[CHALLENGE 2] Keong di Atas Daun

cerita di bawah adalah fiksi, persamaan peristiwa, tempat dan nama hanya kebetulan belaka. s a y n o t o r a p e ​

Keong di Atas Daun​
Beberapa tahun sudah berlalu sejak kabar dari kadipaten datang. Cerita tentang runtuhnya Kadiri, lantas munculnya seorang Syiwa sebagai pemimpin baru, dinyanyikan sang utusan dengan sangat apik. Dusun kecil itu terletak di lembah sebuah bukit, kali besar memanjang di samping timur dusun. Di bagian selatan, kali itu membentuk sebuah cerukan, Tlogo Ayu namanya, seperti nama dusun itu. Gemah ripah loh jinawi, telaga tersebut tak hanya menyediakan ikan, namun juga mengairi petak petak kecil sawah. Dewi Shri, selalu dimuliakan. Meski paceklik menghadang, hujan tak juga turun, omo –hama- menyerang, patung Dewi Kesuburan tak pernah dilupakan penduduk. Tak ada brahmana, satria, sudra maupun paria di situ, mereka hanya tahu, bertani, memancing, berburu dengan tombak dan panah busur, lalu berdoa dan bersyukur atas kebesaran Hyang Batara tak peduli apa namanya.
~0~​
Beberapa tongkat menancap di tanah, dengan api menyala membakar damar yang dipasang diatasnya. Nyanyian, lebih tepatnya doa, bergumam dari mulut seorang tua yang berdiri di tengah tengah lingkaran manusia. Di depan, seorang lelaki bertubuh kekar, besar bagai beruang, bersimpuh dengan kepala menunduk khitmad. Di sebelahnya, seorang gadis bertubuh langsing, dengan perhiasan menutupi pundak, menjuntai hingga menutup buahdada. Seorang Tua, Sang Sepuh, memukul mukulkan seikat tanaman, padi dan beberapa rerumputan ke pundak keduanya. Kidung peresmian suami istri mengalun pelan dari mulutnya, diikuti dengan hadirin yang ada di sana. Kedua mempelai mengangkat wajahnya. Tiga orang wanita tua keluar dari dalam gubug, sambil membungkuk malu memandang aura pengantin, sang perempuan. Sang pengantin pria memberikan salam hormat, lalu mengikuti istri nya dari belakang. Bale bale bambu, yang dua hari lalu baru saja diselesaikan, sudah terlapisi kain putih dan merah di atasnya. Kamala, sang istri, mengambil periuk kecil di atas meja, lalu mengisinya dengan air dari kendi. “Kakang….”
Dharma, sang suami, mengambil periuk itu lalu meminum separuh, separuh lagi diangsurkan ke mulut istrinya perlahan hingga kering. Lelaki besar itu menahan istrinya yang hendak berdiri. “Tak perlu kau bersolek lagi, istriku. Kecantikanmu bagai teratai di Tlogo, tak perlu polesan dan wewangian lagi.” “Kangmas Dharma, suamiku, engkau tega membiarkan istrimu jatuh ke dalam lembah kenistaan, ketika seorang istri tak lagi mau mempercantik diri untuk lelakinya.” Kamala, tersenyum, melihat Dharma melepaskan tangannya membiarkan wanita itu mundur sejenak dari ranjang bambu.
