8th Story : I’m Promise, Selena

Part 1

Aku tidak bisa mengingat kejadian setelah aku tercebur di sungai. Yang terakhir aku ingat adalah aku menabrak sebuah batu besar dan tidak ada setelahnya. Aku ditemukan di tepian sungai dimana aku di tolong oleh penduduk lokal di sana. Aku pun juga mengalami cedera pada kakiku yang membuatku tidak dapat bergerak selama beberapa waktu. Pengobatan tradisional berjalan lambat dalam penyembuhannya.

Aku ditolong oleh keluarga Pak Kasdi. Bersama Ibu Kasdi dan anak perempuannya, Menik. Mereka merawatku dengan baik dan penuh kasih sayang. Kadang, Pak Kasdi bersenda gurau denganku setelah bekerja menggarap lahan orang lain. Di situ lah, aku prihatin kepadanya. Ia pun tetap bersemangat menjalani hidupnya.

Setelah beberapa waktu, aku mulai bisa berjalan dan mulai membantu Pak Kasdi bekerja di ladang. Jujur saja, aku tidak terbiasa melakukannya. Pak Kasdi memakluminya.

“Kasdi, enek wong soko tivi mrene. Ndang budhal nang bale deso.” Teriak temannya.

“arep opo aku mrono?”

“wis lah penting – penting. Iso mlebu tv awakmu.”

Aku bertanya ke Pak Kasdi.

“ada apa, Pak? Sepertinya seru sekali.”

“Itu, Nak. Katanya ada orang televisi di balai desa.”

“orang televisi? Apakah Zizi…?”

“Nak Joko kenapa?”

Pak Kasdi memanggilku Joko karena aku tidak ingin menyebutkan nama asliku. Aku menunggu waktu yang tepat untuk itu.

“tidak, Pak. Cuma saya penasaran aja sama orang tv nya.”

“Nak Joko ke balai desa saja. Biar bapak di sini. Masih banyak yang di garap.”

“saya permisi dulu, Pak.”

Aku meletakkan cangkul di balai tengah sawah dan bergegas menuju ke balai desa. Warna kulitku agak berubah karena sengatan matahari. Keingintahuanku didorong rasa penasaranku. Sepanjang perjalanan, aku melihat sebuah mobil tengah berusaha keluar dari lumpur. Jalanan di sini tidak ramah untuk kendaraan. 3 orang berdiri di luar mobil. Salah satu di antara mereka adalah perempuan.

“permisi ada apa ya?” aku membuka capil, tudung kepala yang biasa di pakai petani.

“ini mobilnya terjebak lumpur.” Seru salah satu dari mereka.

“udah mau telat nih acaranya. Nanti kita kena damprat.” Perempuan itu berkacak pinggang.

“maaf mas dan mbak. Saya akan bantu. Sebentar ya mas.”

Kebetulan ada sebuah balok kayu yang cukup kuat menahan beban. Aku meletakkannya di atas ban depan yang terperosok. Mereka mengamatiku melakukannya.

“coba di nyalakan mesinnya. Semoga bisa keluar.”

Mereka menyalakan mesin dan putaran roda membuat kayu berpindah ke bawah dan roda depan terangkat. Roda belakang mengikuti setelahnya.

“Makasih mas, sudah tolongin kami.”

“sama – sama, mas.”

“ayo buruan! Udah harus di mulai acaranya.”

“mas nanti ke balai desa ya.”

Mobil itu melaju meninggalkanku di sini. Aku membawa balok kayu tadi untuk berjaga – jaga apabila mobil itu terperosok di depan. Langkahku masih kuat menyusuri jalan ini. Sesampainya di sana, acara sudah selesai. Namun, warga masih berada di sana. Ternyata, perempuan itu menjadi host sebuah acara pemerintah.

“mas sini!” seseorang memanggilku.

Ia adalah orang aku tolong tadi. Dia bersama beberapa orang lainnya tengah minum kopi.

“ngopi mas? Saya suruh bikinin.

“enggak, mas. Makasih.”

“jangan di tolak. Hey, kopi satu lagi.”

Ia mempersilahkanku duduk bersama kru tv lainnya.

“dia nih yang nolongin gue waktu mobilnya Selena kejebak lumpur. Cuman modal kayu doank. Pinter nih orang.”

“mas nya ngelebih – lebihin aja.”

“loh, mas bukan asli sini?”

Aku keceplosan dengan aksenku yang tidak berbeda dengan mereka.

“tidak, mas. Cuma saya ngikutin aja.”

“Saya Ruzari. Mas namanya siapa?”

“Saya Gr…..Joko.”

“bentar ya mas Joko. Saya ada telepon.”

Ruzari berbicara di dekatku. Suara teleponnya terdengar di telingaku. Entah mengapa, aku mengenali suara ini. Suara yang tidak asing bagiku. Tiba – tiba, seorang kru tv tergesa – gesa.

“Ruz, gawat nih. Streaming-nya enggak bisa di upload. Gimana ini?”

“yang bener aja sih.”

Ruzari mengutak – atik pengaturan jaringan di laptopnya.

“kenapa ya? Enggak sepeti biasanya?”

“bisa saya lihat?” aku bertanya.

“elo tahu? Cobain dah.”

Aku sibuk mengutak – atik laptopnya. Sementara, Selena perempuan yang tadi bersama Ruzari mendatangi mereka.

“gimana udah bisa di upload? Zizi nanyain tuh.”

Mendengar kata Zizi membuatku tersentak. Berarti, mereka adalah kru tv yang sama. Aku kembali mencoba memperbaikinya.

“selesai. Sepertinya sudah bisa.”

“masa’? Sini liat. Koq bisa di upload sama elo.”

“iya. Tadi server host nya yang bermasalah. Itu pake jaringan backdoor di server host. Mohon di kasih tahu kalo takutnya di detect sebagai hacking process. Padahal, bukan.”

Ruzari masuk ke dalam bersama Selena.

Aku pergi dari balai desa begitu selesai dengan Ruzari. Kaki kiriku mendadak sakit. Terpaksa aku berjalan terseok – seok menuju rumah.

“dimana tuh orang?”

“siapa yang tadi?”

“Iya. Selena. Tuh orang desa tapi canggih. Kita butuh orang kayak dia selama di sini.”

“nanti kita ketemu lurahnya sekalian cari tahu.”

Di lain tempat, Zizi tengah sibuk memandangi foto terakhirnya bersamaku yang di cetak dan di bingkainya.

“sudah beberapa bulan enggak sama kamu rasanya aneh. Aku enggak bisa terus – terusan bohongin diri aku dalam kenikmatan semu.”

Malam hari, di depan rumah Pak Kasdi. Aku bersama Pak Kasdi berbicara tentang kegiatan hari ini ditemani oleh teh hangat.

“gimana tadi di balai desa?”

“saya telat datengnya, Pak.” Kataku jenaka.

