sudah menarik tanganku lalu membuatku mengikutinya keluar kelas. Aku masih belum bisa menebak apa yang gadis ini akan lakukan.

Lalu kami menyusuri koridor. Melewati beberapa murid-murid lain yang sedang duduk-duduk di lantai. Beberapa diantara mereka memasang wajah sangar ketika aku menatap mereka, yang lain malah menggoda Helen dengan kata-kata yang membuat risih telinga.

“Emm, ini mau kemana ya?” tanyaku, agak takut.

Tapi Helen hanya membalas pertanyaanku dengan senyum misterius. Seperti punya banyak arti, dan perasaanku seketika tak enak setelah melihat senyumnya.

***

“Jadi, kenapa kamu pindah kesini?” tanya Helen disela kesibukannya.

Aku hanya bisa berdiri terpaku, namun tak bisa mengalihkan pandanganku pada Helen yang sedang berlutut dihadapanku. Ada rasa geli bercampur enak, ketika gadis ini dengan lihainya terampil mengocok… ehm, penisku.

“Da-dapet rekomendasi da-dari… sepupu yang.. u-udah lu-lulus,” jawabku terbata-bata.

“Emh, gede juga,” gumamnya, masih dapat kudengar. “Terus, rencana kamu disini gimana?”

Aku menggeleng. Aku masih belum tahu mau jadi apa aku di sekolah ini. Aku tak bisa berkelahi, tapi juga tak pintar dalam pelajaran akademik. Tapi, astaga! Siapa yang bisa fokus jika ditanyai dalam kondisi begini!

Jadi, ceritanya tadi Helen membawaku ke toilet. Ketika kami akan masuk, kami berpapasan dengan Nia dan pacarnya yang baru keluar. Tapi muka mereka tampak lega, meski dengan tubuh lemas. Belum sempat aku bertanya pada Helen, gadis ini sudah meremas penisku dari luar celana. Aku yang kaget, sempat menolak namun Helen dengan cepat membuka celanaku dan… yah, begini jadinya.

“Kamu masih perjaka ya?” tanya Helen lagi. Dan kubalas dengan anggukan.

Sementara tangannya masih asyik mengocok batang penisku, dia kembali melempar pertanyaan. “Pernah punya pacar?”

“Per-Pernah.”

“Udah ngapain aja pas pacaran?”

“Cu-cuma pegangan tangan aja kok!”

“Berarti belom pernah dikocokin gini ya?” tanyanya lagi, sambil memandangiku tapi tangannya malah mempercepat kocokan di penisku. Duh, mukanya itu…

“Kalau…,” Helen lalu mendekatkan mulutnya ke kepala penisku. Dia membuka bibir, lalu perlahan-lahan memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Agak dikulum, sesekali disapu lidah, dan diulangi beberapa kali sampai dia mengeluarkan penisku dari mulutnya. “Digituin juga belom pernah?”

Aku cuma bisa menggeleng. Jika orangtuaku tahu, mau dibilang apa aku ini oleh mereka. Tapi rasa nikmatnya diperlakukan seperti ini, membuatku tak ingin melawan. Aku tahu ini salah, tapi yang jelas rasanya nikmat.

“Enak?”

Aku mengangguk. Tanganku yang sedari tadi diam, mulai memberanikan diri mencoba menyentuh payudaranya. Naluri. Tiba-tiba aku penasaran bagaimana rasanya menyentuh dada Helen. Pasti kenyal, empuk, dan…

“Auh!” Helen kembali mengulum penisku. Dia juga menghisapnya dengan kuat, sambil memaju-mundurkan mukanya dan disertai kocokan lembut dari dua jari yang direkatkan membentuk lingkaran selimuti batang kemaluanku. Aku jadi semakin ingin menyentuh buah dadanya, tapi…

Tangan Helen menepis tanganku. Dia juga menghentikan kulumannya, lalu menatapku dingin. “Udah nikmatin aja, tapi jangan pegang,” katanya.

“I-iya, maaf.”

Mungkin karena melihat wajah kecewaku, Helen kembali tersenyum. Lalu dia membuka tiga kancing seragamnya, memperlihatkan belahan payudara sekalnya yang masih dibungkus bra.

“Pengen megang ini ya?” goda Helen sambil meremasi kedua payudaranya sendiri. Aku hanya bisa meneguk ludah. Itu terlalu menggiurkan.

“Tapi ga boleh megang, maaf ya.” Helen tersenyum nakal. “Gimana kalau kamu ngocok sendiri terus aku grepe-grepe toket aku sendiri?”