~0~​
Sang Sepuh meneruskan doa doanya di pendopo. Dituturkan berbagai kidung tentang kehidupan, disusupkan pula doa syukur atas kebesaran kuasa Hyang Batara. Beberapa pemuda khusyuk mendengarkan, beberapa orang setengah baya mengikuti nyanyian tersebut. Maheswara hanya diam mendengarkan. Baginya, Tlogo Ayu ini tak lain hanyalah sebuah tugas. Kumis baplang di wajahnya menunjukkan kewibawaan seorang satria dari Kotaraja. Maheswara, hanyalah utusan dari Rajasa Sang Amurwabhumi, perpanjangan tangan Kedaton Singasari di dusun itu, menjaga dan mengabarkan daerah itu dari ancaman pemberontakan yang bisa saja terjadi sewaktu waktu. Di belakang Maheswara, selalu ada empat orang prajurit pengawal. Keempat orang tersebut secara bergantian bertugas memberikan kabar ke Kotaraja, serta mengawal penyerahan upeti. Upeti yang tak banyak dimata Kotaraja, namun harus dikirimkan tepat waktu, sebagai tanda takluk dari dusun tersebut atas kekuasaan Singasari. Telat sehari pengiriman dari Tlaga Ayu, menyebabkan runtutan rombongan upeti yang dikirim di jalurnya terlambat. Dan, tak lama, pasukan Praja pun diyakinkan akan merapat, menyisir tiap dusun. Lalu menarik sang utusan dari dusun tersebut, jika terbukti ada pelanggaran-pemberontakan, bala tentara Singasari siap menyerbu. Maheswara tahu, di Tlaga Ayu, tak semua orang menyukainya. Sang Sepuh, bahkan meludahi muka Maheswara saat pertama kali datang. “ Aku tak butuh orang kotapraja disini. Kita hidup dan dihidupi Dewi Shri dari Tlogo Ayu, orang-orang kedaton cuma tahu minta ke rakyatnya. Phhuuiihh… “ Beruntung, Maheswara cukup tahu diri. Satria berbadan tegap itu sudah pernah bertemu dengan galaknya macan di alas Roban, peliknya hujatan para Brahmana, dan pukulan demi pukulan dari prajurit Kadiri yang ditumbangkan rajanya. Dia hanya diam, kediaman yang penuh perhitungan. Dia tahu, di Tlogo Ayu, ujung tenggara dari jalur upeti kedaton, dia sendirian. Berdamai, mencoba menerima perlakuan Sang Sepuh, sekaligus berembug dengan baik, hingga akhirnya jalur upeti berhasil dihidupkan kembali persis sebelum Patih Singasari memerintahkan bala tentara kotapraja untuk menyisir dusun-dusun tersebut. Tiga tahun, Sang Sepuh akhirnya memberikan tempat di ujung pendopo untuk Maheswara. Sebuah tanda yang sangat menggembirakan, bahkan dua malam kenduri dengan ronggeng dari dusun bawah dibiayai Maheswara hanya untuk merayakan itu, tentu saja berbarengan dengan perayaan panen. Bahkan, Sang Sepuh pun datang dengan Nyai, istrinya, membawa sekuali penuh buah buahan segar.
~0~​
Sorak suara dari arah pendopo masih terdengar di dalam bilik peraduan. Setelah doa dan kidung Dewi Shri dinyanyikan, arak yang mulai bernyanyi. Gelak tawa bersahut sahutan dan nyanyian tak jelas dari para pemuda yang birahi melihat para wanita menari di tengah pendopo. Kamala, duduk menyisir rambutnya yang panjang, lalu membalik diri, menghadap suaminya. “Kakang…” Kamala tersenyum. “Istriku Kamala…” Dharma berdiri mendekat. Diraihnya dagu Kamala mendongak, lalu mengecup pelan kening dan rambutnya. Gadis itu kembali membungkuk, dirasakan wajahnya memerah malu. Kamala menunggu Dharma membimbing langkahnya menuju peraduan, bale bambu berlapis kain putih. “Istriku… hngg… “ Dharma berbisik sambil mendorong pundak Kamala dengan lembut untuk merebah. Kamala memalingkan muka, malu. Rambutnya panjang, bergelombang, menyebar ke atas ranjang bagai permadani beludru. Anyaman batu kecil berwarna warni masih terkalung di lehernya, menutupi buahdada. Dharma lembut mencium kening dan pipi istrinya. Tangannya perlahan menyingkap kain coklat bercorak yang terikat di perut halus Kamala, membukanya ke samping. Kamala masih terlalu malu untuk menatap wajah