“Nak. Bapak mau ngomong sama kamu serius.”

“ada apa, Pak?”

“Bapak bukannya mau mengusir kamu. Tapi, kamu mau di sini sampai kapan? Lambat laun kamu juga akan pergi dari sini. Tempat kamu bukan di sini, Nak Grha.”

“bapak tahu nama asli saya?” aku terkejut.

“Bapak sudah tahu sejak lama. Bapak merahasiakannya dari orang sini. Tunggu di sini.”

Pak Kasdi masuk ke dalam rumah. Perkataan Pak Kasdi ada benarnya. Aku tidak mungkin di sini selamanya dan menyembunyikan semuanya.

“ini, Nak Grha. Di kotak ini ada barang milik kamu.” Pak Kasdi menyerahkannya kepadaku.

Di dalamnya terdapat ponselku yang rusak terkena air. Dompet yang berisi kartu atm dan identitas. Sejumlah uang masih utuh di dalamnya.

“maafkan bapak tidak terus terang sama kamu. Bapak tunggu waktu yang tepat.”

“enggak apa, Pak. Bapak sudah melakukan hal yang benar.”

Aku mengambil semua uang yang berada di dalam dompetku dan menyerahkannya kepada Pak Kasdi.

“bapak pakai uang ini untuk beli kambing.”

“tidak perlu, Nak. Bapak masih kerja.” Pak Kasdi menolaknya.

“bapak sudah baik sama saya. Anggap saja rezeki bapak lagi dititip ke saya. Saya kasihan sama bapak yang garap lahan orang terus.”

“makasih, Nak. Bapak senang sekali.”

“besok saya mau izin ke kecamatan. Semoga kartu atm ini masih bisa di pakai.”

Keesokan hari, aku hendak menuju ke kecamatan berharap ada yang memberi tumpangan saat aku berjalan. Sebuah mobil berpapasan denganku.

“Mas Joko!” sapa Ruzari.

“Mas Ruzari.”

“mau kemana ? Kemarin saya cariin juga.”

“maaf, Mas. Saya mau ke kecamatan. Mau ke bank.”

“ikut aja. Kita sekalian mau ke kantor kecamatan.” Selena mengajakku.

“ayo naik, Mas.” Ruzari bersahut.

Sepanjang perjalanan, aku berbincang dengan Ruzari. Selena sesekali nimbrung dalam obrolan kami. Kami berbicara seperti seorang teman lama. Tiba di bank, aku masuk ke mesin atm.

“Selena, elo perhatiin dia deh. Kayaknya dia agak beda sama penduduk sana. Walau ditutupin, gaya bicaranya malah terkesan udah tinggal lama di kota.”

“perasaan elo aja, Ruz. Elo ke kecamatan sendirian yak. Gue mau belanja dulu. Idenya tadi nggelitik kepala gue.”

“dasar cewek. Ya udah ntar gue kabarin kalo udah selese.”

Di dalam atm, aku memasukkan kartu atm dan mengingat pin atmku. Meski sulit mengingatnya, aku mendapatkan kembali kombinasinya. Aku melakukan cek saldo dan senyum terkembang di bibirku. Ia menepati janjinya kepadaku.

“mbak Selena masih di sini? Mas Ruzari di mana?”

“dia ke kecamatan. Aku pengen belanja di pasar sama kamu. Kayaknya seru.”

“mbak Selena ndak apa – apa? Pasar sini bukan kayak mall.”

“udah yuk. Enggak sabar nih.”

Pasar terletak cukup dekat dari sini.

“saya ndak enak ngajak mbak Selena jalan kaki sebenarnya.”

“panggil Selena aja. Belum tua – tua amat akunya.”

“iya, mbak..eh maksudnya Selena.”

“Mas Joko tinggal di mana sih?”

“saya tinggal sama Pak Kasdi. Rumahnya ada di ujung ladang.”

Masuk ke dalam pasar, aku membeli berbagai keperluan untuk keluarga Pak Kasdi.

“kamu yakin mau beli sebanyak ini?”

“iya buat stok. Selena enggak beli sesuatu?”

Ia membuka ponselnya di sana yang langsung di ambil oleh Jambret yang kabur.

“ponsel gue…..”

“kamu tunggu disini. Aku bakal ngejar dia.

Aku mengejarnya hingga ia terpojok. Tidak ada pilihan lain selain melawannya.

“aku harus menjatuhkannya dengan singkat.”

Ia menyerang dengan pukulan yang langsung aku tangkis. Aku bergerak ke samping membekap lehernya dan menginjak lututnya dari belakang. Terjatuh mengikuti tanganku, aku menghantam wajahnya berkali – kali. Setelah mengambil ponsel Selena, aku pergi dari tempat itu.

“Ini ponsel kamu, Selena.”

“kamu enggak apa -apa?”

“enggak apa – apa. Beli baju yuk. Baju aku masa gini – gini aja.”

Selena tertawa. Kami menuju ke sebuah toko baju dan memilih baju yang cocok.

“Selena, bagaimana menurutmu?” aku menyerahkan selendang merah transparan.

“cocok sih. Tapi, buat siapa?”

“buat kamu, Selena.”

Katanya langsung membuatnya leleh hati Selena.

“dan juga kamu kayaknya cocok sama kain jarik ini.”

Aku menyerahkan beberapa pilihan kepadaa Selena.

“kamu enggak beli sesuatu gitu?”

“udah. Nih. Aku udah ambil kaos 2 dan lainnya untuk yang di rumah.” Aku menunjukkan beberapa potong pakaian.

Setelah berbelanja, panasnya matahari membuat kami kelelahan.

“laper…haus…” pekik Selena.

“sampe lupa ajak kamu makan.”

“makan itu yuk.” Selena menunjuk sebuah warung makan yang cukup bagus.

“boleh. Yuk kalo gitu.” Mantapku.

Perut yang kosong kini telah terisi. Tenggorokan yang kering sudah basah kembali. Makanan yang dihidangkan benar – benar mengenyangkanku. Selena menjaga makannya dan memilih – milih makanannya.

“kamu enggak beliin apa gitu buat pacarnya.”

“saya enggak punya pacar. Lha wong saya item begini.”

“boong nih, kamu pasti udah punya.”

“liat aja mata aku. Apa aku boong?”

Selena menatap mataku dalam. Ada sebuah pesan yang tersirat di sana. Namun, sulit untuk diungkapkan.

“kamu ngapain sih ngeliatin aku kayak gitu?” Selena tersipu.

“ya maaf abisnya kamu enggak percaya.”

“aku percaya koq sekarang.”

Setelah makan, Selena mengabari Ruzari bahwa ia telah selesai. Sayangnya, Ruzari masih lama. Kemungkinan ia balik sore hari. Selena pun bingung.

“aku hendak menumpang mobil sayur itu. Biasanya, mereka searah dengan kampung.”

“aku ikut. Ruz masih lama.”