Tanpa berpikir dua kali, aku mulai mengocok penis. Naluri menuntunku mengarahkan penisku ke belahan dada Helen, sambil terus memelototi payudara indah miliknya. Ditambah remasan-remasan lembut pada payudaranya sendiri semakin membuat nafsuku memuncak! Aku tanpa sadar mengocok dengan cepat, dan perlahan rasa geli seperti ingin buang air kecil mulai mengumpul di ujung penisku.

“Gimana rasanya ngocok sendiri? Enak?”

“Hu’uh, e-enak!”

“Ayo kocok terus. Mau keluar ya?”

“Ke-keluar?” Aku bingung dengan maksud pertanyaannya. Tapi desakan ingin pipis semakin menjadi-jadi.

“Iyah, gitu yang cepet. Keluarinnya di toket aku aja gapapa, yang banyak yaa… ssshh.”
j
Aduh. Aku merasa nikmat sekali. Begitu nikmat sampai rasanya ada yang ingin meledak dari ujung penisku. Seperti pipis, tapi… tapi…

“Haaaahhh….! Aku pipiiisss!”

Cairan berwarna putih kental menyembur deras dari ujung penisku, bercipratan di belahan dadanya. Banyak sekali, menembak beberapa kali melumuri dada serta ada yang kena ke wajah Helen. Aku gemetar, baru kali ini merasakan kenikmatan seperti ini. Rasanya, rasanya… sepertinya aku akan ketagihan…

Helen tersenyum melihatku. Dia menyeka pipinya yang terkena cairan dari penisku, lalu menjilati cairan itu sampai bersih. Dia juga meratakan cairan yang ada di buah dadanya, sampai bongkahan daging itu terlihat mengkilap terkena cahaya.

“Peju perjaka, banyak juga ya. Hihi, enak,” katanya. “Nah, selamat ya Elang. Kamu lulus ditatar, mulai sekarang kamu udah jadi cowok tulen.”

Cowok tulen, katanya.

“Oh iya,” Helen berdiri sejajar denganku, tapi tidak mengancingkan kembali seragamnya. Meski wajah kami berhadap-hadapan, tapi mataku terfokus pada belahan dadanya. “Habis ini, bakal berat lho. Kamu juga harus siap secara mental, juga fisik.”

Helen melenggang pergi. Sementara aku masih berdiri kaku, berusah mencerna kalimat terakhirnya. Siap secara mental juga fisik? Rasanya, seperti ada sesuatu yang buruk sedang bersiap menerkamku.

Seketika perasaanku tak enak. Andai bisa, aku ingin pindah sekolah saja.

===========================================​

EPISODE I: Bagian Dua

Ternyata, sistem di sekolah ini cukup rumit. Bagi yang ingin menguasai seisi sekolah, harus menguasai per kelas, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Siapapun yang bisa menguasai semua kelas, ditetapkan jadi penguasa sekolah. Cukup sangar, bukan?

Tunggu, tunggu. Ini seperti… di film. Tapi apa ya?

“Macemnya Crows Zero ya?” cetus Jon.

Ah ya, mirip film itu. Atau memang sengaja mengikuti sistem berdasarkan cerita di film tersebut? Jangan-jangan, disini juga ada Genji dan Serizawa?

Berhubung aku tidak punya pengalaman berkelahi, jadilah aku yang paling lemah di kelas. Atau, kalau kata Jon, paling tidak berguna. Tubuhku kurus kering, cuma tulang berbalut kulit. Tanpa otot, tanpa keberanian. Sasaran empuk untuk mereka yang sedang mencari samsak hidup.

“Tapi jangan panik, El. Tiap kelas itu solid, kalo ada yang direcokin sama kelas lain pasti anak-anak turun tangan belain. Makanya, kalo mau nguasain satu kelas, pasukan dia mesti siap tempur. Jadi elo tenang-tenang aja, ga bakal ada yang nyolek elo selama masih sama kita-kita. Minimal kalo udah dicolek, kita bisa bales lah.”

Enak sekali dia bilang. Aku masih belum bisa membayangkan tubuhku menjadi samsak hidup, digebuki ramai-ramai. Membayangkannya saja, tubuhku merinding seketika. Tapi daripada itu, aku dari tadi mencari-cari keberadaan Helen. Kemana gadis itu?

“Jon, Helen kemana?”

Jon hanya mengangkat bahu. “Dia emang suka ngilang, sesukanya dia aja.”

“Tapi tumben, kelas kita adem-adem aja akhir-akhir ini. Biasanya nih ya El, kalo pulang tiap hari kita bonyok mulu gegara ribut,” kata Sapto, ikut dalam pembicaraan kami.

Tapi tiba-tiba, dari arah luar terdengar ribut-ribut. Tak lama, seorang siswa lelaki terpental ke belakang akibat tendangan yang dilancarkan siswa lainnya. Ah, mereka bergerombol masuk kelas kami. Tampang mereka juga sangar-sangar.