suaminya di malam pertama itu, sementara riuh suara pesta masih terdengar dari luar. Dharma menurunkan badannya, menghimpit badan kecil Kamala. Nafas lelaki itu mulai dirasakan di telinga Kamala yang masih menghadap kesamping. Badan kecil itu menggeliat, sesuatu di bawah perutnya mulai menghangat. Tangan mungil menggerayang punggung berotot sang lelaki. Perlahan, nafas beratpun ikut terhempas keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka. “ Kau cantik sekali permataku..” Dharma berbisik. “ Aaah…. Kakang, membuat aku malu… “ Perlahan, kaki Kamala membuka. Masih terhalang kain bawah penutup kelelakiannya, Dharma mulai mendekatkan diri. “ Ahhhsss…. Kakang…” Kamala mendesah ketika merasakan kewanitaannya membasah. Setarikan tangan, kain jarik pesta, pembungkus tubuh bawah Dharma terlepas. Dengan tangan kanan, lelaki itu mengarahkan kelelakiannya ke arah lembah kewanitaan Kamala. “Kamalaa… Istriku … “ Dharma berbisik. “Kakang Dharmaaa… Suamikuu…” Kamala mulai berani menatap wajahnya, lalu berkedip memberikan persetujuan. “Ouuuuhhfffssss….. “ Desahan tak kuasa terlepas dari bibir bulat Kamala. Dharma memasuki tubuh istrinya dengan perlahan, namun kuat. Kamala memandang suaminya dengan tegar, tak ada air mata, tak ada tangis. Kamala menyerahkan tubuhnya untuk digagahi dengan rela. Mahkota yang dijaga sepanjang hidup, diserahkan kepada suaminya. Dharma dengan penuh suka cita menghampiri keindahan wanita itu. Dengan penuh cinta, menerima kesucian dari wanita – istri – yang sekarang ditindihnya.
~0~​
Kain putih dengan bercak darah merah diangkatnya dari bale bambu. Dharma memperhatikan wanita yang sekarang jadi istrinya itu dari belakang. Kain itu kemudian ditekuk, untuk kemudian di simpan di belakang. Didekat patung pemujaan dewa di belakang rumah. Memperhatikan pinggul yang bergoyang goyang, entah sengaja apa tidak, menerbitkan birahi Dharma. Kamala yang lebih pendek dari pundaknya, direngkuh dari belakang. “ Kakaang…” Kamala genit mendesah. Buahdada nya yang bebas tanpa pelindung, seperti sebagian besar wanita di dusun, diremas pelan. Ditiupkan nafas cinta di tengkuk pujaan hatinya itu, membuat wanita di depannya melenguh. Dharma, menyingkap jarik-kain penutup pinggul istrinya dari belakang. Penutupnya sendiri sudah terlepas beberapa saat lalu, membiarkan kejantanannya tegak menjulang. Badannya mendekat, berusaha menyelipkan di antara bongkahan pantat istrinya. “Kakaang…ssst…. Biarkan sahaya berputar. Kita manusia beradab, meski dari dusun kecil. Biar sahaya merasakan cinta seorang suami layaknya manusia beradab, bukan seperti binatang…” Kamala berbisik pelan. “Kamala, istriku…. Maafkan aku, yang hanya tahu pacul, tombak, dan berkelahi saja.” Dharma mencium kening istrinya, membiarkan wanita itu membalikkan badan. Kamala tak kuasa menahan pandang, diliriknya bagian bawah Dharma yang menjulang. Lelaki itu lalu tersenyum melihat Kamala yang segera tersipu. “Ooohh… Kakaang… Pelaan… Ssshhh….” wanita itu menengadah memandang wajah suaminya. Dharma mendorong tubuh besarnya ke depan, perlahan sampai pinggul mereka bersatu, istrinya sedikit mengernyit. Perut bawahnya terasa sesak. “Hhh…kakangg….hhhhhssssss….” Kamala kembali menengadah, wajahnya memerah. Dharma menarik pinggulnya ke belakang, masih perlahan. Kamala semakin mendongakkan kepala, matanya terpejam, bibirnya mendesah halus. Dharma bergerak pelan, meresapi kenikmatan demi kenikmatan wanita yang juga terengah engah mengayuh menuju ke puncak kenikmatan duniawi. Gerakan pelan tersebut semakin lama semakin keras. Kamala yang tadinya mendongak diam, mulai mengangkat pinggulnya, menuntut kepuasan. Sampai akhirnya tubuh mereka menegang, lalu berdua terkulai lemas.