“kamu yakin? Aku duduk di bak nya. Bukan di kursi penumpang. Tapi sebentar ya…”

Aku berbicara dengan sopir tentang keinginanku menumpang. Tentu saja, dengan sejumlah uang yang aku berikan. Aku menaruh barangku di bak mobil dan memanggil Selena.

“kau bisa duduk di depan. Aku duduk di belakang.”

“aku ikut sama kamu aja.” Rengeknya.

Mobil berjalan menyusuri jalanan berkelok dan naik turun. Bersandar pada mobil, aku menatap jalanan yang aku tinggalkan.

“Joko! Kamu ngelamunin apa?”

“cuman mikir aja. Kita sebenarnya tengah berjalan di sebuah jalur yang udah ditentuin oleh Sang Pencipta. Mau bagus atau enggak kita mesti tetap jalanin itu jalurnya.”

“inget juga, kadang ada pertemuan antar jalur itu kemudian berpisah lagi.”

Sepoi angin menentramkan jiwa. Hawa panas tercerai terbawa angin semilir. Selena membiarkan dirinya larut dalam istirahat. Bersandar pada badanku, aku tidak perlu mengganggunya. Biarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Aku tidak memungkiri bahwa kecantikan Selena sedikit banyak mempengaruhiku. Memberikan efek serotonin yang mendamaikan pikiran.

Sampai tujuan, mobil berhenti di balai desa.

“Selena, bangun. Sudah sampai di balai desa.”

Selena mengumpulkan kesadaran dan menatap gedung yang menjadi tempat syutingnya. Aku turun dan membantunya juga turun dari mobil. Dari sini, aku berpisah dengannya. Barusan, aku kepikiran mengapa aku tidak membeli ponsel. Tapi, biarlah.

“Joko! Tunggu!” seseorang memanggilku.

“Selena. Kenapa disini?”

“aku ikut sama kamu sampe rumah. Boleh kan?”

“boleh sih.”

Sementara itu Ruzari bertemu dengan koresponden regional yang pernah bertemu dengan Zizi.

“kalau saya ingat nona Zizi. Pasti saya merasa kasihan yang menjadi kameramennya waktu itu.” Kata koresponden itu.

“memangnya kenapa, Pak?”

“beberapa bulan sebelumnya, nona Zizi bersama kameramennya datang untuk meliput OW xxxx yang akhirnya berimbas pada pengungkapan kasus Danaran. Demi menyelamatkan nona Zizi, kameramen itu melawan gerombolan orang yang menghalangi kami dan jatuh ke sungai.”

“kenapa tidak di usut kasusnya, Pak?”

“kameramen itu bukan pers resmi. Jadi, mereka mendaftarkan kasus ini sebagai orang hilang semata. Tapi berkat dia, Nona Zizi berhasil mengungkap praktik pelacuran Danaran.”

“ia tidak pernah bercerita hal itu kepadaku.”

“mungkin saja, Nona Zizi ingin hal ini tidak terlalu diumbar.”

“baiklah. Terima kasih. Oh iya, kau tahu ciri – ciri orang itu?”

“aku tidak mengingatnya dengan jelas.”

Sampai di rumah, Pak Kasdi sudah berada di sana. Ia terkejut dengan barang bawaanku dan mengajak Selena. Aku membantu Ibu Kasdi memilah barang dan Pak Kasdi menemani Selena di luar.

“Pak Kasdi, Joko itu anak bapak?”

“bukan. Dia keponakan bapak.”

“orangnya pinter loh. Saya aja bingung.”

“dia dari dasarnya sudah begitu.”

Aku menemui Selena di luar. Pak Kasdi menyarankanku untuk mengajaknya ke telaga di balik bukit yang tidak jauh dari sini. Aku mengiyakannya. Perjalanan ke tempat itu tidak memakan waktu banyak. Sebuah telaga bening dan airnya tenang.

“disinilah aku sering menghabiskan waktu. Tenang dan sepi.”

“kamu pandai cari tempat yang bagus buat pikiran.”

Suara kicau burung menjadi suara alam yang melengkapi keindahan telaga ini. Aku ingin mandi di telaga ini. Aku melepaskan pakaian atasku dan membiarkan celanaku tetap terpakai. Selena mengenakan Jarik yang aku beli tadi dan masuk ke dalam air. Aku tidak berani dekat dengannya. Pesonanya terlalu kuat untuk aku abaikan. Kulitnya bersih kontras dengan kulitku yang terbakar matahari.

“makasih buat hari ini udah nolongin aku dan ngasih aku perhatian.”

“iya. Sama – sama, Selena.”

Aku menatapnya lembut. Ia melakukan hal yang sama. Ia menggenggam tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Jarak wajah kami saling dekat dan Selena menutup mata menguncupkan bibirnya.

“ccccllluupppphhhhh……..cccccllllluuuuuuppppphhhhh…..ccccccllllluuuuupppppphhhhh……..”

Aku mencabut ciumanku kepadanya. Meski hal ini menyenangkan, rasanya tidak mungkin aku melakukannya.

“maafkan aku. Aku tahu harusnya ini enggak terjadi.”

“terdengar konyol. Tapi, aku menyukai kamu, Joko.”

Pasrah, Ia kembali menciumku dan meraba setiap inci badanku yang bisa dicapainya. Aku memegangi lehernya menjaganya agar ciuman ini tidak terlepas.

“cccclllllluuuuuupppphhhhh……..ccccccccllllluuuuuuuppppphhhhhh……..cccccccccccllllluuuuuupppppphhhhh……….ccccccccccclllllllluuuuuuppppphhhhhhhh…….”

Aku membaringkan tubuhnya di tepian telaga. Badan kami masih basah. Aku mendaratkan ciumannya lagi bibirnya. Kali ini, aku menyasar leher dan bahunya.

“ssssssssshhhhhhhh……….mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhh…………uuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhh”

Tangannya mendorongku menjauh dari tubuhnya. Aku terduduk dan melihatnya masih memakai jarik basah. Ia berada di sampingku. Salah satu tangannya masuk di sela celanaku.

“aaaahhhh….” aku melenguh saat tangan halusnya mengeram penisku.

Selena menghisap putingku dan tangannya mulai mengocok lembut penisku. Aku menurunkan sebagian celanaku sehingga penisku terlihat olehnya.

“mmmmmmmmhhhhhhhhhh………mmmmmmmmmmhhhhhhhh……..”

“Selena, aku masih enggak percaya kalo……..ooooooohhhhhhhh……”

Penisku dikulumnya tanpa ampun olehnya.

“sssssllllloooorrrrppppppp……..ssssssslllllllllloooooorrrrrpppppp……..sssssslllllllloooooorrrrrrpppppppp…..”

Aku memegangi rambutnya agar wajahnya terlihat kepadaku. Sapuan lidah dan kulumannya membuatku merinding.

“cccrroookkkk……ccccccrrrrooookkkk…….cccccccrrrroooookkkkkk…..cccccrrrrooookkkk….”