“Serangan mendadak pas istirahat? Curang juga anak kelas 2-B. Ga malu sama anak kelas satu?” ejek Sapto kepada gerombolan siswa yang berdiri di depan.

“Makanya To, jangan diomongin. Diserang kan kita. Ahelah,” Jon berdiri pasang badan. Aku diberi isyarat tangan untuk mundur ke belakang lalu kabur lewat jendela. “Nyari koreng aja sih lo To. Kalo cuma kita berdua, repot kan. El, kabur lewat jendela. Cari anak-anak yang masih di kantin. Buru!”

Aku segera mundur ke belakang, lalu dengan panik naik ke meja. Melompati meja satu ke meja lainnya untuk mencapai jendela. Tapi mereka yang menyerang kami tak membiarkan kami memanggil bantuan. Dua dari gerombolan itu berpencar untuk menghadangku. Tapi Sapto dengan sigap menghadang balik. Dia sempat melancarkan beberapa pukulan ke wajah mereka berdua, namun dibalas dengan tinju di perut.

Dan ternyata aku salah kabur! Setelah berhasil lolos lewat jendela, bukannya menjejak di lantai koridor, tapi genting kelas! Aku yang tak hati-hati, malah tergelincir dan jatuh dengan keras di jalanan berbeton. Beruntungnya, aku langsung berada di area kantin, dan banyak pasang mata memperhatikanku. Sialnya, caraku jatuh itu lengan kanan lebih dulu. Jadilah lenganku lebam-lebam. Tapi itu tak penting! Sekarang saatnya mencari…

“Loh, Elang? Ngapain terjun?”

Suara gadis yang kukenal! Agak renyah, tapi nyaman di telinga. Dan saat menengok ke asal suara, ternyata…

“Helen? Eh eh, gawat! Kelas kita diserang! Cuma ada Jon sama Sapto, itu juga dikeroyok! Bantuin aku cari yang lain, Hel! Cepet–”

Helen memotong, “Terus kamu kenapa ga bantuin mereka?”

“Ah, itu… Jon nyuruh manggil… yang… lain. Makanya… aku…”

“Kabur? Temen ga kabur ninggalin temennya yang lagi dikeroyok, Elang. Dasar pengecut,” ejek Helen dengan sinis sambil menggelengkan kepala.

“Tapi kan–”

Tapi Helen melenggang pergi bahkan sebelum aku memberi penjelasan. Ejekannya tadi, begitu sinis. Menohok hati, menyulut ego lelakiku. Tapi aku bisa apa? Aku cuma anak lemah yang hanya akan menjadi bulan-bulanan mereka.

“Eh, Helen! Mau kemana?!”

“Bantuin lah. Masa kita diserang diem aja?”

Helen berjalan cepat menaiki tangga, tak menggubris godaan setara pelecehan yang dilakukan siswa-siswa lain terhadapnya. Aku menyusul, untuk memastikan Helen baik-baik saja. Sebisanya aku akan melindungi gadis itu, karena aku laki-laki. Sudah sepantasnya laki-laki melindungi perempuan.

Helen mendobrak pintu kelas kami, lalu menyeruak masuk. Aku menyusul, dan kaget ketika mendapati Sapto dan Jon sudah babak belur dihajar gerombolan siswa kelas lain itu. Wajah mereka lebam-lebam, seragam yang compang-camping, serta darah mengalir dari bibir yang sobek. W-waw, aku kira pemandangan ini hanya ada di film-film aksi saja.

“Horeeee~! Jagoan dateng!” sorak Sapto dengan lantang.

“El, tutup pintunya! Jaga jangan sampe ada yang kabur!” ganti Jon yang berteriak.

Aku buru-buru menutup pintu, berdiri pasang badan. Pokoknya tak ada yang boleh kabur lewati pintu ini! Tapi, ketika melihat gerombolan penyerang kami, aku merasa ada yang berbeda. Raut wajah mereka tak lagi sangar, terkesan pucat dan ketakutan. Karena Helen?

Dan menit-menit berikutnya, aku hanya bisa membelalakkan mata. Menyaksikan tim sapu bersih kelas kami beraksi. Tak ada yang diberi ampun. Minimal ada satu-dua tulang mereka yang patah kena hajar Helen. Aku baru tahu, ketika berkelahi Helen lebih mirip seperti… monster.

Atau iblis.

Dan kini dia menoleh, tersenyum padaku. Satu senyum polos yang agak menyeringai, dan terlihat amat menakutkan karena darah yang bercipratan di wajahnya.

Ternyata, teman sekelasku itu monster.

(Bersambung…)