~0~ ​
Aahh Bardi kau pasti menggodaku…” Dharma melempar sebatang ranting pohon ke arah pemuda yang sedang tertawa. “Haha…. Aku cuma bersyukur, akhirnya sahabat kita, saudara sehidup semati kita, panglima kita bertekuk lutut juga di depan wanitanya….” Bardi menggoda diikuti tawa pemuda yang lain. “Sudah sudaaah…. Ayuh kita berangkat, sebelum mentari terlalu tinggi. “ Dharma mengalihkan perhatian. Bardi, bertubuh hampir sama besar dengan Dharma, memimpin di depan. Berenam, mereka memasuki hutan. Tugas kali ini adalah berburu kijang. Dharma dan Bardi, pemimpin dari sekelompok pemuda Tlogo Ayu, badannya terlatih untuk berburu dan bertani. Dan, bukan petarung yang bisa diremehkan. Suatu waktu, empat pengawal Maheswara, pernah ditaklukkan Dharma di saat yang sama, dalam sebuah pertarungan tangan kosong di pasar dusun. Meski berakhir dengan minum arak bersama, namun prajurit pengawal dari kotapraja tersebut tak lantas melupakan begitu saja kekalahan mereka. Mereka menganggap kekalahan itu sangat memalukan.
Alas Tlogo, yang memisahkan dusun Tlogo Ayu dengan dusun di bawahnya, membentang seluas mata memandang. Di dalamnya terdapat hewan buruan yang tak akan habsi dimakan sedusun selama puluhan generasi. Alas, memang kejam. Tak jarang memang macan atau beruang yang dari puncak gunung turun mendekati desa, namun tak pernah sekalipun menjamah dusun Tlogo Ayu yang tentram. Sang Sepuh selalu mengatakan kalo itu karena Dewi Shri tak akan menelantarkan orang orang yang menyembah Hyang Batara. Sang Sepuh, beberapa kali mengunjungi Alas Tlogo. Ada pura yang konon sudah ada di sana semenjak manusia pertama mampu berpikir di tanah jawa ini. Pura yang suci baginya. Tempat menyepi dan meditasi yang sempurna. Di Alas Tlogo itu pun, konon masih banyak tempat yang belum terjamah manusia. Meskipun seumur hidupnya, para pemuda dari desa Tlogo Ayu itu menghidupi mereka, tapi kali ini mereka terkaget melihat sesuatu. Dharma yang pertama melihat, lalu menyuruh kelima temannya untuk merunduk bersembunyi. Kode tangan dipakai menggantikan kata, yang berarti semua anggota kelompok harus waspada. Mungkin, macan – yang oleh Sang Sepuh diberi julukan Manggolo -, atau beruang, yang hewan pemburu lain yang tak kalah berbahaya. Bukan. Dharma melihat kepulan asap. Kepulan asap dari daerah yang jauh dari manapun. Kepulan asap yang hanya berarti dua, ada kebakaran di hutan – yang berarti warga dusun harus dipersiapkan – atau perampok. Perampok, atau pelarian memang sering mencari aman di Alas Tlogo. Letaknya yang jauh dari mana mana membuat hutan itu ideal untuk bersembunyi, menyusun kekuatan, dan entah apa lagi. Biasanya, mereka cukup melaporkan kepada Maheswara. Dan beliau yang akan menyuruh para pengawalnya untuk mengintai, lalu melaporkan ke kotapraja bila perlu. Apalagi jika sampai dirasa bakal mengganggu jalur upeti ke Singasari. Namun kali ini, Dharma merasa ada sesuatu yang berbeda. Perampok atau pelarian, biasanya akan berpesta setelah merasa aman. Keributan berupa teriakan, nyanyian maupun lenguhan nakal dari wanita yang entah diajak sukarela atau diculik dari tempat lain. Hutan sepi. Itu yang membuat Dharma waspada. Lelaki bertubuh besar itu memberi kode hati hati, tangannya menggenggam tongkat-tombak dengan erat. Bersiap untuk segala kemungkinan. Perlahan, Dharma mengendap. Di depannya, di balik rerimbunan daun tempat lelaki berambut panjang itu sembunyi, terdapat pelataran kosong. Bekas api unggun dan beberapa jejak kaki jelas tersisa di situ. Bardi, perlahan keluar dari daun. Ke lima temannya siap dengan parang dan tombak untuk dilempar melindungi. Tak ada gerakan apapun. Api unggun pun sudah hampir mati sepenuhnya. Paling tidak, dari fajar tadi pagi.