Penisku telah basah oleh liurnya membuatnya semakin licin dipegang dan menaikkan nafsuku drastis. Kocokannya semakin cepat dan berat untuk aku tangani.

“aaahhhh……aaaaarrrgggggghhhhhhh…….”

“cccccrrrrroooottttssss……….ccccccccrrrrrrrroooootttttttsssss……ccccccccrrrrrroooottttssssss…..”

Pejuhku menyembur ke atas dan jatuh ke sembarang tempat. Selena masih terus mengocoknya hingga tidak ada yang tersisa. Ia tersenyum melihatku kelelahan.

“so much cum, so much fun.” Pekiknya.

Setelah tidak ada yang tersisa. Ia kembali menciumku lembut. Aku turut memeluk pinggangnya.

“aku suka kamu, Joko. Entah mengapa hal ini bisa terjadi.”

“aku cuman pemuda desa, Selena. Enggak ada yang bisa kamu banggain.”

“memang enggak ada, tapi aku pasti nemuin itu nanti.”

Waktu semakin petang. Aku kembali ke rumah Pak Kasdi. Mereka menawari Selena makan malam. Namun, ia menolaknya karena sebentar lagi ada siaran. Berpamitan untuk mengantarnya ke balai desa, aku meminjam sepeda milik tetangga dan memboncengnya.

“sakit nih pantat aku. Keras boncengannya.”

Aku berhenti dan mengecek boncengannya.

“iya. Aku pegang juga keras.” Candaku.

“bercanda nih kamunya. Iya lah keras.” Ia membalasnya dengan tertawa.

“ya udah dilapisin sarung biar empukan dikit.”

“boleh.”

Sarung yang melingkar di badanku berpindah ke boncengan sepeda.

“gimana?”

“enakan sekarang.” Ia senang.

Tangannya melingkar di pinggangku. Di balai desa, sudah penuh dan ramai warga yang ingin menyaksikan acara off air televisinya. Acara berlangsung cukup seru walaupun harus dikoordinasi secara teratur. Dengan anggunnya, Selena menjadi host acara yang menarik setiap mata memandangnya. Setelah kejadian tadi, sampai kapankah aku harus menyembunyikan identitasku sebenarnya?.

“sepertinya aku melihat seseorang. Apakah itu dia? Ah mungkin aku kecapekan sehingga berhalusinasi.” Kata Jamin, koresponden yang membantuku meloloskan Zizi yang kebetulan berada di sana.

Esok paginya, aku bekerja di ladang bersama Pak Kasdi. Jujur saja, aku masih segan bertemu dengan Selena yang sudah menyatakan perasaannya. Matahari cepat meninggi dan panasnya begitu terik. Kami beristirahat di saung seperti biasanya.

“panasnya sampai ke ubun – ubun, Pak.” Aku menyeka dahi

“Minum dulu airnya biar segeran.”

Aku meminum dari kendi yang disediakan. Dinginnya menuntaskan dahagaku.

“Nak Grha…maksudnya Joko.”

“panggil saja Grha, Pak.”

“saya berterima kasih Nak Grha udah beliin saya dan keluarga sembako dan baju. Seumur – umur saya belum pernah membeli barang segitu banyak.”

“enggak apa, Pak. Itu balas budi saya ke bapak sudah menyimpan barang saya.”

“Joko! Joko! Joko!” Selena memanggilku dari jauh.

“itu bukan Nak Selena? Kamu ada hubungan apa dengan dia.”

“enggak ada, Pak. Kami kebetulan dekat saja.”

Selena tergopoh – gopoh mendatangiku. Keringatnya bercucuran terkena sengatan matahari.

“kenapa enggak ke balai desa? Aku nungguin kamu, tahu enggak!” Selena kesal padaku.

“maaf, aku kan harus bekerja juga, Selena.”

“enggak mau tahu, kesel aku pokoknya.” Ia menyilangkan tangannya dan memasang wajah cemberut.

“Selena, aku minta maaf.” Aku mendekatinya dan merapatkan kedua telapak tanganku.

“pokoknya aku kesel.”

Pak Kasdi tertawa melihat tingkah sepasang muda – mudi ini. Mengingatkan pada masa mudanya.

“sudah – sudah. Kalian jangan bertengkar.”

“kamu kesini sama siapa?” tanyaku

“tadi sama Ruzari sih. Tapi, enggak tahu dia langsung ngilang kemana.”

“berarti aku harus nganterin kamu balik?”

“tentu!” ia mencubit pipiku dan langsung berlari menjauhiku.

“tunggu, Selena.” Aku mengejarnya.

“ckrek….ckrek…..ckrek…..ckrek….” suara kamera mengambil fotoku dari balik semak – semak.

“aku penasaran denganmu, Joko. Siapa kau sebenarnya.” Ruzari menghilang.

Kejar – kejaran dengan Selena membuatku kelelahan. Selena masih berlari. Aku sengaja menjatuhkan diri ke tanah.

“ayo kejar aku….”

Selena melihatku ambruk di sana.

“Joko!”

Panik, ia membangunkanku dengan menggoyang – goyangkan badanku dan menampar wajahku.

“Joko! Bangun! Joko! Bangun!……”

Paniknya berubah menjadi tangis.

“Bangun, Joko! Bangun…..jangan tinggalin aku…..”

“aku sedang tidur sebentar. Bangunin akunya nanti aja.” Aku membuka mata.

Selena bangkit mengusap air matanya yang berlinang dan beranjak pergi.

“enggak lucu yang kamu lakuin ke aku.”

“seenggaknya aku tahu bagaimana tulusnya kamu ke aku.” Aku berdiri.

“bau sawah….” Selena mengomentariku saat memeluk badanku.

“terus kenapa dipeluk?”

“enggak boleh lepas dari aku pokoknya.” Selena egois.

Aku kembali ke rumah dan keadaannya sepi. Selena duduk di dipan kayu.

“kamu duduk dimana aku tidur, Selena. Ya udah aku mandi dulu.”

To Be Continued…….
Part 2

Selena berkeliling di dalam rumah. Semuanya serba sederhana. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana seseorang seperti Joko bisa tinggal di rumah seperti ini. Ia mencoba tidur di dipan Joko. Tidak nyaman sekali, pikirnya. Ia membetulkan posisi bantal dan dompetku terjatuh. Ia mengambilnya dan berniat melihat isinya. Namun, urung dilakukan karena aku berada di sana.

“dompet kamu jatuh. Nih.” Selena menyerahkan dompet milikku.

“aku memang cukup lalai dalam hal ini.”

“ganteng juga kalo abis mandi.”

“lucu kamunya.” Aku mengusap rambutnya.

Tanganku diciuminya dengan lembut. Dielusnya dengan pipi. Sungguh manja apa yang dilakukannya kepadaku. Aku duduk di dekatnya dan membaringkan tubuhnya. Nafsuku semakin bertambah melihatnya terhampar di dipan. Tidak sadar, badanku telah menindih tubuhnya. Nafasnya berat terdengar di telingaku.