~0~​
Dibutuhkan berminggu minggu berkuda cepat dari Tlogo Ayu ke Kotaraja Singosari. Lebatnya alas, serta banyaknya begal dan legenda rasekso buto, bahkan prajurit paling tangguhpun segan melewatinya sendirian tanpa urusan penting. Namun kali ini, Maheswara bersama dua pengawalnya memaksakan diri untuk sesegera mungkin melaporkan kejadian tersebut ke kotapraja. Dua pengawal ditinggal di dusun, untuk membantu Dharma dan kawan kawan berjaga. Kabar angin mengenai pemberontakan di beberapa daerah membuatnya cukup kawatir. Ditambah dengan perkawinan Dharma dan Kamala tempo hari. Maheswara, pernah mencoba melamar Kamala, sebagai selir tentunya. Harapan dia, tawaran untuk hidup enak dan tenang di kotapraja akan membutakan mata gadis kembang dusun tersebut. Apa lacur, Kamala bahkan tak mau keluar dari dalam rumah untuk menemuinya. Kedua orang tua Kamala, yang juga petani, sampai harus memohon maaf dan mengirimkan buah buahan dan hasil tani mereka untuk melonggarkan kesabaran Maheswara. Pulang ke kotapraja, artinya paling tidak sehari dua hari, Maheswara berkesempatan untuk pulang. Bertandang ke rumah orang tua, di pinggir kotapraja. Dan tentu saja, bertemu dengan istri istrinya. Meski Maheswara bersama empat pengawalnya, diperbolehkan mencari wanita untuk menemani selama di Tlogo Ayu. Tetapi, lelaki tegap mantan prajurit kotapraja itu bagaimanapun juga tak akan terpuaskan. Setiap hari melihat gadis cantik, dengan buahdada bulat yang bergoyang indah setiap kali berjalan, Kamala, dan tahu tak akan bisa menyentuhnya. Apalagi, ketika melihat wanita itu bernyanyi dan berdoa di pendopo. Merdu, menghanyutkan hati.
~0~​
Derap sepatu kuda bersahut sahutan. Tak kurang dari seratus orang berkuda memasuki gapura Dusun Tlogo Ayu dan segera menempatkan diri di alun alun, atau lebih tepat dikatakan sebagai tanah lapang di depan pendopo dusun. Beberapa dari mereka langsung bersiap menempatkan tenda dan barak. Tak lama, kentongan bertalu. Memanggil penduduk berkumpul. “Dharma… Maheswara baru saja datang dari kotapraja. Persiapkan dirimu, bawa teman temanmu. Pasukan Kotapraja butuh petunjuk. Temani mereka menyisir alas. Kalian berangkat sebelum fajar besok pagi. Sempatkan muliakan Dewi Shri, Hyang Batoro sebelumnya.” Sang Sepuh meneruskan dengan doa doa yang aneh. Bahasa Kawi, Sansekerta. Dharma menghela nafas. Di belakangnya, belasan orang duduk bersila menghadap Sang Sepuh. Baru saja orang tua itu bercerita tentang kondisi kotapraja. Tentang desas desus pemberontakan di beberapa daerah, tentang kudeta, tentang banyak hal yang tak satupun penduduk Tlogo Ayu peduli sebelumnya. Sang Sepuh mendekat, lalu berbisik. “Dharma, hiduplah. Aku melihat darah keluar dari alas. Demi Hyang Batoro, hiduplah kau anakku.” Dharma hanya diam saja, Sang Sepuh tak pernah mengkhawatirkan dirinya seperti ini. Bahkan ketika Manggolo sang macan turun gunung, dan dia yang bertugas mengarahkannya kembali ke alas. Tak menunggu lama, Maheswara memberikan pengarahan kepada Dharma, Bardi dan kawan kawan yang lain. Dari telik sandi, mata mata, para pemberontak dari arah utara memang bersembunyi di arah tenggara, alas Tlogo Ayu. Rajasa Sang Amurwabhumi, Raja Singosari, memerintahkan untuk membumi hanguskan tiap desa yang menyembunyikan para pemberontak. Pasukan kedaton, sebagian besar ditarik kembali ke kotapraja. Beberapa pasukan yang lain disebar, salah satunya di bawah pimpinan Maheswara, mengamankan Alas Tlogo. Sang Sepuh tahu, tak ada pilihan lain daripada menurut arahan Maheswara. Ratusan pasukan berkuda yang dibawanya, bukan tandingan Dharma dan kawan kawan, sekuat apapun mereka.
~0~​

Mentari mulai memerah. Senja merangkak naik, memberikan warna jingga di langit. Pasukan yang dari pagi berangkat ke dalam alas belum juga keluar. Membuat penduduk kawatir, dan berkumpul bersama di pelataran pendopo. “Tak ada satupun yang kami sembah. Tak peduli patih, raja, dari brahmana, satria, bahkan dewa kamu sekalipun, tak akan kami sembah.” Sang Sepuh berteriak teriak. “Ha ha ha…. Pongah sekali kau orang tua.” “ Apalagi cuma orang bayaran seperti kau..!” Beberapa prajurit pengawal merangsek maju hendak mendekati Sang Sepuh. Srakk… Tiga tombak segera menghadang.Namun, apalah arti tiga orang petani di depan prajuritpraja yang jelas terlatih ilmu perang. Sebilah keris menancap di ulu hati Sang Sepuh. Di ujungnya, tangan Maheswara menggenggam erat. “Jagad Dewo Batoro, apa yang kamu lakukan…”pekik Nyai Sepuh. “Ken Arok, orang gila yang mengaku Raja, membunuh akuwu Tumapel, lalu mengambil istri Tunggul Ametung sebagai bininya sendiri, sudah tumbang. Dibunuh. Dipamerkan di alun alun kotapraja Singosari. Hahaha…” Maheswara tertawa setelah menarik kerisnya dari tubuh Sang Sepuh yang terkulai jatuh bersimbah darah. Riuh. Penduduk berteriak, beberapa orang yang hendak mendekat ke arah Sang Sepuh dari pelataran pendopo, berjatuhan. Tombak dan panah pasukan yang tadinya bertugas mengamankan Tlogo Ayu, berbalik arah, membunuh penduduk. Teriakan mereka meyayat. “Tak punya malu kau Maheswara… “ Nyai Sepuh berteriak. “ Sudah lama ingin aku bilang ini wahai penduduk Tlogo Ayu… Kalian ini hanya paria. Paria tak tahu malu yang hidup dari kebesaran Wangsa Erlangga dan turunannya. Sang Sepuh…phhuuuiiihhh… tak lain dan tak bukan cuma budak penjilat kaum brahmana di masanya.” Maheswara lantas mengarahkan para prajurit untuk mengumpulkan semua penduduk ke pendopo. Beberapa teriakan kematian mengiringi beberapa penduduk yang mencoba melawan.
~0~​
Kobaran api mulai membubung tinggi. Desa Tlogo Ayu dibakar. Langit memerah, tak ada satu bintangpun terlihat. Pendopo, dan beberapa rumah dibiarkan tetap berdiri. Maheswara berdiri di salah satu rumah yang masih utuh. “Kamalaa… Sayaaang… Dimana kamu… “ Maheswara memanggil ke dalam rumah. Istri Dharma, wanita berparas elok, sudah merasakan kejanggalan semenjak suaminya berangkat tadi pagi. Tak ikut dia berkumpul ke pendopo sore tadi, memilih tetap di belakang rumah berdoa di depan arca dewa. Dengan parang di tangan, Kamala berjalan keluar. Tetap dengan mengangkat wajah, tanda tak menyerah. “ Tunggu Kakang Dharma pulang. Akan dilibas kau dengan tombaknya.” Wanita itu menantang. “ Tak ada lagi Dharma, Kamala-ku sayang. Haha… Suamimu sekarang sudah tak ada. Sudah mati dia dimakan macan. Hahaha… “ Maheswara berjalan mendekat. “Tak mungkin.” “Hahaha… Tanya dia… “ Maheswara menunjuk seorang prajurit yang tampak terluka di lengannya. “Benar Gusti Maheswara. Dharma dan kawan kawan, sudah mati kami tusuk tombak di alas tadi. Benar benar hebat, seorang diri mengalahkan sembilan pasukanpraja.” Maheswara mendekat lagi. Parang di tangan Kamala diambilnya. Wanita itu lemas, tak percaya cerita prajurit tadi. Suami yang dikasihinya, sudah mati. “ Andai saja… Andai saja kau Kumala cantik, sang teratai Tlogo Ayu, menerima pinanganku dulu… Tentunya tak akan menjadi seperti sekarang ini. Tak perlu, aku ajak pasukan dari kotapraja untuk menghancurkan dusun kalian.” “Phuuuiihh…” Kamala meludahi wajah Maheswara. Pria tegap berkumis baplang itu mengusap pipinya, membersihkan ludah dari wajah. Plakk… Tangan itu melayang, menampar Kamala hingga terjatuh. Perhiasan kalung manik manik batu kecil khas Tlogo Ayu terkoyak bertaburan di lantai rumah Dharma, menampakkan buahdada ranum yang bergoyang goyang. Maheswara berjalan keluar, memerintahkan dua orang prajurit untuk menjaga rumah Dharma. Tak sesiapapun diperbolehkan keluar atau masuk.