“aaaaaaaaaaahhhhhhh………mmmmmmmmmmhhhhhhhhhh…….”

Selena mengerang ketika aku menciumi lehernya dan meninggalkan bekas cupangan yang memerah. Ia mendorong kepalaku menuruni sepasang payudaranya. Puting coklat dengan minim aerola mengacung menggugahku untuk menyusunya. Hisapku pada putingnya dan menciumi daging berlebih yang sesuai. Aku tidak dapat menahan tanganku untuk menjamahnya.

“oooooohhhhh……..mmmmmhhhhhhhhh………ssssssssshhhhhhh………oooooooooohhhhh……”

Aku menggigitnya dan ia memekik kesakitan bercampur nikmat.

“aaaaauuuuuuuccchhhhhh…….mmmmmmhhhhhh…….sssaaaakkkkkiiiitttt…….mmmmmhhhhh……ooooohhhhh…….” ia menjambak rambutku.

Berlanjut, aku melucuti pakaiannya dan membiarkan dirinya telanjang. Aku memberikan kain jarik untuk mrenutupi payudara dan perutnya. Vaginanya tercukur rapi dan bulunya halus saat aku sentuh. Lidahku mulai bermain di sana membasahinya dan menjilatnya seperti es krim.

“ssssssssshhhhhhhh……..enak……..ooooooooooohhhhhhhhh…….geli………mmmmmmmmhhhhhhhhhh….”

Selena masih bisa menahannya. Sapuan lidahku menjadi berat dan lebar.

“mmmmmmhhhhhhhh…….kena semuanya……….oooocccccchhhhhhh….”

Khusus, aku menghisap klitorisnya yang menyembul.

“jjjannggan……oooooogggghhhhhhh……..jjjjaaaannngggaaaannnn…..ssssssshhhhhhh…..”

Vaginanya kembang kempis dan mengeluarkan cairan bening yang mengenai wajahku. Ia menutupi mulutnya dengan tangan. Matanya bergidik melihatku.

“selena…pipis…enggak….kuat…..” katanya.

Setelah menyeka wajahku, aku menciumnya singkat menenangkan perasaannya.

“cclluphhh…..ccclluupphhh…..cccllluuupppphhh….ccccllluuupppphhhh…”

“kamu mau pipis lagi?”

“selena malu, tapi pengen lagi.”

Aku menatapnya dalam memberi pesan bahwa aku berkuasa atas dirinya. Ia menatapku takut dan patuh. Aku memasukkan 2 jariku ke vaginanya dan mencari spot sensitifnya. Perlahan tapi pasti, aku menemukannya dan berkutat di situ.

“cccccrrroookkkkk……ccccccrrrrrooookkkkk…..ccccccrrroookkkkk….cccccrrrrookkk….”

“aaaasahhhhhhh………oooooooooohhhhhhh…..mmmmmhhhhhh……ooooooohhhhhh……..ampun……ampun…….Joko……..ampun……….aaaaahhhhhhhh…….”

Tanganku semakin basah oleh cairan yang terus melumasi vaginanya.

“oooooooohhhhhhh…….ooooohhhhhhh……..ooooohhhhhh……….pipis…….pipisss……..sssshhhhhhhhhh”

“ccccccccrrrrrrrrsssssssss……..ccccccccrrrrrrrrrsssssss…….cccccccccrrrrrrssssss…..”

Tersiksa 2 kali keluar, wajah selena nampak sayu. Dibalik sayu wajahnya, tersungging senyuman yang menyenangkanku. Melihatnya kelelahan, aku tidak tega untuk memasukkan penisku di dalam vaginanya.. Aku menggeseknya di bibir vagina dan mengocoknya dengan tanganku.

“masukkin aja, Joko.”

“kamu masih kecapekan, Selena.”

“kamu enggak suka sama aku?”

“aku suka sama kamu, Selena.”

“masukkin kalo kamu suka sama aku.”

Penisku tegang memasuki liang vaginanya. Saking terkejutnya, vaginanya menghimpitku keras. Aku berusaha mencabutnya. Jepitannya benar menyiksaku.

“selena……..aasaaasgggghhhhhhh”

“Crrrrooooottttt…..”

“udah keluar sih! Males deh.” Selena bingung.

Aku mengalami ejakulasi dalam waktu singkat. Penisku masih cukup tegang. Namun, aku sudah tidak ingin melakukannya lagi. Selena memelukku mencoba menghiburku.

“sebagai laki – laki, aku ngerasa enggak jantan kalo kayak tadi.”

“kamu sedang bersemangat, Joko. Makanya enggak bisa kontrol diri.”

“tetap saja, Selena. Kau bisa melihat betapa lemahnya aku. Aku baru pertama kali melakukannya denganmu dan mengecewakanmu.”

“kita ulangin yuk, pasti kamu lebih kuat sekarang. Semangat dunk.”

“percuma saja, Selena. Kamu pasti berpikir aku itu lemah.”

“dengerin aku dulu….”

“udahlah. Ini semua salah aku.”

Aku berdiri dan mengenakan pakaianku. Selena juga berpakaian setelahnya. Jujur, aku kesal karena berejakulasi dengan singkat. Selena tetap menghiburku yang aku abaikan.

“asal kamu tahu. Aku pernah mengalami pengalaman yang enggak bakal aku lupain. Aku masih trauma jika harus berhubungan badan dalam waktu yang lama. Aku cerita begini karena aku bener – bener bukan suka lagi. Aku sayang sama kamu. Tapi, percuma aja kalo kamu enggak mau dengerin aku.”

“Selena. Aku cuman bercanda.”

“Kelewatan bercandamu itu.”

Selena pergi dari rumah. Aku tidak ingin mendengar kata apapun darinya. Aku masih kesal dengan diriku sendiri. Aku membutuhkan waktu untuk menerima semua ini.

“kyaaaaaaaaaa……..lepasin…” Selena berteriak dari luar.

Takut terjadi apa – apa, aku keluar dan beberapa orang bertampang sangar hendak menculik Selena. Mereka menyanderanya dan membawanya pergi. Lainnya berusaha menghalangiku.

“aku kalah jumlah.” Gumamku.

Aku mencoba melawan sebisaku. Beberapa dari mereka kupukul mundur dan mereka mengenaiku dengan beberapa serangan juga.

“ssslllaaaasshhhh……” suara sebuah golok menebas melukai punggungku.

“aaaaaaaaaaakkkkkhhhhh….” sakit yang aku rasakan tidak dapat kubendung.

“Joko! Bajingan kalian berbuat seperti itu.” Selena meronta membuatnya harus di bungkam.

Aku mencoba berdiri. Darah berdesir keluar dari punggungku. Mereka memapah tubuhku menyaksikan Selena disandera.

“kau yakin pemuda itu Joko?” salah seorang dari mereka berkata.

“apa maksudmu?” Selena tidak mengerti.

Sigap, mereka mengambil dompetku yang entah bagaimana caranya mereka dapat. Sial, mereka mengetahui identitasku jika begini caranya.

“jika aku salah, bukankah namamu….Grha?”

“benarkah itu? Jadi, kau berbohong kepadaku?” Selena kesal.

Mulutku tercekat untuk memberitahunya. Ia sudah mengetahuinya. Luka di punggungku menambah berat sakit yang aku rasa.

“jawab aku! Kamu siapa sebenernya?” Selena membentak.

“aku bukan Joko, Selena. Maafkan aku berbohong kepadamu.”

Sebuah balik kayu mengayun memukul tengkukku menjerumuskanku dalam ketidaksadaran. Semuanya menjadi gelap dan aku tidak tahu bagaimana nasib Selena.

“aku tidak percaya jika dia masih hidup.” Jamin berkata.

Aku terbangun di dipan biasa aku tertidur. Aku terperanjat melihat seseorang yang pernah aku kenal di sana.

“bukankah kau, Jamin? Koresponden yang menolong Zizi.”

“jangan banyak bergerak dulu. Lukamu sedang diobati?”

Aku mengikuti apa yang dikatakannya. Tidak kuduga, aku akan bertemu lagi dengannya. Dia membantuku untuk duduk. Masih perih punggungku seperti terbakar. Walaupun, sudah diperban.

“Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar.” Pak Kasdi datang membawa kendi dan beberapa buah. Raut wajahnya menampakkan kelegaan setelah melihatku.

“tenangkanlah dirimu. Aku kesini juga karena ada sesuatu, Grha.” Jamin berkata.

“Ada apa? Apa yang terjadi?”

“Maria dalam bahaya. Aku sudah memperingatkan Zizi dan pusat.”

“Kau memberitahu keberadaanku?”

“Belum. Aku masih merahasiakannya. Menurut Zizi, ada dugaan penculikan Maria berhubungan dengan liputan Zizi yang menyeret Pak Danaran.”

“Bedebah. Dia melakukan pembalasan.”

“Tidak hanya itu. Ruzari melakukan penyelidikan dan menemukan jati dirimu yang sebenarnya. Sayangnya, dia mengalami kecelakaan dan keberadaannya belum bisa dipastikan. Beruntung, aku bisa mengamankan buktinya.”

“Aku harus menyelamatkan Selena. Ini tidak boleh kubiarkan.”

“Tahan. Tunggu keadaanmu pulih dulu. Aku akan membantumu mencari tahu lokasinya.”

“Benar apa yang dikatakan bapak ini. Kau harus memulihkan kesehatanmu, Nak.” Pak Kasdi memperkuat argumennya.

“Terima kasih, Pak Jamin.”

Di apartemen, Zizi tengah melamunkan keadaan. Peristiwa penculikan Selena menyita perhatiannya. Di dekatnya, dokumen tentang special report Pak Danaran dibiarkan terbuka. Foto diri Grha terpasang juga di sana. Tidak lama. Sebuah pesan masuk.

“dari Ruzari? How come?”

Ruzari yang diketahuinya mengalami kecelakaan dan hilang bagaimana bisa mengirim pesan? Sebuah tanda tanya besar. Pesan itu bertuliskan “Mereka berkomplot untuk melenyapkannya” dengan sebuah foto seorang laki – laki yang menghadap ke belakang.

“siapa dia? Sampai Ruzari harus memperingatkanku?”

Terlintas di pikirannya, seseorang yang diyakininya belum mati.

“apa itu kamu, Grha?”

Tidak membuang waktu, Zizi membereskan dokumennya dan pergi keluar.

Setelah pulih, Pak Jamin memberitahuku bahwa lokasinya telah ditemukan. Berada di sebuah gubuk di atas bukit terpencil. Aku berangkat kesana menyelamatkan Selena.

“itu pasti tempatnya. Sebaiknya tidak memancing keributan.”

Aku mengendap memasuki gubuk tersebut. Kudengar beberapa orang tengah berbicara dan tertawa lepas. Masuk melewati jendela, aku berada di dalam gubuk. Aku mengintip dari celah kecil.

“Tidak mungkin aku berhadapan mereka.” Gumamku.

Aku memeriksa setiap ruangan gubuk dan menemukan Selena terikat di sebuah kursi. Mulutnya tersumpal kulepaskan.

“Kita pergi dari sini.” Aku mencoba menenangkannya dan melepaskan ikatannya.

Kami kembali dengan rute yang berbeda. Naas, saat Selena tengah kabur melalui jendela kami dipergoki oleh mereka.

“Woy! Jangan lari!” Teriak mereka.

Kami bergerak menuju hutan untuk meloloskan diri. Aku menggenggam tangan Selena erat dan terus masuk ke dalam hutan.

“Woy! Jangan kabur!”

Pepohonan cukup menyulitkan langkahku. Begitu juga dengan mereka. Aku harus segera sampai di ujung sungai sesuai instruksi Pak Jamin.

“tunggu. Aku tidak kuat lagi.” Keluhnya.

“Sungai sudah dekat. Di sana kita akan selamat.” Tegasku.

Sampai di kaki sungai. Lelah sekali hingga terengah – engah. Aku menengok ke sana kemari mencari Pak Jamin.

“lihat! Itu Pak Jamin.” Tukasku lega.

Pak Jamin berdiri santai. Tidak ada peralatan yang dibawanya. Padahal, dia menjanjikanku akan membawa sebuah perahu. Keadaan diperparah dengan kawanan yang mengejarku sampai dan berdiri di belakangku.

“Pak Jamin! Merekalah yang menculik Selena.”

“Selamatkan kami, Pak.” Mohon Selena kepadanya.

“Menyelamatkan kalian? Hahahaha…..”

“Hahahahaha……” mereka tertawa dengan keadaan seperti ini.

“Apa maksud semua ini? Pak Jamin! Jangan bergurau disini.” Aku meneriakinya. Selena masih erat dalam pelukanku.

“Kamu itu bodoh bila percaya kepadaku. Aku yang merencanakan ini semua. Selain, untuk menggagalkan acara Selena. Aku juga bisa menghabisimu!”

“Jadi, kau menipuku selama ini? Shit!” aku geram ternyata dalang penculikan ini adalah Pak Jamin, koresponden yang mengantarkan Zizi dengan selamat.

“Uang berbicara, Bung! Aku sengaja membuat Ruzari penasaran untuk mengetahui identitasmu. Pengacauan acara yang dipandu Selena menjadi tujuanku nomor sekian. Pak Danaran menenggelamkanku dalam uang demi melenyapkanmu. Baru setelah itu rekanmu akan jadi target berikutnya. Hahahaha…..”

“Kurang ajar! Tidak akan kubiarkan ini terjadi.” gemeratakku kesal. Aku diperdaya olehnya.