~0~​
Pendopo Tlogo Ayu, dikelilingi prajurit dengan senjata di tangan. Penduduk dikumpulkan di sana, tak ada yang berani bersuara. Hanya isak tangis dari beberapa anak kecil saja yang terdengar. “Nyai Sepuh… Dusun ini sudah aku ratakan. Mulai besok, kita semua akan berangkat ke Kotapraja. Anusapati, Raja baru kalian akan menyambut kemenangan ini. Tapi, aku bukan orang yang tak tahu balas budi. Kalian, akan aku biarkan hidup. Bagi yang masih kuat, akan aku jadikan budak. Sebagian akan aku pakai sendiri, nantinya kalau Raja Anusapati sudah menghadiahi aku kadipaten di barat kotapraja. Hahaha…” Maheswara memberikan arahan kepada pimpinan prajuritpraja, sebelum kembali lagi berjalan ke arah rumah Dharma. Isak tangis terdengar dari dalam bilik kamar. “ Cah ayu, Kumala… Kau satu satunya yang aku beri pilihan. Jadilah istri-selir ku. Ke sini kau… “ Maheswara bersuara dari depan pintu bilik. Wanita molek itu tetap duduk memeluk lututnya di pojok. “ Demi Hyang Batoro, aku tak akan sudi menerima lelaki sepertimu jadi suamiku.” Kamala membentak. “Baik…baik…baik… Kalau kau tak mau.” Maheswara mendekat. Tangannya menjambak rambut Kamala. Wanita itu bersiap memukul. Sekali lagi, tangan besar Maheswara, mantan prajurit terlatih, menampar keras. Kali ini tak hanya tersungkur, darah segar pun keluar dari bibir mungil Kamala. Kesadaran wanita cantik itupun menghilang.
~0~​
Kendi berisi air dikucurkan ke muka Kamala. Terkejap, wanita itu menemukan kedua tangannya saling terikat erat. Saat mencoba berontak, tersadar dia, ikatan tangannya panjang, naik ke atas. “Haha…bangun juga kau wanita cantik.” Maheswara terkekeh. Kamala mengumpat. Sumpah serapah keluar dari bibirnya. “Sayang sekali, wajah nan cantik seperti engkau, hanya akan menjadi budak. Haha… Aku tahu tempat yang paling pantas untuk menjualmu. Hahaha… kecantikanmu akan sangat berguna di sana.” Maheswara menarik kekang tali ke bawah, membuat gadis itu tertarik ke atas, memaksanya berdiri. “Wanita cantik, dengan buahdada kencang dan oooh… Kau tak pakai kain sama sekali… Haha… Benar perkiraanku, kau memang pantas dijual jadi pemuas nafsu lelaki kotapraja… Haha… “ Kamala sudah sepenuhnya sadar, kain putih penutup tubuhnya tergolek di pojok bilik. Umpatan demi umpatan masih keluar dari bibirnya. Terdengar hingga ke pendopo, Nyai Sepuh hanya bisa merunduk berdoa. Para wanita yang sudah dipisahkan dari para pria juga ikut menunduk, sebagian menangis, membayangkan apa yang akan dilakukan Maheswara kepada kembang dusun itu. Buahdada sekal itu diremas kasar Maheswara. Putingnya digigit pelan. Badan Kamala bergoyang goyang menolak sentuhan itu. Rambut panjang Kamala ditarik kebelakang, membuatnya mendongak. Kumis baplang itu menggelitik lehernya. Lidahnya menyusul, mengitari leher jenjang wanita cantik tersebut. Ciuman Maheswara bergerak naik, menuju ke bibir bulat Kamala. “Aduuh…. Dasar wanita jalang…” Lelaki