“Kalian! Cepat ikat mereka berdua.” Pak Jamin marah.

“Kalian harus melawanku dahulu.” Aku memasang kuda – kuda hendak melawan mereka.

“Jangan harap kau meladeni jongosku. Turuti perintah mereka! Aku tidak segan menggunakannya kepadanya.” Pak Jamin mengacungkan sebuah Revolver rakitan dan diarahkan ke Selena.

Aku tidak mungkin melakukan perlawanan. Terpaksa, aku menuruti permintaan mereka.

“Semua akan baik – baik saja, Selena.” Aku berbisik kepadanya. Walau sedikit melawan, kami terikat dengan sempurna.

Kembali ke gubuk tua di atas bukit. Kini, aku menjadi pihak yang harus diselamatkan.

“Setelah ini, apa yang harus kita lakukan, Bos?”

“Akan ditentukan esok hari. Sebaiknya jangan sampai lolos lagi.”

“Siap, Bos!”

Terikat dalam posisi berhadapan. Aku tidak dapat melepaskan diri. Melihatnya dalam kondisi serupa membuatku benar – benar tidak mampu melindunginya.

“Maafkan aku, Selena.” Ungkapku sedih.

“Kau sudah berusaha yang terbaik, Grha atau Joko. Entahlah aku harus memanggilmu apa.” Selena antara pasrah dan bingung.

“Aku akan berterus terang. Namaku Grha. Setidaknya sampai beberapa bulan terakhir. Aku mulai mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dulu, aku pernah ke OW xxx bersama Zivanna Letisha. Mungkin kau lebih mengenalnya sebagai Zizi. Aku membantunya dalam special report yang mengarahkan Pak Danaran masuk penjara.”

“Jadi, kau pria yang selalu Zizi ceritakan kepadaku? Dia bercerita banyak hal tentangmu. Aku tidak menyangka bahwa laki – laki yang di pikiran Zizi itu nyata.”

“Setidaknya dia bersama denganmu dalam posisi terikat.”

“ya. Kau benar. Kita sama – sama terikat. Kita harus cari cara agar lepas dari ikatan ini.”

Sesaat. Senyumnya dalam menghadapi keadaan ini membuatku optimis. Aku pasti bisa keluar dari sini. Aku melihat sekeliling mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk memotong. Sebuah pecahan kaca di sudut ruangan memberiku ide.

“Selena. Jangan berteriak.”

“apa yang akan kau lakukan?”

Dengan sengaja, aku menubrukkan diri ke tanah. Aku menggeliat dan memosisikan tanganku agar dapat meraihnya.

“Grha? Bagaimana keadaanmu?” bisik Selena.

“Aku baik saja.”

Susah payah, aku mengambilnya dan memotong ikatan agar terlepas. Aku tidak peduli hingga tanganku berdarah akibat tergores.

“Ouch! Shit! Aku harus cepat memotongnya.”

“Grha jangan memaksakan dirimu.”

“Jika tidak dipaksa. Kita tidak akan bisa kabur.”

Aku berhasil lepas dan membebaskan Selena.

“Tidak ada waktu untuk menghadapi mereka.” Selena mengambil sebuah balok kayu.

“Mungkin, kau benar kali ini.”

Aku bersama Selena menghabisi mereka yang lengah dengan memukulnya di kepala keras. Udara dingin menyapaku ketika di luar. Aku harus mencari rumah penduduk agar aku bisa melindungi diri. Hujan turun di tengah hutan malam hari.

“kita harus mencari tempat perlindungan. Hujan ini membuatku kelelahan.” Selena mengungkapkan.

“Aku berusaha.” Aku berjalan terus menembus hutan. Semoga saja ada tempat berlindung di hutan ini.

Kulihat sebuah pos jagawana. Aku masuk ke dalamnya dan tidak menemukan seorangpun. Keadaannya pun berantakan.

“sepertinya kita harus bermalam disini.”

“Kau bercanda kan?”

“Tidak, Selena. Tempat ini jauh lebih aman dari gubuk tadi.”

“Baiklah. Aku akan mencobanya.”

Aku memeriksa pos tersebut dan menemukan sebuah ruangan kecil yang cukup melindungiku dari hujan. Tidak ada penerangan disini. Cahaya dari hutan yang membuatku bisa melihat dalamnya.

“Sepertinya aman. Mereka tidak akan menemukan kita disini.”

Zizi mengontak salah seorang temannya dan bergegas pergi ke tempat lokasi Selena.

“Kita harus mencegah koresponden Jamin mengganggu Selena. Ada dugaan, jika dia yang mencelakakan Ruzari.”

“Kau yakin?”

“Absolutely!”

Hujan masih deras membasahi bumi. Petir sesekali menyambar menakuti kami. Kami berdua dalam keadaan lusuh akibat nekat menembus hutan di saat hujan.

“sepertinya tempat ini tidak buruk.” Celetuknya.

“ya tidak buruk. Apalagi, jika bersamamu.” Balasku.

“aku terlihat bodoh dengan kondisi seperti ini?” dia menatapku penasaran.

“tidak. Kamu tetap cantik. Katamu aneh.” Senyumku singkat.

“harus mulai darimana juga aku bingung. Aku sayang sama kamu. Di sisi lain, kamu juga seseorang yang paling dicari sama Zizi.”

Tercekat lidahku sesaat. Dia mengetahui hal yang lebih dari aku pikirkan. Pernyataannya membuatku terpojok tanpa pilihan.

“kamu sudah mengetahui semuanya. Aku akan mengeluarkanmu dari sini dengan selamat. Lagipula, aku tidak akan pernah bersanding denganmu ataupun Zizi. Aku hanya singgah sebentar di kehidupan kalian.”

“Tetaplah singgah disini walaupun sebentar.” Selena menunjuk dirinya sendiri.

“I’m promise, Selena.”

Selena mendorongku manja ke lantai.

“Let’s make our memory for lasts.” Bisiknya.

Temaram cahaya dari hutan menampakkan siluet tubuhnya ramping tanpa busana. Dadanya manis tergantung tanpa beban. Penampilan lusuh tidak mampu menyembunyikan cantiknya yang eksotis.

“cccuuuppphhhh…..cccccuuuupppphhhhh……ccccuuuuupppphhhh……ccccccuuuupppphhhhhh……”

Bibirnya menyasar badanku. Ciuman dan jilatan geli di puting memanaskan gairahku. Terus menjarah sekitar bagian perut dan pusar.

“Kita bisa mencobanya sekarang.”

Tangannya sigap menurunkan celana yang menutupi penis. Dia melihatnya riang. Kemudian, dia memulai mengocoknya lembut. Dia melakukannya dengan lembut.

“hhhhmmmmmm………..mmmmmmmmmhhhhh……”

Penisku mulai menegang keras di bawah permainannya.

“ssssslllluuuurrrrpppphhhhh……..ssssssssssllllluuuuuurrrrpppppphhhhhh…….sssssssssssllllllluuuuuurrrrrrppppphhhhhh……”

Bibirnya melahap penisku hingga basah. Memberinya kemudahan saat mengocokku. Aku seperti memiliki kuasa atas dirinya.

“kau menyukainya? Tidak perlu menjawab!”

Sedotan mulutnya menguat ingin penisku menegang maksimal. Ditambah, kocokan lembutnya membuatku tidak tahan.

“Selena……Pelan – pelan……..selena….”

Ia meremas zakarku dalam variasi permainannya. Lidahnya menguasai seluruh penisku tidak terkecuali.

“sudah cukup. Mas Joko harus menikmati ini.”

Vaginanya mengarah diatas penisku. Tangannya membantu untuk masuk ke dalamnya. Serasa ada sebuah kejut yang menjepitku.

“seksi banget punya kamu.” Aku memuji dadanya yang kupegang masing – masing dengan tangan.

“aaaaacchhhh…..geli……jangan disitu…..” pekik Selena ketika jemariku menyentil putting dadanya menjorok.

Mula – mula, dia mengangkat tubuhnya dan menghujam penisku pelan. Aku masih bisa melihat penisku terhujam keluar masuk di vaginanya.

“aaaaaahhhh………..ooooooooohhhhhhh………aaaaaaaahhhhhhh……….oooooooohhhhhhhhh…….”

Gemas tanganku memainkan dadanya. Selena bertindak sensual dengan tangan di kepalanya. Vaginanya semakin lama semakin dalam masuk di dalamnya. Kini yang kulihat hanya tumbukan antar 2 kelamin.

“ooooooohhhhhh………ssssssssshhhhhhhhhh……..oooooooooohhhhhhh……….sssssssssssshhhhhhh……..mmmmmmmmhhhhhhh………mmmmmmmmhhhhhh……”

Selena membiarkanku memegangi kedua pinggangnya naik turun. Vaginanya memuaskan penisku yang terhimpit.

“hehehehe…..mas Joko kuat…….”

Penisku digeseknya maju mundur. Aku malah ikut mendorongnya dengan tanganku. Mudah saja, dia semakin terangsang.

“yyyyyeeeeeaaaaahhhh……..aaaaaahhhhhh…….sssssssshhhhhhhhhh……………mmmmmmmmhhhhhhhh……..”

Dadanya bergelayut pada tempatnya membuatku geram ingin menggigitnya. Aku membangunkan sedikit badanku dan menyusu di dadanya.

“Isssssseeeeeeppppphhhhh………aaaaaaahhhh…….ssssssshhhh…….tttteeeeerrrrrruuuusssss……..sssssssshhhhh…….”

Dibelai kepalaku yang sengaja kuabaikan. Aku sibuk dengan dadanya sekarang. Selena menunggangiku liar tidak terkendali. Hunjamannya bertumbuk sering.

“like it reversed.” Bisiknya.

Dia membelakangiku dan menunggangiku dari belakang. Pantatnya seksi seperti bantal di tanganku. Aku semakin dapat melihat penisku yang keluar masuk tiada henti. Kuurungkan niatku menusuknya dengan jari tangan akibat anusnya masih rapat. Mungkin, akan ada kesempatan lain.

“uuuuuggggggghhhhhhh……….uuuuuuuuuuccccccchhhhhhhh………uuuuuuuuuuhhhhhhhhh………..oooooooooooohhhhhh………ooooooooooohhhhhhh……..”

Dia menunggangiku terus tanpa henti hingga lelah. Tenaganya yang awalnya memuncak kini perlahan turun.

“Giliranku sekarang, Nona.”

Aku membaringkan tubuhnya memosisikan diri membelah kedua pahanya. Aku mengalihkan perhatiannya dengan melihatku dan memasukkan penisku kembali.

“aaaaakkkhhhhhh………mmmmmhhhhhhhh”

Aku memulainya dengan jarang – jarang mempermainkannya dalam ketagihan. Lemah, dia menahan genjotan penisku.

“ooooooccchhhhhh…..yyyyyeeeeeeaaaahhhhhh………oooooooooocccccccchhhhhhhhh……….yyyyyyeeeeeeeeaaaaaahhhhhhhhhhhhh………..”

“mmmmmmmhhhhh……….mmmmmmmmhhhhhhhh…….mmmmmmmhhhhhhh…….”

Tidak lama aku menggenjotnya. Tenagaku telah habis setelah seharian ini berusaha menyelamatkannya.

“enggak apa kalo udah enggak tahan.” Pekiknya.

Aku menggeleng dan menggenjotnya dalam posisi misionaris. Kurengkuh tubuhnya lekat dan ia memelukku erat.

“hhhhhhnnnnnngggggghhhhhh……….”

“oooooooooohhhhhhhhhhhh………”

“ccccccccccccrrrrrrrrooooooooottttttsssssssss………cccccccccccrrrrrrrrroooooooootttttsssssss……….ccccccccccccccccccrrrrrrrrrrroooooooooootttttttttttsssssss……”

Aku mengakhiri permainan dengan menyemburkan pejuhku dalam. Nanar, kami saling berpandangan. Tubuh kami berdua lelah kehabisan tenaga.

“aku kelewatan, Selena.”

“it’s okay. Just take the pill. Don’t take it out that thing inside.”

Kami saling berpelukan dalam menaklukkan dinginnya hujan.

“aku ingin dengar kamu bilang i love you.”

“I love you, Selena.”

Senyumnya memberiku perasaan nyaman di malam ini. Kami berdua terlelap dalam kelelahan melupakan dunia. Terlepas marabahaya yang belum lepas sepenuhnya.

Pagi hari, aku bangun terlambat. Kulihat Selena telah memakai pakaiannya.

“kamu tidur kayak bayi.” Katanya sambil menciumku.

“belaianmu membuatku nyaman.”

Singkat cerita, Pak Jamin berhasil diringkus oleh pihak kepolisian yang dibawa oleh Zizi di tempat persembunyiannya. Aku dan Selena membersihkan diri di rumah. Mendengar bahwa aku masih hidup, Zizi bergegas menemuiku yang kebetulan berada di luar rumah.

“Maria!” seru Zizi yang memeluk Selena.

Kemudian, Zizi berpaling kepadaku. Seakan tidak percaya, dia tidak habis pikir melihatku.

“kamu masih hidup? Ini nyata kan?” dia memegangi wajahku dan langsung dipeluknya.

“Aku berhasil selamat, Zizi.”

Refleks, dia menciumku tepat di bibir di depan Selena dan kembali memelukku. Aku mencegah Selena yang di dekatnya hendak pergi dengan memegang tangannya. Aku menggelengkan kepalaku memintanya untuk tetap tinggal.

“I’m promise, Selena.”

Terima kasih
Jika ada kritik dan saran dipersilahkan untuk memposting di thread ini