itu berteriak, bibirnya digigit hingga berdarah. Tak ayal, satu tamparan keras menghias pipi yang bersih. Badan molek Kamala bergoyang, buah dadanya semakin membikin birahi lelaki di depannya naik. Geram atas perlakuannya, Maheswara segera memutar badan wanita itu. Tanpa aba aba, lelaki itu segera melesakkan kemaluannya ke dalam liang kewanitaan Kamala dari belakang. “aaaaaahhhh… bajingaaaann… “ Kamala berteriak keras, melengking. Maheswara mengendurkan sedikit kekangan tali di atas sehingga tubuh Kamala sedikit turun melemas. Dari belakang, Maheswara menggenjot tubuh wanita itu keras. Tanpa ampun. Rambut panjang bergelombang indah, sekarang kusut dijambak. Mata wanita itu melotot, memandang kosong ke dinding, setengah mati dia berusaha menahan kesadaran. Maheswara melenguh keras. Cairan kejantanan lelaki menyembur keras di dalam tubuh wanita molek tersebut. Belum puas, Maheswara mengulangi lagi. Ketiga kalinya, mantan prajurit praja itu melepaskan kekangan tali. Membiarkan Kamala terjatuh lemas di lantai. Bibir Kamala merah, darah merembes keluar. Wanita itu mengigit bibirnya sendiri, dia tak mau berteriak kesakitan. Masih teringat di telinganya, pesan dari Dharma, suaminya tadi pagi sebelum berangkat. “Sayang… Apapun yang terjadi, tetaplah hidup. Perasaanku tak enak.” Tak hanya Maheswara. Lelaki itu menyerahkan istri Dharma itu kepada kepala prajurit, dan seorang lagi prajurit yang tangannya luka terkena sabetan pedang Dharma. Balas budi, kata Maheswara sambil terkekeh.
~0~​
Jauh di dalam hutan yang gelap, beberapa mayat bergelimpangan. Beberapa berseragam merah prajuritpraja, beberapa tak berpakaian, hanya berkain-celana-hitam. Di tengah tengah, tiga batang tombak menancap di punggung seseorang yang tersungkur. Secercah sinar bulan menerangi. Lelaki itu, punggungnya tercabik cabik senjata tajam. Tangannya yang besar, berotot terkulai. Gelung di rambutnya terlepas, menutupi leher dan sebagian wajahnya. Matanya terkatup. “ha…r..ruus…hi..dup..” orang itu berbisik. Di benaknya, lelaki itu terbayang seorang wanita, dengan separuh tubuh terendam air Tlogo Ayu, tersenyum dan tertawa, sembari mencipratkan air kepadanya. Lelaki itu kembali pingsan. Dharma, dijebak oleh prajuritpraja. Dari awal, tujuan prajurit itu memang memisahkan mereka dengan penduduk dusun. Dengan mengharapkan kewaspadaan dari depan, Maheswara bersiasat, kelengahan mereka dari belakang akan terbuka.
~0~​
Bulan bulat, hampir purnama sempurna. Langit membuka cerah, bintang berkelip di atas Tlogo Ayu, seekor keong merambat di atas daun. Menggerogoti daun demi daun, tak mempedulikan keangkuhan manusia yang diperbudak nafsu sendiri. Hingga persis ber-ratus ratus tahun kemudian, malam itu, keong keong tetap merambat di atas daun di Telaga Ayu, menggerogoti daun demi daun. Tak peduli ada pesta besar di sebuah panggung dadakan bertuliskan, “ Happy Valentine 2015”.
~ s e l e s a i ~​